Hati Senang

Surah al-Qalam 68 ~ Tafsir Sayyid Quthb (5/8)

Tafsir Sayyid Quthb - Tafsir Fi Zhilalil Qur'an
Dari Buku:
Tafsīr fi Zhilāl-il-Qur’ān
Oleh: Sayyid Quthb   Penerbit: Gema Insani

Kemudian tampak pulalah nilai unsur akhlak pada kali lain dalam pelarangan terhadap Rasulullah dari mengikuti seorang yang suka mendustakan dengan sifat-sifatnya yang tercela dan menjijikkan, yang kemudian diancamnya mereka dengan kerendahan dan kehinaan.

Janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah, yang sangat enggan berbuat baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa, yang kaku kasar, selain dari itu, yang terkenal kejahatannya, karena dia mempunyai (banyak) harta dan anak. Apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, ia berkata, “(Ini adalah) dongeng-dongengan orang-orang dahulu kala.” Kelak akan Kami beri tanda dia di belalainya.” (al-Qalam: 10-16)

Ada yang mengatakan bahwa orang ini adalah al-Walīd ibn-ul-Mughīrah, dan dia pulalah yang menjadi sasaran turunnya beberapa ayat dalam surah al-Muddatstsir.

Biarkanlah Aku bertindak terhadap orang yang Aku telah menciptakannya sendirian. Aku jadikan baginya harta benda yang banyak, dan anak-anak yang selalu bersama dia, dan Kulapangkan baginya (rezeki dan kekuasaan) dengan selapang-lapangnya, kemudian dia ingin sekali supaya Aku menambahnya. Sekali-kali tidak (akan Kutambah), karena sesungguhnya dia menentang ayat-ayat Kami (al-Qur’ān). Aku akan membebaninya mendaki pendakian yang memayahkan. Sesungguhnya dia telah memikirkan dan menetapkan (apa yang ditetapkannya). Maka, celakalah dia! Bagaimana dia menetapkan? Kemudian celakalah dia! Bagaimana dia menetapkan? Kemudian dia berpaling (dari kebenaran) dan menyombongkan diri. Kemudian dia memikirkan. Sesudah itu dia bermasam muka dan merengut. Kemudian dia berpaling (dari kebenaran) dan menyombongkan diri. Lalu dia berkata, (al-Qur’ān) ini tidak lain hanyalah sihir yang dipelajari (dari orang-orang dahulu). Ini tidak lain hanyalah perkataan manusia. Aku akan memasukkannya ke dalam (neraka) Saqar.” (al-Muddatstsir: 11-26)

Diriwayatkan bahwa al-Walīd ibn-ul-Mughīrah ini melakukan bermacam-macam usaha di dalam menipu Rasulullah dan menakut-nakuti para sahabat beliau, juga di dalam menghalang-halangi dakwah dan menghalang-halangi manusia dari jalan Allah… Sebagaimana dikatakan bahwa beberapa ayat surah al-Qalam turun berkenaan dengan al-Akhnas bin Syuraiq. Keduanya (al-Walīd dan al-Akhnas) adalah termasuk orang yang memusuhi Rasulullah dan terus-menerus memerangi beliau serta membangkitkan permusuhan terhadap beliau dalam masa yang panjang.

Serangan al-Qur’ān yang keras di dalam surah ini, dan ancaman-ancaman yang sengit di dalam surah lain, menjadi saksi betapa pentingnya peranan al-Walīd atau al-Akhnas ini, di dalam memerangi Rasulullah dan dakwah, sebagaimana hal ini juga menjadi saksi atas kejelekan hatinya, kebusukan jiwanya, dan kosongnya hati dan jiwa itu dari kebaikan.

Di sini al-Qur’ān menyifatinya dengan sembilan sifat yang semuanya tercela.

Pertama, ḥallāf …. banyak bersumpah. Tidak ada yang banyak bersumpah kecuali orang yang tidak jujur, karena dia tahu bahwa masyarakat akan mendustakannya dan tidak mempercayainya. Karena itu, dia bersumpah dan banyak bersumpah untuk menutupi kebohongannya dan menarik kepercayaan orang lain kepadanya.

Kedua, mahīn …, hina. Tidak menghormati dirinya dan masyarakat pun tidak menghormati perkataannya. Sebagai tanda kehinaannya ialah dia merasa perlu bersumpah, dan dia tidak percaya kepada dirinya sendiri dan orang lain juga tidak percaya kepadanya, meskipun dia orang kaya dan banyak anak, serta berkedudukan. Karena, kehinaan itu merupakan sifat jiwa yang melekat pada seseorang sekalipun dia itu penguasa tiran dan diktator. Kemuliaan itu juga merupakan sifat kejiwaan yang tidak berpisah dari jiwa yang mulia, meskipun dia tidak memiliki segala kekayaan duniawi!

Ketiga, hammāz…, banyak mencela. Yang suka mencela dan mencaci manusia dengan perkataan dan isyarat, baik di hadapan yang bersangkutan maupun ketika yang bersangkutan tidak ada di hadapannya. Akhlaq mencela ini sangat dibenci oleh Islam, karena moralitas seperti ini bertentangan dengan murū’ah (keperwiraan), bertentangan dengan kesopanan dalam bergaul dengan orang lain. Juga bertentangan dengan keharusan memelihara kemuliaan mereka, kecil ataupun besar, muda ataupun tua.

Celaan terhadap moralitas ini disebutkan secara berulang-ulang di dalam al-Qur’ān pada tempat lain. Firman-Nya,

Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela….” (al-Humazah: 1)

Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok). Dan, jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh Jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok). Janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk….” (al- Ḥujurāt: 11)

Semua ini termasuk jenis mencela dalam salah satu bentuknya.

Keempat, masysyā-in bi namīm…, ke sana ke mari menghambur fitnah. Berjalan ke sana ke mari di antara manusia dengan menyampaikan hal-hal yang merusak hati mereka, memutuskan hubungan di antara mereka, dan menghilangkan kasih sayang sesama mereka. Ini adalah akhlaq yang tercela dan hina, yang tidak akan bersifat dengannya dan menyandangnya orang yang masih menghormati dirinya sendiri atau masih berharap dihormati orang lain. Bahkan, orang-orang yang mau membuka telinganya untuk mendengarkan perkataannya pun tidak menghormatinya di dalam lubuk hatinya dan tidak mencintainya.

Sesungguhnya Rasulullah melarang seseorang menyampaikan kepada beliau tentang sesuatu yang dapat mengubah perasaan hati beliau terhadap salah seorang sahabat beliau. Beliau bersabda,

لاَ يُبْلِغُنِي أَحَدٌ مِنْ أَصْحَابِيْ عَنْ أَحَدٍ شَيْأً فَأِنِّيْ أُحِبُّ أَنْ أَخْرُجَ إِلَيْكُمْ وَ أَنَا سَلِيْمُ الصَّدْرِ

Janganlah seseorang dari sahabatku menyampaikan kepadaku tentang sesuatu mengenai seseorang, karena aku suka keluar kepadamu dalam keadaan hatiku sejahtera.” (HR Abu Daūd dan Tirmidzi)

Diriwayatkan di dalam Shaḥīḥ Bukhārī dan Shaḥīḥ Muslim dari hadits Mujāhid, dari Thawus, dari Ibnu ‘Abbās bahwa Rasulullah melewati dua buah kubur, lalu beliau bersabda,

إِنَّهُمَا لَيُعَذِّبَانِ، وَ مَا يُعَذِّبَانِ فِيْ كَبِيْرٍ. أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنَ الْبَوْلِ، وَ أَمَّا اْلآخَرُ فَكَانَ يَمْشِيْ بِالنَّمِيْمَةِ

Sesungguhnya keduanya sedang disiksa, dan mereka tidak disiksa karena masalah besar. Yang satu karena tidak bersuci dari kencing, dan yang satu karena suka ke sana kemari menghambur fitnah (mengadu domba).

Imām Aḥmad meriwayatkan dengan isnadnya dari Ḥudzaifah bahwa ia mendengar Rasulullah bersabda,

Tidak akan masuk surga orang yang suka mengadu domba.” (HR al-Jamā’ah kecuali Ibnu Mājah)

Imam Ahmad juga meriwayatkan dengan isnadnya dari Yazid bin as-Sakan bahwa Nabi s.a.w. bersabda,

أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِخِيَارِكُمْ ؟ قَالُوا : بَلَى، يَا رَسُولَ اللهِ ؟ قَالَ : الَّذِيْنَ إِذَا رُءُوا ذُكِرَ اللهُ عَزَّ وَ جَلَّ . ثُمَّ قَالَ : أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِشِرَارِكُمْ ؟ اَلْمَشَّاءُوْنَ بِالنَّمِيْمَةِ الْمُفْسِدُونَ بَيْنَ الْأَحِبَّةِ الْبَاغُونَ لِلْبُرَآءِ الْعَيْبَ

Maukah aku tunjukkan kepadamu orang yang paling baik di antara kamu?” Mereka menjawab, “Mau, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Yaitu Orang-orang yang apabila dilihat, maka disebutlah nama Allah Azza wa Jalla.” Kemudian beliau bersabda, “Maukah aku tunjukkan kepadamu orang yang paling buruk di antara kamu? Yaitu orang-orang yang kian kemari menghambur fitnah (mengadu domba), merusak hubungan antar orang yang saling mencintai, dan mencari-cari aib orang-orang yang tidak bersalah.

Oleh karena itu, sudah tentu Islam melarang keras moral yang tercela dan rendah ini, yang dapat merusak hati sebagaimana merusak persahabatan. Perbuatan yang merendahkan derajat pelakunya sendiri sebelum merusak masyarakat, memakan hatinya dan moralnya sendiri sebelum memakan keselamatan masyarakat, menghilangkan kepercayaan masyarakat, dan kadang kala menjadikan orang yang baik-baik sebagai tertuduh (kambing hitam).

Kelima, mannā’in lil-khairi …, sangat enggan berbuat baik…. Enggan berbuat baik terhadap dirinya sendiri dan orang lain. Bahkan, dia enggan beriman, padahal iman ini merupakan sentral segala kebaikan. Sudah populer bahwa al-Walīd ibn-ul-Mu ghīrah pernah berkata kepada anak-anaknya dan keluarganya, ketika dia melihat ada kecenderungan pada mereka kepada Nabi s.a.w., “Jika ada seseorang dari kamu mengikuti agama Muḥammad, maka aku tidak akan memberinya sesuatu selama-lamanya.” Maka, dengan ancaman ini, dia melarang mereka memeluk Islam. Oleh karena itu, al-Qur’ān menetapkan sifat “sangat enggan berbuat baik” ini kepadanya, karena tindakan dan perkataannya itu.

Keenam, mu’tadin…, melampaui batas… melampaui batas kebenaran dan keadilan secara mutlak. Kemudian dia juga melampaui batas terhadap Nabi s.a.w. dan terhadap kaum muslimin. Juga terhadap keluarga dan familinya sendiri dengan menghalang-halangi mereka dari petunjuk dan mencegah mereka memeluk agama Islam….

Melampaui batas adalah sifat yang tercela, yang mendapat perhatian yang serius dari al-Qur’ān dan al-Hadits. Islam melarangnya dalam segala bentuknya, hingga melampaui batas dalam makan dan minum sekalipun.

Makanlah di antara rezeki yang baik yang telah Kami berikan kepadamu, dan janganlah melampaui batas padanya.” (Thāhā: 81)

Karena keadilan dan keseimbangan adalah cetakan Islam yang asli.

Ketujuh, atsīm…, banyak dosa… suka melakukan kemaksiatan-kemaksiatan sehingga dia pantas mendapatkan predikat tersebut. “Atsīm”… banyak berbuat dosa, tanpa batas jenis dosa yang dilakukannya. Maka, penggunaan bentuk kata ini sudah mengarah kepada penetapan sifat tersebut dan melekatkannya pada jiwa yang bersangkutan, seperti cetakan yang tetap.

Kedelapan, ‘utull.., kaku kasar… Selain itu semua, dia juga kaku kasar. Ini adalah lafal yang mengungkapkan gaungnya dan bayang-bayangnya tentang segenap sifat dan ciri-ciri, yang tidak dapat dirangkum oleh berbagai macam kata dan identitas. Karena itu, ada yang mengatakan bahwa arti kata ‘utull adalah orang yang keras lagi kasar. Dia adalah pemakan dan peminum, pelahap, sangat jahat dan suka menghalang-halangi orang lain berbuat kebaikan, kasar tabiatnya, tercela jiwanya, jelek pergaulannya. Diriwayatkan dari Ab-ud-Dardā’ r.a. bahwa utull ialah seorang orang yang suka menusuk sampai ke bagian dalam, keras wataknya, suka makan dan suka minum, rakus terhadap harta, sangat bakhil.”

Akan tetapi, keberadaan kata utull itu sendiri lebih banyak cakupannya daripada semua ini, dan lebih mengena pelukisannya terhadap kepribadian yang dibenci ini dari semua seginya.

Kesembilan, zanīm …, terkenal kejahatannya. Ini sebagai penutup sifat-sifat tercela dan dibenci yang terhimpun pada setiap musuh Islam, dan tidak ada yang memusuhi Islam dan terus memusuhinya kecuali manusia-manusia yang bersifat tercela seperti ini. Di antara makna kata zanīm yang melekat pada suatu kaum adalah tidak mempunyai nasab pada mereka, atau nasab (hubungannya) hanya bersifat dugaan. Dan, di antara makna kata zanīm ialah orang yang populer dan terkenal dengan ketercelaannya, keburukannya, dan banyak kejahatannya. Makna yang kedua inilah yang lebih dekat kepada al-Walīd ibnul-Mughīrah, meskipun lafalnya yang mutlak membubuhinya dengan sifat yang mudah dimengerti masyarakat, yaitu sombong dan congkak.

Kemudian penyebutan sifat-sifat pribadi dan sikapnya terhadap ayat-ayat Allah ini diakhiri dengan menunjukkan kejelekan sikap ini yang digunakan membalas nikmat Allah yang telah memberinya harta dan anak-anak.

Karena dia mempunyai (banyak) harta dan anak. Apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, dia berkata, (Ini adalah) dongeng-dongengan orang-orang dahulu kala.” (al-Qalam: 14-15)

Nah, betapa buruknya manusia yang membalas nikmat Allah kepadanya yang berupa harta dan anak-anak itu dengan balasan yang berupa penghinaan terhadap ayat-ayat-Nya, penghinaan terhadap Rasul-Nya, dan penentangan terhadap agama- Nya. Ini saja sudah cukup mewakili semua sifat tercela yang disebutkan di muka.

Oleh karena itu, datanglah ancaman dari Tuhan Yang Mahaperkasa dan Mahakuasa Memaksa, kepada jiwa yang menjadi tempat kesombongan dan membangga-banggakan harta dan anak itu, sebagai mana sebelumnya telah disebutkan sifat-Nya ketika menyebutkan kesombongan dan kecongkakan mereka. Dan, diperdengarkanlah ancaman Allah yang pasti.

Kelak akan Kami beri tanda dia di belalainya.” (al-Qalam: 16)

Di antara makna “khurthūm” adalah ujung hidung (belalai) gajah. Kemungkinan yang dimaksud di sini adalah kiasan dari hidungnya. Dan, hidung di dalam pemakaian bahasa Arab sering digunakan untuk kiasan terhadap suatu kedudukan. Maka, dikatakan hidungnya semerbak sebagai kiasan bagi orang yang terhormat, hidungnya di tanah sebagai kiasan bagi orang yang hina. Dan, dikatakan bengkak hidungnya dan panas hidungnya apabila seseorang itu marah. Dan, diantaranya lagi adalah anfah yang berarti harga diri atau sombong. Dan, ancaman dengan memberi tanda pada belalai mengandung dua macam penghinaan dan perendahan. Pertama, diberi tanda seperti budak. Dan kedua, disamakan hidungnya dengan belalai seperti babi (atau gajah).

Tidak diragukan lagi bahwa jatuhnya ayat-ayat ini pada jiwa al-Walīd itu merupakan bencana yang membinasakan baginya, karena dia termasuk kalangan penyair terkemuka yang penuh dengan celaan dan caci maki, yang semestinya orang yang terhormat menjauhkan diri dari yang demikian itu. Maka, bagaimana dengan kenyataan bahwa dia dikalahkan oleh kebenaran yang datangnya dari Pencipta langit dan bumi, dengan metode yang tak tertandingi ini, di dalam dokumen yang setiap lafalnya bertanya jawab dengan segala sisi alam wujud ini, yang kemudian menetap di dalam eksistensi semesta ini… di dalam keabadian…?

Itulah kebinasaan yang layak bagi musuh Islam, musuh Rasul yang mulia, dan musuh orang yang berakhlak luhur…

Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.