Surah al-Qalam 68 ~ Tafsir Sayyid Quthb (8/8)

Dari Buku:
Tafsīr fi Zhilāl-il-Qur’ān
Oleh: Sayyid Quthb
 
Penerbit: Gema Insani

Rangkaian Pos: Surah al-Qalam 68 ~ Tafsir Sayyid Quthb

Dengan pengungkapan yang mengagumkan, mengesankan, dan menakutkan yang berbunyi, “Maka serahkanlah (ya Muḥammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang yang mendustakan perkataan (al-Qur’ān) ini”,… dan dengan pemberitahuan tentang jalannya peperangan dan penyingkapan sunnah peperangan antara Allah dengan musuh-musuh-Nya yang tertipu itu…, maka dengan pengungkapan ini dan pemberitahuan itu Allah melepaskan Nabi s.a.w. dan kaum mukminin dari peperangan antara iman dan kafir, dan antara kebenaran dan kebatilan, karena peperangan ini dilakukan sendiri oleh Allah.

Begitulah hakikatnya, meskipun tampaknya Nabi s.a.w. dan kaum mukminīn memiliki peranan dalam peperangan ini. Sesungguhnya peranan mereka ketika mereka dimudahkan oleh Allah untuk hal ini, maka yang demikian itu adalah bagian dari takdir Allah di dalam peperangan-Nya terhadap musuh-musuh-Nya. Maka, mereka hanya sebagai alat yang bisa saja dipergunakan oleh Allah atau tidak dipergunakan. Dalam kedua hal ini, Allah selalu melakukan apa yang dikehendaki-Nya. Dan, dalam kedua kondisi ini, Allah melakukan peperangan sendiri sesuai dengan sunnah yang dikehendaki-Nya.

Nash ini turun ketika Nabi s.a.w. berada di Makkah, dan kaum mukminīn pengikut beliau jumlahnya masih sedikit yang tidak mampu berbuat sesuatu. Maka, ayat-ayat ini adalah untuk menenangkan kaum mukminīn yang tertindas ini, dan untuk menakut-nakuti orang-orang yang tertipu oleh kekuatan, kedudukan, harta, dan anak-anak. Tetapi, kemudian situasi dan kondisi di Madinah berubah dan Allah menghendaki Rasulullah dan kaum mukminin memegang peranan yang jelas dalam peperangan. Tetapi, di sana ditegaskan lagi perkataan yang pernah difirmankan-Nya kepada mereka pada waktu mereka di Makkah ketika jumlah mereka sedikit dan dalam kondisi tertindas. Dia berfirman kepada mereka ketika mereka mendapat kemenangan dalam Perang Badar,

Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, tetapi Allahlah yang membunuh mereka. Bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allahlah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (al-Anfāl: 17)

Hal itu untuk memantapkan hakikat ini di dalam hati mereka. Hakikat bahwa peperangan itu adalah peperangan Allah, dan urusan itu adalah urusan Allah juga. Ketika Dia menjadikan bagi mereka peranan dalam hal ini, maka yang demikian itu hanyalah karena Dia hendak menguji mereka dengan ujian yang baik yang dengan ujian ini mereka lantas diberi-Nya pahala. Adapun hakikat peperangan, maka Dialah yang mengaturnya; dan hakikat kemenangan, maka Dia juga yang menetapkannya. Allah memberlakukannya dengan mereka ataupun tanpa mereka. Ketika mereka terjun di dalam kancah peperangan, maka sebenarnya mereka hanya alat saja bagi kekuasaan-Nya, dan bukan cuma mereka satu-satunya alat yang ada di tangan-Nya.

Hakikat ini tampak sangat jelas dari celah-celah nash-nash al-Qur’ān pada semua tempat, semua keadaan, dan semua temanya, sebagaimana hal ini juga merupakan hakikat yang sesuai dengan tashawwur (pandangan) īmāni terhadap kekuasaan Allah dan qadar-Nya, sunnah-Nya dan kehendak-Nya. Juga hakikat kemampuan manusia untuk mengimplementasikan qadar Allah… yang mereka hanyalah alat… tidak lebih dari sekadar alat.

Inilah hakikat yang mengucurkan ketenangan di dalam hati orang yang beriman dalam kedua keadaannya, ketika kuat dan ketika lemah, selama hatinya tulus kepada Allah dan bertawakal kepada-Nya di dalam jihadnya. Maka, bukanlah kekuatannya yang menolongnya di dalam peperangan antara kebenaran dengan kebatilan, dan iman dengan kekafiran, tetapi hanya Allahlah yang memberinya jaminan kemenangan. Dan, bukan kelemahannya pula yang menjadikannya kalah, karena kekuatan Allah berada di belakangnya, dan kekuatan Allah inilah yang mengendalikan peperangan dan memberinya kemenangan. Akan tetapi, Allah memberi tangguh dan melakukan istidraj serta menentukan segala urusan pada waktunya sesuai dengan kehendak dan kebijaksanaan-Nya, juga sesuai dengan keadilan dan rahmat-Nya.

Dan, ini juga merupakan hakikat yang menakutkan hati pihak musuh, baik orang mukmin yang dihadapinya itu dalam kondisi lemah maupun kuat. Karena, bukan orang mukmin itu yang menjatuhkan mereka, tetapi Allahlah yang menguasai peperangan itu dengan kekuatan-Nya dan keperkasaan-Nya. Allah yang berfirman kepada Nabi-Nya, “Maka serahkanlah (ya Muḥammad) kepada-Ku (urusan) orang yang mendustakan perkataan (al-Qur’ān)ini…!” Serahkanlah kepada-Ku orang yang celaka dan keparat ini!

Allah memberi tangguh dan menariknya kepada kebinasaan secara berangsur-angsur, sedang dia (mereka) dalam serba ketakutan, meskipun secara lahiriah tampaknya mereka kuat dan penuh persiapan. Karena, kekuatan ini adalah jerat, dan persiapannya itu sendiri adalah perangkap…

Dan Aku memberi tangguh kepada mereka, sesungguhnya rencana-Ku amat teguh.” (al-Mulk: 45)

Adapun mengenai masalah kapan terjadinya, maka hal itu berada di dalam ilmu Allah yang tersembunyi. Maka, siapakah gerangan yang merasa aman terhadap ilmu gaib Allah dan rencana-Nya? Dan, bukankah tidak ada yang merasa aman terhadap rencana Allah selain orang-orang yang fasik?

Urgensi Kesabaran dalam Tugas dan Perjuangan

Setelah memaparkan hakikat ini, Allah mengarahkan Nabi-Nya s.a.w. untuk bersabar, sabar mengemban tugas-tugas risalah, sabar menghadapi kekacauan jiwa, sabar menghadapi gangguan, dan sabar menghadapi pendustaan orang kafir…. Ya, bersabar hingga Allah memberi keputusan pada waktu yang telah ditentukan sebagaimana yang dikehendaki-Nya. Diingatkan nabi-Nya dengan pengalaman yang dialami saudaranya (sesama nabi) sebelumnya yang merasa sesak dada karena tugas-tugas ini, yang seandainya tidak segera disusuli nikmat Allah, niscaya dia akan terlempar dalam keadaan terhina.

فَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ وَلَا تَكُن كَصَاحِبِ الْحُوتِ إِذْ نَادَى وَهُوَ مَكْظُومٌ. لَوْلَا أَن تَدَارَكَهُ نِعْمَةٌ مِّن رَّبِّهِ لَنُبِذَ بِالْعَرَاء وَهُوَ مَذْمُومٌ. فَاجْتَبَاهُ رَبُّهُ فَجَعَلَهُ مِنَ الصَّالِحِينَ.

Maka, bersabarlah kamu (hai Muḥammad) terhadap ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu seperti orang (Yunus) yang berada dalam (perut) ikan ketika ia berdoa sedang ia dalam keadaan marah (kepada kaumnya). Kalau sekiranya ia tidak segera mendapat nikmat dari Tuhannya, benar-benar ia dicampakkan ke tanah tandus dalam keadaan tercela. Lalu Tuhannya memilihnya dan menjadikannya termasuk orang-orang yang saleh.” (al-Qalam: 48-50)

Orang yang berada dalam perut ikan itu adalah Nabi Yūnus a.s. sebagaimana disebutkan dalam surah ash-Shāffāt. Dan, inti pengalaman Yūnus yang diceritakan Allah kepada Nabi Muḥammad s.a.w. adalah untuk menjadi bekal dan persiapan bagi beliau sebagai penutup para nabi, yang pada masa-masa sebelumnya telah banyak pengalaman yang dihadapi semua nabi dalam kebun risalah, karena beliau akan menjadi pemetik hasil akhir, peneropong terakhir, dan pengguna bekal terakhir.

Maka, diharapkan pengalaman ini akan dapat membantunya dalam mengemban tugas yang berat dan besar. Tugas membimbing seluruh manusia, bukan cuma satu kabilah, satu kampung, atau satu umat saja. Tugas memberi bimbingan kepada seluruh generasi, bukan cuma satu generasi dan bukan cuma satu kurun waktu saja sebagaimana tugas rasul-rasul sebelumnya. Juga tugas mengembangkan potensi kemanusiaan sesudah itu dengan seluruh generasinya dan semua kaumnya dengan manhaj yang kekal, mantap, dan layak untuk menyambut segala sesuatu yang dijumpainya di dalam kehidupan yang berupa aneka ragam kondisi, peraturan, dan pengalaman-pengalaman, yang setiap hari datang dengan suasana yang baru…

Inti pengalaman itu adalah bahwa Yūnus bin Matā a.s. diutus oleh Allah kepada penduduk sebuah desa yang menurut suatu riwayat bernama Ninawa, di negeri Maushil, tetapi mereka enggan beriman. Keengganan mereka ini dirasa berat oleh Yūnus, lalu dia tinggalkan mereka dengan rasa jengkel sambil berkata di dalam hati, “Allah tidak akan mempersempit aku untuk tinggal di antara kaum yang keras kepala ini, toh Dia Mahakuasa untuk mengutus aku kepada kaum yang lain.”

Kejengkelan dan kemarahannya ini telah membawanya ke tepi laut yang dari situ kemudian dia naik perahu. Ketika mereka berada di tengah laut, perahunya menjadi keberatan dan hampir tenggelam. Karena itu, mereka mengadakan undian di antara para penumpang untuk meringankan beban dengan menurunkan salah seorang dari mereka yang mendapat undian, kemudian undian itu terkena pada Yūnus. Maka, mereka lantas melemparkannya ke laut, kemudian ditelan ikan.

Pada waktu itu Yūnus berseru (dalam keadaan marah kepada kaumnya) dalam kesedihan yang amat sangat, di dalam kegelapan di dalam perut ikan, di tengah lautan. Dia berseru kepada Tuhannya,

..Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Engkau. Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.” (al-Anbiyā’: 87)

Maka, ia segera disusuli nikmat dari Tuhannya. Kemudian ikan itu memuntahkannya ke pantai dengan berupa daging tanpa kulit, karena kulitnya sudah luruh di dalam perut ikan, dan Allah memelihara kehidupannya dengan kekuasaan-Nya yang tidak terikat oleh kebiasaan manusia yang terbatas. Di sini kita katakan bahwa seandainya tidak karena nikmat Allah ini, niscaya dia dimuntahkan Oleh ikan dalam keadaan tercela. Yakni, dicela oleh Tuhannya karena perbuatannya dan ketidaksabarannya itu, dan tindakannya memperturutkan nafsunya sebelum mendapat izin dari Allah. Akan tetapi, nikmat Allah datang tepat pada waktunya. Allah menerima tasbihnya, pengakuan kesalahannya, dan penyesalannya. Dia mengetahui adanya sesuatu pada dirinya yang dengannya dia layak mendapatkan nikmat dan dipilih oleh Allah.

Lalu Tuhannya memilihnya dan menjadikannya termasuk orang-orang yang saleh.” (al-Qalam: 50)

Inilah pengalaman yang dialami orang yang berada di dalam perut ikan (Nabi Yūnus a.s.), yang diceritakan Allah kepada Rasul-Nya Muḥammad s.a.w. ketika sedang menghadapi kesulitan dan pendustaan dari kaum kafir, setelah dilepaskannya beliau dari peperangan sebagaimana hakikat yang sebenarnya. Dan, diperintahkannya beliau supaya menyerahkan urusan perang itu kepada-Nya sebagaimana yang Dia kehendaki, dan kapan Dia menghendaki. Juga ditugasinya beliau untuk bersabar terhadap keputusan Allah dan qadha-Nya dalam waktu yang telah ditentukan dan di dalam menempuh jalan yang sulit hingga datang saat yang telah ditentukan itu.

Sesungguhnya masyaqqat (kesulitan, kesukaran, kemelaratan) dakwah yang sebenarnya adalah kesukaran bersabar terhadap keputusan Allah sehingga datang janji-Nya pada waktu yang dikehendaki-Nya sesuai dengan kebijaksanaan-Nya. Di dalam perjalanannya banyak sekali masyaqqat, kesukaran yang berupa pendustaan orang lain dan penyiksaan, kesukaran yang berupa tantangan dan kekerasan, kesukaran yang berupa berkembangnya dan menggelembungnya kebatilan, kesukaran yang berupa terpedayanya manusia oleh kebatilan yang cemerlang dan unggul dalam pandangan mata, dan kesulitan yang berupa tertahannya jiwa di dalam menghadapi semua ini dengan rela, mantap, dan tenang terhadap janji Allah yang benar ….

Ini adalah kerja dan perjuangan besar yang membutuhkan keteguhan hati, kesabaran, pertolongan, dan bimbingan dari Allah… Adapun mengenai peperangan itu sendiri, maka Allah telah menetapkan dan menentukan bahwa Dialah yang mengaturnya, sebagaimana Dia telah menentukan bahwa Dia yang memberi tangguh dan melakukan istidraj untuk suatu hikmah yang hanya Dia yang mengetahuinya. Demikian pula janji-Nya kepada Nabi-Nya yang mulia, yang kemudian dibuktikan sesudah beberapa waktu.

Sikap Orang Kafir terhadap al-Qur’ān dan Rasulullah

Pada penutup surah digambarkan pemandangan orang-orang kafir yang menghadapi dakwah Rasul yang mulia ini dengan penuh kebencian dan kekerasan serta dendam yang mendalam yang tertuangkan dalam pandangan yang beracun dan mematikan yang ditujukan kepada Rasulullah, sebagaimana dijelaskan oleh al-Qur’ān dengan tidak ditambah-tambahi.

وَإِن يَكَادُ الَّذِينَ كَفَرُوا لَيُزْلِقُونَكَ بِأَبْصَارِهِمْ لَمَّا سَمِعُوا الذِّكْرَ وَيَقُولُونَ إِنَّهُ لَمَجْنُونٌ.

Sesungguhnya orang-orang kafir itu benar-benar hampir menggelincirkan kamu dengan pandangan mereka, tatkala mereka mendengar al-Qur’ān dan mereka berkata, Sesungguhnya ia (Muḥammad) benar-benar orang yang gila.” (al-Qalam: 51)

Pandangan in hampir mempengaruhi langkah Rasulullah hingga hampir terpeleset dan kehilangan keseimbangan dan kemantapannya di muka bumi. Ini merupakan ungkapan yang tinggi tentang apa yang dikandung oleh pandangan ini yang bermuatan kebencian, dendam, kejahatan, kedengkian, keinginan untuk menyakiti, hati yang panas dan beracun… Pandangan beracun ini dibarengi dengan caci-maki yang amat buruk dan kebohongan yang tercela. “…Dan mereka berkata, “Sesungguhnya ia (Muḥammad) benar-benar orang yang gila.

Inilah pemandangan yang dilukis oleh kuas yang indah dan direkamnya dari pemandangan-pemandangan dakwah secara umum di Makkah, yang berada di dalam bingkai umum di antara para pembesar yang keras kepala dan penuh dosa. Dari hati dan pandangan merekalah muncul semua dendam yang hina dan membara ini.

Semua ini diakhiri dengan kata pasti yang menyudahi segala perkataan,

وَمَا هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ لِّلْعَالَمِينَ.

Al-Qur’ān ini tidak lain hanyalah peringatan bagi seluruh umat.” (al-Qalam: 52)

Sedangkan, peringatan itu tidak akan disampaikan oleh orang yang gila, dan tidak akan dibawa oleh orang yang gila…

Mahabenar Allah dan berdustalah para pendusta….

Sebelum mengakhiri pembahasan perlu kiranya kita perhatikan kata lil-‘ālamīn (bagi seluruh alam/umat)

Di sini, di Makkah, dakwah sudah menghadapi tantangan, dan Rasulnya menghadapi pandangan-pandangan beracun yang membara, sedang kaum musyrikin terus mengintai hendak menyerangnya semampu mungkin. Pada waktu sepagi ini, dalam kesempitan yang mencekik ini, ia (dakwah) telah mengumumkan “kealamiahannya” (internasionalisasinya), sesuai dengan tabiat dan hakikatnya. Karena itu, sifatnya ini bukanlah hal baru sewaktu ia mendapat kemenangan di Madinah sebagaimana anggapan para pembohong hari ini. Tetapi, ‘ālamiyah (globalisasi) dakwah Islam sudah menjadi sifatnya sejak awal pada masa periode Mekah, karena ini merupakan hakikat yang mantap di ladang dakwah sejak kelahirannya.

Begitulah yang dikehendaki Allah, begitulah ia menujukkan arahnya sejak hari-hari pertamanya, dan begitulah ia akan selalu mengarah hingga akhir zaman.

Allahlah yang menghendakinya sebagaimana yang dikehendaki-Nya. Dialah pemiliknya dan pemeliharanya. Dialah pembelanya dan pelindungnya. Dan, Dialah yang melakukan peperangan terhadap orang-orang yang mendustakannya, sedang para pengembannya tidak punya kewajiban lain selain bersabar sehingga datang keputusan Allah. Dia adalah sebaik-baik pemberi keputusan.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *