Surah an-Nashr 110 ~ Tafsir al-Azhar

Dari Buku:
Tafsir al-Azhar
Oleh: Prof. Dr. HAMKA

Penerbit: PT. Pustaka Islam Surabaya

110

Sūrat-un-Nashr

Sūrat-un-Nashr, Ayat: 1-3.

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang

 

إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللهِ وَ الْفَتْحُ. وَ رَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُوْنَ فِيْ دِيْنِ اللهِ أَفْوَاجًا. فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَ اسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا.

110:1. Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan.

110:2. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong.

110:3. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima tobat.

 

Apabila telah datang pertolongan Allah.” (pangkal ayat 1). Terhadap kepada agama-Nya yang benar itu, dan kian lama kian terbuka mata manusia akan kebenarannya: “Dan kemenangan.” (ujung ayat 1). Yaitu telah terbuka negeri Makkah yang selama ini tertutup. Dan menang Nabi s.a.w. ketika memasuki kota itu bersama 10.000 tentara Muslimin, sehingga penduduknya takluk tidak dapat melawan lagi. Kedaulatan berhala yang selama ini mereka pertahankan dengan sebab masuknya tentara Islam itu dengan sendirinya telah runtuh. Berhala-berhala itu telah dipecahi dan dihancurkan. Ka‘bah dan sekelilingnya telah bersih daripada berhala. Dan yang berkuasa ialah Islam: “Dan engkau lihat manusia masuk ke dalam Agama Allah dalam keadaan berbondong-bondong.” (ayat 2).

Artinya bahwa manusia pun datanglah berduyun-duyun, berbondong-bondong dari seluruh penjuru Tanah ‘Arab, dari berbagai persukuan dan kabilah. Mereka datang menghadap Nabi s.a.w. menyatakan diri mereka mulai saat itu mengakui Agama Islam, mengucapkan bahwa memang: “Tidak ada Tuhan, melainkan Allah, Muḥammad adalah Rasul Allah.” Dengan demikian bertukar keadaan. Agama yang dahulu berjalan dengan sempit, menghadapi berbagai rintangan dan sikap permusuhan, sejak kemenangan menaklukkan Makkah itu orang datang berbondong menyatakan diri menjadi penganutnya.

Kalau sudah demikian halnya: “Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu.” (pangkal ayat 3). Arti bertasbih ialah mengakui kebesaran dan kesucian Tuhan, dan bahwa semuanya itu tidaklah akan terjadi kalau bukan kurnia Tuhan. Dan tidaklah semuanya itu karena tenaga manusia atau tenaga siapa pun di dalam alam ini, melainkan semata-mata kurnia Allah. Sebab itu hendaklah iringi ucapan tasbih itu dengan ucapan puji-pujian yang tiada putus-putus terhadap-Nya, bahkan: “Dan mohon ampunlah kepada-Nya.” Ini penting sekali. Karena selama berjuang, baik 13 tahun masa di Makkah sebelum hijrah, ataupun yang 8 tahun di Madinah sebelum menaklukkan, kerapkalilah engkau atau pengikut-pengikut engkau yang setia itu berkecil hati, ragu-ragu, kurang yakin, meskipun tidak dinyatakan, karena sudah begitu hebatnya penderitaan, namun pertolongan Tuhan belum juga datang. Hal ini pernah juga dibayangkan Tuhan di dalam janjinya (Surat 2, Al-Baqarah : 214):

أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَ لَمَّا يَأْتِكُمْ مَّثَلُ الَّذِيْنَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَّسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَ الضَّرَّاءُ وَ زُلْزِلُوْا حَتّى يَقُوْلَ الرَّسُوْلُ وَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا مَعَهُ مَتى نَصْرُ اللهِ أَلاَ إِنَّ نَصْرَ اللهِ قَرِيْبٌ

Atau apakah kamu sangka bahwa kamu akan masuk ke syurga, padahal belum datang kepada kamu seperti yang datang kepada yang sebelum kamu, mereka itu dikenai oleh kesusahan (harta-benda) dan kecelakaan (pada badan diri) dan digoncangkan mereka (oleh ancaman-ancaman musuh), sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang beriman besertanya, ‘Bilakah akan datang pertolongan Allah itu?, ‘Ketahuilah bahwa pertolongan Allah itu telah dekat.’”

Sampai Rasul sendiri dan sampai orang-orang yang beriman yang mengelilinginya telah bertanya bila lagi kami akan ditolong, padahal kesengsaraan telah sampai puncak, tidak terderitakan lagi.

Mohon ampunlah kepada Allah atas perasaan-perasaan yang demikian, agar rasa hati itu bersih kembali, dan kasih dengan Tuhan bertaut lebih mesra daripada yang dahulu. Dan taubat daripada kegoncangan fikiran dan keragu-raguan yang mendatang dalam hati ialah dengan menyempurnakan kepercayaan kepada Tuhan; “Sesungguhnya Dia adalah sangat Pemberi Taubat.” (ujung ayat 3). Karena Dia adalah Tuhan, Dia adalah Kasih dan Sayang akan hamba-hamba-Nya, dan Dia adalah mendidik, melatih jiwa-raga hamba-Nya agar kuat menghadapi warna-warni percobaan hidup di dalam mendekati-Nya.

Seakan-akan berfirmanlah Tuhan: “Bila pertolongan telah datang dan kemenangan telah dicapai, dan orang telah menerima agama ini dengan tangan dan hati terbuka, maka rasa sedih telah sirna dan rasa takut telah habis. Yang ada setelah itu adalah rasa gembira, sukacita dan syukur. Hendaklah diisi kegembiraan itu dengan tasbih dan tahmid puji dan syukur, tabah kuatkan hati mendekatinya. Jangan takabbur dan jangan lupa diri.

Oleh sebab itu maka tersebutlah di dalam sīrah (sejarah) hidup Nabi s.a.w. bahwa seketika beliau masuk dengan kemenangan gemilang itu ke dalam kota Makkah, demi melihat orang-orang yang dahulu memusuhinya telah tegak meminggir ke tepi jalan, melapangkan jalan buat dilaluinya, beliau tundukkan kepalanya ke tanah, merendahkan diri kepada Tuhan, sehingga hampir terkulai ke bawah kendaraannya, unta tua yang bernama Qashwā, yang dengan itu pula dia masuk ke sana kembali sebagai penakluk delapan tahun kemudian.

Menurut catatan al-Ḥāfizh Ibnu Ḥajar di dalam kitabnya al-Fatḥ-ul-Bārī, dalam Hadis yang dirawikan oleh Abū Ya‘lā dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Surat ini diturunkan ialah ketika beliau berhenti di Mina di hari Tasyrīq (11), pada waktu beliau melakukan Haji Wada’. Maka mafhumlah beliau bahwa Surat ini pun adalah menjadi isyarat juga baginya bahwa tugasnya sudah hampir selesai di dunia ini dan tidak lama lagi dia pun akan dipanggil ke hadhrat Tuhan.

Ada juga kemusykilan orang tentang riwayat itu. Sebab Haji Wada’ terjadi dua tahun setelah Makkah takluk. Tetapi yang mempertahankan riwayat itu mengatakan bahwa orang berbondong masuk ke dalam Agama Allah itu tidaklah putus-putus sampai pun ketika Haji Wada’ itu, bahkan sampai setelah beliau kembali ke Madinah selesai Haji Wada’.

Dan tersebut juga dalam catatan riwayat bahwa beberapa orang sahabat yang utama, sebagai Abū Bakar, ‘Umar dan ‘Abbās mengerti juga akan qiyas isyarat Surat ini. Karena mereka mengerti bahasa ‘Arab, bahasa mereka sendiri, tahulah bayangan kata, kalau pertolongan telah datang dan kemenangan telah tercapai, artinya tugas telah selesai.

Sebab itu ada riwayat dari Muqātil, bahwa seketika ayat dibaca Nabi di hadapan sahabat-sahabat, banyak yang bergembira, namun ada yang menangis, yaitu ‘Abbās bin ‘Abd-ul-Muththalib.

“Mengapa menangis, paman?” Tanya Nabi s.a.w. kepada beliau.

‘Abbās menjawab: “Ada isyarat pemberitahuan waktumu telah dekat!” “Tepat apa yang paman sangka itu,” kata beliau.

Dan hanya 60 hari saja, menurut keterangan Muqātil, sesudah beliau bercakap-cakap hal itu dengan Nabi, memang berpulanglah Nabi ke hadhrat Tuhan.

Dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhārī, ‘Umar bin Khaththāb pada masa pemerintahannya memanggil orang-orang tua hadir dalam Perang Badar untuk pertemuan Shilat-ur-raḥmi. Di sana hadir Ibnu ‘Abbās yang masih muda. Beliau tanyakan pendapatnya tentang “Idzā Jā’a Nashrullāhi”, ini. Dia pun menyatakan bahwa Surat ini pun isyarat bahwa ajal Nabi telah dekat.

Dan sejak ayat itu turun, selalu Rasulullah membaca dalam sujud dan ruku’nya:

سُبْحَانَكَ رَبَّنَا وَ بِحَمْدِكَ، اللهُمَّ اغْفِرْ لِيْ.

Amat Suci Engkau, ya Tuhan kami, dan dengan puji-pujian kepada Engkau. Ya Tuhanku, ampunilah kiranya aku ini.

Berkata Ibnu Umar: “Surat Idzā Jā’a ini turun di Mina ketika Haji Wada’ (Haji Rasulullah yang terakhir, atau Haji Selamat Tinggal). Kemudian itu turunlah ayat “Al-Yauma Akmaltu Lakum Diinakum.” (Surat 5, ayat 3). Setelah ayat itu turun, 80 hari di belakangnya Rasulullah s.a.w. pun wafat. Sesudah itu turun pulalah ayat Al-Kalālah (Surat 4, an-Nisa’, ayat 175 penutup Surat), maka 50 hari sesudah ayat itu turun, Rasulullah s.a.w. pun kembalilah ke hadhrat Tuhan. Kemudian turunlah ayat “Laqad Jā’akum Rasūlun Min Anfusikum.” (Surat 9, at-Taubah, ayat 128), maka 35 hari setelah ayat itu turun beliau pun meninggal. Akhir sekali turunlah ayat “Wattaqqū Yauman Turja‘ū-na Fīhi Ilallāh.” (Surat 2, al-Baqarah ayat 281). Maka 21 hari setelah ayat itu turun, beliau pun meninggal.

Catatan:

  1. 1). Hari Tasyrīq, yaitu hari ke 11, 12, dan 13 Dzul-Hijjah, seketika kita bermalam di Mina Nafar-Awwal. Kalau pulang hari ke-13 dinamai Nafar-Tsānī. Dima‘lumi oleh orang yang naik haji. Disebut hari “Tasyrīq”, yang berarti menunggu naiknya Matahari di Timur, karena waktu itu orang menjemur dendeng daging qurban.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *