Sesuai dengan isyarat terhadap harta dan anak, dan kesombongan yang dilakukan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah, maka Allah menampilkan untuk mereka sebuah kisah yang tampaknya sudah populer di kalangan mereka. Diingatkan-Nya mereka dengan akibat yang ditimbulkan oleh sikap sombong terhadap nikmat, enggan berbuat kebaikan, dan melanggar hak-hak orang lain. Juga diberikan kesan kepada mereka bahwa harta dan anak-anak yang ada di depan mereka itu hanya ujian, sebagaimana ujian bagi pelaku kisah ini, sedang harta itu sendiri akan ditinggalkan untuk orang sesudahnya, bukan untuk mereka sendiri.
إِنَّا بَلَوْنَاهُمْ كَمَا بَلَوْنَا أَصْحَابَ الْجَنَّةِ إِذْ أَقْسَمُوا لَيَصْرِمُنَّهَا مُصْبِحِينَ. وَلَا يَسْتَثْنُونَ. فَطَافَ عَلَيْهَا طَائِفٌ مِّن رَّبِّكَ وَهُمْ نَائِمُونَ. فَأَصْبَحَتْ كَالصَّرِيمِ. فَتَنَادَوا مُصْبِحِينَ. أَنِ اغْدُوا عَلَى حَرْثِكُمْ إِن كُنتُمْ صَارِمِينَ. فَانطَلَقُوا وَهُمْ يَتَخَافَتُونَ. أَن لَّا يَدْخُلَنَّهَا الْيَوْمَ عَلَيْكُم مِّسْكِينٌ. وَغَدَوْا عَلَى حَرْدٍ قَادِرِينَ. فَلَمَّا رَأَوْهَا قَالُوا إِنَّا لَضَالُّونَ. بَلْ نَحْنُ مَحْرُومُونَ. قَالَ أَوْسَطُهُمْ أَلَمْ أَقُل لَّكُمْ لَوْلَا تُسَبِّحُونَ. قَالُوا سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنَّا كُنَّا ظَالِمِينَ. فَأَقْبَلَ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ يَتَلَاوَمُونَ. قَالُوا يَا وَيْلَنَا إِنَّا كُنَّا طَاغِينَ. عَسَى رَبُّنَا أَن يُبْدِلَنَا خَيْراً مِّنْهَا إِنَّا إِلَى رَبِّنَا رَاغِبُونَ. كَذَلِكَ الْعَذَابُ وَلَعَذَابُ الْآخِرَةِ أَكْبَرُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ.
“Sesungguhnya Kami telah menguji mereka (musyrikīn Makkah) sebagaimana Kami telah menguji pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik (hasil) nya di pagi hari, dan mereka tidak menyisihkan (hak fakir miskin). Lalu, kebun itu diliputi malapetaka (yang datang) dari tuhanmu ketika mereka sedang tidur. Maka, jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita. Lalu mereka panggil-memanggil di pagi hari, “Pergilah di pagi (ini) ke kebunmu jika kamu hendak memetik buahnya.” Maka, pergilah mereka saling berbisik-bisikan. “Pada hari ini janganlah ada seorang miskin pun masuk ke dalam kebunmu.” Dan, berangkatlah mereka di pagi hari dengan niat menghalangi (orang-orang miskin) padahal mereka mampu (menolongnya). Tatkala mereka melihat kebun itu, mereka berkata, Sesungguhnya kita benar- benar orang-orang yang sesat (jalan), bahkan kita dihalangi (dari memperoleh hasilnya). Berkatalah seorang yang paling baik pikirannya di antara mereka, “Bukankah aku telah mengatakan kepadamu, hendaklah kamu bertasbih (kepada Tuhanmu)?” Mereka mengucapkan, “Mahasuci Tuhan kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zalim.” Lalu sebagian mereka menghadapi sebagian yang lain seraya cela-mencela. Mereka berkata, “Aduhai celakalah kita. Sesungguhnya kita ini adalah orang-orang yang melampaui batas. Mudah-mudahan Tuhan kita memberikan ganti kepada kita dengan (kebun) yang lebih baik daripada itu, sesungguhnya kita mengharapkan ampunan dari Tuhan kita. Seperti itulah azab (dunia). Dan, sesungguhnya azab akhirat lebih besar jika mereka mengetahui.” (al-Qalam: 17-33)
Kisah ini demikian populer di kalangan masyarakat. Tetapi, al-Qur’ān menyingkap tindakan dan kekuasaan Allah yang ada di balik peristiwa-peristiwanya, sebagai ujian dan balasan terhadap sebagian hamba-hamba-Nya. Dan yang demikian ini menimbulkan nuansa baru dalam penuturan al-Qur’an.
Dari celah-celah nash dan geraknya, kita melihat sekelompok manusia yang masih sederhana dan bersahaja cara berpikir, pola pandang dan aktivitasnya, yang lebih mirip dengan orang-orang desa yang masih bersahaja. Barangkali contoh manusia tingkat ini lebih dekat dengan orang-orang yang diajak bicara dengan kisah ini, yang keras kepala dan suka menentang, tetapi jiwanya tidak sangat ruwet, melainkan lebih dekat kepada kesederhanaan dan kepolosan.
Kisah ini dilihat dari sudut penyampaiannya mencerminkan salah satu metode penyampaian kisah dalam al-Qur’ān yang indah. Di dalamnya terdapat hal-hal yang mengejutkan dan menimbulkan kerinduan (keingintahuan), sebagaimana ia juga mengandung tertawaan terhadap tipu daya manusia menghadapi program dan rencana Allah. Kisah ini ditampilkan dengan suasana yang hidup, sehingga seolah-olah pendengar atau pembaca menyaksikan cerita ini demikian hidup dan peristiwa-peristiwanya sedang terjadi dengan alurnya di hadapannya. (11) Marilah kita mencoba melihatnya sebagaimana alur al-Qur’ān.
Nah, kita sedang berada di depan para pemilik kebun (kebun dunia, bukan kebun akhirat) dan itulah mereka sedang menyembunyikan sesuatu berkenaan dengan kebunnya ini. Orang-orang miskin mempunyai bagian terhadap hasil kebun ini pada masa masih dikuasai oleh pemiliknya yang baik dan saleh. Akan tetapi, para ahli warisnya ingin memonopoli hasilnya sekarang, dan menghalang-halangi orang-orang miskin dari mendapatkan bagiannya… Nah, kalau begitu, marilah kita perhatikan bagaimana jalannya peristiwa itu!
“Sesungguhnya Kami telah menguji mereka (musyrikīn Makkah) sebagaimana Kami telah menguji pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik (hasil)nya di pagi hari, dan mereka tidak menyisihkan (hak fakir miskin).” (al-Qalam: 17-18)
Pikiran mereka telah menetapkan untuk memetik buahnya pada pagi-pagi benar, dengan tidak menyisihkan sedikit pun untuk orang miskin. Mereka bersumpah, berniat bulat, dan melaksanakan perbuatan jahat yang telah ditetapkannya itu…. Yah, kita biarkanlah mereka di dalam kelalaiannya itu, atau di dalam tipu dayanya yang mereka sembunyikan semalam. Kita lihat apa yang terjadi di belakang mereka di tengah malam dengan tanpa mereka sadari. Karena Allah selalu berjaga dan tidak pernah tidur sebagaimana mereka tidur, dan Dia merencanakan sesuatu yang berbeda dengan apa yang mereka rencanakan, sebagai balasan kesombongannya terhadap nikmat dan keengganannya terhadap kebaikan, yang telah mereka rencanakan semalam, dan bakhil terhadap hak fakir miskin yang sudah diketahui…
Di sana terdapat peristiwa yang mengejutkan, yang terjadi secara rahasia. Juga terdapat gerakan halus seperti gerakan bayang-bayang di malam kelam ketika manusia sedang terlelap tidur.
“Lalu kebun itu diliputi malapetaka (yang datang) dari Tuhanmu ketika mereka sedang tidur, maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita.” (al-Qalam: 19-20)
Marilah kita tinggalkan kebun itu dengan mala petaka yang menimpanya untuk sementara waktu. Kita lihat apa yang dilakukan oleh para pemiliknya yang sedang mengatur rencananya dengan sembunyi-sembunyi di malam hari. Nah, inilah mereka berangkat pagi-pagi sebagaimana yang mereka rencanakan, dan mereka panggil-memanggil untuk melaksanakan apa yang telah mereka rencanakan itu.
“Lalu mereka panggil-memanggil di pagi hari, “Pergilah di waktu pagi (ini) ke kebunmu jika kamu hendak memetik buahnya.” (al-Qalam: 21-22)
Sebagian mereka mengingatkan sebagian yang lain, saling berpesan, dan saling membangkitkan semangatnya. Kemudian al-Qur’ān menertawakan mereka, dilukiskannya mereka sedang berangkat sambil berbisik-bisik, untuk menambah kesan betapa mantapnya rencana mereka, untuk memetik seluruh buahnya, dan menghalangi orang-orang miskin dari mendapatkannya.
“Maka, pergilah mereka saling berbisik-bisikan, “Pada pagi hari ini janganlah ada seorang miskin pun masuk ke dalam kebunmu.”” (al-Qalam: 23-24)
Seakan-akan kita yang mendengar al-Qur’ān atau membacanya mengetahui apa yang tidak diketahui oleh para pemilik kebun itu tentang urusan kebun mereka…. Ya, kita menyaksikan tangan halus yang tersembunyi, yang menjulur ke kebun itu dan mengambil seluruh buahnya, dan kita lihat seakan-akan buah-buah kebun itu sudah terpotong setelah didatangi oleh sesuatu yang tersembunyi dan menakutkan. Karena itu, marilah kita tahan napas kita untuk melihat apa yang diperbuat oleh para pemakar yang menyembunyikan rencananya itu.
Al-Qur’ān terus menertawakan mereka.
“Dan berangkatlah mereka pada pagi hari dengan niat menghalangi (orang-orang miskin) padahal mereka mampu (menolongnya).” (al-Qalam: 25)
Ya, mereka mampu mencegah dan menghalanginya… menghalangi diri mereka sendiri terhadap kekuasaan minimal sekalipun.
Inilah mereka yang terkejut, terperanjat. Marilah kita ikuti penuturan al-Qur’ān sambil menertawakan mereka, dan kita saksikan mereka terperanjat.
“Tatkala mereka melihat kebun itu, mereka berkata, “Sesungguhnya kita benar-benar orang-orang yang tersesat (jalan).” (al-Qalam: 26)
Bukan ini kebun kita yang lebat buahnya. Kita telah tersesat jalan…. Akan tetapi, mereka kembali lagi, lalu menegaskan,
“Bahkan kita dihalangi (dari memperoleh buahnya).” (al-Qalam: 27)
Nah, inilah berita yang meyakinkan!
Sekarang mereka diliputi siksaan akibat tipu daya dan rencana jahat mereka, akibat kesombongan dan keengganan berbuat baik. Seorang yang paling baik pikirannya maju ke depan, dan tampaknya dia mempunyai pemikiran yang berbeda dengan pemikiran mereka. Akan tetapi, dia mengikuti mereka ketika mereka berbeda pendapat dengannya, sedang dia hanya sendirian saja dengan idenya itu, dan tidak berani mengusulkan gagasannya yang benar itu karena takut akan dihalangi sebagaimana yang dialami oleh mereka. Akan tetapi, pada akhirnya dia mengingatkan mereka juga serta memberinya nasihat dan pengarahan.
“Berkatalah seorang yang paling baik pikirannya di antara mereka, “Bukankah aku telah mengatakan kepadamu, hendaklah kamu bertasbih (kepada Tuhanmu)?” (al-Qalam: 28)
Hanya sekarang saja mereka mau mendengar nasihat, setelah habis waktunya.
“Mereka mengucapkan, Mahasuci Tuhan kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zalim.” (al-Qalam: 29)
Sebagaimana yang biasa terjadi bahwa setiap anggota persekutuan melepaskan tanggung jawab setiap kali ditimpa akibat yang buruk, dan saling mencela, maka demikian pulalah yang mereka perbuat.
“Lalu sebagian mereka menghadapi sebagian yang lain seraya cela-mencela.” (al-Qalam: 30)
Kemudian mereka tinggalkan tindakan saling mencela itu untuk mengakui kesalahannya di dalam menghadapi akibat yang buruk ini, dengan harapan mudah-mudahan Allah mengampuni dosa mereka dan mengganti kebun mereka yang musnah sebagai akibat kesombongan, keengganan berbuat baik, menipu, dan rencana jahat.
“Mereka berkata, “Aduhai celakalah kita, sesungguhnya kita ini adalah orang-orang yang melampaui batas. Mudah-mudahan Tuhan kita memberikan ganti kepada kita dengan (kebun) yang lebih baik daripada itu, sesungguhnya kita mengharapkan ampunan dari Tuhan kita.” (al-Qalam: 31-32)
Sebelum diturunkannya tirai untuk menutup pemandangan terakhir, kita dengarkan komentar.
“Seperti itulah azab (dunia). Sesungguhnya azab akhirat lebih besar jika mereka mengetahui.” (al-Qalam: 33)
Itulah ujian dengan nikmat. Oleh karena itu, hendaklah kaum musyrikīn Makkah mengetahui bahwa “sesungguhnya Kami telah menguji mereka sebagaimana Kami telah menguji pemilik-pemilik kebun”. Dan, hendaklah mereka perhatikan apa yang terjadi di balik ujian itu… Kemudian hendaklah mereka berhati-hati terhadap sesuatu yang lebih besar dari pada ujian dunia dan azab dunia. “Sesungguhnya azab akhirat lebih besar jika mereka mengetahui.”
Demikianlah pengalaman dari realitas lingkungan ini dipaparkan kepada kaum Quraisy, dan kisah-kisah yang beredar di antara mereka. Maka, Allah menghubungkan sunnah-Nya terhadap orang-orang dahulu dengan sunnah-Nya terhadap orang-orang sekarang. Disentuh-Nya hati mereka dengan uslub yang paling dekat dengan realitas kehidupan mereka. Pada waktu yang sama Dia memberikan kesan kepada orang-orang mukmin bahwa apa yang mereka lihat pada kaum musyrikīn (pembesar-pembesar Quraisy) yang berupa kenikmatan dan kekayaan itu hanyalah ujian dari Allah, yang akan memiliki akibat-akibat dan hasil-hasilnya. Dan, sudah menjadi sunnah-Nya menguji dengan kenikmatan sebagaimana Dia menguji dengan penderitaan.
Adapun orang-orang yang sombong, enggan berbuat kebaikan, dan tertipu dengan kenikmatan yang ada pada mereka, maka seperti itulah contoh akibat yang akan diterimanya, “Sesungguhnya azab akhirat lebih besar jika mereka mengetahui.”
Sedangkan, orang-orang yang bertaqwa dan berhati-hati, maka mereka akan mendapatkan surga yang penuh kenikmatan di sisi Tuhan mereka.
إِنَّ لِلْمُتَّقِينَ عِندَ رَبِّهِمْ جَنَّاتِ النَّعِيمِ.
“Sesungguhnya bagi orang-orang yang bertaqwa (disediakan) surga-surga yang penuh kenikmatan di sisi Tuhannya.” (al-Qalam: 34)
Ini adalah akibat yang berlawanan, sebagaimana jalan dan hakikat mereka memang berlawanan… Yah, dua golongan yang berbeda jalannya, maka berbeda pulalah kesudahannya!