سُوْرَةُ الْقِيَامَةِ
Surah al-Qiyāmah termasuk ke dalam kelompok surah Makkiyyah, terdiri atas empat puluh ayat, seratus sembilan puluh tujuh kalimat, dan enam ratus lima puluh dua huruf.
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang
لَا أُقْسِمُ بِيَوْمِ الْقِيَامَةِ،
وَ لَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ،
(لَا أُقْسِمُ بِيَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَ لَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ) “Aku bersumpah dengan hari Kiamat, dan Aku bersumpah demi jiwa yang selalu menyesali (dirinya sendiri)” yakni jiwa yang mulia, yang terus-menerus menyesali dirinya di dunia maupun di akhirat. Apabila ia berupaya keras dalam ketaatan, maka ia masih tetap menyesali dirinya karena tidak dapat berbuat lebih dari apa yang telah dilakukannya. Apabila lalai, maka ia menyesali dirinya atas kelalaian yang dilakukannya.
Makna ayat: Aku tidak bersumpah kepadamu dengan menyebut nama hari itu dan tidak pula dengan menyebut jiwa itu, akan tetapi Aku menanyaimu tentang hal yang lain, yaitu; apakah engkau mengira bahwa Kami tidak akan menghimpun kembali tulang-tulangmu apabila telah bercerai-berai karena mati? Jika engkau mengira demikian, maka ketahuilah bahwa Kami berkuasa untuk melakukan hal itu.
Yang demikian itu disebutkan dalam ayat selanjutnya, yaitu:
أَيْحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَلَّنْ نَجْمَعَ عِظَامَهُ،
(أَيْحْسَبُ الْإِنْسَانُ) “Apakah manusia mengira” yakni orang yang mendustakan adanya hari berbangkit – (أَلَّنْ نَجْمَعَ عِظَامَهُ) “bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang-belulangnya?” yakni sesungguhnya topik pembicaraan adalah bahwa tidak sekali-kali Kami dapat mengumpulkan tulang-belulangnya setelah bercerai-berai.
Qatādah membacanya An Lan Tujma‘a ‘Izhāmuhu, dalam bentuk mabnī maf‘ūl, yakni tidak sekali-kali tulang-belulangnya dihimpunkan kembali.
Diriwayatkan bahwa ‘Adī ibnu Abī Rabī‘ah, mertua al-Akhnas ibnu Syuraiq berkata kepada Rasūlullāh s.a.w.: “Hai Muḥammad, ceritakanlah kepadaku tentang hari Kiamat, kapankah terjadinya, dan bagaimanakah kejadiannya?” Maka Rasūlullāh s.a.w. menceritakan kepadanya perihal hari Kiamat itu. Ia berkata: “Seandainya aku melihat hari itu aku tidak percaya kepadamu, hai Muḥammad, dan tidak mau beriman kepadamu, apakah Allah menghimpun kembali tulang-belulang yang telah menjadi tanah?” Lalu, turunlah ayat ini.
بَلَى قَادِرِيْنَ عَلَى أَنْ نُسَوِّيَ بَنَانَهُ.
(بَلَى) “Bahkan” kalimat ini mengandung arti memositifkan sesuatu sesudah dinafikan atau dinegatifkan, yaitu mengiakan adanya perhimpunan kembali. Dengan kata lain dapat disebutkan, bahwa bukan demikian, sebenarnya Kami akan menghimpunnya kembali. Melakukan waqaf di sini adalah tāmm, sedangkan menurut Abū ‘Amr disebutkan hanya kāfin.
(قَادِرِيْنَ عَلَى أَنْ نُسَوِّيَ بَنَانَهُ) “Kami mampu menyusun (kembali) jari-jemarinya dengan sempurna” yakni sesungguhnya Kami berkuasa untuk menciptakan kembali jari-jemarinya seperti semula dalam langkah pertama, yang berarti akhirnya Kami pasti berkuasa untuk menjadikannya hidup kembali seperti sediakala.
Ibnu Abī ‘Ablah membaca qādirūna dengan bacaan rafa‘, yakni Kami berkuasa.
بَلْ يُرِيْدُ الْإِنْسَانُ لِيَفْجُرَ أَمَامَهُ
(بَلْ يُرِيْدُ الْإِنْسَانُ لِيَفْجُرَ أَمَامَهُ) “Tetapi manusia hendak membuat maksiat terus-menerus” yakni bahkan manusia itu bermaksud mendustakan adanya hari Kiamat, padahal hari Kiamat berada di hadapannya. Barang siapa yang mendustakan perkara yang hak, maka dia adalah orang yang durhaka.
يَسْأَلُ أَيَّانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ
(يَسْأَلُ أَيَّانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ) “Dia bertanya: “Kapankah Hari Kiamat itu?”” yakni manusia bertanya dengan nada ingkar dan tidak percaya, bahwa kapankah Kiamat akan terjadi?
فَإِذَا بَرِقَ الْبَصَرُ
(فَإِذَا بَرِقَ الْبَصَرُ) “Apabila mata terbelalak” Nāfi‘ membacanya dengan rā’ yang di-fatḥah-kan menjadi baraqa, yakni mata terbelalak ketika menyaksikan penyebab kematian dan para malaikat. Sedangkan ulama yang lain membacanya dengan rā’ yang di-kasrah-kan menjadi Bariqa yakni pandangan mata kebingungan karena kaget dan tidak berkedip. Abus-Sammāl membaca Balaqa yang berarti terbuka lebar.
وَ خَسَفَ الْقَمَرُ
(وَ خَسَفَ الْقَمَرُ) “dan bulan pun telah hilang cahayanya” yakni telah pudar cahayanya dan lenyap. Menurut qira’at lain dibaca Khusifa dalam bentuk mabnī maf‘ūl, yakni telah dilenyapkan.
وَ جُمِعَ الشَّمْسُ وَ الْقَمَرُ
(وَ جُمِعَ الشَّمْسُ وَ الْقَمَرُ) “lalu matahari dan bulan dikumpulkan” karena Allah menerbitkan keduanya sama-sama dari arah barat.
يَقُوْلُ الْإِنْسَانُ يَوْمَئِذٍ أَيْنَ الْمَفَرُّ
(يَقُوْلُ الْإِنْسَانُ) “manusia berkata” yakni orang yang mengingkari hari Kiamat – (يَوْمَئِذٍ) “pada hari itu” yakni apabila dia menyaksikan keadaan hari Kiamat.
(أَيْنَ الْمَفَرُّ) ““Ke mana tempat berlari?”” dari api neraka. Menurut qira’at lain dibaca dengan fā’ yang di-kasrah-kan yakni di manakah tempat untuk melarikan diri?
كَلَّا لَا وَزَرَ
(كَلَّا) “Tidak!” yakni benar, jangan sekali-kali kamu mengharapkan adanya tempat berlari – (لَا وَزَرَ) “Tidak ada tempat berlindung!” yakni tidak ada tempat berlindung baik berupa gunung ataupun yang lainnya dari api neraka.
إِلَى رَبِّكَ يَوْمَئِذٍ الْمُسْتَقَرُّ.
(إِلَى رَبِّكَ يَوْمَئِذٍ الْمُسْتَقَرُّ.) “Hanya kepada Tuhanmu tempat kembali pada hari itu” yakni tempat menetap mereka, karena pada hari itu semua urusan diserahkan sepenuhnya kepada kehendak-Nya. Sesungguhnya Allah memasukkan siapa yang Dia kehendaki ke dalam surga dan memasukkan siapa yang Dia kehendaki ke dalam neraka.
يُنَبَّأُ الْإِنْسَانُ يَوْمَئِذٍ بِمَا قَدَّمَ وَ أَخَّرَ
(يُنَبَّأُ الْإِنْسَانُ يَوْمَئِذٍ بِمَا قَدَّمَ وَ أَخَّرَ) “Pada hari itu diberitakan kepada manusia apa yang telah dikerjakannya dan apa yang dilalaikannya” yakni diberitakan kepada setiap diri apa yang telah dikerjakannya pada saat ‘amal perbuatannya ditimbang, dan diberitakan pula kepadanya ‘amal kebaikan atau ‘amal keburukan yang telah ditinggalkannya.
بَلِ الْإِنْسَانُ عَلَى نَفْسِهِ بَصِيْرَةٌ،
(بَلِ الْإِنْسَانُ عَلَى نَفْسِهِ بَصِيْرَةٌ،) “Bahkan, manusia menjadi saksi atas dirinya sendiri” yakni bahkan manusia pada hari itu mengetahui secara terinci seluruh keadaannya dan menyaksikan dirinya sendiri, karena seluruh anggota tubuhnya berbicara terhadapnya atas hal tersebut.
وَ لَوْ أَلْقَى مَعَاذِيْرَهُ.
(وَ لَوْ أَلْقَى مَعَاذِيْرَهُ.) “dan meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya” yakni sekalipun dia mendatangkan semua alasan untuk membela dirinya, maka sesungguhnya hal itu tidak berguna sama sekali baginya, sebab dirinya atau seluruh anggota tubuhnya menjadi saksi terhadap dirinya.
لَا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ،
(لَا تُحَرِّكْ بِهِ) “Jangan engkau (Muḥammad) gerakkan karenanya” yakni untuk membaca al-Qur’ān – (لِسَانَكَ) “lisanmu” sebelum Jibril selesai menyampaikan bacaannya kepadamu. (لِتَعْجَلَ بِهِ) “karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya” yakni dengan maksud agar kamu cepat menghafalnya karena khawatir bila lupa.
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَ قُرْآنَهُ،
(إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ) “Sesungguhnya Kami yang akan mengumpulkannya” di dalam dadamu yakni hafalanmu – (وَ قُرْآنَهُ) “dan membacakannya” yakni membuat lisanmu pandai membacanya.
فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ،
(فَإِذَا قَرَأْنَاهُ) “Apabila Kami telah selesai membacakannya” yakni Kami telah sempurna membacakannya kepadamu melalui lisan Jibril – (فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ) “maka ikutilah bacaannya itu” yakni mulailah kamu membacanya sesudah Kami selesai membacakannya.
Dengan kata lain dapat disebutkan bahwa tidak layak bagi kamu mengiringi bacaanmu dengan bacaan Jibril. Karena itu apabila Jibril diam, maka mulailah kamu membacanya.
ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ
(ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ) “Kemudian, sesungguhnya Kami yang akan menjelaskannya” yakni penerangan mengenai hal-hal yang sulit bagimu menyangkut makna-makna dan hukum-hukumnya secara terperinci sebagai anugerah dari Kami.
كَلَّا بَلْ تُحِبُّوْنَ الْعَاجِلَةَ،
(كَلَّا) “Tidak” yakni janganlah engkau tergesa-gesa wahai makhluk yang paling mulia, jadilah kamu orang yang tenang – (بَلْ) “bahkan” kamu hai Bani Ādam terlalu tergesa-gesa dalam segala hal, karena kamu diciptakan dengan dibekali watak tergesa-gesa (تُحِبُّوْنَ الْعَاجِلَةَ) “kamu mencintai kehidupan dunia” yakni dimaksud dengan segera adalah kehidupan dunia.
وَ تَذَرُوْنَ الْلآخِرَةَ
(وَ تَذَرُوْنَ الْلآخِرَةَ) “dan mengabaikan (kehidupan) akhirat”. Ibnu Katsīr, Abū ‘Amr dan Ibnu ‘Āmir membacanya dengan memakai Yā’ ghaibah yakni sesungguhnya mereka menyukai bekerja untuk dunia dan meninggalkan ‘amal untuk akhirat yakni pahala akhirat.
وُجُوْهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ
إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
(وُجُوْهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ، إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ) “Wajah-wajah (orang-orang mu’min) pada hari itu berseri-seri. Memandang Tuhannya” lafal wujūhun menjadi mubtada dan nāzhirah menjadi na‘at-nya dan lafal yauma’idzin di-nashab-kan oleh nāzhirah, sedangkan nāzhirah adalah khabar-nya, ilā rabbihā ber-ta‘lluq kepada khabar.
Makna ayat: wajah-wajah yang berseri-seri lagi indah adalah wajah kaum mu’min pada hari Kiamat, karena melihat Allah s.w.t. tanpa ada tirai penghalang yang menutupi-Nya.
وَ وُجُوْهٌ يَوْمَئِذٍ بَاسِرَةٌ
تَظُنُّ أَنْ يُفْعَلَ بِهَا فَاقِرَةٌ
(وَ وُجُوْهٌ يَوْمَئِذٍ بَاسِرَةٌ، تَظُنُّ أَنْ يُفْعَلَ بِهَا فَاقِرَةٌ) “Sementara wajah-wajah (orang kafir) pada hari itu muram, mereka yakin, bahwa akan ditimpakan kepadanya malapetaka yang amat dahsyat” yakni ada wajah-wajah lainnya yang tampak sangat muram pada hari Kiamat, yaitu wajah orang-orang kafir. Mereka merasa yakin bahwa akan ditimpakan kepada mereka berbagai macam adzab di dalam neraka.
كَلَّا إِذَا بَلَغَتِ التَّرَاقِيْ
وَ قِيْلَ مَنْ رَاقٍ
وَ ظَنَّ أَنَّهُ الْفِرَاقُ
وَ الْتَفَّتِ السَّاقُ بِالسَّاقِ
إِلَى رَبِّكَ يَوْمَئِذٍ الْمَسَاقُ
(كَلَّا) (Tidak!) yakni, peringatan terhadap ada yang ada di hadapan kalian berupa kematian yang memutuskan rasa cintanya antara kalian dan dunia – (إِذَا بَلَغَتِ التَّرَاقِيْ، وَ قِيْلَ مَنْ رَاقٍ، وَ ظَنَّ أَنَّهُ الْفِرَاقُ، وَ الْتَفَّتِ السَّاقُ بِالسَّاقِ، إِلَى رَبِّكَ يَوْمَئِذٍ الْمَسَاقُ) “Apabila nyawa (seseorang) telah sampai ke kerongkongan, dan dikatakan (kepadanya): “Siapa yang dapat menyembuhkan? dan dia yakin bahwa itulah waktu perpisahan (dengan dunia), dan bertaut betis (kiri) dengan betis (kanan), kepada Tuhanmulah pada hari itu kamu dihalau” yakni apabila roh seseorang sampai pada bagian atas dadanya, yaitu pada tulang yang melindungi bagian pangkal kerongkongan yang ada di sebelah kanan dan sebelah kiri kerongkongannya. Lalu, orang-orang yang ada di sekitar seseorang yang sedang menjelang kematiannya mengatakan dengan penuh harap. Atau, dengan nada menganggap mustahil, bahwa siapakah yang dapat menyembuhkannya dari penderitaannya ini? Adakah dokter yang dapat mengobatinya?
Atau, yang mengatakan demikian adalah malaikat maut kepada para malaikat lainnya: “Siapakah di antara kalian yang menaikan rohnya ke langit?” Orang yang sedang menjelang kematiannya merasa yakin bahwa apa yang dialaminya adalah tahap perpisahannya dengan dunia dan kesusahan akhir dunia berhubungan dengan kesusahan permulaan akhirat, maka sesungguhnya terputuslah darinya hukum-hukum dunia dan dihalaulah dia pada hari itu kepada hukum Allah, karena hanya kepada-Nyalah seluruh makhluk dikembalikan.
فَلَا صَدَّقَ وَ لَا صَلَّى
(فَلَا صَدَّقَ) “Karena dia (dahulu) tidak mau membenarkan” hari Kiamat, ayat ini di-‘athaf-kan kepada firman-Nya:
يَسْأَلُ أَيَّانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ
Dia bertanya: “Kapankah Hari Kiamat itu?” (al-Qiyāmah [75]: 6).
Mujāhid mengatakan dan yang lainnya bahwa ayat-ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abū Jahal, yakni dia sama sekali tidak membenarkan agama Islam – (وَ لَا صَلَّى) “dan tidak mau mengerjakan salat” yakni Abū Jahal sama sekali tidak pernah mengerjakan shalat yang diperintahkan dalam syariat.
وَ لكِنْ كَذَّبَ وَ تَوَلَّى
(وَ لكِنْ كَذَّبَ) “tetapi justru dia mendustakan” apa yang seharusnya dia benarkan seperti Rasūl dan al-Qur’ān.
(وَ تَوَلَّى) “dan berpaling” dari ketaatan.
ثُمَّ ذَهَبَ إِلَى أَهْلِهِ يَتَمَطَّى
(ثُمَّ ذَهَبَ إِلَى أَهْلِهِ يَتَمَطَّى) “kemudian ia pergi kepada keluarganya dengan sombong” yakni dengan langkah yang sombong dan angkuh, dikatakan demikian karena orang yang sombong memanjangkan langkahnya saat berjalan. Kemudian, dia berpapasan dengan Nabi s.a.w. maka Nabi s.a.w. memegang tubuh Abū Jahal dan menguncangkannya dengan sekali atau dua kali guncangan, lalu bersabda kepadanya:
أَوْلَى لَكَ فَأَوْلَى
(أَوْلَى لَكَ فَأَوْلَى) “Celakalah kamu! Maka celakalah!” yakni celakalah kamu, hai Abū Jahal! Kalimat ini merupakan kutukan terhadapnya agar dia tertimpa sesuatu yang tidak disukainya.
ثُمَّ أَوْلَى لَكَ فَأَوْلَى
(ثُمَّ أَوْلَى لَكَ فَأَوْلَى) “Sekali lagi celakalah kamu (hai orang kafir)! Maka celakalah! Yakni terancamlah engkau hai Abū Jahal, berhati-hatilah engkau hai Abū Jahal, sesungguhnya telah dekat bagimu berbagai kesusahan yang akan menimpa dirimu yang tidak kamu sukai.
Al-Qādhī mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah terkutuklah engkau dalam urusan duniamu dan terkutuklah engkau dalam urusan akhiratmu.
Qatādah, al-Kalbī dan Muqātil mengatakan bahwa Rasūlullāh s.a.w. memegang tangan Abū Jahal di Baththā dan berkata kepadanya:
أَوْلَى لَكَ فَأَوْلَى، ثُمَّ أَوْلَى لَكَ فَأَوْلَى
Celakalah kamu! Maka celakalah! Sekali lagi, celakalah kamu! Maka celakalah!
Abū Jahal menjawab: “Dengan apakah engkau mengancamku hai Muḥammad! Demi Allah! Engkau tidak akan mampu termasuk juga Tuhanmu tidak akan mampu berbuat sesuatu terhadapku. Sesungguhnya aku, demi Allah benar-benar orang yang paling perkasa di lembah ini dan orang yang paling mulia di antara orang yang berjalan di antara kedua bukit Makkah ini”, lalu dia pergi, dan Allah menurunkan firman-Nya mengenai kejadian tersebut.
أَيَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى
(أَيَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى) “Apakah manusia mengira, dia akan dibiarkan begitu saja [tanpa pertanggungjawaban]?” yakni dibiarkan tanpa diperintah dan tanpa dilarang, serta tidak diberi taklif di dunia, lalu tidak dihisab ‘amalnya di negeri akhirat?
أَلَمْ يَكُ نُطْفَةً مِنْ مَنِيٍّ يُمْنَى
(أَلَمْ يَكُ) “Bukankah dia mulanya” yakni manusia itu – (نُطْفَةً) “hanya setetes” yakni berupa air yang sedikit berasal dari tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan? – (مِنْ مَنِيٍّ يُمْنَى) “mani yang ditumpahkan” yakni dipancarkan ke dalam rahim perempuan.
ثُمَّ كَانَ عَلَقَةً فَخَلَقَ فَسَوَّى
(ثُمَّ كَانَ عَلَقَةً) “kemudian (mani itu) menjadi ‘alaqah( segumpal darah)” yakni selanjutnya air mani itu menjadi segumpal darah berkat kekuasaan Allah s.w.t. – (فَخَلَقَ فَسَوَّى) “lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya.” Yakni lalu Allah meniupkan roh ke dalam manusia itu dan menyempurnakan seluruh anggota tubuhnya. Demikianlah menurut pendapat Ibnu ‘Abbās dan Muqātil.
فَجَعَلَ مِنْهُ الزَّوْجَيْنِ الذَّكَرَ وَ الْأُنْثَى
(فَجَعَلَ مِنْهُ الزَّوْجَيْنِ) “Lalu Dia menjadikan darinya sepasang” yakni kemudian Allah menjadikan dari manusia itu dua jenis – (الذَّكَرَ وَ الْأُنْثَى) “laki-laki dan perempuan) yang adakalanya bergabung dalam rahim, dan adakalanya masing-masing dari keduanya terpisah dari yang lainnya. Disebutkan bahwa Abū Jahal mempunyai dua orang anak kembar yang satu laki-laki dan yang lain perempuan, yang laki-laki bernama ‘Ikrimah dan yang perempuan bernama Juwairiyyah.
أَلَيْسَ ذلِكَ بِقَادِرٍ عَلَى أَنْ يُحْيِيَ الْمَوْتَى.
(أَلَيْسَ ذلِكَ) “Bukankah yang berbuat demikian” yakni Tuhan yang membuat segala hal itu – (بِقَادِرٍ عَلَى أَنْ يُحْيِيَ الْمَوْتَى) “berkuasa pula menghidupkan orang mati?” pada hari berbangkit, maka mengulangi penciptaan itu lebih mudah daripada memulainya menurut perhitungan rasio.
Diriwayatkan bahwa apabila Nabi s.a.w. telah membaca surah al-Qiyāmah ini selalu mengucapkan:
سُبْحَانَكَ اللهُمَّ بَلَى.
Maha Suci Engkau, Ya Allah, memang benar.
Hadits riwayat Imām Abū Dāūd dan Imām Ḥākim.
Ibnu ‘Abbās r.a. telah mengatakan bahwa barang siapa yang membaca firman Allah s.w.t.:
سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعَلَى.
Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi. (al-A‘lā: 1).
Baik dia sebagai imam ataupun yang lain, hendaklah ia mengucapkan:
سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى
Maha Suci Tuhanku Yang Maha Tinggi.
Selain itu, barang siapa yang membaca firman-Nya:
لَا أُقْسِمُ بِيَوْمِ الْقِيَامَةِ،
Aku bersumpah dengan hari Kiamat. (al-Qiyāmah [75]: 1).
hingga akhir surah, maka sesudahnya hendaklah ia mengucapkan:
سُبْحَانَكَ اللهُمَّ بَلَى.
Maha Suci Engkau, Ya Allah, memang benar.
baik dia sebagai imam ataupun yang lain.