Keserasian dan keselarasan di alam ini tidak mungkin terjadi kecuali di baliknya ada tangan yang mengaturnya, ada kebijaksanaan yang menentukannya, dan ada irādah yang menatanya. Hal ini dapat diketahui oleh setiap insan dengan hati dan perasaannya ketika perasaannya diarahkan ke sana. Apabila ‘ilmu dan pengetahuannya meningkat, maka akan terkuaklah keserasian dan kerapian ini sedemikian luas dengan tingkatan-tingkatannya yang menjadikan akal dan pikiran kebingungan dan terkagum-kagum. Juga menjadikan pendapat yang mengatakannya sebagai kebetulan adalah pendapat yang tidak berbobot dan tidak perlu ditanggapi, sebagaimana sikap orang yang tidak mau menghiraukan adanya tujuan dan pengaturan pada alam ini hanyalah sikap keras kepala yang tidak perlu dihormati.
Alam ini ada penciptanya. Di belakang alam ini, terdapat penataan, penentuan, dan pengaturan. Hakikat-hakikat dan pemandangan-pemandangan ini disebutkan secara beruntun di dalam nash al-Qur’ān dengan urutan seperti ini. Ya‘ni, dijadikannya bumi sebagai hamparan, gunung sebagai pasak bagi bumi, manusia berpasang-pasangan, tidur mereka sebagai istirahat (sesudah bergerak, berpikir, dan melakukan aktivitas), malam sebagai pakaian untuk menutup dan menyelimuti, dan siang untuk mencari penghidupan, berpikir, dan beraktivitas. Kemudian dibangunnya tujuh langit yang kokoh, dijadikannya pelita yang amat terang (matahari), dan diturunkannya air yang tercurah dari awan untuk menumbuhkan biji-bijian, tumbuh-tumbuhan, dan kebun-kebun.
Keberuntunan hakikat-hakikat dan pemandangan-pemandangan yang seperti ini mengesankan adanya pengaturan yang cermat, mengisyāratkan adanya pengaturan dan penentuan, dan mengesankan adanya Sang Maha Pencipta Yang Maha Bijaksana lagi Maha Kuasa. Disentuhnya hati dengan sentuhan-sentuhan yang mengesakan dan mengisyāratkan adanya maksud dan tujuan di belakang kehidupan ini. Dari sini, bertemulah konteks ini dengan berita besar yang mereka perselisihkan itu!
Semua itu adalah agar manusia bisa berbuat dan bersenang-senang, dan di belakangnya terdapat perhitungan dan pembalasan. Hari keputusan itu sudah ditentukan waktunya.
إِنَّ يَوْمَ الْفَصْلِ كَانَ مِيْقَاتًا. يَوْمَ يُنْفَخُ فِي الصُّوْرِ فَتَأْتُوْنَ أَفْوَاجًا. وَ فُتِحَتِ السَّمَاءُ فَكَانَتْ أَبْوَابًا. وَ سُيِّرَتِ الْجِبَالُ فَكَانَتْ سَرَابًا.
“Sesungguhnya Hari Keputusan adalah suatu waktu yang ditetapkan, yaitu hari (yang pada waktu itu) ditiup sangkakala, lalu kamu datang berkelompok-kelompok. Dibukalah langit, maka terdapatlah beberapa pintu; dan dijalankanlah gunung-gunung, maka menjadi fatamorganalah ia.” (an-Naba’: 17-20).
Sesungguhnya manusia tidak diciptakan dengan sia-sia dan tidak dibiarkan tanpa pertanggungjawaban. Dzāt yang telah menentukan kehidupan mereka dengan ketentuan sebagaimana telah disebutkan di muka dan menyerasikan kehidupan mereka dengan alam tempat hidup mereka, tidak mungkin membiarkan mereka hidup tiada guna dan mati dengan sia-sia, membiarkan mereka berbuat kebaikan atau kerusakan di bumi, lantas mereka pergi ke dalam tanah dengan sia-sia begitu saja. Tidak mungkin Dia membiarkan mereka mengikuti petunjuk jalan yang lurus dalam kehidupan atau mengikuti jalan yang sesat, lantas semuanya dipertemukan dalam satu tempat kembali. Tidak mungkin mereka berbuat adil dan berbuat zhālim, lantas keadilan atau kezhāliman itu berlalu begitu saja tanpa mendapatkan pembalasan.
Sungguh di sana akan ada suatu hari untuk memberikan ketetapan membedakan (antara yang benar dan yang salah, yang adil dan yang zhālim, yang baik dan yang buruk), dan memberi keputusan terhadap segala sesuatu. Yaitu, hari yang sudah ditentukan dan ditetapkan waktunya oleh Allah:
“Sesungguhnya hari keputusan adalah suatu waktu yang ditetapkan.” (‘Abasa: 17).
Yaitu, hari yang ketika itu tatanan alam semesta sudah berbalik, ikatan-ikatan peraturannya sudah berantakan dan tidak berlaku lagi.
“Yaitu, hari (yang pada waktu itu) ditiup sangkakala lalu kamu datang berkelompok-kelompok.” (an-Naba’: 18).
Ash-Shūr artinya “sangkakala”. Kita tidak mengetahui nama lain selain itu. Kita tidak mengetahui kecuali akan ditiup. Kita tidak perlu menyibukkan diri untuk memikirkan bagaimana caranya. Karena, memikirkan cara peniupannya itu tidak akan menambah keimanan kita dan tidak ada pengaruhnya terhadap peristiwa itu. Allah telah memelihara potensi kita agar tidak kita gunakan secara sewenang-wenang untuk membicarakan apa yang ada di balik perkara ghaib yang tersembunyi ini. Dia telah memberikan kepada kita ukuran tertentu yang bermanfaat bagi kita, sehingga kita tidak menambah-nambahnya.
Kita hanya membayangkan tiupan sangkakala yang membangkitkan dan mengumpulkan manusia untuk datang berkelompok-kelompok. Kita bayangkan pemandangan ini dan manusia-manusia yang telah hilang jati diri dan sosoknya dari generasi demi generasi, dan meninggalkan permukaan bumi untuk ditempati oleh orang-orang yang datang sesudahnya agar tidak menjadi sempit bagi mereka permukaan bumi yang terbatas ini.
Kita bayangkan pemandangan yang berupa manusia secara keseluruhan (sejak manusia pertama hingga manusia terakhir) bangun dan berdiri, lalu datang berbondong-bondong dari setiap lembah menuju ke tempat mereka dikumpulkan. Kita bayangkan kubur-kubur yang berserakan dan manusia-manusia yang bangun darinya. Kita bayangkan semuanya berkumpul menjadi satu dan ketika itu yang pertama tidak mengenal yang belakangan.
Kita bayangkan ketakutan yang ditimbulkan oleh berkumpulnya manusia sedemikian rupa yang tidak pernah terjadi semua manusia berkumpul dalam satu waktu seperti yang terjadi pada hari ini. Di mana? Kita tidak tahu. Karena, di alam yang kita ketahui pernah terjadi berbagai peristiwa dan hal-hal menakutkan yang bersifat fisik itu, telah terjadi perubahan luar biasa:
“Dibukalah langit, maka terdapatlah beberapa pintu; dan dijalankanlah gunung-gunung, maka menjadi fatamorganalah ia.” (an-Naba’: 19-20).
Langit yang dibangun dengan kokoh, dibuka lalu terdapat beberapa pintu. Ia pecah terbelah, sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayat dan surah lain. Langit berubah keadaannya dengan keadaan yang belum pernah kita alami selama ini. Sedangkan, gunung-gunung yang menjadi pasak bumi dijalankan sehingga menjadi fatamorgana. Ia dihancurleburkan oleh angin, sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat dan surah-surah lain. Karena itu, ia tidak ada wujudnya lagi bagaikan fatamorgana, atau ia yang telah menjadi debu itu diterpa cahaya sehingga menjadi seperti fatamorgana.
Sungguh menakutkan dan mengerikan terjadinya keamburadulan alam yang dapat dipandang mati itu, sebagaimana menakutkannya ketika manusia dikumpulkan setelah ditiupnya sangkakala.
Inilah hari keputusan yang sudah ditentukan bakal terjadinya itu, dengan hikmah dan rencana Allah.
Ayat-ayat berikutnya melanjutkan perjalanan ke belakang peniupan sangkakala dan pengumpulan manusia di padang mahsyar. Maka, dilukiskanlah tempat kembali bagi orang-orang yang melampaui batas dan orang-orang yang bertaqwa. Pembahasan dimulai dengan membicarakan kelompok pertama yang mendustakan dan mempertanyakan berita yang besar itu:
إِنَّ جَهَنَّمَ كَانَتْ مِرْصَادًا. لِلْطَّاغِيْنَ مَآبًا. لَابِثِيْنَ فِيْهَا أَحْقَابًا. لَّا يَذُوْقُوْنَ فِيْهَا بَرْدًا وَ لَا شَرَابًا. إِلَّا حَمِيْمًا وَ غَسَّاقًا. جَزَاءً وِفَاقًا. إِنَّهُمْ كَانُوْا لَا يَرْجُوْنَ حِسَابًا. وَ كَذَّبُوْا بِآيَاتِنَا كِذَّابًا. وَ كُلَّ شَيْءٍ أَحْصَيْنَاهُ كِتَابًا. فَذُوْقُوْا فَلَنْ نَّزِيْدَكُمْ إِلَّا عَذَابًا.
“Sesungguhnya neraka Jahannam itu (padanya) ada tempat pengintai, lagi menjadi tempat kembali bagi orang-orang yang melampaui batas. Mereka tinggal di dalamnya berabad-abad lamanya. Mereka tidak merasakan kesejukan di dalamnya dan tidak (pula mendapat) minuman, selain air yang mendidih dan nanah, sebagai pembalasan yang setimpal. Sesungguhnya mereka tidak takut kepada hisab, dan mereka mendustakan ayat-ayat Kami dengan sesungguh-sungguhnya. Segala sesuatu telah Kami catat dalam suatu kitab. Karena itu, rasakanlah. Dan Kami sekali-kali tidak akan menambah kepada kamu selain dari ‘adzāb.” (an-Naba’: 21-30).
Sesungguhnya neraka Jahannam itu sudah diciptakan, sudah ada, dan padanya ada tempat pengintai bagi orang-orang yang melampaui batas. Ia menunggu dan menantikan mereka yang akan sampai juga ke sana, karena ia memang disediakan dan disiapkan untuk menyambut mereka. Seakan-akan mereka kembali ke tempat asalnya. Mereka datang ke tempat kembalinya ini untuk menetap di sini dalam masa yang amat panjang, beradad-abad:
“Mereka tidak merasakan kesejukan di dalamnya dan tidak (pula mendapat) minuman.” (an-Naba’: 24).
Kemudian dikecualikan, tetapi pengecualian ini lebih pahit dan lebih pedih:
“…..selain air yang mendidih dan nanah.” (an-Naba’: 25).
Kecuali air yang panas mendidih, yang memanggang kerongkongan dan perut. Nah, inilah kesejukan itu. Juga kecuali nanah yang meleleh dan mengalir dari tubuh orang-orang yang dibakar itu. Maka, inilah minumannya!
“…. sebagai pembalasan yang setimpal.” (an-Naba’: 26).
Mereka tidak takut pada tempat kembalinya nanti.
“…. dan mereka mendustakan ayat-ayat Kami dengan sesungguh-sungguhnya….” (an-Naba’: 28).
Tekanan keras pada lafal ini mengisyāratkan sangat kerasnya pendustaan dan kebandelan mereka.
Allah menghitung atas mereka setiap sesuatunya dengan hitungan yang amat cermat dan tidak satu pun yang terluput:
“Segala sesuatu telah Kami catat dalam suatu kitab.” (an-Naba’: 29).
Di sini datanglah ledekan yang memutuskannya dari segala harapan untuk mendapat perubahan atau keringanan:
“Karena itu, rasakanlah. Kami sekali-kali tidak akan menambah kepadamu selain dari ‘adzāb!” (an-Naba’: 30).
Sesudah dibentangkan pemandangan orang-orang yang melampaui batas di dalam air yang mendidih, dibeberkanlah pemandangan sebaliknya. Ya‘ni, pemandangan orang-orang bertaqwa yang ada di dalam surga:
إِنَّ لِلْمُتَّقِيْنَ مَفَازًا. حَدَائِقَ وَ أَعْنَابًا. وَ كَوَاعِبَ أَتْرَابًا. وَ كَأْسًا دِهَاقًا. لَّا يَسْمَعُوْنَ فِيْهَا لَغْوًا وَ لَا كِذَّابًا. جَزَاءً مِّنْ رَّبِّكَ عَطَاءً حِسَابًا.
“Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwā mendapat kemenangan, (yaitu) kebun-kebun dan buah anggur, gadis-gadis remaja yang sebaya, dan gelas-gelas yang penuh (berisi minuman). Di dalamnya mereka tidak mendengar perkataan yang sia-sia dan tidak (pula perkataan) dusta. Sebagai balasan dari Tuhanmu dan pemberian yang cukup banyak.” (an-Naba’: 31-36).
Apabila Jahannam itu menjadi pengintai dan tempat kembali bagi orang-orang yang melampaui batas, yang mereka tidak dapat lepas dan melintas darinya, maka orang-orang yang bertaqwā akan berkesudahan di tempat keberuntungan dan keselamatan yang berupa “kebun-kebun dan buah anggur”. Disebutkannya buah anggur secara khusus dan tertentu di sini adalah karena anggur itulah yang populer di kalangan orang-orang yang mendengar firman ini. Juga “gadis-gadis remaja yang sebaya” umur dan kecantikannya. “Dan, gelas-gelas yang penuh” berisi minuman.
Ini adalah keni‘matan-keni‘matan yang lahirnya bersifat indrawi, untuk mendekatkannya kepada apa yang dibayangkan manusia. Adapun hakikat rasa dan keni‘matannya belum pernah dirasakan oleh penduduk dunia karena terikat dengan batas-batas dan gambaran-gambaran duniawi. Di samping keni‘matan lahiriah yang demikian, mereka juga mengalami keadaan yang dirasakan oleh hati dan perasaan:
“Di dalamnya mereka tidak mendengar perkataan yang sia-sia dan tidak (pula perkataan) dusta.” (an-Naba’: 35).
Kehidupan surgawi adalah kehidupan yang terpelihara dari kesia-siaan dan kebohongan yang biasanya diiringi dengan bantahan dan sanggahan. Maka, hakikat (keadaan yang sebenarnya) di sini diungkapkan, tidak ada peluang untuk membantah dan mendustakan, sebagaimana tidak ada peluang untuk berkata sia-sia yang tidak ada kebaikan padanya. Inilah suatu keadaan dari keluhuran dan kesenangan yang cocok dengan negeri akhirat yang kekal.
“Sebagai balasan dari Tuhanmu dan pemberian yang cukup banyak.” (an-Naba’: 36).
Di sini kita menjumpai fenomena keindahan dalam ungkapannya dan kesamaan bunyi pada kata (جَزَاءً) dan (عَطَاءً), sebagaimana kita rasakan juga iramanya pada akhir setiap kalimatnya dengan bunyi yang hampir sama. Ini merupakan fenomena yang jelas di dalam juz ini seluruhnya secara global.
Untuk melengkapi pemandangan-pemandangan hari yang padanya sempurna segala urusan itu, dan yang dipertanyakan oleh orang-orang yang mempertanyakan, serta diperselisihkan oleh orang-orang yang memperselisihkan, maka datanglah pemandangan terakhir dalam surah ini. Ya‘ni, ketika malaikat Jibrīl dan malaikat-malaikat lainnya berdiri berbaris dengan khusyū‘ di hadapan Allah Yang Raḥmān, tanpa berkata sepatah kata pun – kecuali yang diidzinkan oleh Yang Raḥmān – di tempat yang menakutkan dan agung itu:
رَبِّ السَّمَاوَاتِ وَ الْأَرْضِ وَ مَا بَيْنَهُمَا الرَّحْمنِ لَا يَمْلِكُوْنَ مِنْهُ خِطَابًا. يَوْمَ يَقُوْمُ الرُّوْحُ وَ الْمَلآئِكَةُ صَفًّا لَّا يَتَكَلَّمُوْنَ إِلَّا مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمنُ وَ قَالَ صَوَابًا.
“Tuhan Yang Memelihara langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya; Yang Maha Pemurah. Mereka tidak dapat berbicara dengan Dia. Pada hari, ketika ruḥ dan para malaikat berdiri bershaff-shaff, mereka tidak berkata-kata kecuali siapa yang telah diberi idzin kepadanya oleh Tuhan Yang Maha Pemurah; dan ia mengucapkan kata yang benar.” (an-Naba’: 37-38).
Pembalasan yang dijelaskan pada segmen di atas adalah pembalasan bagi orang-orang yang melampaui batas dan orang-orang yang bertaqwā. Pembalasan ini adalah: “dari Tuhanmu, Tuhan Yang Memelihara langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya; Yang Maha Pemurah.”
Kalimat ini serasi benar dengan sentuhan dan hakikat yang besar ini. Hakikat rubūbiyyah “pemeliharaan Tuhan” yang esa, meliputi seluruh manusia sebagaimana ia meliputi langit dan bumi serta dunia dan akhirat, dan memberikan balasan kepada perbuatan melampaui batas dan perbuatan taqwā, serta berujung padanyalah urusan akhirat dan dunia. Kemudian, Dia adalah “Maha Pemurah, Pemilik dan Pemberi rahmat.”
Karena rahmat-Nya inilah, maka diberikan balasan kepada mereka ini dan mereka itu. Sehingga, pemberian hukuman kepada orang-orang yang melampaui batas itu bersumber dari rahmat Tuhan Yang Raḥmān ini. Karena rahmat ini pula, maka keburukan mendapatkan balasan yang tidak sama dengan balasan bagi kebaikan di tempat kembali nanti.
Di samping rahmat dan keagungan ini: “Mereka tidak dapat berbicara dengan Dia” pada hari yang menakutkan ketika malaikat Jibrīl a.s. dan malaikat-malaikat lain berdiri “bershaff-shaff tanpa berbicara sepatah kata pun” kecuali dengan adanya idzin dari Yang Maha Pemurah untuk mengucapkan perkataan yang benar. Maka, tidak ada yang diidzinkan oleh ar-Raḥmān kecuali yang sudah diketahui bahwa ia benar.
Sikap orang-orang yang didekatkan kepada Allah, yang bersih dari dosa-dosa dan kemaksiatan ini adalah diam tanpa berkata-kata sedikit pun kecuali dengan adanya idzin dari Allah dan dengan perhitungan. Suasananya dipenuhi dengan ketakutan, kesedihan, keagungan, dan ketundukan. Di bawah bayang-bayang pemandangan ini terdengarlah seruan yang berisi peringatan dan menggoncang orang-orang yang tertidur dan mabuk kepayang:
ذلِكَ الْيَوْمُ الْحَقُّ فَمَنْ شَاءَ اتَّخَذَ إِلَى رَبِّهِ مَآبًا. إِنَّا أَنْذَرْنَاكُمْ عَذَابًا قَرِيْبًا يَوْمَ يَنْظُرُ الْمَرْءُ مَا قَدَّمَتْ يَدَاهُ وَ يَقُوْلُ الْكَافِرُ يَا لَيْتَنِيْ كُنْتُ تُرَابًا.
“Itulah hari yang pasti terjadi. Karena itu, barang siapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Tuhannya. Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kepadamu (hai orang kafir) siksa yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya; dan orang kafir berkata: “Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu adalah tanah.” (an-Naba’: 39-40).
Inilah goncangan keras terhadap mereka yang hatinya dipenuhi keraguan dan selalu mempertanyakan “hari yang pasti terjadi” itu. Maka, tidak ada peluang untuk mempertanyakan dan memperselisihkannya. Selagi masih ada kesempatan: “maka barang siapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Tuhannya” sebelum neraka Jahannam mengintainya dan menjadi tempat kembalinya.
Inilah peringatan untuk menyadarkan orang-orang yang mabuk kepayang: “Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kepadamu (hai orang kafir) siksa yang dekat”. Maka, Jahannam itu senantiasa menantikan dan mengintaimu seperti yang kamu ketahui. Dunia ini secara keseluruhan adalah perjalanan yang pendek dan usia yang singkat!
Inilah ‘adzāb yang mengerikan dan menakutkan, sehingga orang kafir lebih memilih hilang eksistensinya daripada masih berwujud:
“Pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya; dan orang kafir berkata: “Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu adalah tanah.” (an-Naba’: 40).
Tidaklah orang berkata seperti ini kecuali dia berada dalam kesempitan dan kesedihan yang sangat.
Ini adalah kalimat yang memberikan bayang-bayang ketakutan dan penyesalan. Sehingga, ia berangan-angan untuk tidak pernah menjadi manusia, dan menjadi unsur yang diabaikan dan disia-siakan (tak diperhitungkan). Ia melihat bahwa yang demikian itu lebih ringan daripada menghadapi keadaan yang menakutkan dan mengerikan. Ini suatu sikap yang bertolak-belakang dengan keadaan ketika mereka mempertanyakan dan meragukan berita besar tersebut!!!