Dalam ayat 6 sampai ayat 16 diuraikan oleh Tuhan nikmat-Nya atas manusia di dalam alam yang ada di kelilingnya. Bahwasanya hidup manusia dalam alam ini tidaklah dibiarkan terlantar. Sejak dari terhamparnya bumi, terpancangnya gunung-gunung, kejadian manusia berpasang-pasangan, nyenyak tidur, gelap malam, terang siang, tujuh langit dan pancaran pelita agung sang surya dan lebatnya hujan, semuanya itu adalah nikmat bagi manusia selama hidup di dunia ini, yang kalau manusia sadar akan dirinya, akan tahulah dia betapa besarnya nikmat itu, sehingga dia dapat hidup nyaman di permukaan bumi ini. Dan bahwa hidup manusia kait-berkait dengan alam kelilingnya.
Tetapi jangan lupa! Yang awal mesti ada akhirnya. Bumi itu tidak akan senantiasa demikian saja. Akhirnya dia pasti hancur, dan yang sudah terang terlebih dahulu berjalan meninggalkan bumi ini ialah manusia sendiri. Kalau ajal manusia telah ditentukan, ajal bumi pun telah ditentukan pula. Kalau ajalnya datang, satu apa pun tidak ada yang sanggup bertahan.
“Sesungguhnya Hari Keputusan itu adalah satu waktu yang telah ditetapkan.” (ayat 17). Hari Keputusan itu ialah Hari Kiamat, dan waktunya telah ditentukan di dalam ketentuan Allah, tidak dikurangi dan tidak ditambah dan tidak pula ada yang mengetahui bila hal itu akan terjadi, selain dari Allah sendiri. “(Yaitu) hari yang akan ditiup padanya serunai sangkakala.” (pangkal ayat 8). Bertemulah beberapa ayat di dalam Al-Qur’an tentang serunai sangkakala, atau terompet atau nafiri atau apa yang dinamai tetuang yang bila ditiup akan kedengaran melengking keras suaranya. Serunai itulah pemberitahuan bahwa Hari Keputusan itu telah mulai datang: “Maka akan datanglah kamu berduyun-duyun.” (ujung ayat 18). Dengan demikian jelaslah bahwa tiupan serunai pertama itu adalah panggilan untuk berkumpul, sehingga datanglah manusia berduyun-duyun, rombongan demi rombongan.
Tentang tiupan serunai sangkakala itu Syaikh Muhammad Abduh menulis “Tiupan dalam tafsirnya: Tiupan pada serunai tersebut adalah suatu ibarat bagaimana Allah membangunkan manusia daripada mautnya di hari kiamat itu kelak, yang dapat diambil perumpamaan yang cepat ialah tiupan bunyi terompet, sebagaimana tersebut pada ayat 68 Surat 39, Az-Zumar, demi mendengar bunyi terompet itu mereka pun bangunlah lalu memandang ke sana ke mari dalam kehidupan yang baru. Dan kita pun wajiblah percaya bahwa meniup serunai itu memang akan kejadian, dengan tidak perlu kita kaji pula bagaimana cara penghembusan atau peniupan itu dan apa barangnya.”
Datanglah manusia berduyun-duyun berbondong-bondong ke tempat berkumpul yang dinamai mahsyar itu, tempat memperhitungkan amal dan usaha semasa hidup.
Keadaan pada waktu peniupan serunai sangkakala itu sudah lain:
“Dan akan dibukakan langit, maka jadilah dia beberapa pintu.” (ayat 19).
Dalam keadaan ilmu manusia yang seperti sekarang ini belumlah kita dapat mengetahui bagaimana keadaan langit yang akan terbuka itu. Sebab yang kita lihat pada langit di malam hari hanyalah bintang-bintang yang berserak-serak berjuta-juta banyaknya. Yang kita tahu langit yang kadang-kadang kita namai ruang angkasa itu amat luas atau tinggi, tidak ada batasnya. Kononnya, bila manusia berangkat dari titik tempat tegaknya sekarang ini, (misalnya di rumah saya di Kebayoran), lalu berangkat secepat cahaya mengedari “kolong” langit ini, 12 juta tahun baru sampai kembali ke tempat tegak semula tadi.
Apakah ini yang bernama langit pertama? Dan apakah ini yang akan terbuka lalu terjadi beberapa pintu? Ataukah bintang-bintang yang banyak itu gugur dan terkisar dari tempat jalannya semula, sehingga langit ketirisan? Atau bolong? Sehingga hilanglah daya tarik yang menimbulkan keseimbangan dalam perjalanan alam ini? Lalu semua jadi kucar-kacir dan hancur luluh? Wallahu A’lam.
Yang sudah terang, kalau langit sudah dibuka dan beberapa pintu sudah terjadi, maka perjalanan falak sudah berobah sama sekali, dan tentu itulah yang bernama permulaan kiamat.
“Dan akan dihapuskan gunung-gunung, maka jadilah dia sarab belaka.” (ayat 20).
Tadi pada ayat 7 sudah dijelaskan bahwa gunung-gunung itu dijadikan oleh Allah menjadi pasak bumi, atau tiang-tiang peneguh, pemantap, sehingga manusia dapat hidup dengan tenteram. Kalau gunung-gunung tidak ada, bahaya besarlah yang akan menimpa. Manusia tidak akan dapat hidup di muka bumi lagi. Sebab tidak ada lagi yang akan mendinding angin berhembus keras. Ingat sajalah betapa kerasnya angin di laut ketika kita berlayar. Sebab tidak ada yang menghambat angin itu. Dan gunung-gunung di tanah yang subur dapat menahan erosi, yaitu mengalirnya bunga tanah di bawah hujan sehingga tanah menjadi kering. Maka diterangkanlah dalam ayat 20 ini, bahwasanya setelah serunai sangkakala itu ditiup, gunung-gunung pun menjadi hapus. Lantaran itu maka muka bumi menjadi rata, tak bergunung-gunung lagi. Sudah pasti manusia tidak dapat hidup lagi dalam bumi yang tidak bergunung! Yang ada hanyalah padang belantara belaka. Yang kelihatan oleh mata tidak gunung lagi, melainkan sarab yang disebut orang dalam bahasa asing fatamorgana, yaitu bayang-bayang dari panas yang sangat teriknya, menyerupai air yang sedang tergenang dan sangat jernih. Sehingga apabila kita haus, kita menyangka sesampai kita di tempat itu kita akan bertemu air. Padahal setelah datang ke sana, setetes air pun tidak akan ditemui. Itulah sarab. Dan itulah yang telah diperumpamakan Allah atas orang-orang yang haus akan kebahagiaan jiwa, padahal tidak menurut tuntunan yang diberikan Allah, berjalan tengah kehausan di padang pasir, sebagai tersebut di dalam Surat 24 An-Nur, ayat 39.
Maka pada waktu itu langit tempat bernaung telah tembus dan berlobang-lobang menjadi banyak pintu. Gunung-gunung tempat berlindung dari dahsyatnya angin telah rata dengan tanah, sehingga pengharapan sudah menjadi fatamorgana belaka; disangka air, rupanya hanya pasir!
Pada ayat 17 sampai 20 diterangkan permulaan atau sebagai pendahuluan dari Hari Kiamat. Hari Kiamat artinya Hari Berbangkit, dinamai juga Hari Keputusan. Karena pada waktu itulah Allah akan memutuskan perkara tiap-tiap makhluk-Nya yang baik dan yang buruk. Maka mulai ayat 21 sampai 30 ini diterangkanlah akibat yang akan diterima oleh hamba Allah yang durhaka.
“Sesungguhnya neraka jahannam itu selalu mengawasi.” (ayat 21). Atau selalu menunggu dan memperlihatkan orang-orang yang kufur yang akan dilemparkan ke dalamnya. Lalu pada ayat selanjutnya diterangkanlah lebih tegas siapa yang akan masuk ke dalam itu: “Bagi orang-orang yang durhaka, adalah dia tempat kembali.” (ayat 22). Thaghiin kita artikan saja secara ringkas dengan orang-orang yang durhaka, meskipun isi makna mungkin lebih jauh dari itu. Sebab kata Thaghiin itu adalah satu sumber (mashdar) dengan thaghut, yang berarti orang atau barang yang dipuja-puja dan diagung-agungkan sehingga karena itu dia sombong dan berlaku sesuka hati. Sebab itu pula diktator atau orang yang bersimaharajalela karena kekuasaan dinamai juga Thaghiyah. Lantaran itu dapatlah difahamkan bahwa orang yang Thaghiin, yang akan masuk ke dalam neraka jahannam itu ialah orang yang hanya memperturutkan kemauan sendiri, tidak mau menuruti aturan yang umum, tidak mau memakai peratururan Allah dan peraturan Rasul. Orang beriman memakai Kitab Allah menjadi pedoman hidup, namun orang yang Thaghiin itu Kitab Allahnya ialah genggaman tinjunya. Ibarat orang bermain bola di tanah lapang menurut aturan-aturan yang tertentu, namun bagi dia peraturan itu tidak perlu, yang perlu ialah bola itu masuk, walaupun dengan dihantarkan ke muka gawang dengan pistol di tangan kanan dan bola itu di tangan kirinya.
Seluruh manusia mengatakan kemasukan bola cara demikian tidak sah, namun dia sendiri mengatakan sah, sebab dihantarkannya sendiri dengan pistol!
Orang yang semacam itulah yang dalam bahasa Arab disebut Thaghiin. Maka orang yang tidak peduli peraturan Allah dan Rasul, hanya peraturan buatannya sendiri, orang semacam itulah yang tempat kembalinya neraka jahannam.
“Akan tinggal mereka di sana beberapa huqub lamanya.” (ayat 23). Dalam ayat 60 daripada Surat 18 (Al-Kahfi) ada dituliskan bahwa Nabi Musa mau berjalan kaki, walaupun sampai satu huqub; dia tidak akan berhenti sebelum bertemu dengan guru yang dicarinya itu, (tengok dalam Juzu’ 15). Maka terdapatlah arti satu huqub menurut orang Arab ialah sekira 80 (delapan puluh) tahun. Sekarang dalam ayat ini bertemu kata jama’ daripada huquban, yaitu ahqaba. Artinya akan menderitalah orang yang durhaka itu terpendam dalam neraka jahannam berkali-kali delapan puluh tahun atau sebagai ditafsirkan oleh Al-Qurthubi: “Kinayatun ‘anit ta’bidd” sebagai kata ungkapan dari kekekalan. Bila telah masuk, payah akan keluar lagi.
“Tidak mereka akan merasakan dingin di sana.” (pangkal ayat 24). Artinya ialah panas selalu, tidak sekali jua merasakan dingin: “Dan tidak minuman.” (ujung ayat 24). Artinya bahwa segala minuman yang akan dapat menghilangkan dahaga tidaklah akan diberikan di sana: “Kecuali air mendidih dan air luka (nanah).” (ayat 25). Tentu haus tidak akan lepas kalau yang disuruh minum ialah air mendidih, air yang menggelegak, yang akan menghanguskan perut. Dan nanah atau air bekas luka dalam, sebangsa mala yang mengalir dari tubuh mayat yang terlambat dikuburkan, itu pun bukan melepaskan haus melainkan menambah azab.
“Suatu balasan yang setimpal.” (ayat 26).
Artinya bahwasanya azab siksaan yang demikian pedihnya dan dahsyatnya adalah setimpal belaka dengan dosa yang telah dibuat selama hidup di dunia. Dosa karena melanggar apa yang ditentukan Allah. Yang disuruh tidak dikerjakan, yang dilarang tidak dihentikan. Sehingga jalan mengelak daripada siksaan yang demikian itu, di akhirat tidak ada lagi. Kalau hendak mengelakkannya, maka kesempatan hanyalah ada selama ada di dunia ini juga. Kalau bukan dengan maksud agar hamba Allah dari sekarang jua mengelakkan azab yang seperti tiu, tidaklah ada perlunya Allah menerangkannya di dalam wahyu dari sekarang. Karena pada hakikatnya lebih mudahlah di waktu hidup di dunia ini mengelak dari dosa, daripada setelah di akhirat mengelakkan dari neraka.
Pada ayat yang selanjutnya diterangkan mengapa azab sebesar itu? Dan mengapa dikatakan siksaan yang demikian adalah azab yang setimpal?
Tuhan menjelaskan: “Karena sesungguhnya mereka tidak mengharap kepada perhitungan.” (ayat 27). Mereka tidak mempunyai harapan buat hari depan. Mereka tidak percaya bahwa segala amalan baik ataupun buruk di dunia ini kelak akan diperhitungkan di hadapan mahkamah Ilahi. Oleh sebab itu kalau mereka berbuat baik, bukanlah karena mereka mengharapkan mendapat ganjaran pahala dari Allah, dan kalau mereka berbuat jahat tidaklah mereka percaya bahwa kejahatannya itu diketahui oleh Allah dan akan diberi siksaan setimpal. Habislah dunia hingga ini, tidak ada sambungannya lagi.
“Dan mereka dustakan ayat-ayat Kami, sebenar-benar mendusta.” (ayat 28). Kalau disebut kata jama’ aayaatina, artinya bukanlah satu ayat, melainkan banyak ayat-ayat. Dalam bahasa kita menjadi ayat-ayat Kami. Ayat ada yang berarti tanda kebesaran Tuhan, seumpama gerhana matahari, atau anak lahir ke dunia kembar empat dan lain-lainnya. Itu adalah ayat Allah, yaitu tanda bahwa Allah Maha Kuasa. Maka si Thaghiin itu tidak mau percaya kepada Allah, padahal tandanya sudah kelihatan. Atau ada orang kaya tiba-tiba jatuh miskin, atau orang berpangkat sangat tinggi, tiba-tiba jatuh tersungkur dari jabatannya; itu pun ayat Allah. Namun si Thaghiin itu tidak juga mau insaf. Dan ayat pun boleh diartikan perintah Tuhan yang disampaikan oleh Rasul-rasul Allah, sejak dari Nuh sampai kepada Muhammad SAW, si Thaghiin itu tidak juga mau peduli. Dan Al-Qur’an pun tersusun daripada 6236 ayat, itu pun tidak dipercayainya! Saat sekali ayat-ayat Allah itu didustakannya, atau dengan mulutnya, ataupun dengan perbuatannya, atau dengan munafiknya: percaya mulutnya, hatinya tidak. Ini sama sekali adalah mendustakan, sebenar-benar mendustakan.
“Padahal tiap-tiap sesuatunya telah Kami kumpulkan di dalam kitab.” (ayat 29).
Ayat ini boleh diartikan dua: Pertama, tidaklah patut mereka mendustakan, kerana semuanya telah tertulis dengan jelas. Atau tidak patut mereka mendustakan, karena akal mereka yang murni atau yang dinamai fitrah tidak akan menolak kebenaran dari Tuhan itu. Hati nurani manusia tidak dapat menolak ayat-ayat Tuhan itu, karena dia telah terkumpul dalam kitab. Yaitu kitab-kitab suci yang dibawa Nabi-nabi, atau kitab pada alam terbuka ini, sebagaimana telah diuraikan dalam ayat-ayat 6 sampai ayat 16 di atas tadi.
Arti yang kedua ialah bahawa manusia tidak akan dapat mengelakkan diri daripada perhitungan Allah yang sangat teliti di akhirat kelak. Sebab segala sesuatu yang telah dikerjakan oleh manusia, buruknya dan baiknya, semua sudah tertulis di dalam kitab di sisi Tuhan. Ada malaikat-malaikat yang mulia, yang disebut kiraaman kaatibiin (lihat Surat 82, Al-Infithaar, 11) yang selalu menuliskan segala sesuatu yang telah diamalkan oleh manusia, sehingga mereka tidak memungkirinya lagi.
“Sekarang rasakanlah!” (pangkal ayat 30). Yaitu bila datang Hari Pembalasan (Yaumal Jazaa!) itu. Di saat itu kelak tidaklah akan dapat manusia berlepas diri lagi: “Maka tidaklah akan Kami tambahkan lagi, melainkan azab siksaan jua.” (ujung ayat 30).
Artinya, bahwa sesampai di dalam neraka jahannam itu janganlah mengharap azab akan dikurangi, melainkan sebaliknyalah yang akan terjadi, yaitu penambahan azab, berlipat-lipat ganda, dan terus, dan terus.
Ada orang yang dengan semena-mena mencoba menggoncangkan kepercayaan Islam dengan menyebutkan bahwa ayat-ayat yang seperti ini adalah membuktikan bahwa Allah yang digambarkan oleh orang Islam itu adalah kejam!
Seorang Islam yang tidak mengerti serangan teratur yang tengah dilakukan oleh pemeluk agama lain kepada Islam untuk menggoncang Iman kaum Muslimin, tidak dapat membantah tuduhan tersebut, lalu merasa pula kalau-kalau Allah itu kejam. Padahal ayat-ayat seperti ini sangat memberikan bukti bahwa Allah tidak kejam! Kalau kejam semata-mata kejam, tidaklah akan diperingatkannya kepada hamba-hamba-Nya dengan perantaraan Nabi-nabi-Nya, agar hamba-hamba-Nya ingat keadaan azab itu, supaya si hamba menjauhkan diri daripadanya. Karena selama hidup di dunia inilah saat-saat yang semudah-mudahnya untuk mengelakkan azab siksaan yang pedih itu, dengan cara mengikuti pimpinan yang disampaikan Allah dan dibawakan oleh Rasul-rasul. Padahal sebelum azab neraka di Akhirat, kerapkali manusia telah menerima panjar azab sedikit di dunia ini juga. Misalnya azab karena kusut fikiran, kacau akal, tergoncang urat saraf dan sakit jiwa, yang semuanya itu berasal daripada sebab pelanggaran garis-garis yang telah ditentukan oleh Tuhan.