Hati Senang

Surah al-Qalam 68 ~ Tafsir Sayyid Quthb (4/8)

Tafsir Sayyid Quthb - Tafsir Fi Zhilalil Qur'an
Dari Buku:
Tafsīr fi Zhilāl-il-Qur’ān
Oleh: Sayyid Quthb   Penerbit: Gema Insani

Selanjutnya, akhlak Islam bukanlah keutamaan-keutamaan yang bersifat tunggal, sendiri-sendiri, jujur, amanah, adil, kasih sayang, bagus… Tetapi, ia merupakan sebuah sistem yang integral, saling melengkapi, dan berinteraksi dengan pendidikan dan pensyariatan hukum-hukumnya. Ia menjadi landasan pikiran tentang kehidupan serta semua arah dan seginya, yang pada akhir perjalanannya berujung pada Allah, bukan kepada semboyan kehidupan mana pun.

Akhlaq Islam dengan kesempurnaannya, keindahannya, keseimbangannya, kelurusannya, keaktualannya, dan kemantapannya ini semua tercermin pada diri Nabi Muhammad s.a.w. dan tercermin dalam sanjungan Allah Yang Mahaagung dan firman-Nya,

Sesungguhnya engkau (Muḥammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (al-Qalam: 4)

 

Setelah memberikan pujian yang mulia kepada hamba-Nya ini, Allah menenangkan hati beliau mengenai hari-hari esoknya dalam menghadapi kaum musyrikin yang menuduhnya dengan tuduhan yang hina. Allah mengancam mereka dengan akan mempermalukan mereka dan menyingkap kebatilan dan kesesatan mereka yang sangat jelas itu.

Maka, kelak kamu akan melihat dan mereka (orang-orang kafir) pun akan melihat, siapa di antara kamu yang gila. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah Yang Paling Mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya, dan Dialah Yang Paling Mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (al-Qalam: 5-7)

Orang gila, yang Allah menenangkan hati nabi-Nya dengan akan menyingkap dan menerangkannya itu adalah orang yang sesat. Atau, dialah orang yang akan diuji, yang dengan ujian ini akan terkuak hakikatnya. Kedua hal ini saling berdekatan…. Dan, janji Allah ini untuk menenangkan hati Rasulullah dan orang-orang mukmin, di samping terdapat ancaman bagi orang-orang yang menentang beliau dan melontarkan tuduhan yang bukan-bukan kepada beliau…

Apapun materi kegilaan yang mereka tuduhkan kepada beliau, maka dugaan yang paling dekat bahwa mereka tidak bermaksud menuduh beliau hilang akalnya, karena tuduhan semacam ini akan ditolak oleh kenyataan. Tetapi, yang mereka maksudkan adalah kesurupan jin yang jin itu lantas membisikkan perkataan yang aneh tetapi indah itu (al-Qur’ān-penj.), sebagaimana mereka menganggap setiap penyair mempunyai setan yang membantunya menciptakan perkataan yang indah-indah. Materi tuduhan semacam ini jauh dari realitas Nabi Muḥammad s.a.w. dan jauh dari karakter perkataan yang mantap, benar, dan lurus yang diwahyukan kepada beliau.

Janji Allah ini mengisyaratkan bahwa besok Dia akan akan menyingkap hakikat Nabi-Nya dan hakikat orang-orang yang mendustakannya. Dia akan menetapkan siapa yang gila atau sesat dalam hal ini. Dia menenangkan hati beliau dengan menyatakan bahwa Tuhannya itulah “Yang Paling Mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya, dan Dialah Yang Paling Mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” Tuhannyalah yang memberikan wahyu kepadanya. Karena itu, Dialah yang mengetahui bahwa ia dan pengikut-pengikutnya adalah orang yang mendapat petunjuk.

Ayat ini untuk menenangkan hati Nabi s.a.w. dan menggoncangkan hati musuh-musuhnya. Juga menimbulkan rasa takut dan ketidaktenangan di dalam hati mereka sebagaimana akan dijelaskan nanti.

 

Selanjutnya Allah menyingkap hakikat keadaan mereka dan hakikat perasaan mereka yang selalu memusuhi dan menentang kebenaran yang ada pada beliau dan menuduh beliau dengan tuduhan yang bukan-bukan itu. Padahal, ‘aqidah mereka rapuh dan labil karena berisi pandangan-pandangan jahiliah yang mereka tampak-tampakkan sebagai pegangan yang kokoh. Mereka bersedia meninggalkan kebanyakan ajaran agama jahiliah itu dengan catatan Rasulullah mau meninggalkan sebagian dari apa yang beliau serukan kepada mereka. Mereka bersedia berlunak-lunak dan berlemah lembut serta bertoleransi secara lahiriah saja, agar Rasulullah mau berlunak-lunak dan berlemah lembut dengan mereka….

Maka, mereka bukanlah orang yang memiliki ‘aqidah yang mereka percayai sebagai kebenaran. Mereka hanyalah memiliki sikap-sikap lahiriah yang mereka pergunakan untuk menutupi ‘aqidahnya yang amburadul itu.

Maka, janganlah kamu ikuti orang-orang yang mendustakan (ayat-ayat Allah). Maka, mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu).” (al-Qalam: 8-9)

Nah, kalau begitu, ini adalah tawar-menawar, dan mereka bertemu di tengah jalan, sebagaimana yang mereka perbuat di dalam jual beli. Akan tetapi, perbedaan antara ‘aqidah dengan perniagaan sangat besar. Pemilik ‘aqidah tidak akan beranjak dari ‘aqidahnya sedikit pun, karena persoalan yang kecil dan besar dalam ‘aqidah itu sama saja. Bahkan, di dalam ‘aqidah tidak ada urusan kecil dan besar. ‘Aqidah adalah sebuah hakikat yang bagian-bagiannya saling melengkapi, yang dalam hal ini pemilik atau pemeluknya tidak boleh mematuhi seorang pun dengan meninggalkan bagian-bagian tertentu dari ‘aqidahnya.

Dalam hal ini Islam tidak mungkin bertemu dengan jahiliah di tengah jalan, dan tidak mungkin dapat bertemu di jalan mana pun.

Begitulah sikap Islam terhadap jahiliah di semua waktu dan semua lokasi, baik jahiliah tempo dulu, jahiliah masa kini, maupun jahiliah esok hari. Jurang pemisah antara jahiliah dengan Islam tak terkatakan, tak dapat dipasang jembatan di atasnya, tak dapat berbagi, dan tak dapat bersambung. Ini adalah permusuhan total yang mustahil dapat dikompromikan.

Banyak sekali riwayat yang menceritakan bagaimana kaum musyrikin berlunak-lunak kepada Nabi s.a.w. supaya beliau mau berlunak-lunak dan berlemah lembut dengan mereka, serta tidak lagi mencela berhala-berhala sembahan mereka dan membodoh-bodohkan tindak peribadatan terhadap berhala-berhala itu. Atau, agar beliau mau mengikuti sedikit ajaran agama mereka dan mereka mau mengikuti agama beliau, dengan menjaga air muka mereka di hadapan mayoritas bangsa Arab, sebagai mana layaknya orang-orang yang tawar-menawar yang mencari pemecahan masalah.

Akan tetapi, Rasulullah tetap bersikap teguh di dalam masalah agamanya, tidak mau berlunak-lunak dan berlemah-lemah. Padahal, dalam persoalan non-agamis beliau adalah manusia yang paling lemah lembut, paling bagus pergaulannya, paling memperhatikan keluarga, dan paling antusias terhadap kemudahan dan memberikan kemudahan. Adapun urusan agama, maka ia adalah agama! Dalam hal ini beliau sangat berpegang teguh pada pengarahan Tuhannya,

Maka, janganlah kamu ikuti orang-orang yang mendustakan (ayat-ayat Allah)!” (al-Qalam: 8)

Rasulullah tidak mau melakukan tawar-menawar dalam urusan agamanya, padahal beliau berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan di Makkah. Beliau dibatasi dakwahnya, dan sahabat-sahabatnya yang sedikit jumlahnya itu selalu diteror, disiksa, dan disakiti dalam menjalankan agama Allah dengan gangguan yang sangat berat, namun mereka bersabar. Akan tetapi, beliau tidak pernah diam dari menyampaikan sepatah kata yang harus disampaikan ke hadapan orang-orang yang kuat dan diktator, untuk melunakkan hati mereka atau untuk menolak gangguan mereka. Beliau juga tidak pernah diam dari menjelaskan hakikat sesuatu yang bersentuhan dengan ‘aqidah, baik kepada orang dekat maupun orang yang jauh. Ibnu Hisyām meriwayatkan dalam as-Sīrah dari Ibnu Isḥāq bahwa ketika Rasulullah memperlihatkan dan menyampaikan Islam secara terang-terangan kepada kaumnya sebagaimana diperintahkan oleh Allah, maka kaumnya tidak menjauhi beliau dan tidak pula menyanggah beliau sehingga beliau menyebut-nyebut berhala-berhala mereka dan mencelanya. Ketika beliau melakukan hal itu, maka mereka menganggapnya sebagai sesuatu yang besar dan mereka mengingkarinya. Mereka bersepakat menentang dan memusuhi beliau, kecuali orang yang dipelihara Allah dengan Islam di antara mereka yang jumlahnya hanya sedikit dan bersembunyi-sembunyi. Akan tetapi, paman beliau (Abū Thālib) menaruh simpati dan kasih sayang kepada beliau dan berusaha melindungi beliau. Rasulullah terus melaksanakan perintah Allah dengan terang-terangan, tanpa ada sesuatu pun yang dapat mencegahnya.

Ketika orang-orang Quraisy melihat Rasulullah tidak mencela mereka mengenai sesuatu yang mereka ingkari dengan meninggalkan mereka dan mencela berhala-berhala sembahan mereka, dan mereka melihat bahwa paman beliau Abū Thālib menaruh simpati kepada beliau dan melindungi beliau sehingga tidak mau menyerahkan beliau kepada mereka,… maka beberapa pemuka Quraisy antara lain ‘Utbah dan Syaibah dua orang anak Rabī’ah, Abū Sufyān bin Ḥarb bin Umayyah, Ab-ul-Bakhtari yang nama aslinya al-‘Āsh bin Hisyām, al-Aswad ibn-ul-Muththalib bin Asad, Abū Jahal (nama aslinya ‘Amr bin Hisyām dan dijuluki pula dengan Abul Ḥakam), al-Walīd ibn-ul-Mughīrah, Nabih dan Munabbih dua orang anak al-Ḥajjāj bin ‘Amīr, dan beberapa orang lagi, datang kepada Abū Thālib seraya berkata, “Wahai Abū Thālib, anak saudaramu itu telah mencela sembahan-sembahan kami, mencela agama kami, menganggap bodoh pikiran kami, dan menganggap sesat nenek moyang kami. Oleh karena itu, kami berharap engkau cegah dia dari mencela kami atau biarkanlah kami bertindak terhadapnya. Akan tetapi, karena engkau adalah seperti kami, berbeda agama dengannya, maka kami kira cukup mendelegasikan engkau untuk menghadapinya.” Kemudian Abū Thālib berkata kepada mereka dengan lemah lembut dan menjawabnya dengan jawaban yang baik, lalu mereka kembali.

Rasulullah terus menjalankan tugasnya, menyampaikan dan mendakwahkan agama Allah dengan terang-terangan. Tetapi, kemudian persoalan antara beliau dengan mereka semakin bertambah genting sehingga mereka semakin menjauh dan semakin benci. Kaum Quraisy semakin sering menyebut-nyebut Rasulullah, murka, dan antara sebagian dengan sebagian yang lain saling menambah kebencian kepada beliau. Kemudian mereka datang lagi kepada Abū Thālib seraya berkata, “Wahai Abū Thālib, sesungguhnya engkau adalah orang yang terpandang dan terhormat di kalangan kami, dan kami telah memintamu agar mencegah anak saudaramu itu. Tetapi, engkau tidak juga mencegahnya dari mencela sembahan dan agama kami. Karena itu, demi Allah, kami sudah tidak sabar lagi terhadap hal ini, sehingga engkau melindunginya dari kami, atau kami yang akan turun menghadapinya dan menghadapimu. Sehingga, binasalah salah satu dari kedua golongan ini.” Kemudian mereka meninggalkan Abū Thālib

Maka, keberpisahan kaumnya dan permusuhan mereka terhadap Nabi ini terasa berat oleh Abū Thālib. Dia tidak rela menyerahkan Rasulullah kepada mereka dan tidak rela pula merendahkan beliau. Ibnu Isḥāq mengatakan bahwa diceritakan oleh Ya’qūb bin ‘Uqbah ibn-ul-Mughīrah ibn-ul-Akhnas bahwa setelah kaum Quraisy berkata demikian kepada Abū Thālib, maka pergilah Abū Thālib kepada Rasulullah seraya berkata kepada beliau, “Wahai anak saudaraku, sesungguhnya kaummu telah datang kepadaku dan berkata begini dan begini (sebagai mana yang mereka katakan itu). Maka, bebaskanlah aku dan dirimu, dan janganlah engkau bebani aku dengan sesuatu yang aku tidak sanggup memikulnya.”

Rasulullah mengira bahwa telah terjadi perubahan pada pamannya. Beliau mengira Abū Thālib telah meremehkannya dan menyerahkannya kepada musuh, dan dia tidak mampu lagi menolong dan melindungi beliau. Lalu Rasulullah berkata, “Wahai paman, demi Allah, seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku dengan catatan aku harus meninggalkan perintah Allah ini, maka aku tidak akan meninggalkannya, sehingga Allah memenangkan agama-Nya atau aku binasa karenanya.

Maka, Rasulullah menangis bercucuran air mata, kemudian berdiri. Maka, ketika beliau hendak pergi, Abū Thālib memanggilnya seraya berkata, “Kemarilah wahai anak saudaraku!” Kemudian Rasulullah menghadap kepadanya, lalu Abū Thālib berkata, “Laksanakanlah wahai anak saudaraku, katakanlah apa yang ingin engkau katakan. Maka demi Allah, aku tidak akan menyerahkanmu kepada sesuatu pun selama-lamanya.”

Begitulah gambaran bagaimana Rasulullah terus saja menjalankan dakwahnya pada saat pamannya sendiri berlepas tangan dari beliau. Padahal, paman inilah pelindung dan pembela beliau, dan benteng terakhir beliau di muka bumi yang melindungi beliau dari orang-orang yang menantikan kehancuran beliau dan membenci beliau.

Demikianlah sebuah lukisan yang kuat, indah, dan baru jenisnya, dilihat dari segi hakikatnya, bentuknya, bayangannya, ungkapannya, dan kata-katanya…. Baru dengan keseriusan ‘aqidahnya, indah dengan keindahan ‘aqidahnya, dan kuat dengan kekuatan ‘aqidahnya. Yah, lukisan yang mencerminkan firman Allah Yang Mahaagung, “Sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekeri yang agung.

Gambaran lain yang juga diriwayatkan oleh Ibnu Ishāq, yang menggambarkan penawaran langsung dari kaum musyrikin kepada Rasulullah setelah mereka merasa payah memikirkan urusan beliau, dan masing-masing kabilah melompat hendak menerkam setiap orang yang masuk Islam.

Ibnu Isḥāq mengatakan bahwa telah diceritakan oleh Yazīd bin Ziyād, dari Muḥammad bin Ka’ab al-Qurazhī bahwa ‘Utbah bin Rabī’ah yang menjadi pemuka kaumnya, pada suatu hari duduk di balai pertemuan kaum Quraisy, lalu dia berkata, “Wahai segenap kaum Quraisy! Bagaimana kalau aku datangi Muḥammad lalu aku bicarakan kepadanya dan aku suguhkan kepadanya beberapa hal yang boleh jadi dia akan menerima sebagiannya, lantas kita berikan kepadanya apa yang dikehendakinya, asalkan dia berhenti dari menyebarkan agamanya kepada kita?” Hal ini terjadi setelah Hamzah masuk Islam, dan mereka melihat sahabat-sahabat Rasulullah semakin bertambah banyak. Lalu mereka berkata, “Wahai Ab-ul-Walīd, pergilah dan berbicaralah kepadanya.”

Kemudian ‘Utbah pergi menemui Rasulullah yang sendirian di masjid. ‘Utbah duduk di sebelah beliau, lalu dia berkata, “Wahai anak saudaraku, sesungguhnya engkau termasuk golongan kami. Engkau tahu bahwa kita termasuk golongan yang terpandang dalam keluarga dan punya kedudukan yang tinggi dalam nasab. Engkau telah datang kepada kaummu dengan membawa persoalan yang besar. Engkau pecah-belah persatuan mereka, engkau anggap bodoh akal mereka, engkau cela tuhan-tuhan dan agama mereka, dan karenanya engkau kafirkan nenek moyang mereka. Karena itu, dengarkanlah aku, aku hendak menawarkan beberapa hal kepadamu untuk engkau pertimbangkan, barangkali engkau dapat menerima sebagiannya.” Lalu Rasulullah berkata kepada ‘Utbah, “Silakan bicara wahai AbulWalīd, akan saya dengarkan.

‘Utbah berkata, “Wahai anak saudaraku, jika kedatanganmu dengan ajaranmu itu dengan maksud hendak mencari harta kekayaan, maka kami akan mengumpulkan kekayaan kami untukmu, sehingga engkau menjadi orang yang paling kaya di antara kami. Jika engkau bermaksud untuk mendapatkan kehormatan, maka kami akan menjadikanmu sebagai pemimpin kami, dan kami tidak perlu memutuskan hubungan denganmu. Jika engkau menginginkan kekuasaan, maka kami akan menjadikanmu raja atas kami. Dan, jika yang datang kepadamu ini khadam jin yang tidak dapat engkau tolak, maka kami akan mencarikan obat untukmu dan akan kami gunakan seluruh harta kekayaan kami untuk itu sehingga engkau sembuh, karena mungkin saja nanti akan ada orang yang dapat mengobatinya.”

Setelah ‘Utbah selesai berkata, beliau bertanya kepadanya, “Wahai AbulWalīd, apakah Anda sudah selesai?” Utbah menjawab, “Sudah.” Rasulullah berkata, “Maka, sekarang dengarkanlah saya.” Utbah menjawab, “Silakan.” Kemudian Rasulullah berkata (membaca firman Allah),

Ḥā Mīm. Diturunkan dari Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui, yang membawa berita gembira dan yang membawa peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling (daripadanya), maka mereka tidak (mau) mendengarkan. Mereka berkata, Hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kamu seru kami kepadanya dan di telinga kami ada sumbatan serta antara kami dan kamu ada dinding. Maka, bekerjalah kamu, sesungguhnya kami bekerja (pula). Katakanlah, Aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya. Dan, kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan (Nya).” (Fushshilat: 1-6)

Kemudian Rasulullah melanjutkan bacaannya. ‘Utbah diam dan mendengarkannya dengan penuh perhatian. Ia meletakkan kedua tangannya di belakang punggungnya sambil bersandar mendengarkannya. Kemudian sampailah Rasulullah pada ayat sajdah, lalu beliau bersujud, kemudian beliau berkata kepada ‘Utbah, “Engkau telah mendengarkannya wahai AbulWalīd, maka sekarang terserah Anda.

Kemudian ‘Utbah pergi menemui teman-temannya, lalu sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain, “Kami bersumpah demi Allah, sesungguhnya Ab-ul-Walīd datang kepada kalian dengan wajah yang tidak sama dengan kepergiannya tadi.”

Setelah Ab-ul-Walīd duduk di sisi mereka, mereka bertanya, “Apa yang terjadi di belakangmu, wahai Ab-ul-Walīd?” ‘Utbah menjawab, “Sesungguhnya aku telah mendengar, demi Allah, perkataan yang belum pernah kudengar sama sekali. Demi Allah, ia bukan syair, bukan sihir, dan bukan pedukunan. Wahai segenap bangsa Quraisy, patuhilah aku, dan biarkanlah orang ini (Nabi Muḥammad-penj.) dengan urusannya, dan tinggalkanlah dia. Demi Allah, sesungguhnya perkataannya yang telah kudengar itu akan menjadi berita besar. Jika bangsa Arab menyukainya, maka sesungguhnya kalian telah mencukupkan dia untuk selain kalian. Jika dia mengungguli bangsa Arab, maka kekuasaannya adalah kekuasaan kalian juga, dan kemuliaannya adalah kemuliaan kalian pula. Dan, kalian adalah orang yang paling berbahagia dengan adanya dia.” Mereka menjawab, “Demi Allah, dia telah menyihirmu dengan mulutnya, wahai Ab-ul-Walīd.” Ab-ul-Walīd menimpali, “Inilah pendapatku tentang dia, maka terserahlah Anda mau berbuat apa ….!”

Di dalam riwayat lain diceritakan bahwa ‘Utbah mendengarkan hingga Rasulullah sampai pada ayat, “Jika mereka berpaling, maka katakanlah, Aku telah memperingatkan kamu dengan petir, seperti petir yang menimpa kaum ‘Ād dan kaum Tsamūd.” (Fushshilat: 13)…

Lalu dia berdiri dengan ketakutan, lantas meletakkan tangannya di mulut Rasulullah seraya berkata, “Aku memohon kepadamu karena Allah dan jalinan kasih sayang di antara kita, wahai Muḥammad!” Ia berbuat demikian karena takut akan yang diancamkan itu segera terjadi, lalu dia menghadap kepada kaumnya dan berkata sebagaimana disebutkan di muka.

Bagaimanapun, ini adalah bentuk lain dari bentuk-bentuk penawaran itu. Ini juga menunjukkan salah satu gambaran akhlaq Rasulullah yang agung, yang tampak di dalam sikap beliau mendengarkan ‘Utbah hingga selesai berkata, yang semestinya tidak perlu dihiraukan oleh orang seperti Nabi Muḥammad s.a.w. yang demikian lurus pandangannya terhadap alam semesta, dalam timbangan kebenarannya, dan luasnya bumi ini. Akan tetapi, akhlaqnya yang luhur menahan beliau agar tidak memutuskan hubungan, agar tidak tergesa-gesa, tidak marah, dan tidak menghardik, hingga orang itu selesai bicara, sedang beliau tekun memperhatikannya. Kemudian beliau bertanya dengan tenang, “Apakah sudah selesai, wahai AbulWalīd?” untuk menambah perhatian dan ketegasan.

Sesungguhnya ini adalah ketenangan yang jujur terhadap kebenaran, yang disertai dengan kesopanan yang tinggi di kala mendengar dan berbicara. Sikap ini juga menunjukkan sebagian akhlak beliau yang mulia.

Dan, bentuk ketiga tawar-menawar ini dilukiskan dalam riwayat Ibnu Isḥāq bahwa Rasulullah tawar-menawar dengan al-Aswad ibn-ul-Muthallib bin Asad bin ‘Abd-ul-‘Uzza, al-Walīd ibn-ul-Mughīrah, Umayyah bin Khalaf, dan al-‘Āsh bin Wā-il as-Sahmī, dan mereka ini dituakan (terpandang) di kalangan kaumnya. Mereka berkata, “Wahai Muḥammad, marilah kami menyembah apa yang engkau sembah, dan engkau menyembah apa yang kami sembah. Kita, yakni kami dan engkau bersekutu dalam urusan ini. Jika apa yang engkau sembah itu lebih baik daripada apa yang kami sembah, maka kami akan mengambil bagian kami darinya. Dan, jika apa yang kami sembah lebih baik daripada apa yang engkau sembah, maka engkau harus mengambil bagianmu darinya.” Lalu Allah menurunkan firman-Nya, “Qul yā ayyuhal kāfirūn. Lā a’budu mā ta’budūn…” Hingga akhir surah.

Allah memutuskan tawar-menawar yang menggelikan itu dengan keputusan yang pasti, dan Rasulullah mengatakan kepada mereka dengan apa yang diperintahkan Allah itu…

Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.