Surah an-Nas 114 ~ Tafsir al-Aisar

TAFSĪR AL-AISAR
(Judul Asli: أَيْسَرُ التَّفَاسِيْرِ لِكَلَامِ الْعَلِيِّ الْكَبِيْرِ)
Edisi Indonesia:
Tafsir al-Qur’an al-Aisar (Jilid 7)

Penulis: Syaikh Abū Bakar Jābir al-Jazā’irī

(Jilid ke 7 dari Surah Qāf s.d. an-Nās)
 
Penerbit: Darus Sunnah

SURAT AN-NĀS

MADANIYYAH
JUMLAH AYAT: 6 AYAT

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

Surat an-Nās: Ayat 1-7

قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ. مَلِكِ النَّاسِ. إِلهِ النَّاسِ. مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ. الَّذِيْ يُوَسْوِسُ فِيْ صُدُوْرِ النَّاسِ. مِنَ الْجِنَّةِ وَ النَّاسِ

114-1. Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhannya manusia.
114-2. Raja manusia,
114-3. sembahan manusia,
114-4. dari kejahatan (bisikan) syaitan yang bersembunyi,
114-5. yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.
114-6. dari (golongan) jin dan manusia.”

PENJELASAN KATA

(أَعُوْذُ) A‘ūdzu: Aku berlindung dan meminta pertolongan.

(بِرَبِّ النَّاسِ) Bi Rabb-in-Nās: Pencipta dan Pemilik manusia.

(مَلِكِ النَّاسِ) Mālik-in-Nās: Tuan, Pemilik dan yang menghukumi manusia.

(إِلهِ النَّاسِ) Ilāh-in-Nās: Sembahan manusia yang benar dan tidak ada sembahan yang benar, kecuali Dia.

(مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ) Min Syarr-il-Waswās: Dari kejahatan syaithan. Kata syaithan terbentuk dari kata bentukannya karena syaithan selalu (sering) membuat kejahatan.

(الْخَنَّاسِ) al-Khannās: Yang bersembunyi dan menjauh dari hati ketika mengingat Allah ta‘ala.

(فِيْ صُدُوْرِ النَّاسِ) Fī Shudūr-in-Nās: Ke dalam hati manusia apabila lalai dari mengingat Allah ta‘ala.

(مِنَ الْجِنَّةِ وَ النَّاسِ) Min-al-Jinnati wan-Nās: Dari syaithan jinn dan manusia.

MAKNA AYAT 1-6 SECARA UMUM

Firman-Nya: “Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhannya manusia.” Surat ini termasuk salah satu surat “al-Mu‘awwidzatain” (dua surat perlindungan). Surat yang pertama adalah surat al-Falaq dan surat yang kedua adalah surat an-Nās. Surat pertama mencakup empat perkara yang berisi permintaan perlindungan kepada Allah dari kejahatan empat perkara tersebut. Pertama, yaitu kejahatan seluruh makhluk-Nya yang bersifat jahat. Kedua, yaitu kejahatan yang terjadi pada kegelapan malam atau ketika bulan sedang tidak terlihat. Ketiga, yaitu kejahatan perempuan penyihir apabila ia meniup pada buhul-buhul (melancarkan aksi sihirnya). Keempat, yaitu kejahatan orang dengki apabila ia sedang dengki. Keempat perkara ini merupakan hal yang ditakuti akan kejahatannya dan gangguannya.

Adapun surat an-Nās hanya mencakup satu kejahatan. Akan tetapi, kejahatannya lebih membahayakan daripada keempat perkara di atas karena kejahatannya berhubungan dengan hati. Apabila hati telah rusak, maka akan rusak pula semuanya dan apabila baik, maka akan baik pula segala sesuatunya. Oleh karena itu, surat an-Nās dikhususkan untuk berlindung dari kejahatan bisikan syaithan jinn dan manusia yang dibisikkan ke dalam dada manusia.

Firman-Nya: “Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhannya manusia. Raja manusia, sembahan manusia,” (12111) Inilah perintah dari Allah ta‘ālā kepada Rasūl-Nya dan umatnya yang diperintahkan untuk mengikutinya. Kata “a‘ūdzu” artinya aku berlindung kepada Rabb manusia. Yaitu Pencipta, Pemilik, dan Sembahan manusia yang tidak ada sembahan selain-Nya. Allah ta‘ālā berfirman: “dari kejahatan (bisikan)” (12122) yaitu kejahatan setan yang suka membisikkan ke dalam dada manusia. Yaitu dengan suara lirih yang tidak terdengar, kemudian menghembuskan keraguan, rasa takut, dan prasangka buruk ke dalam hati. Sehingga akan membuat indah sesuatu yang buruk dan membuat buruk sesuatu yang indah. Hal ini terjadi apabila hati lupa dalam mengingat Allah.

Firman-Nya: “Syaitan yang bersembunyi,” inilah ciri khas syaithan dari kalangan jinn. Maksudnya ketika seorang manusia mengingat Allah, maka syaithan akan bersembunyi yang seakan-akan telah pergi, padahal syaithan tidak pergi (hanya bersembunyi). Maka ketika manusia sedang lalai dan tidak mengingat Allah, maka syaithan akan datang kembali untuk membisikkan (12133) kejahatan.

Firman-Nya: “Dari (golongan) jin dan manusia” sesungguhnya yang membisikkan ke dalam dada manusia bukan hanya syaithan dari kalangan jinn. Akan tetapi, dari kalangan manusia juga. Manusia suka membisikkan (12144) dan menganggap indah sesuatu yang buruk dan menganggap buruk sesuatu yang baik. Membisikkan keragu-raguan ke dalam hati manusia. Seperti dengan kata-kata buruk dan ungkapan-ungkapan yang menyesatkan. Bahkan kejahatan manusia terhadap sesama manusia jauh lebih besar daripada kejahatan syaithan terhadap manusia. Karena syaithan jinn akan lari dengan bacaan “ta‘awwudz”, tetapi syaithan dari kalangan manusia tidak akan lari dengan dibacakan “ta‘awwudz”. Ia hanya akan bermuka-manis dan berbasa-basi saja agar bisa terlepas dari bacaan tersebut.

Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari kejahatan seluruh makhluk yang memiliki sifat jahat, dari kejahatan jinn dan manusia. Ya Allah, lindungilah kami, karena tidak ada yang mampu melindungi kami, kecuali hanya Engkau wahai Rabb kami. Hanya kepada-Mu-lah kami memuji dan bersyukur.

PELAJARAN YANG DAPAT DIAMBIL DARI AYAT 1-7.

  1. Kewajiban untuk berlindung kepada Allah dari gangguan syaithan dari golongan jinn dan manusia.
  2. Penetapan tentang Rubūbiyyah dan Ulūhiyyah Allah.
  3. Penjelasan tentang kata “ta‘awwudz” yaitu membaca: (أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ) sebagaimana yang telah dijelaskan di dalam hadits shaḥīḥ ketika dua shahabat bertikai di depan “Raudhah Nabi.” Maka Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya aku mengetahui sebuah kalimat jika kalau dibaca bisa menghilangkan amarahnya. Yaitu membaca: “A‘ūdzu Billāhi Min-asy-Syaithān-ir-Rajīm.”

Catatan:

  1. 1211). Ketika umat manusia dipimpin oleh para raja. Pada saat itu, sebagian umat manusia ada yang menyembah selain Allah. Maka Allah ta‘ālā menyebutkan bahwa diri-Nyalah raja manusia dan sembahan yang benar. Tidak ada yang berhak disembah, kecuali Allah dan tidak ada tempat berlindung dan meminta pertolongan, kecuali kepada-Nya.
  2. 1212). Boleh dikatakan bahwa objek yang dimintakan pertolongan kepada Allah darinya adalah bukan sifat waswas. Akan tetapi, sesuatu yang menimbulkan waswas, yaitu syaithan. Maksudnya berlindung kepada Allah dari kejahatan syaithan yang suka menimbulkan rasa waswas. Makna waswas adalah bisikan di dalam hati.
  3. 1213). Di dalam sebuah hadits shahih dijelaskan bahwa rasa waswas (bisikan keburukan di dalam hati) yang belum diucapkan atau belum dilakukan akan dimaafkan oleh Allah dan tidak dianggap berdosa pelakunya. Sebagaimana sabda Nabi s.a.w.: “Sesungguhnya Allah ta‘ālā akan mengampuni kata hati umatku sebelum ia mengerjakannya atau mengucapkannya.”
  4. 1214). Muqātil berkata: “Sesungguhnya syaithan akan mengubah bentuknya menjadi babi dan akan berjalan di dalam tubuh anak Ādam (manusia) di dalam peredaran darahnya melalui urat-uratnya (vena, arteri, dan kapiler). Karena Allah telah memberikan kemampuan untuk melakukan hal tersebut kepada syaithan. Sedangkan di dalam hadits shahih dikatakan: “Sesungguhnya syaithan berjalan di dalam tubuh manusia seiring dengan peredaran darahnya”.”

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *