Surah an-Naba’ 78 ~ Tafsir al-Azhar (3/3)

Dari Buku:
Tafsir al-Azhar
Oleh: Prof. Dr. HAMKA

Penerbit: PT. Pustaka Islam Surabaya

Rangkaian Pos: Surah an-Naba' 78 ~ Tafsir al-Azhar

NIKMAT SYURGA BAGI YANG BERTAKWA

Selalu Al-Qur’an mengadakan timbalan di antara ancaman dan bujukan, atau siksaan dengan karunia.

“Sesungguhnya bagi orang-orang yang bertakwa ada tempat kemenangan.” (ayat 31). Ketakwaan, artinya usaha selalu memelihara hubungan yang baik dan mesra dengan Allah, sehingga hidup di dunia diatur dengan melaksanakan perintah Ilahi yang tidak berat itu dan menjauhi apa yang dilarang, menyebabkan selamat perjalanan hidup itu sampai kepada akhir umur. Di akhirat kelak telah disediakan baginya Mafaza: tempat berdiam dari orang-orang yang telah menang dalam menegakkan kebenaran.

Tempat kemenangan itu ialah: “Taman-taman dan anggur-anggur.” (ayat 32). Kebun-kebun yang subur, penuh dengan tumbuh-tumbuhan, kembang-kembang berbagai warna disertai buah-buahan yang lazat citarasanya adalah tempat nikmat itu. Dan di antara buah-buahan yang banyak berbagai ragam, ada satu yang istimewa, yaitu anggur-anggur. Karena anggur itu kecil mungil dan bijinya tidak mengganggu.

“Dan perawan-perawan muda yang sebaya.” (ayat 33).

Taman yang indah berwarna-warni, disertai buah-buahan yang lazat citarasanya barulah lebih berarti sebagai tempat orang yang menang dalam perjuangan menantang hawa nafsu dalam hidup di dunia ini, kalau di dalamnya terdapat pula gadis-gadis perawan muda, yang di dalam bahasa Arab disebut kawa’ib sebagai jama’ dari ka’ib, yang berarti gadis remaja yang susunya masih tegang. Dan mereka banyak, sebanyak diperlukan, dan usia mereka boleh dikatakan bersamaan belaka. Ditambah lagi: “Dan piala yang melimpah-limpah.” (ayat 34). Oleh sebab itu minuman senantiasa diedarkan dan tidak pernah kekurangan, sehingga seketika mengisikan dan tempatnya ke dalam piala, sampai melimpah karena penuhnya.

Niscaya datang pertanyaan: “Apa di surga ada minuman keras?” “Tentu bukan minuman yang menyebabkan mabuk dan hilang akal sebagai di dunia ini.”

Kemudian datang lagi ayat berikutnya yang membedakan suasana syurga dengan suasana dunia ini: “Tidak akan mereka dengar padanya kata-kata yang sia-sia dan tidak pula kata-kata dusta.” (ayat 35).

Tepat sekali ayat 35 ini sebagai pengiring dari ayat 34 yang menerangkan bahwa di taman-taman dan kebun-kebun yang indah itu dilengkapi dengan perawan-perawan jelita yang susunya masih padat, perawannya belum rusak, dan mereka banyak dan sebaya semua. Di dalam dunia ini kalau terdapat tempat yang demikian, di sanalah bersarangnya segala nafsu kelamin yang cabul, yang disebut sex.

Jika di dunia ini taman-taman cinta birahi yang kaya dengan segala buah-buahan dan anggur, minuman berbagai rupa, perempuan cantik yang menggiurkan dan menimbulkan nafsu, barulah meriah bila orang telah mabuk-mabuk. Orang meminum tuak dan segala minuman keras ialah untuk menghilangkan rasa malu di dalam berbuat segala macam kecabulan. Keluarlah di sana segala perkataan kotor dan jijik.

Maka suasana dalam syurga bukanlah demikian halnya. Bila disebutkan gadis-gadis remaja dan perawan-perawan sebaya itu, rasa seni dan keindahanlah yang tergetar, bukan hawa nafsu kelamin. Karena soal syurga bukanlah semata menghidangkan pemuas kelamin. Karena nafsu kelamin itu apabila telah terlepas sehabis bersetubuh, kepayahan dan kelelahan badanlah yang tinggal. Lalu menggerutu menyesali tenaga yang habis. Dan apabila diri telah mulai tua dan tenaga mulai hilang, walaupun bagaimana seorang gadis remaja memperlihatkan badannya di muka si tua itu, syahwat tidak tergerak lagi, sehingga timbullah kegemasan karena mulai “menghidupkan” alat yang telah mati. Di saat demikian timbullah kemarahan dan kemendongkolan perempuan itu, sebab nafsunya tidak dapat dilepaskan oleh si tua.

Lantaran itu sekali-kali tidaklah serupa nikmat kediaman di syurga itu dengan “nikmat” yang dirasakan di dunia sekarang ini. Orang tua 75 tahun karena dia kaya-raya berbini muda usia 20 tahun di dunia ini sama dengan hidup di neraka! Yang ada dalam syurga adalah kedamaian fikiran, ketenangan dan tenteram, tidak terdengar kata-kata sia-sia, sebagai banyak terdengar di dunia ini dan tidak pula mendengar kata-kata bohong, yang selalu dipergunakan orang untuk suatu kesenangan dan kemegahan bagi sendiri. Sehingga dapat dikatakan bahwa kesenangan duniawi, barulah didapat bila mau korupsi!

Diingatkan sekali lagi, bahwa semuanya ini adalah: “Ganjaran dari Tuhan engkau.” (pangkal ayat 36). Disebutkan ini agar kita dapat memperbedakannya dengan kepelisiran di dunia, yang sebahagian besar bukan karena ganjaran Tuhan, melainkan ganjaran syaitan, yang akhirnya bukan nikmat, melainkan niqmat, alangkah jauh beda di antara nikmat dan niqmat: “Pemberian yang cukup tersedia.” (ujung ayat 36). Artinya tidak pernah kering, tidak pernah tohor, seimbang di antara tenaga diri yang diberikan Allah dengan nikmat yang tersedia di luar diri itu. Bukan seperti yang terdapat di dunia tadi, seumpama kepelesiran yang berganda-lipat, dengan gadis-gadis remaja yang menggiurkan, namun bagi seorang yang usianya telah tua, hanya menyebabkan tetes air liur saja.

Pada ayat 37 Allah menyatakan siapa diri-Nya dan bagaimana luas sifat Rububiyah-Nya.

“Tuhan dari sekalian langit.” (pangkal ayat 37). As-Samāwāti adalah kata jama’ (banyak) dari as-Samā’. As-Samā’ artinya satu langit. As-Samāwaati artinya beberapa langit. Karena telah tersebut di dalam Al-Qur’an sendiri bahwa langit itu sampai tujuh banyaknya, lalu penafsir mengartikan dengan sekalian langit atau beberapa langit. Begitulah penterjemahan bahasa yang dapat dipakai oleh penafsir ini. Karena pemakaian kata jama’ dari baitun yang berarti satu rumah, jama’nya ialah buyūtun yang berarti banyak rumah. Dalam pemakaian kata sehari-hari bahasa Indonesia dan bahasa Melayu banyak rumah disebut rumah-rumah.

Kitābun untuk satu buku. Kutubun untuk banyak buku, dalam bahasa kita disebut untuk banyak: buku-buku. Tetapi untuk langit kalau banyak tidak dapat disebut artinya menjadi langit-langit. Karena langit-langit artinya bukanlah langit yang banyak, melainkan di dalam mulut kita yang sebelah ke atas! Itu sebabnya maka Samāwaati selalu saya artikan sekalian langit. Supaya ahli-ahli terjemah sama maklum adanya.

“Dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya.” Artinya, bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Tuhan dari semuanya: Dia yang mengatur, Dia yang mentadbirkan perjalanannya. Dan lagi: “Yang Maha Murah”. Atau diartikan juga Maha Penyayang, yaitu artian yang kita ambil untuk nama Allah: Ar-Rahman, “Tidaklah mereka berkuasa berkata-kata kepada-Nya.” (ujung ayat 37).

Artinya, akan dirasakanlah betapa hebat Kebesaran dan Keagungan Allah Tuhan Sarwa Sekalian Alam pada hari itu. Meskipun hari itu hari nikmat, hari orang yang bertakwa akan menerima ganjaran dan kurnia Ilahi, meskipun bagaimana rasa gembira, namun kebesaran Ilahi itu menyebabkan tiada seorang jua pun yang sanggup bercakap; mulut tertutup semuanya, ditambah lagi oleh rasa terharu setelah menerima nikmat kurnia-Nya yang tiada tepermanai kemuliaan dan ketinggian-Nya itu.

Lalu diuraikanlah di dekat penutup Surat betapa keadaan Alam Malakut atau Kerajaan Allah dan Kehebatan kekuasaan Ilahi di saat itu kelak.

“Di hari yang akan berdiri Roh dan Malaikat berbaris-baris.” (pangkal ayat 38). Menurut tafsir dari Ibnu Jarir At-Thabari yang dikatakan ROH dalam ayat ini ialah Malaikat Jibril sendirinya, yang disebutkan juga Ruhul-Qudus dan Ruhul-Amin. Disebut dia terlebih dahulu lalu diikuti dengan menyebut malaikat yang banyak, semuanya berbaris-baris menyatakan tunduk kepada Allah: “Tidak ada yang bercakap-cakap, kecuali barangsiapa yang diizinkan kepadanya oleh Yang Maha Murah.” Demikian hebatnya, di ayat 37 orang yang bertakwa tak berani bercakap, sekarang di ayat 38 Roh atau Jibril dan Malaikat yang banyak pun diam semua; Kebesaran Ilahi menyebabkan mulut terkunci, padahal nama Tuhan yang disebut waktu itu ialah “Ar-Rahman”, Yang Maha Murah, Yang Maha Penyayang, “Sedang dia adalah berkata yang benar.” (ujung ayat 38).

Setengah ahli tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud akan dikatakan Roh atau Malaikat itu ialah permohonan syafaat bagi hamba Allah, bilamana Tuhan ada berkenan mengizinkan.

Untuk menghilangkan keraguan dalam hati orang yang imannya baru saja akan tumbuh, datanglah ayat yang selanjutnya: “Yang demikian itulah hari yang benar.” (pangkal ayat 39).

Al-Yaumul Haqq: Hari Benar! Hari yang tidak usah diragukan lagi, sebagaimana hidup itu sendiri adalah Benar dan kenyataan, dan maut pun adalah benar dan kenyataan, dan janji-janji Allah semuanya adalah benar dan kenyataan. Semua tak usah diragukan lagi. Dia mesti kita tempuh, dan kita mesti sampai ke sana. Kalau kebenaran hidup telah kita lalui, kita pun melalui kebenaran maut, yang tidak diragukan lagi padanya. Setelah itu akan sampailah ke hari itu, yang hari serunai sangkakala ditiup, dan kita semuanya pun berkumpul ke sana buat diperhitungkan. Tak ada jalan lain buat mengelak. “Maka barangsiapa yang mau, dipilihnyalah kepada Tuhannya jalan kembali.” (ujung ayat 39).

Karena sudah pasti akan ke sana juga apakah lagi sikap yang akan diambil? Kalau memang ada kemauan, karena tempoh masih ada, yaitu hidup di dunia ini, tempuhlah jalan itu dengan berani, itu Jalan Allah! Atau jalan kembali kepada Allah. Karena pada hakikatnya, semua makhluk atau semua Anak Adam adalah datang ke dunia ini atas kehendak Allah dan akan pulang kepada-Nya dengan panggilan-Nya jua. Cuma ada manusia yang lupa, dan lalai dan lengah, sehingga waktunya habis dengan kealpaan. Dan dengan ayat ini kita disadarkan dengan halus oleh Tuhan “Barangsiapa yang mau marilah kembali ke jalan Tuhan! Tuhan masih menerima kedatangankembali hamba-Nya yang lengah dan alpa itu.

Kerjakanlah sembahyang, dan dalam sembahyang di tiap rakaat bacalah Al-Fatihah, yang terkandung di dalamnya permohonan Allah agar ditunjuki jalan yang lurus: “Ihdinash Shirāthal Mustaqīm.”

Dan apabila jalan itu sudah didapat, jangan dilepaskan lagi, jangan membelok lagi kepada yang lain, sebab “garis lurus ialah jarak yang paling dekat di antara dua titik.”

Dan ingatlah pula bahwasanya Tuhan pun selalu memanggil kita supaya kembali kepada-Nya: “Pulanglah! Kembalilah kepada Tuhanmu, wahai nafsu, wahai jiwa yang telah mencapai ketenteramannya.” Tuhan ingin sekali agar kamu datang berkumpul bersama hamba-hamba Tuhan yang sama-sama kembali, dan Tuhan ingin sekali agar semua hamba-Nya kembali ke dalam syurga yang telah disediakan-Nya. Sebagai tersebut pada ayat yang terakhir dari Surat 89, Surat Al-Fajr.

“Sesungguhnya telah kami ancam kamu sekalian, dengan azab yang telah dekat.” (pangkal ayat 40). Artinya, sebelum menghadapi hari Perhitungan atau Hari Kiamat itu, ada hari yang lebih dekat lagi, pasti kamu temui dalam masa yang tidak lama lagi. Hari itu ialah hari bercerai dengan dunia fana ini, hari Malaikat Maut mengambil nyawamu: “Di hari yang seseorang akan memandang apa yang telah dikerjakan oleh kedua tangannya.” Setelah nyawa bercerai dengan badan, maka lepaslah nyawa itu daripada sangkarnya dan bebaslah dia dari selubung hidup fana ini. Maka mulailah kelihatan jelas buruknya dan baiknya, bekas perbuatan tangan sendiri, semuanya kelihatan. Berbesar hati melihat bekas yang baik, bermuram durja melihat catatan yang buruk; manusia mungkin lupa namun dalam catatan Allah, setitik pun tiada yang hilang dan sebaris pun tiada yang lupa: “Dan akan berkata orang yang kafir.” Yaitu orang yang di kala hidupnya hanya menolak mentah-mentah seruan Rasul, dia melihat daftar dosa yang dia kerjakan: “Alangkah baiknya kalau dahulu aku hanya tanah saja.” (ujung ayat 40).

Timbullah sesal dan keluhan, pada saat sesal dan keluh tidak ada gunanya lagi: “Kalau aku dahulunya hanya tanah saja, kalau aku dahulunya tidak sampai menjadi manusia, tidak tercatat dalam daftar kehidupan, tidaklah akan begini tekanan yang aku rasakan dalam kehidupan, tidaklah akan begini tekanan yang aku rasakan dalam hidupku di alam barzakh ini.”

Sesal yang tak ada gunanya.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *