Surah an-Nas 114 ~ Tafsir al-Munir – Marah Labid

TAFSĪR AL-MUNĪR
(MARĀḤ LABĪD)
(Judul Asli: At-Tafsīr-ul-Munīru Lima‘ālim-it-Tanzīl)
Penyusun: Al-‘Allamah asy-Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi (Banten).

(Jilid ke 6 dari Surah al-Aḥqāf s.d. an-Nās)

Penerjemah: Bahrun Abu Bakar, L.C.
Dibantu oleh: H. Anwar Abu Baka, L.C.

Penerbit: Penerbit Sinar Baru Algensindo Bandung

سُوْرَةُ النَّاسِ

SURAH AN-NĀS

Surah ini termasuk ke dalam kelompok surah Madaniyyah, terdiri atas enam ayat, dua puluh kalimat, dan sembilan puluh sembilan huruf.

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang

 

قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ

  1. Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhannya manusia, (an-Nās [114]: 1).

(قُلْ) “Katakanlah” hai Rasūl yang paling mulia.

(أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ) “Aku berlindung kepada Tuhan Yang memelihara dan menguasai manusia” yakni aku berlindung kepada Tuhan Yang memelihara kemaslahatan manusia dan Yang menguasai pengaturannya.

Allah s.w.t. menyebutkan bahwa Dia adalah Tuhan yang menguasai dan memelihara manusia secara khusus, padahal Dia adalah Tuhan seluruh makhluk, karena isti‘ādzah atau memohon perlindungan dipanjatkan untuk menghindari kejahatan bisikan yang menggoda hati manusia. Seakan-akan dikatakan bahwa aku berlindung dari kejahatan penggoda manusia kepada Tuhan yang menguasai dan mengatur manusia, Dia adalah sembahan mereka.

Menurut qira’at yang lain dalam dua surah ini dibaca dengan membuang Hamzah kemudian harakatnya dialihkan kepada Lām.

مَلِكِ النَّاسِ

  1. Raja manusia. (an-Nās [114]: 2).

(مَلِكِ النَّاسِ) “Raja manusia” kalimat ini berkedudukan sebagai ‘athaf bayān yang didatangkan untuk menerangkan bahwa pemeliharaan Allah terhadap mereka sebagai Raja Yang Maha Sempurna dan pengaturan yang menyeluruh, tidak sebagaimana cara pemeliharaan yang dilakukan oleh raja-raja yang lain terhadap kerajaan mereka.

Dalam ayat ini tidak boleh dibaca dengan menetapkan Alif, berbeda halnya dengan Alif yang terdapat di dalam firman-Nya:

ملِكَ يَوْمِ الدِّيْنِ.

Pemilik hari pembalasan. (al-Fātiḥah [1]: 4).

Perbedaannya adalah firman Allah s.w.t. yang menyebutkan:

رَبِّ النَّاسِ

Tuhannya manusia, (an-Nās [114]: 1).

memberikan pengertian, bahwa Dia adalah Yang menguasai dan memiliki mereka, sehingga sudah seharusnya apa yang disebutkan sesudahnya memakai kata Raja untuk memberikan pengertian bahwa Allah s.w.t. dalam surah al-Fātiḥah menyebutkan:

رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

Tuhan semesta alam. (al-Fātiḥah [1]: 2).

kemudian disebutkan selanjutnya:

ملِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ.

Pemilik hari pembalasan. (al-Fātiḥah [1]: 4).

sehingga mengharuskan adanya pengulangan dalam surah tersebut? Jawabannya dapat dikatakan bahwa kalimat dalam surah al-Fātiḥah menunjukkan bahwa Dia adalah Tuhan semesta alam yang berarti segala sesuatu yang ada pada masa sekarang dan Dia adalah Yang Menguasai hari pembalasan.

Lafal Rabb di-mudhāf-kan kepada sesuatu yang ada pada masa sekarang dan lafal al-Mālik di-mudhāf-kan kepada sesuatu yang akan terjadi di akhirat, sehingga sudah dipastikan tidak ada pengulangan dan perbedaannya menjadi jelas. Bahkan qira’at itu boleh mengikuti penurunannya bukan mengikuti qiyas.

إِلهِ النَّاسِ

  1. Sembahan manusia. (an-Nās [114]: 3).

(إِلهِ النَّاسِ) “Sembahan manusia” kalimat ini berkedudukan sebagai ‘athaf bayan yang didatangkan untuk menerangkan bahwa kerajaan Allah s.w.t. berada sebagai sesembahan mereka yang menjadikan-Nya sebagai Tuhan dan memberikan pengertian kekuasaan yang Maha Sempurna untuk mengatur mereka secara menyeluruh, mematikan, menghidupkan dan meniadakan mereka.

Pada mulanya Allah menyifati diri-Nya sebagai Tuhan Yang menguasai dan Yang mengatur menusia. Selanjutnya Tuhan itu adakalanya sebagai Raja dan adakalanya bukan, maka Allah menerangkan melalui firman-Nya yang menyebutkan:

مَلِكِ النَّاسِ

  1. Raja manusia. (an-Nās [114]: 2).

Kemudian, raja itu adakalanya sebagai Tuhan dan adakalanya bukan, maka Allah s.w.t. menerangkannya melalui firman-Nya:

إِلهِ النَّاسِ

  1. Sembahan manusia. (an-Nās [114]: 3).

karena Tuhan itu hanya khusus bagi Allah s.w.t. tidak ada seorang pun yang menyekutukan-Nya dalam hal ini selain Dia sendiri.

Bahkan, sesungguhnya yang diketahui pertama kali oleh seorang hamba mengenai sembahannya ialah bahwa Dia adalah yang memberikan segala nikmat yang lahir maupun yang batin yang berada di sisi-Nya. Itulah pengertian Rabb. Setelah mengenal sifat ini seorang hamba beralih mengenal kemahakayaan-Nya dari makhluk. Sehingga tersimpulkanlah pengetahuan yang menyatakan bahwa Dia adalah Raja, karena Dia adalah Tuhan yang berhajat kepada-Nya selain Dia dan Dia Maha Kaya dari selain-Nya.

Kemudian, seorang hamba akan mengenal bahwa Dia adalah Tuhan yang akal manusia tidak dapat menjangkau gambaran keagungan dan kebesaran-Nya, namun dia menjadi mengenal bahwa Allah adalah Tuhan yang sebenarnya.

مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ

  1. dari kejahatan (bisikan) syaithan yang biasa bersembunyi. (an-Nās [114]: 4).

(مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ) “dari kejahatan (bisikan) syaithan” dibaca dengan Wāwu yang di-fatḥah-kan dengan makna Muwaswis, yakni dari kejahatan syaithan yang suka membisikkan godaan.

(الْخَنَّاسِ) “yang biasa bersembunyi” yakni bersembunyi dan melarikan diri pada saat manusia menyebut nama Tuhannya. Melakukan waqaf di sini hukumnya kāfin, bagi orang yang me-rafa‘-kan lafal yang sesudahnya atau me-nashab-kannya dengan makna cacian.

Akan tetapi, tidak waqaf bagi orang yang menjadikan kedudukan kalimat yang sesudahnya sebagai na‘at dari waswas.

الَّذِيْ يُوَسْوِسُ فِيْ صُدُوْرِ النَّاسِ

  1. yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia. (an-Nās [114]: 5).

(الَّذِيْ يُوَسْوِسُ فِيْ صُدُوْرِ النَّاسِ) “yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia” yakni ke dalam hati orang yang lalai mengingat Allah.

Lafal an-Nās berasal dari an-Nāsī dengan memakai yā’ yang berarti orang yang lalai, dan gugurnya yā’ dari lafal an-Nāsī sama dengan yang terdapat dalam firman-Nya:

يُوْمَ يَدْعُ الدَّاعِ

(Ingatlah) pada hari (ketika) penyeru (malaikat) mengajak (mereka). (al-Qamar [54]: 6)

مِنَ الْجِنَّةِ وَ النَّاسِ

  1. dari (golongan) jin dan manusia. (an-Nās [114]: 6).

(مِنَ الْجِنَّةِ وَ النَّاسِ) “dari (golongan) jin dan manusia” menjadi bayān dari an-Nāsī , yakni keterangan bagi orang yang lalai mengingat Allah s.w.t. karena sesungguhnya keduanya merupakan dua jenis makhluk menyandang predikat lupa kepada hak Allah s.w.t.

Berdasarkan hal itu tidak perlu sebagian ulama memaksakan diri dengan menjadikan firman-Nya Min-al-Jinnati sebagai Bayān atau keterangan dari Waswas, dan menjadikan firman-Nya Wan-Nās di-‘athaf-kan kepadanya.

Seakan-akan dikatakan bahwa aku berlindung kepada Allah dari kejahatan yang senang membisikkan godaan ke dalam hati manusia, yaitu dari kalangan jin dan manusia yang jahat.

Orang yang menjadikan firman-Nya:

مِنَ الْجِنَّةِ وَ النَّاسِ

dari (golongan) jin dan manusia. (an-Nās [114]: 6).

Sebagai ‘athaf kepada lafal al-Waswas dengan memperkirakan keberadaan huruf ‘athaf sehingga bermakna: Aku berlindung kepada Tuhan Yang menguasai dan Yang memelihara manusia dari godaan syaithan yang biasa bersembunyi dari golongan jin dan manusia. Seakan-akan dia memohon perlindungan kepada Tuhannya dari godaan satu syaithan kemudian berlindung pula kepada Tuhannya dari godaan seluruh jin dan manusia.

Dalam kedua surah ini terkandung manfaat yang lembut, yaitu yang dimintai perlindungan pada surah yang pertama yaitu al-falaq adalah Tuhan Yang menguasai waktu shubuh, sedangkan yang dihindari adalah tiga macam penyakit, yaitu: Al-Ghāsiq, an-naffātsāt, dan al-ḥāsid. Yakni, kejahatan pada malam hari, wanita-wanita penyihir dan orang yang dengki.

Adapun yang dimintai perlindungan dalam surah an-Nās ini disebutkan dengan tiga sifat-Nya, yaitu Rabb, Raja dan Tuhan, sedangkan yang dihindari hanyalah satu penyakit saja yaitu godaan. Perbedaan di antara keduanya ialah pujian itu seharusnya diungkapkan sesuai dengan kadar permintaan yang diajukan. Pada surah pertama hal yang diminta adalah keselamatan jiwa dan tubuh, sedangkan pada surah yang kedua adalah keselamatan agama. Hal ini mengingatkan bahwa kemudaratan agama itu sekalipun kecil bahayanya lebih besar daripada kemudaratan dunia betapapun besarnya.

Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui, tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Besar.

 

صَدَقَ اللهُ الْعَظِيْمُ

Sesungguhnya penulisan kitab tafsir yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada kami telah diselesaikan dengan sistematika yang sederhana dan mudah untuk dicerna pada tanggal lima bulan Rabi‘-ul-Akhir, malam Rabu tahun 1305 Hijriyyah, oleh Muḥammad Nawawī yang sangat membutuhkan rahmat Allah s.w.t.

Mudah-mudahan Allah memberikan ampunan kepadanya dan kepada kedua orang tuanya serta guru-gurunya dan saudara-saudaranya dari kalangan kaum muslim.

Semoga salawat dan salam terlimpahkan kepada junjungan kita, Nabi Muḥammad s.a.w. juga kepada seluruh keluarga dan segenap sahabatnya. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, āmīn.

 

تَمَّتْ

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *