Surah an-Nashr 110 ~ Tafsir al-Qurthubi (1/2)

Dari Buku:
Tafsir al-Qurthubi
(Jilid 20 – Juz ‘Amma)
Oleh: Syaikh Imam al-Qurthubi
(Judul Asli: al-Jāmi‘-ul-Aḥkām-ul-Qur’ān)

Penerjemah: Dudi Rosyadi dan Faturrahman
Penerbit PUSTAKA AZZAM

Rangkaian Pos: Surah an-Nashr 110 ~ Tafsir al-Qurthubi

SURAH AN-NASHR

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللهِ وَ الْفَتْحُ

Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,
(Sūrat-un-Nashr [110]: 1)

Untuk ayat yang pertama ini hanya dibahas satu masalah saja, yaitu:

Firman Allah s.w.t.: (إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللهِ وَ الْفَتْحُ.) “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan.” Makna dari kata an-Nashr (نَصْرُ) adalah al-‘aun (pertolongan). Kata ini diambil dari ungkapan: qad nashar-al-ghaits-ul-ardh (hujan telah menolong bumi), yakni ketika hujan menolong kekeringan yang ada di bumi dan menhijaukannya kembali.

Wazan dari kata ini adalah: nashara yanshuru nashratan. Isim dari kata ini adalah an-nushrah. Adapun bentuk sudāsi-nya, istanshara, bermakna: meminta pertolongan. Sedangkan bentuk tafā‘ul-nya, tanāshara, bermakna: saling memberi pertolongan.

Diriwayatkan, bahwa yang dimaksud dengan pertolongan pada ayat ini adalah pertolongan yang diberikan kepada Nabi s.a.w. atas orang-orang Quraisy. Riwayat ini disampaikan oleh ath-Thabari. (7691).

Lalu ada juga yang berpendapat bahwa maksudnya adalah pertolongan untuk Nabi s.a.w. atas semua orang kafir yang memerangi beliau, hingga pada akhirnya kemenangan berada di pihak beliau.

Sedangkan yang dimaksud dengan kata al-fatḥ (وَ الْفَتْحُ) adalah fatḥu makkah (pembebasan kembali kota Makkah). Makna ini disampaikan oleh al-Hasan, Mujahid, dan ulama lainnya.

Berbeda dengan makna yang disampaikan oleh Ibnu ‘Abbas dan Sa‘id bin Jubair, mereka mengartikan kata al-fatḥ pada ayat ini sebagai pembebasan kota-kota dan negeri-negeri lainnya.

Lalu ada juga yang berpendapat bahwa maksudnya adalah pembebasan di negeri mana pun yang dimasuki oleh Islam.

Ada juga yang berpendapat bahwa maksudnya adalah terkuaknya ilmu-ilmu yang baru yang belum diketahui oleh manusia sebelumnya.

Ada pun makna dari kata (إِذَا) (apabila) pada ayat ini adalah qad (telah), yakni telah datang pertolongan Allah, karena, ayat ini diturunkan setelah fatḥu makkah.

Atau, jika makna dari kata (إِذَا) adalah makna sebenarnya, maka yang dimaksud dengan kata (جَاءَ) (fi‘il mādhī) adalah yajī’u (fi‘il mudhāri‘).

 

Firman Allah:

وَ رَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُوْنَ فِيْ دِيْنِ اللهِ أَفْوَاجًا.

Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong,
(Sūrat-un-Nashr [110]: 2)

Untuk ayat ini juga hanya dibahas satu masalah saja, yaitu:

Firman Allah s.w.t.: (وَ رَأَيْتَ النَّاسَ) “Dan kamu lihat manusia….” yakni, masyarakat ‘Arab dan yang lainnya.

(يَدْخُلُوْنَ فِيْ دِيْنِ اللهِ أَفْوَاجًا.) “Masuk agama Allah dengan berbondong-bondong.” Yakni, secara berjamaah, secara berkelompok, seperti ombak yang terus menggulung-gulung.

Hal ini terjadi ketika Nabi s.a.w. membebaskan kembali kota Makkah dari kemusyrikan, pada saat itu masyarakat ‘Arab berkata: Muhammad telah mendapatkan kemenangannya atas penduduk Haram, tanpa perlawanan sama sekali. Dahulu mereka diselamatkan Allah dari tentara bergajah yang ingin menduduki Haram, namun saat ini mereka tidak lagi memiliki penolong yang dapat menolong mereka, sekarang mereka hanya dapat menyerah dan masuk ke dalam agama Islam secara berjamaah, dari satu umat ke umat lainnya.

Adh-Dhahhak menerangkan: satu umat itu terdiri dari empat puluh orang laki-laki.

‘Ikrimah dan Muqatil berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan kata (النَّاسَ) pada ayat ini adalah para penduduk negeri Yaman, karena pada saat itu banyak sekali masyarakat Yaman yang datang ke kota Makkah, sekitar tujuh ratus orang, yang langsung menyatakan dirinya beriman dan taat kepada Nabi s.a.w. Pada saat itu sebagian dari mereka ada yang mengumandangkan adzan, sebagian yang lain membaca al-Qur’an, dan sebagian lainnya bertahlil. Maka Nabi s.a.w. pun merasa gembira melihat hal itu, bahkan ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas tidak kuat membendung air mata mereka.

‘Ikrimah meriwayatkan, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: ketika Nabi s.a.w. membaca firman Allah s.w.t.: (إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللهِ وَ الْفَتْحُ.) “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan.” Datanglah para penduduk Yaman yang memiliki kelembutan hati, kesantunan perilaku, kedermawanan sikap, dan keagungan dalam ketakwaan. Mereka mengikrarkan diri masuk ke dalam agama Allah secara serempak.

Dalam kitab Shaḥīḥ Muslim disebutkan, sebuah riwayat dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:

أَتَاكُمْ أَهْلُ الْيَمَنِ، هُمْ أَضْعَفُ قُلُوْبًا، وَ أَرَقُّ أَفْئِدَةً، الْفِقْهُ يَمَانٍ، وَ الْحِكْمَةُ يَمَانِيَةٌ.

Telah datang kepada kalian para penduduk Yaman, mereka memiliki hati yang sangat lembut dan perasaan yang sangat halus. Mereka juga membawa ilmu Yamani dan hikmah Yamaniyyah.” (7702).

Riwayat lain menyebutkan, bahwa Nabi s.a.w. pernah bersabda:

Sesungguhnya aku melihat hembusan yang ditiupkan oleh Tuhanmu dari arah Yaman.” (7713).

Untuk kata “hembusan” yang disebutkan pada riwayat ini ada dua penafsiran, yang pertama: hembusan itu bermakna keleluasan, karena semakin banyaknya orang-orang yang masuk Islam yang berasal dari negeri Yaman. Dan yang kedua: maknanya adalah bahwasanya Allah telah meniupkan kesengsaraan dari sisi Nabi s.a.w. dengan datangnya para penduduk Yaman, karena mereka adalah para penolong Nabi s.a.w.

Sebuah riwayat dari Jabir bin ‘Abdullah menyebutkan: aku pernah mendengar Nabi s.a.w. berkata: “Sesungguhnya manusia masuk ke dalam agama Allah secara berbondong-bondong, namun mereka juga akan keluar secara berbondong-bondong.” Riwayat ini disampaikan oleh al-Mawardi. (7724).

Riwayat yang sama juga disampaikan oleh ats-Tsa‘labi, dan lafazhnya adalah: Abu ‘Ammar meriwayatkan, dari Jabir untuk Jabir, ia berkata: aku pernah ditanya oleh Jabir tentang kondisi kaum muslimin di waktu yang akan datang, lalu aku memberitahukan kepadanya tentang bagaimana mereka berbeda pendapat dan terpecah-belah. Kemudian ia pun menangis dan berkata: Aku juga pernah mendengar Nabi s.a.w. mengatakan: “Sesungguhnya manusia masuk ke dalam agama Allah secara berbondong-bondong, namun mereka juga akan keluar secara berbondong-bondong.

 

Firman Allah:

فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَ اسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا

Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima tobat.
(Sūrat-un-Nashr [110]: 3)

Untuk ayat yang terakhir ini dibahas beberapa masalah, yaitu:

Firman Allah s.w.t.: (فَسَبِّحْ) “Maka bertasbihlah.” Yakni, shalatlah kamu dengan memuji nama Allah. Makna ini sesuai dengan penafsiran yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, bahwa makna tasbih pada ayat ini adalah shalat.

(بِحَمْدِ رَبِّكَ) “Dengan memuji Tuhanmu.” Yakni, dengan penuh rasa syukur terhadap semua nikmat yang diberikan Allah, termasuk kemenangan dan pembebasan kembali kota Makkah.

(وَ اسْتَغْفِرْهُ) “dan mohonlah ampun kepada-Nya.” Yakni, dan mintalah ampunan kepada Allah.

Beberapa ulama berpendapat, bahwa makna dari kata tasbih pada ayat ini adalah meninggalkan yang tidak boleh dilakukannya yang disertai dengan rasa syukur kepada Allah. Sedangkan makna istighfar adalah meminta ampunan kepada Allah disertai dengan berdzikir secara kontinyu.

Namun makna yang pertama lebih diunggulkan, karena sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh para imam hadits, dengan lafazh dari imam al-Bukhari, yang diriwayatkan dari ‘A’isyah, ia berkata: Setelah diturunkannya sūrat-ul-Fatḥ, Rasulullah selalu berdoa di dalam shalatnya: subḥānaka rabbanā wa biḥamdika, allāhummaghfir lī (Maha Suci Engkau wahai Tuhan kami dan segala puji hanya bagi-Mu. Ya Allah, aku memohon ampunanmu) (7735).

Riwayat lain dari ‘A’isyah menyebutkan: Ketika bersujud dan ruku‘ Rasulullah selalu memperbanyak qirā’ah: subḥānaka rabbanā wa biḥamdika, allāhummaghfir lī. (7746).

Kedua hadits ini menunjukkan makna dari penafsiran Nabi s.a.w. terhadap ayat di atas.

Selain kedua kitab hadits paling shaḥiḥ (shaḥīḥ-ul-Bukhārī dan shaḥīḥ Muslim) juga disebutkan riwayat lain mengenai hal ini, salah satunya dari Ummu Salamah, ia berkata: Pada masa-masa akhir kenabian beliau selalu mengucapkan: “subḥānallāhu wa biḥamdih, astaghfirullāha wa atūbu ilaih (Maha suci Allah dan segala puji bagi-Nya, aku memohon ampunan Allah dan bertaubat kepada-Nya).” Beliau mengucapkannya tatkala beliau berdiri ataupun duduk, datang ataupun pergi, dan di setiap keadaannya. Dan beliau juga pernah berkata: “Sesungguhnya aku diperintahkan untuk selalu mengucapkannya,” kemudian beliau menyebutkan firman Allah s.w.t.:

إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللهِ وَ الْفَتْحُ. وَ رَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُوْنَ فِيْ دِيْنِ اللهِ أَفْوَاجًا. فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَ اسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا.

Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima tobat.” (7757).

Catatan:

  1. 769). Lih. Jāmi‘-ul-Bayān (30/214-215).
  2. 770). H.R. Muslim pada pembahasan tentang keimanan, bab: keutamaan dan kebaikan yang dimiliki oleh penduduk Yaman (1/72).
  3. 771). Riwayat ini disampaikan oleh Ibn-ul-Atsir dalam an-Nihāyah (5/93).
  4. 772). Lih. Tafsīr-ul-Mawardī (6/360).
  5. 773). H.R. al-Bukhari pada pembahasan tentang tafsir (3/222). Hadits ini juga diriwayatkan oleh Muslim pada pembahasan tentang shalat, bab: Kalimat yang Diucapkan Ketika Sedang Ruku‘ dan Sujud (1/351).
  6. 774). H.R. al-Bukhari pada pembahasan tentang adzan, bab: Bertasbih dan Berdoa Ketika Sujud. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Muslim pada pembahasan tentang Shalat, bab: Kalimat yang Diucapkan Ketika Sedang Ruku‘ dan Sujud.
  7. 775). Riwayat ini disampaikan oleh as-Suyuthi dalam ad-Durr-ul-Mantsūr (6/408), yang diriwayatkannya dari Ibnu Jurair dan Ibnu Mardawiyah.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *