Bagaimanapun beraneka ragamnya alasan yang diajukan seseorang, tidak akan diterima alasan-alasan itu, karena jiwanya sudah diserahkan kepadanya dan dia diserahkan kepada jiwanya, dan dia ditugasi untuk menunjukkan dan membimbing jiwanya kepada kebaikan. Kalau dia sampai kepada kejelekan, dia akan dimintai pertanggungjawaban dan dipatahkan argumentasi-argumentasinya:
“Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri, meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya. (al-Qiyāmah: 14-15)
Satu hal yang perlu diperhatikan bahwa segala sesuatunya berjalan dengan cepat dan singkat. Alinea-alinea, diksi-diksi (pemisahan kata-kata), irama musikalnya, pemandangan-pemandangan sepintas, demikian pula dengan aktivitas perhitungan: “Pada hari itu diberitakan kepada manusia apa yang telah dikerjakannya dan apa yang dilalaikannya” Semuanya terjadi demikian cepat dan global….. Hal itu dikarenakan ayat ini untuk menyanggah anggapan bahwa masa hidup di dunia ini amat panjang dan sikap meremehkan terhadap hari perhitungan.
Kemudian datanglah empat ayat khusus yang memberikan pengarahan kepada Rasūlullāh s.a.w. mengenai urusan wahyu dan dalam menerima al-Qur’ān ini:
لَا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ، إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَ قُرْآنَهُ، فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ، ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ.
“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) al-Qur’ān karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah penjelasannya.” (al-Qiyāmah: 16-19)
Sebagai tambahan terhadap apa yang sudah kami kemukakan dalam pendahuluan surah ini mengenai ayat-ayat ini, maka kesan yang ditinggalkannya di dalam jiwa adalah adanya jaminan mutlak dari Allah mengenai urusan al-Qur’ān ini dalam hal: mewahyukan, memelihara, mengumpulkan, dan menjelaskannya, dan menyandarkan semuanya secara total kepada Allah s.w.t. Tidak ada urusan bagi Rasūlullāh s.a.w. melainkan mengemban dan menyampaikan kepada manusia. Kemudian, perhatian dan keinginan yang kuat dari Rasūlullāh s.a.w. untuk meliputi semua yang diwahyukan kepadanya, dan mengambilnya dengan serius dan sungguh-sungguh, serta kekhawatirannya jangan-jangan ada kalimat atau kata-kata yang terlupakan, maka beliau terdorong untuk mengikuti bacaan malaikat Jibrīl ayat per ayat dan kata per kata sehingga dapat dipercaya bahwa tidak ada satu pun kata yang terluput, dan mantaplah hafalan beliau terhadapanya sesudah itu.
Dicatatnya peristiwa ini di dalam al-Qur’ān yang terbaca ini memiliki nilai tersendiri tentang mendalamnya kesan-kesan yang kami sebutkan di sini dan di dalam pendahuluan surah ini secara khusus.
Ayat-ayat berikutnya memaparkan pemandangan hari kiamat dengan segala sesuatu yang ada padanya termasuk keadaan jiwa yang sangat menyesali dirinya sendiri. Diingatkanlah mereka terhadap jiwa mereka dengan segala sikapnya yang cinta dan sibuk kepada kehidupan dunia dan mengabaikan kehidupan akhirat serta tidak memperhatikannya, dan dihadapkanlah kepada mereka keadaan mereka di akhirat nanti sesudah ini, dan bagaimana jadinya mereka nanti. Kondisi ini ditunjukkan kepada mereka dalam lukisan pemandangan yang hidup, dengan kesan yang kuat dan mendalam:
كَلَّا بَلْ تُحِبُّوْنَ الْعَاجِلَةَ، وَ تَذَرُوْنَ الْلآخِرَةَ. وُجُوْهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ، إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ. وَ وُجُوْهٌ يَوْمَئِذٍ بَاسِرَةٌ، تَظُنُّ أَنْ يُفْعَلَ بِهَا فَاقِرَةٌ.
“Sekali-kali janganlah demikian. Sebenarnya kamu (hai manusia) mencintai kehidupan dunia. dan meninggalkan (kehidupan) akhirat. Wajah-wajah (orang-orang mu’min) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat. Dan wajah-wajah (orang kafir) pada hari itu muram, mereka yakin bahwa akan ditimpakan kepadanya malapetaka yang amat dahsyat.” (al-Qiyāmah: 20-25)
Pertama kali yang perlu diperhatikan dari sudut penggunaan kata dalam alinea ini adalah disebutnya kehidupan dunia dengan “al-‘ājilah” (sesuatu yang cepat, hanya sepintas). Lebih dari itu, isyārat lafal tentang singkatnya kehidupan dunia dan cepatnya selesai, merupakan isyārat yang dimaksudkan, karena di sana ada kesesuaian antara bayang-bayang lafal dengan bayang-bayang keadaan yang ditunjukkan dalam rentetan ayat, dan firman Allah kepada Rasūl-Nya s.a.w.: “Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) al-Qur’ān karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya.”
Maka menggerakkan dan cepat-cepat terhadap sesuatu ini adalah salah satu dari bayang-bayang sifat manusia di dalam kehidupan dunia ini…. Ini adalah keserasian yang halus dan lembut di dalam perasaan, yang diperhatikan oleh al-Qur’ān di dalam metode penyampaiannya.
Kemudian sampailah kepada kondisi yang digambarkan oleh nash al-Qur’ān dengan pengungkapan yang unik ini:
“Wajah-wajah (orang-orang mu’min) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.” (al-Qiyāmah: 22-23)
Kepada Tuhannya…..? Ah, manakah ada posisi yang lebih tinggi daripada ini? Manakah kebahagiaan yang melebihi ini?
Jiwa orang mu’min kadang-kadang benar-benar merasa senang dan bahagia dengan adanya secercah keindahan ciptaan Ilahi di dalam semesta atau pada dirinya, yang dilihatnya pada malam purnama atau pada waktu gelap-gulita, atau ketika fajar merekah atau bayang-bayang yang terus memanjang, atau laut yang bergelombang, atau padang yang luas membentang, atau taman-taman yang indah berseri, atau mayang-mayang yang tampak asri, atau qalbu yang cerdas dan pandai, atau keimanan yang penuh kepercayaan, atau kesabaran yang penuh keindahan….. dan lain-lain wujud keindahan di semesta raya ini….. Maka penuhlah jiwanya dengan kesenangan, melimpahlah rasa bahagia, dikepakkannya sayap-sayap cahaya untuk terbang bebas di penjuru alam. Lenyaplah darinya duri-duri kehidupan, penderitaan dan keburukan, beban tanah dan timbunan daging dan darah, gejolak syahwat dan hawa-nafsu…..
Nah, bagaimanakah? Bagaimanakah ia ketika memandang – bukan kepada keindahan ciptaan Allah – melainkan kepada keindahan Dzāt Allah Sendiri?
Ingatlah sesungguhnya ini adalah posisi yang pertama-tama memerlukan pertolongan dari Allah, agar manusia itu dapat menguasai dirinya sehingga stabil dan meni‘mati kebahagiaan, yang tidak dapat diterangkan lagi sifat-sifatnya, dan tidak dapat digambarkan hakikatnya!
“Wajah-wajah (orang-orang mu’min) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.”
Nah, bagaimana mungkin ia tidak berseri-seri, ketika ia melihat keindahan Tuhannya?
Sungguh manusia dapat melihat sesuatu dari ciptaan Allah di dunia, seperti mayang elok, bunga yang segar, sayap yang mengepak, pikiran yang cerdas, atau perbuatan yang bagus. Dengan memperhatikan dan merenungkan semua ini, maka akan melimpahlah rasa bahagia dari dalam hati ke raut wajah, hingga tampak cerah dan ceria. Maka, bagaimana lagi kalau ia memandang keindahan Yang Maha Sempurna, yang tidak terikat dengan segala keindahan di alam wujud ini? Manusia tidak akan dapat mencapai tingkatan yang demikian itu kecuali setelah ia lepas dari semua kendala yang menghalanginya untuk mencapai tingkatan yang demikian tinggi lagi sangat agung dalam angan-angan. Semua kendala yang bukan hanya ada di sekitarnya, melainkan ada di dalam dirinya sendiri yang berupa dorongan-dorongan kepada kekurangan dan kejelekan, dan mendorongnya kepada sesuatu yang tidak dapat mengantarkannya untuk memandang Allah di akhirat nanti……
Adapun masalah bagaimana cara melihat? Dengan anggota tubuh yang mana ia melihat? Dan, dengan sarana apa ia melihat wajah Allah…..? Semua itu adalah pembicaraan yang tidak terlintas di dalam hati yang sedang disentuh kebahagiaan yang diinformasikan oleh al-Qur’ān, kepada hati yang beriman, dan kebahagiaan yang meluap kepada rūḥ, yang indah, nyata, dan merdeka.
Bagaimana keadaan orang-orang yang menghalangi dirinya sendiri untuk mendapatkan cahaya yang melimpahkan kegembiraan dan kebahagiaan ini? Mengapa mereka sibuk memperdebatkan seputar masalah yang mutlak yang tidak dapat dicapai oleh akal biasa?
Naiknya derajat manusia dan terlepasnya mereka dari keterikatan terhadap alam dunia yang terbatas ini, yang demikian ini saja sudah menjadi terminal harapan untuk dapat memperoleh hakikat yang mutlak pada hari itu. Sebelum mendapatkan kebebasan dan kemerdekaan seperti ini, sudah terasa sebagai sesuatu yang besar bagaimana dia membayangkan – ya, semata-mata membayangkan – bagaimana terjadinya pertemuan itu.
Dengan demikian, merupakan perdebatan yang sia-sia perdebatan panjang dan bertele-tele yang sibuk dilakukan oleh golongan Mu‘tazilah dan para penentangnya dari golongan Ahl-us-Sunnah dan para mutakallimīn (ahli ‘ilmu kalam) seputar hakikat masalah memandang dan melihat Allah di tempat seperti itu (surga).
Mereka mengukurnya dengan ukuran dunia; mereka bicarakan manusia menurut ketetapan akal di dunia; dan mereka bayangkan urusan itu dengan menggunakan sarana-sarana pengetahuan yang terbatas lapangnya.
Materi petunjuk kalimat ini sendiri terbatas pada apa yang dapat dipahami dan dibayangkan oleh akal kita yang terbatas ini. Apabila sudah lepas dan bebas dari bayangan-bayangan ini maka berubahlah tabiat kalimat tersebut. Kalimat ini tidak lain hanyalah sekadar rumusan-rumusan yang berbeda-beda bunyinya sesuai dengan pikiran-pikiran dan bayangan-bayangan yang terkandung di dalam pikiran manusia. Apabila kemampuannya berubah (berbeda) maka berbeda pulalah hasil bayangannya, dan berbeda pula materi yang ditunjuki kalimat itu. Kita memberlakukannya di bumi ini sesuai dengan rumusan-rumusan (bunyi) kalimat itu menurut ukuran kondisi kita. Maka, mengapa kita mau memasuki sesuatu yang kita tidak mengetahuinya secara pas hingga terhadap materi-materi yang ditunjuki kalimat-kalimat tersebut?
Marilah kita perhatikan luapan kebahagiaan yang menyenangkan, dan luapan kegembiraan yang penuh kesucian, yang lepas dari pandangan dan bayangan kita terhadap hakikat keadaan menurut ukuran kemampuan yang kita miliki. Marilah kita sibukkan rūḥ kita untuk melihat luapan kebahagiaan ini, karena melihat ini sendiri sudah merupakan ni‘mat, yang tidak dapat diungguli kecuali oleh keni‘matan memandang kepada Wajah Yang Maha Mulia…..
“Dan wajah-wajah (orang kafir) pada hari itu muram. Mereka yakin bahwa akan ditimpakan kepadanya malapetaka yang amat dahsyat.” (al-Qiyāmah: 24-25)
Itulah wajah-wajah yang layu, sayu, cemberut, muram, dan terhalang dari melihat wajah Allah, karena langkah-langkah dan tindakan-tindakan serta sikap hidupnya sewaktu di dunia dulu yang sibuk dengan hal-hal yang menjadikannya bermuram durja karena takut akan ditimpa bencana dan malapetaka yang amat dahsyat, yang meremukkan dan mematahkan tulang punggungnya….. Bencana yang amat dahsyat, yang akan menimpanya ketika mereka sedang bersedih hati dan bermuram durja, ketika berduka dan bersusah hati….
Inilah akhirat yang mereka abaikan dan tidak mereka hiraukan, dan mereka konsentrasikan pikirannya kepada kehidupan dunia yang mereka cintai dan mereka perebutkan. Di belakang mereka adalah hari kiamat ini, hari yang ketika itu berbeda-beda tempat kembali dan raut wajah manusia, dengan perbedaan yang amat jauh!! Di antaranya ada wajah-wajah yang berseri-seri memandang kepada wajah Tuhannya. Ada pula wajah-wajah yang muram, yang merasa yakin akan ditimpa malapetaka yang amat dahsyat!!