“Apabila telah datang pertolongam Allah dan kemenangan.” (an-Nashr: 1).
Wahai Muhammad, jika pertolongan dan bantuan Allah telah datang kepadamu atas orang-orang yang memusuhimu yaitu kaum kafir Quraisy, kota Makkah ditaklukkan bagimu, kemenangan kamu raih dan risalahmu menjadi mulia, sucikanlah Allah seraya memuji-Nya sebagai tambahan ibadah dan pujian kepada-Nya karena Dia menambah anugerah-Nya kepadamu. Faedah firman-Nya (نَصْرُ اللهِ) padahal pertolongan tidak akan terjadi melainkan dari Allah adalah pertolongan tersebut merupakan pertolongan yang tidak akan terwujud melainkan karena Allah atau tidak akan terwujud melainkan sebab hikmah dari-Nya. Maksud dari idhāfah pada kalimat tersebut adalah untuk mengagungkan wujud pertolongan tersebut. Firman Allah s.w.t. (جَاءَ نَصْرُ اللهِ) adalah majaz yang berarti telah terjadi pertolongan Allah.
Ahmad, Baihaqi, dan Nasa’i meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas r.a., ia berkata: “Tatkala turun surah an-Nashr, Rasulullah s.a.w. bersabda:
نُعِيَتْ إِلَيَّ نَفْسِيْ.
“Aku diberitahu bahwa akan segera meninggal dunia.”
Beliau wafat pada tahun itu juga.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Jama‘ah kecuali Ibnu Majah, dari Ibnu ‘Abbas, Nabi s.a.w. bersabda:
لَا هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ، وَ لكِنْ جِهَادٌ وَ نِيَّةٌ.
“Tidak ada hijrah setelah penaklukan kota Makkah. Akan tetapi masih ada jihad dan niat.”
Bukhari dan Muslim meriwayatkan di dalam kitab Shaḥīḥ keduanya dari Ibnu ‘Abbas bahwa pada hari penaklukan kota Makkah, Rasulullah s.a.w. bersabda:
لَا هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ، وَ لكِنْ جِهَادٌ وَ نِيَّةٌ، وَ إِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوْا.
“Tidak ada hijrah setelah penaklukan kota Makkah. Akan tetapi masih ada jihad dan niat. Jika kalian dipanggil untuk berjihad maka penuhilah.”
“Dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah.” (an-Nashr: 2).
Kamu melihat orang-orang ‘Arab dan lainnya masuk agama Allah yang telah mengutusmu untuk menyebarkannya. Mereka masuk agama Allah secara massal, setelah sebelumnya mereka masuk agama Allah secara personal. Dengan demikian, seluruh kabilah ‘Arab telah masuk ke agama Islam.
“Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat.” (an-Nashr: 3).
Jika kamu telah menaklukkan kota Makkah dan agama Islam telah tersebar luas, bersyukurlah kepada Allah atas segala karunia-Nya, dengan cara shalat kepada-Nya dan menyucikan-Nya dari segala hal yang tidak pantas bagi-Nya serta dari pengingkaran janji kemenangan yang telah Dia janjikan kepadamu. Bertahmid dan bertasbihlah karena sesungguhnya kemenangan dan penaklukan tersebut mengharuskan untuk memuji Allah atas kebesaran karunia dan keutamaan-Nya serta kebaikan yang telah diberikan kepadamu.
Demikian juga mintalah ampunan kepada Allah sebagai bentuk rasa tawadhu‘ kepada-Nya dan merasa sedikit amal serta sebagai bentuk pelajaran bagi umatmu. Juga mintalah ampunan bagi kaum Mu’minin yang mengikutimu karena perasaan gelisah dan takut mereka sebab kemenangan yang terlambat datang. Sesungguhnya Allah s.w.t. akan mengampuni orang-orang yang meminta ampunan. Dia akan mengampuni dan merahmati mereka dengan menerima tobat mereka. Dia adalah Dzat Yang Maha Menerima tobat hamba-hambaNya hingga mereka tidak perlu berputus asa dan kembali kepada kebenaran setelah melakukan kesalahan.
Para Imam meriwayatkan – redaksi hadits milik Bukhari – dari ‘A’syah r.a., ia berkata:
مَا صَلَّى النَّبِيُّ (ص) صَلَاةً بَعْدَ أَنْ نَزَلَتْ عَلَيْهِ سُوْرَةُ (إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللهِ وَ الْفَتْحُ) إِلَّا يَقُوْلُ فِيْهَا: سُبْحَانَكَ رَبَّنَا وَ بِحَمْدِكَ، اللهُمَّ اغْفِرْ لِيْ.
“Nabi s.a.w. tidaklah shalat pascaturunnya surah an-Nashr melainkan berdoa di dalam shalat tersebut: “Maha Suci Engkau Tuhan kami dan segala pujian untuk-Mu. Ya Allah, ampunilah aku.”
Dari ‘A’isyah r.a. juga, ia berkata: “Rasulullah s.a.w. memperbanyak membaca di dalam ruku‘ dan sujud (سُبْحَانَكَ رَبَّنَا وَ بِحَمْدِكَ، اللهُمَّ اغْفِرْ لِيْ) beliau menakwilkan kandungan ayat al-Qur’an.”
Surah ini menunjukkan hal-hal berikut:
Umat lebih berhak untuk melakukan hal itu. Jika Nabi s.a.w. yang ma‘shum saja diperintahkan untuk beristighfar, lantas bagaimana dengan orang selain beliau? Muslim meriwayatkan dari ‘A’isyah r.a., ia berkata: “Rasulullah s.a.w. memperbanyak membaca dzikir (سُبْحَانَ اللهِ وَ بِحَمْدِكَ، أَسْتَغْفِرُ اللهَ وَ أَتُوْبُ إِلَيْهِ) ‘A’isyah r.a. berkata: “Lantas aku bertanya: “Wahai Rasulullah s.a.w., aku melihat engkau memperbanyak bacaan (سُبْحَانَ اللهِ وَ بِحَمْدِكَ، أَسْتَغْفِرُ اللهَ وَ أَتُوْبُ إِلَيْهِ) Beliau menjawab: “Tuhanku memberitahuku bahwa aku akan melihat sebuah tanda di dalam umatku. Jika aku telah melihat tanda tersebut maka aku akan memperbanyak bacaan (سُبْحَانَ اللهِ وَ بِحَمْدِكَ، أَسْتَغْفِرُ اللهَ وَ أَتُوْبُ إِلَيْهِ), dan sungguh aku telah melihatnya pada surah an-Nashr.”
“Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam.” (Āli ‘Imrān: 19).
Dan firman-Nya:
“Dan barang siapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi.” (Āli ‘Imrān: 85).
Para sahabat mengetahui hal itu (dekatnya ajal Nabi) karena perintah tasbih, tahmid dan istighfar secara mutlak adalah dalil bahwa perintah menyapaikan da‘wah telah sempurna. Hal itu mengharuskan beliau wafat. Seandainya beliau tetap hidup setelah da‘wah tersebut sempurna, pastilah beliau tidak akan membawa misi risalah lagi, dan itu tidak boleh. Kemudian sesungguhnya perintah untuk beristighfar adalah peringatan dekatnya ajal.