TAFSIR SURAH KE-114
سُوْرَةُ النَّاسِ
An-Nās/Men/Manusia
AYAT 1 s/d 6
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
1. Iftitāḥ
Surah an-Nās bersama dengan surah al-Falaq sebelumnya, disebut dengan surah Mu‘awwidzatain (dua tempat perlindungan). Surah ini menempati urutan terakhir atau ke 114 dalam tartib Mushḥaf ‘Utsmāni. Ia termasuk dalam kelompok Makkiyyah dan turun dalam urutan ke-21 dari nuzūl-ul-Qur’ān yang turun sesudah surah al-Falaq dan sebelum surah al-Ikhlāsh. Di samping memakai nama an-Nās, surah ini diberi nama juga dengan al-Mu‘awwidzah ats-Tsāniyyah (Tempat Perlindungan yang kedua). Menurut Ibnu ‘Abbās jumlah ayatnya adalah 6 ayat, jumlah kata yang terdapat di dalamnya 20 kata, sementara jumlah hurufnya ada 79 huruf.
Adapun asbāb-un-nuzūl surah an-Nās ini adalah ketika Nabi Muḥammad s.a.w. jatuh sakit. Lalu dua orang Malaikat datang menghampiri beliau dan berbincang tentang sihir yang dilakukan oleh seorang Yahudi yang bernama Lubaid al-A‘shamm, sebagaimana kandungan hadits berikut: “Ibn ‘Abbās telah menceritakan bahwa Rasūlullāh s.a.w. mengalami sakit keras, lalu dua malaikat datang menemuinya. Salah seorangnya duduk di sebelah kepalanya, sedangkan yang lainnya di sebelah kakinya. Malaikat yang berada di sebelah kakinya berkata kepada malaikat yang berada di sebelah kepalanya: “Apakah yang kamu lihat?” Malaikat yang berada di sebelah kepalanya menjawab: “Thabb”. Malaikat yang berada di sebelah kakinya bertanya: “Apakah thabb itu?” Ia menjawab: “sihir” Malaikat yang berada di sebelah kakinya bertanya: “Siapakah yang menyihirnya?” Ia menjawab: “Lubaid al-A‘shamm, orang Yahudi.” Malaikat yang berada di sebelah kakinya bertanya: “Di manakah sihir itu disimpan?” Malaikat yang berada di sebelah kepalanya menjawab: “Di dalam sumur keluarga si Fulan, ia terletak di bawah sebuah batu besar dalam keadaan terbungkus”. Kemudian mereka berdua mendatangi sumur itu lalu menguras airnya dan mengangkat batu besar, selanjutnya mereka mengambil buntelan itu, lalu membakarnya. Dan pada waktu Shubuḥ, pagi hari dari malam itu, Rasūlullāh s.a.w. mengutus ‘Ammār bin Yāsir beserta beberapa orang lainnya untuk mengambil buntelan sihir itu. Lalu mereka mendatangi sumur itu. Sesampainya di sana tiba-tiba mereka melihat air sumur itu seakan-akan berwarna merah darah. Selanjutnya mereka menguras air sumur tersebut, lalu mengangkat batu besar yang ada di dalamnya, kemudian mengeluarkan buntelan sihir, lalu langsung membakarnya. Ternyata di dalam buntelan itu terdapat seutas tali yang padanya ada sebelas buhul atau ikatan. Kemudian diturunkan kedua surat ini kepada Rasūlullāh s.a.w., setiap kali beliau membaca satu ayat dari kedua surah tersebut, terlepaslah satu ikatannya. Kedua surah tersebut, yang pertama dimulai dengan firmannya: “Katakanlah aku berlindung kepada Tuhan Yang menguasai Shubuḥ” dan surah yang kedua diawali dengan firman-Nya: “Katakanlah aku berlindung kepada Tuhan manusia.”
Adapun munāsabah surah an-Nās ini dengan surah yang lalu adalah bahwa kedua surah ini sama-sama menekankan Allah sebagai satu-satunya pelindung. Kita disuruh berlindung kepada Allah dari kejahatan yang terjadi pada malam hari, kejatahan para penyihir dan kejahatan orang-orang yang dengki.
Pada surah an-Nās ini kita berlindung kepada Allah dari yang menciptakan dan menumbuhkan waswas dalam hati manusia itu adalah syaithan, baik syaithan dari jenis jinn, maupun syaithan dari jenis manusia.
2. Tauhid Rubūbiyyah, Malkiyyah dan Ulūhiyyah.
قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ. مَلِكِ النَّاسِ. إِلهِ النَّاسِ.
114-1. Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia.
114-2. Raja manusia.
114-3. Sembahan manusia.
Ayat 1
قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ.
114-1. Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia.
Manusia adalah zoon politicon makhluk social, demikian kata Aristoteles, atau al-Insān madaniyyah bith-thab‘i (manusia secara tabiat bermasyarakat), demikian kata Ibnu Khaldūn. Oleh sebab itu hidup bermasyarakat adalah keniscayaan bagi manusia. Manusia baru dikatakan manusia, bila dia hidup dengan orang lain. Manusia yang hidup sendirian, tidak acuh kepada kehadiran orang lain di sampingnya, jelas tidak manusiawi.
Oleh sebab itu setiap manusia memerlukan manusia lain. Manusia ternyata saling membutuhkan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Inilah yang disebut dengan interaksi sosial. Dalam kaitan dengan interaksi sosial itu, terjadi hubungan baik atau sebaliknya. Ada orang yang senang dan ada orang yang tidak senang kepada kita. Sebaliknya kitapun demikian juga. Dalam hubungan ketidaksenangan, ada yang hanya sebatas tidak saja dalam batas-batas perasaan (emosi), tetapi juga ada yang meningkat kepada pencelakaan secara pisik.
Tentulah perbuatan jahat tidak dibenarkan dalam agama. Oleh sebab itulah Allah s.w.t. memberikan tuntunan untuk berlindung kepada Allah dari kejahatan sesama manusia ini. “Katakanlah (hai Muḥammad): “Aku berlindung kepada (Allah) Rabb manusia.” Kalau ada apa-apa, jangan berlindung kepada manusia, tetapi berlindunglah kepada Tuhan manusia. Dia adalah Rabb manusia. Arti pokok dan asli dari kata Rabb, menurut ‘Allāmah Abū A‘lā al-Maudūdī, adalah mendidik. Dari kata itu timbul pula pengertian membimbing, mengawasi, memperbaiki, mematangkan dan menyempurnakan. Allah sebagai rabb adalah pengatur, penjaga dan pemelihara makhluk. Ialah yang memenuhi kebutuhan, mengawasi dan melindunginya.
Oleh sebab itu tidak boleh ada pengandaian dalam keyakinan terhadap Rabb tersebut. Hanya Dia saja pemelihara, penjaga dan pengatur alam semesta, tidak boleh ada sekutu bagi-Nya dalam pengaturan tersebut. Inilah yang disebut dengan Tauḥīd Rubūbiyyah,
Ayat 2.
مَلِكِ النَّاسِ
114-2. Raja manusia.
Kata malik dalam ayat ini bila dibaca dengan memanjangkan mā atau dengan memendekkan ma. Kalau dibaca dengan memendekkan ma berarti raja, dan bila dibaca dengan memanjangkan mā, berarti pemilik. Oleh sebab itu ayat ini boleh diartikan raja manusia, dan boleh juga diartikan pemilik manusia. Baik kedua arti sama-sama mengandung makna menguasai dan memiliki. Bila disebut penguasa, terkandung makna memiliki apa yang dikuasai. Sebaliknya bila disebut pemilik, terkandung makna mengasai apa yang dimiliki.
Dalam kerangka tauhid hanya Allah saja pemilik dan penguasa alam semesta dan juga pemilik dan penguasa kehidupan manusia. Hanya aturan Allah saja yang layak dipergunakan dan diberlakukan dalam mewujudkan kesejahteraan hidup individu dan hidup sosial. Dengan demikian agama Islam yang diwahyukan oleh Allah, Yang Maha Memiliki dan Maha Menguasai itu, mengandung prinsip-prinsip dalam membangun masyarakat. Islam pada dasarnya adalah aqidah, yang dari aqidah itu lahir undang-undang Islam, yakni syari‘ah. Di atas syari‘ah kemudian berdirilah pemerintahan yang Islami. Inilah yang disebut dengan Tauḥīd Mulkiyyah.
Ayat 3
إِلهِ النَّاسِ.
114-3. Sembahan manusia.
Setelah menyebut diri-Nya sebagai Rabb, kemudian Mālik, maka puncaknya adalah sebagai Ilāh, yang berarti Tuhan. Tuhan itu ialah Allah, Eksistensi yang layak dan patut untuk disembah. Hanya dia saja yang layak dan patut menjadi Tuhan, sedangkan yang lain di luar diri-Nya tidak layak dan tidak patut menjadi Tuhan.
Ajaran Islam mengajarkan tentang tauḥīd (Keesaan Allah) dan mempersembahkan suatu konsepsi tentang Tuhan yang terhindar dari pandangan anthropomorpik sehingga dari aspek dan respek apapun Ia tidak dapat dipersamakan dengan alam. Pemberitaan al-Qur’ān tentang Allah beranjak dari dasar pemahaman bahwa Allah itu sungguh-sungguh ada dan Ia adalah Maha Esa. Dialah Penguasa alam semesta, dan segala proses yang terjadi di dalam berada di bawah aturan dan ketentuan-Nya. Di luar itu semua bukanlah aturan dan ketentuan Tuhan. Inilah yang disebut dengan Tauḥīd Ulūhiyyah.
4. Kejahatan Syaithan dan Manusia.
مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ. الَّذِيْ يُوَسْوِسُ فِيْ صُدُوْرِ النَّاسِ. مِنَ الْجِنَّةِ وَ النَّاسِ
114-4. Dari kejahatan (bisikan) syaithan yang biasa bersembunyi.
114-5. Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.
114-6. Dari (golongan) jin dan manusia.
Ayat 4
مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ.
114-4. Dari kejahatan (bisikan) syaithan yang biasa bersembunyi.
Kepada Allah, yang Rabb, Mālik dan Ilāh itulah manusia minta perlindungan diri. Meminta perlindungan tentang apa? Perlindungan “dari kejahatan (bisikan) syaithan yang biasa bersembunyi”. Syaithan adalah makhluk halus yang bersifat rohani. Makhluk yang sudah mendapat dispensasi dari Allah s.w.t. untuk menggoda manusia sepanjang masa, sampai Hari Kiamat. Ia merasuk ke dalam hati manusia membisikkan berbagai kejahatan agar orang yang mendengarnya melakukan kejahatan itu.
Syaithan memang mempunyai metodologi yang sangat canggih dalam menggoda dan mengelincirkan manusia. Ia bisa masuk melalui jalan ketaatan, ataupun jalan kedurhakaan. Juga bisa masuk melalui jalan kemiskinan maupun jalan kekayaan. Ada orang yang tergelincir dalam ketaatan, ketika di tengah keasyikan dia beribadah, syaithan menyisipkan ria di dalamnya. Ada orang yang tergelincir dalam kedurhakaan, sehingga dia lebih terpuruk sedalam-dalamnya dalam kedurhakaan itu. Sebagaimana juga ada orang yang tergelincir dalam nikmat kekayaan, seperti juga ada orang yang tergelincir dalam musibah kemiskinan.
Ayat 5.
الَّذِيْ يُوَسْوِسُ فِيْ صُدُوْرِ النَّاسِ.
114-5. Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.
Ke mana sasaran syaithan itu bertindak, yakni “yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.” Yang dimasuki oleh syaithan itu adalah hati manusia. Ia masuk ke dalam hati membisikkan kejahatan, sehingga kejahatan menjadi milik diri pemilik hati itu. Jadilah manusianya menjadi pelaku kejahatan karena hatinya sudah dikuasai dan dipengaruhi oleh syaithan. Bahkan bila itu yang terjadi, manusia sendiri akan berobah menjadi syaithan, dalam arti perilakunya menjadi perilaku syaithan.
Bahkan yang lebih ekstrim lagi bila kejahatan yang sudah masuk ke dalam hati menjadi berobah sebagai kebaikan dalam hati orang yang sudah mendapat bisikan syaithan tersebut. Artinya yang tadinya kejahatan, tetapi sekarang kejahatan itu dipandang sebagai kebaikan. Sehingga orang yang telah kena pengaruh perdayaan syaithan tersebut berjuang habis-habisan dalam garis kejahatan yang dipandangnya sebagai kebaikan itu.
Seperti apa yang dilakukan oleh orang-orang yang disebut sebagai teroris. Mereka telah bertindak melampaui batas, sehingga melakukan pembunuhan terhadap orang-orang yang tidak berdosa. Hal itu malah mereka pandang sebagai perbuatan yang mulia yang diganjar sebagai syahid. Padahal Allah sudah menegaskan bahwa barang siapa yang membunuh sebuah nyawa berarti dia sudah membunuh seluruh ummat manusia. Sebaliknya barang siapa yang menghidupkan sebuah nyawa berarti dia sudah menghidupkan seluruh manusia.
Ayat 6.
مِنَ الْجِنَّةِ وَ النَّاسِ
114-6. Dari (golongan) jin dan manusia.
Ayat yang terakhir ini menjelaskan tentang siapa saja syaithan yang membisikkan kejahatan ke dalam hati manusia itu. Syaithan memang ditakdirkan sebagai makhluk kejahatan. Dalam posisinya sebagai makhluk kejahatan itu syaithan berasal dari dua jenis, yakni jenis jinn dan manusia. Perlu diketahui bahwa dalam pandangan Islam makhluk jinn ada yang baik dan ada yang jahat. Seperi juga manusia ada yang baik dan ada yang jahat.
Maka yang dimaksud oleh ayat ini tentulah jinn dan manusia yang jahat. Jinn dan manusia penggoda, yang membisikkan ke dalam hati manusia suara-suara negatif untuk mendurhakai Allah yang sudah diakui sebagai Rabb, Mālik dan Ilāh. Ia masukkan pengaruhnya ke dalam hati dan pikiran manusia untuk memilih jalan yang sesat, karena syaithan memang sudah meminta penangguhan kepada Allah untuk menyesatkan manusia.
Jalan satu-satunya tempat berlindung adalah hanya kepada Allah saja, bukan kepada yang lain. Inilah sikap hidup seorang muslim yang beriman dan mempunyai aqidah yang kokoh dalam naungan tauhid. Perlindungan Allah itu tidaklah datang serta merta, seperti jatuhnya durian yang sudah matang dari pohonnya.
Namun pertolongan Allah itu haruslah diupayakan dengan jalan mengamalkan seluruh tuntunan dan pedoman hidup, melalui apa yang terkandung dalam al-Qur’ān – dari surah al-Fātiḥah hingga surah an-Nās – serta penjelasannya yang termaktub di dalam Sunnah Rasūlullāh. Penjelasan Rasūlullāh yang termaktub dalam Sunnah beliau menjadi pegangan utama dalam memahami apa yang dimaksudkan oleh Allah s.w.t. di dalam al-Qur’ān.
4. Natijah.
- Tauhid sebagai akar tunggang ajaran Islam, meliputi makna Rubūbiyyah (Kepemeliharaan), Mulkiyyah (Kepemilikan) dan Ulūhiyyah (Ketuhanan). Allah sebagai pencipta dan pemelihara alam semesta merupakan Eksistensi Yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui. Dengan Irādah, Ilmu dan Qudrah-Nya alam dengan segala perangkat kebutuhan makhluk yang mengisinya sudah tersedia.
- Allah sebagai pemilik alam semesta merupakan Eksistensi yang menjadi sumber segala aturan dan tuntunan hidup dan kehidupan. Hanya dengan menjalankan aturan dan tutunan Allah itulah, kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat dapat diwujudkan. Sebaliknya bila mengingkari aturan dan tuntunan itu, manusia akan mendapat kesengsaraan dalam hidup, baik dalam kehidupan dunia yang fanā’ ini, maupun dalam kehidupan akhirat yang kekal.
- Allah sebagai Tuhan merupakan Eksisten yang hanya Dia saja satu-satunya yang layak dan patut untuk disembah. Yang lain, selain Dia, tidak layak dan tidak patut untuk disembah, tidak layak dan tidak patut untuk dipertuhan. Tidak ada Ilāh/Tuhan kecuali Dia.
- Karena Dia adalah Eksistensi Pemeliharaan, Eksistensi Pemilik dan Eksistensi yang Disembah, yang hanya kepada Dia kita menyembah dan hanya kepada Dia kita meminta pertolongan, maka perlindungan hanya ada pada Dia. Perlindungan dari seluruh kejahatan yang diperbuat oleh makhluk kejahatan atau syaithan. Apakah syaithan itu dari jenis jinn, ataukah syaithan dari jenis manusia.
- Allāhumma ya Allah, banyak gangguan dan cobaan yang kami terima dalam hidup ini. Kadang kami kuat menghadapinya, tapi terkadang kami tidak mempunyai kekuatan untuk melawannya. Kami mohon kepada-Mu ya Allah lindungilah perjalanan hidup kami. Peliharalah iman kami dari bermacam godaan yang menghampiri kami.