Surah al-Qiyamah 75 ~ Tafsir Sayyid Quthb (2/4)

Dari Buku:
Tafsīr fi Zhilāl-il-Qur’ān
Oleh: Sayyid Quthb
 
Penerbit: Gema Insani

Rangkaian Pos: Surah al-Qiyamah 75 ~ Tafsir Sayyid Quthb

Demikianlah yang dirasakan oleh hati – ketika ia menghadapi surah ini – bahwa ia terkepung dan tidak dapat lari. Ia akan dimintai pertanggungjawaban mengenai ‘amalnya dan tidak dapat lepas. Tidak ada tempat berlindung baginya dari Allah dan tidak ada yang dapat melindungginya. Penciptaannya dan langkah-langkahnya ditentukan dengan ‘ilmu Allah dan pengaturan-Nya, dalam penciptaan pertama maupun penciptaan kedua, sementara ia lengah, bermain-main, terperdaya, dan menyombongkan diri:

Dan, ia tidak mau membenarkan (Rasūl dan al-Qur’ān) dan tidak mau mengerjakan shalat. Tetapi ia mendustakan (Rasūl) dan berpaling (dari kebenaran). Kemudian ia pergi kepada ahlinya dengan berlagak (sombong)” (al-Qiyāmah: 31-33)

Di dalam menghadapi sejumlah hakikat, kesan-kesan, sentuhan-sentuhan, dan pengarahan-pengarahan itu, terdengarlah ancaman yang menakutkan:

Kecelakaanlah bagimu (hai orang kafir) dan kecelakaanlah bagimu, kemudian kecelakaanlah bagimu (hai orang kafir) dan kecelakaanlah bagimu.” (al-Qiyāmah: 34-35)

Realitas yang demikian ini dengan segala ma‘nanya benar-benar akan ia dapati.

Demikianlah surah ini mengobati kekerasan hati, keberpalingannya, kebandelannya, dan kelengahannya. Dikesankannya keseriusan dan kesungguhan dalam urusan ini, urusan kiamat, urusan jiwa, dan urusan kehidupan yang sudah ditentukan ukurannya dengan perhitungan yang cermat dan teliti. Kemudian urusan al-Qur’ān ini yang tidak berkurang satu huruf pun, karena ia adalah firman Allah Yang Maha Agung lagi Maha Luhur, yang responsif terhadap sisi-sisi alam semesta dengan kalimat-kalimatnya, ditetapkan di dalam rekaman alam yang pasti dan di dalam lembaran kitab yang mulia ini.

 

Telah kami kemukakan beberapa hakikat surah ini dan pemandangan-pemandangannya secara tersendiri semata-mata untuk memberikan penjelasan, sedang susunan surah memiliki nuansa tersendiri. Karena urutannya di dalam susunan, percampuran persoalannya di sana-sini, sentuhannya terhadap hati pada segi hakikat suatu kali, dan kembalinya kepadanya pada segi lain sesudah selang beberapa waktu….., semua itu merupakan kekhasan uslub qur’ānī di dalam berbicara kepada hati manusia, yang tidak dapat dicapai oleh uslub lain dan metode lain.

Marilah kita ikuti surah ini sebagaimana yang dipaparkan secara khusus oleh al-Qur’ān.

Hari Kiamat dan Jiwa Yang Menyesali Dirinya Sendiri.

لَا أُقْسِمُ بِيَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَ لَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ، أَيْحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَلَّنْ نَجْمَعَ عِظَامَهُ، بَلَى قَادِرِيْنَ عَلَى أَنْ نُسَوِّيَ بَنَانَهُ. بَلْ يُرِيْدُ الْإِنْسَانُ لِيَفْجُرَ أَمَامَهُ، يَسْأَلُ أَيَّانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ. فَإِذَا بَرِقَ الْبَصَرُ، وَ خَسَفَ الْقَمَرُ، وَ جُمِعَ الشَّمْسُ وَ الْقَمَرُ، يَقُوْلُ الْإِنْسَانُ يَوْمَئِذٍ أَيْنَ الْمَفَرُّ، كَلَّا لَا وَزَرَ، إِلَى رَبِّكَ يَوْمَئِذٍ الْمُسْتَقَرُّ. يُنَبَّأُ الْإِنْسَانُ يَوْمَئِذٍ بِمَا قَدَّمَ وَ أَخَّرَ، بَلِ الْإِنْسَانُ عَلَى نَفْسِهِ بَصِيْرَةٌ، وَ لَوْ أَلْقَى مَعَاذِيْرَهُ.

Aku bersumpah dengan hari kiamat, dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri). Apakah manusia mengira bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang-belulangnya? Bukan demikian, sebenarnya Kami kuasa menyusun (kembali) jari-jemarinya dengan sempurna. Bahkan manusia hendak membuat maksiat terus-menerus. Ia bertanya: “Bilakah hari kiamat itu?” Maka apabila mata terbelalak (ketakutan), dan apabila bulan telah hilang cahayanya, dan matahari dan bulan dikumpulkan, pada hari itu manusia berkata: “Ke mana tempat lari?” Sekali-kali tidak! Tidak ada tempat berlindung!. Hanya kepada Tuhanmu sajalah pada hari itu tempat kembali. Pada hari itu diberitakan kepada manusia apa yang telah dikerjakannya dan apa yang dilalaikannya. Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri, meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya. (al-Qiyāmah: 1-15)

Penyampaian sumpah disertai dengan sikap berpalingnya manusia darinya ini lebih menyentuh perasaan daripada sumpah langsung begitu saja. Sentuhan demikian inilah yang dimaksudkan dalam pengungkapan dengan metode seperti ini, yang begitu sempurna dengan metode khususnya, yang sering disebutkan secara berulang-ulang dalam beberapa tempat yang berbeda-beda di dalam al-Qur’ān …… Kemudian di belakangnya muncullah hakikat hari kiamat dan hakikat jiwa yang amat menyesali dirinya sendiri.

Hakikat kiamat akan dibicarakan dalam beberapa ayat di dalam surah ini. Sedangkan jiwa yang amat menyesali dirinya sendiri ini terdapat beberapa macam penafsiran ma’tsūrat….. al-Ḥasan al-Bashrī berkata: “Orang mu’min itu, demi Allah, tidaklah anda lihat melainkan menyesali dirinya (dengan mengatakan): “Apa yang saya kehendaki dengan ucapan saya? Apa tujuan saya makan? Apa tujuan saya merenung……?” Sedangkan orang yang durhaka cuek saja, tidak menyesali dan tidak mencela dirinya sedikit pun….” Al-Ḥasan berkata lagi: “Tidak seorang pun dari penduduk langit dan bumi melainkan akan mencela dirinya sendiri pada hari kiamat…..” ‘Ikrimah berkata: “Dia mencela dirinya sendiri mengenai kebaikan dan keburukan (dengan mengatakan): “Seandainya aku dulu begini dan begini…..” Demikian pula diriwayatkan dari Sa‘īd bin Jubair…. Dan dari Ibnu ‘Abbās, katanya: “Yaitu nafsu yang amat tercela….” Dan darinya lagi: “al-Lawwāmah (yang amat menyesali dirinya sendiri) itu ialah yang tercela.” Dari Mujāhid, katanya: “Menyesali apa yang luput dari dirinya sendiri dan mencelanya….” Qatādah berkata: “Yaitu jiwa yang durhaka.” Jarīr berkata: “Semua pendapat ini berdekatan ma‘nanya dan yang paling cocok dengan zhāhir ayat adalah jiwa yang mencela dirinya sendiri atas kebaikan dan keburukannya, serta menyesali kebaikan-kebaikan yang luput darinya.”

Ma‘na yang kami pilih mengenai maksud “nafsu yang amat menyesali dirinya sendiri” adalah pendapat yang dikemukakan al-Ḥasan al-Bashrī: “Sesungguhnya orang mu’min itu, demi Allah, tidaklah anda lihat melainkan mencela dirinya sendiri: Apa yang kukehendaki dengan kata-kata yang kuucapkan? Apa yang kukehendaki dengan makan ini? Apa yang kuinginkan dengan merenung begini? Sedang orang durhaka tidak ambil peduli dan tidak mencela dirinya sama sekali.”

Inilah nafsu lawwāmah (nafsu yang amat menyesali dirinya sendiri), yang sadar, yang menjaga diri, selalu takut, yang berhati-hati dan selalu memperhitungkan dirinya sendiri, selalu memperhatikan sekelilingnya, dan menjadi jelas baginya hakikat hawa-nafsunya, serta waspada terhadap tipu-dayanya. Maka inilah jiwa yang mulia menurut pandangan Allah, sehingga disebut-Nya bersama dengan menyebut hari kiamat, kemudian disebutkanlah kebalikannya, yaitu jiwa yang durhaka, jiwa manusia yang hendak terus berbuat durhaka dan maksiat dengan tidak menghiraukan kedurhakaannya, yang mendustkan Rasūl Allah, berpaling dari kebenaran, dan pergi kepada keluarganya atau kelompoknya dengan berlagak sombong, tanpa menghisab dan memperhitungkan dirinya, tanpa mencelanya, tanpa memprihatinkannya, dan tanpa ambil peduli.

Aku bersumpah dengan hari kiamat, dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).” (al-Qiyāmah: 1-2)

Allah bersumpah terhadap terjadinya hari kiamat ini. Akan tetapi ketika Ia berpaling dari sumpah, Ia berpaling dari menyebut apa yang dijadikan sumpah, dan disebutkannya dalam bentuk lain, seakan-akan sebagai pendahuluan untuk membicarakan sesuatu yang disebutkan sesudah peringatan ini, dengan paparan yang membangkitkan kesadaran:

أَيْحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَلَّنْ نَجْمَعَ عِظَامَهُ، بَلَى قَادِرِيْنَ عَلَى أَنْ نُسَوِّيَ بَنَانَهُ.

Apakah manusia mengira bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang-belulangnya? Bukan demikian, sebenarnya Kami kuasa menyusun (kembali) jari-jemarinya dengan sempurna.” (al-Qiyāmah: 3-4)

Problematika perasaan pada kaum musyrikīn ialah sulitnya membayangkan dikumpulkannya kembali tulang-belulang yang telah remuk-redam, yang telah hilang di dalam tanah dan berserakan bersama debu, untuk dikembalikan dan dibangkitkan sebagai manusia yang hidup. Barang kali begitulah pikiran sebagian orang hingga saat ini. Al-Qur’ān menyanggah anggapan ketidakmungkinan dikumpulkannya kembali tulang-belulang itu dengan mempertegas terjadinya peristiwa itu.

Bukan demikian, sebenarnya Kami kuasa menyusun (kembali) jari-jemarinya dengan sempurna”.

Kata “al-banān” artinya adalah ujung-ujung jari (sidik jari), dan nash ini menegaskan adanya aktivitas pengumpulan sidik-sidik jari itu dengan segala sesuatu yang lebih tinggi daripada sekadar mengumpulkan, yaitu menyempurnakannya dan menyusunnya pada tempat-tempatnya sebagaimana sedia kala. Ini sebagai kiasan tentang pengulangan pembentukan manusia dengan secermat-cermatnya dan dengan sesempurna mungkin hingga tidak ada satu pun ujung jari (sidik jari) yang hilang, tidak ada yang rusak. Bahkan, ia dalam keadaan utuh dan sempurna, tidak ada anggota yang hilang, dan tidak ada bentuk dan ciri anggota ini yang hilang, meski bagaimana pun kecil dan halusnya!

Di sini dicukupkan dengan menyebutkan penegasan ini dan akan disebutkan pada akhir surah dalil lain tentang realitas penciptaan pertama. Sesungguhnya pembicaraan di sini hanyalah untuk mengungkapkan alasan psikologis mengenai hisab ini dan menyangkal anggapan ketidakmungkinan mengumpulkan kembali tulang-belulang…..

Manusia berkeinginan untuk berbuat durhaka secara terus-menerus dengan tidak ada sesuatu pun yang menghalanginya dari tindakan durhakanya, dan dia juga menginginkan tidak adanya hisab (perhitungan dan pertanggungjawaban) di sana dan tidak ada hukuman. Oleh karena itu, dia menganggap jauh kemungkinan terjadinya hari kebangkitan dari kubur, dan menganggap jauhnya kemungkinan datangnya hari kiamat:

بَلْ يُرِيْدُ الْإِنْسَانُ لِيَفْجُرَ أَمَامَهُ، يَسْأَلُ أَيَّانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ.

Bahkan manusia hendak membuat maksiat terus-menerus. Ia bertanya: “Bilakah hari kiamat itu?”” (al-Qiyāmah: 5-6)

Pertanyaan dengan kata tanya “ayyāna” (bilakah) – dengan bunyi yang panjang – ini memberi kesan jauhnya kemungkinan terjadinya hari kiamat ini, dan hal ini sejalan dengan keinginan mereka untuk terus-menerus berbuat dosa dengan tiada merasa terhalang oleh kepercayaan adanya kebangkitan dari kubur dan adanya hari akhirat….. Karena kepercayaan kepada akhirat itu akan mengendalikan jiwa yang gemar melakukan kejelekan, dan mengekang hati yang cinta kepada kedurhakaan. Oleh karena itu, dia atau mereka berusaha menghilangkan kekang dan kendali ini, agar dia bebas melakukan kejahatan dan kedurhakaan dengan tanpa ada perasaan akan dihisab pada hari kiamat.

Karena itu, jawaban terhadap pelecehan terhadap hari kiamat dan anggapan tentang jauhnya kemungkinan terjadinya, diberikan dengan begitu cepat, amat cepat, dan pasti, tidak ditunda-tunda dan dilambat-lambatkan lagi, hingga dalam irama baitnya dan bunyi lafalnya. Dan di dalam pemandangan hari kiamat itu juga diikutsertakan perasaan indrawi dan perasaan hati manusia, bersama pemandangan-pemandangan alam:

Maka apabila mata terbelalak (ketakutan), dan apabila bulan telah hilang cahayanya, dan matahari dan bulan dikumpulkan, pada hari itu manusia berkata: “Ke mana tempat lari?”” (al-Qiyāmah: 7-10)

Mata terbelalak dan berbolak-balik dengan amat cepat seperti berbolak-baliknya kilat dan sambarannya. Bulan redup dan hilang cahayanya. Matahari dan bulan dikumpulkan menjadi satu setelah berpisah, dan rusak dan amburadul sistem tata suryanya padahal selama ini berjalan dengan baik. Aturannya yang demikian cermat dan rumit sudah rusak berantakan. Di tengah-tengah kondisi alam yang menakutkan dan morat-marit seperti ini manusia bertanya-tanya dengan penuh ketakutan: “Ke mana tempat lari?” Di dalam pertanyaannya itu tampaklah kebingungan dan ketakutannya, seakan-akan ia sedang melihat ke semua penjuru, tiba-tiba ia sudah terikat, tertangkap.

Tidak ada tempat berlindung, tidak ada perlindungan, tidak ada tempat lari dari kekuasaan dan hukuman Allah. Manusia kembali kepada-Nya, hanya ada tempat di sisi-Nya, tidak ada tempat lain lagi selain itu:

Sekali-kali tidak! Tidak ada tempat berlindung!. Hanya kepada Tuhanmu sajalah pada hari itu tempat kembali.” (al-Qiyāmah: 11-12)

Keinginan manusia untuk terus-menerus berbuat dosa tanpa hisab dan tanpa pembalasan, tidak akan terjadi pada hari itu. Bahkan, segala sesuatu yang pernah dilakukannya dihisab diingatkan kepadanya kalau ia lupa dan diberi balasan setelah dia mengingatnya melihatnya di hadapannya:

Pada hari itu diberitakan kepada manusia apa yang telah dikerjakannya dan apa yang dilalaikannya.” (al-Qiyāmah: 13)

Ya, akan diberitakan dan diberitahukan kepadanya apa saja yang pernah dilakukannya sebelum meninggal dunia, serta apa saja yang dilalaikannya dan segala dampak perbuatannya, yang baik ataupun yang buruk. Karena, di antara ‘amalan-‘amalan manusia itu ada yang meninggalkan bekas-bekas yang akan disandarkan kepada pelakunya pada perhitungan terakhir.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *