ن وَالْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُونَ. مَا أَنتَ بِنِعْمَةِ رَبِّكَ بِمَجْنُونٍ. وَإِنَّ لَكَ لَأَجْراً غَيْرَ مَمْنُونٍ. وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ. فَسَتُبْصِرُ وَيُبْصِرُونَ. بِأَييِّكُمُ الْمَفْتُونُ. إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ. فَلَا تُطِعِ الْمُكَذِّبِينَ. وَدُّوا لَوْ تُدْهِنُ فَيُدْهِنُونَ. وَلَا تُطِعْ كُلَّ حَلَّافٍ مَّهِينٍ. هَمَّازٍ مَّشَّاء بِنَمِيمٍ. مَنَّاعٍ لِّلْخَيْرِ مُعْتَدٍ أَثِيمٍ. عُتُلٍّ بَعْدَ ذَلِكَ زَنِيمٍ. أَن كَانَ ذَا مَالٍ وَبَنِينَ. إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِ آيَاتُنَا قَالَ أَسَاطِيرُ الْأَوَّلِينَ. سَنَسِمُهُ عَلَى الْخُرْطُومِ.
“Nūn, demi qalam dan apa yang mereka tulis. Berkat nikmat Tuhanmu, kamu (Muḥammad) sekali-kali bukan orang gila. Sesungguhnya bagi kamu benar-benar pahala yang besar yang tidak putus-putusnya. Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. Maka, kelak kamu akan melihat dan mereka (orang- orang kafir) pun akan melihat, siapa di antara kamu yang gila. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah Yang Paling Mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya, dan Dialah Yang Paling Mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. Maka, janganlah kamu ikuti orang-orang yang mendustakan (ayat-ayat Allah). Maka, mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu). Janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina. Yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah. Yang sangat enggan berbuat baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa. Yang kaku kasar, selain dari itu, yang terkenal kejahatannya, karena dia mempunyai (banyak) harta dan anak. Apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat kami, ia berkata, “(Ini adalah) dongeng-dongengan orang-orang dahulu kala.” Kelak akan Kami beri tanda dia di belalai(nya).” (al-Qalam: 1-16)
Allah bersumpah dengan huruf Nūn, qalam (pena, alat tulis), dan tulisan. Sangat jelas hubungan antara huruf (Nūn) sebagai salah satu huruf abjad dengan pena (alat tulis), dan tulisan…. Bersumpah dengannya berarti mengagungkan nilainya, dan memberikan arahan kepadanya, di tengah-tengah umat yang belum terarah untuk belajar melalui jalan ini. Dan, tulis baca di kalangan umat ini masih terbelakang dan jarang yang mengetahui, padahal karena peranannya yang penting, maka diperlukan pengembangannya sedemikian rupa di antara mereka, supaya ‘aqidah dan manhaj-manhaj kehidupan yang bertumpu atasnya dapat disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia. Selanjutnya, mereka akan ditugasi memimpin dunia dengan kepemimpinan yang lurus. Oleh karena itu, tidak diragukan lagi bahwa tulis baca merupakan unsur asasi di dalam pengembanan tugas yang sangat besar ini.
Di antara yang menguatkan asumsi ini adalah dimulainya wahyu dengan firman Allah,
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan qalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (al-‘Alaq: 1-5)
Firman ini ditujukan kepada Nabi yang buta huruf, yang ditakdirkan Allah buta huruf karena suatu hikmah tertentu. Akan tetapi, permulaan wahyu yang diturunkan kepada beliau ini menyerukan membaca dan belajar dengan pena. Kemudian hal ini di sini diperkuat lagi dengan sumpah dengan huruf Nūn, pena, dan apa yang mereka tulis. Ini merupakan lingkaran dari manhaj Ilahi untuk mendidik umat ini dan mempersiapkannya untuk menunaikan peranan yang besar yang telah ditakdirkan buat mereka di dalam ilmu-Nya yang tersembunyi.
Allah bersumpah dengan huruf Nūn, pena, dan apa yang mereka tulis, untuk menunjukkan nilai tulis baca ini dan untuk mengagungkannya sebagaimana sudah kami kemukakan. Juga untuk meniadakan dari Rasūl-Nya s.a.w. kebohongan yang dituduhkan kaum musyrikīn, dan untuk menjauhkan beliau dari yang demikian itu, sedang nikmat-nikmat-Nya selalu dicurahkan kepada Rasūl-Nya.
“Berkat nikmat Tuhanmu, kamu (Muḥammad) sekali-kali bukan orang gila.” (al-Qalam: 2)
Dalam ayat yang pendek ini, Allah menetapkan dan meniadakan sesuatu. Menetapkan nikmat-Nya atas Nabi-Nya, yang diungkapkan dengan kalimat yang mengesaankan adanya kedekatan dan kecintaan, ketika Dia menisbatkan beliau kepada diri-Nya dengan kata-kata Rabbika Tuhanmu. Dan, ditiadakan-Nya sifat yang diada-adakan oleh orang-orang musyrik, yang tidak sinkron dengan nikmat- Nya kepada hamba-Nya yang dinisbatkan-Nya kepada-Nya, didekatkan kepada-Nya, dan dipilih-Nya. Yang mengherankan, tiap-tiap orang yang mempelajari riwayat hidup Rasūlullāh di kalangan kaumnya, menerima saja apa yang mereka katakan tentang beliau itu. Padahal, mereka sudah mengetahui keunggulan pikiran beliau sehingga mereka menjadikan beliau sebagai hakim di antara mereka dalam masalah peletakan Ḥajar Aswad beberapa tahun sebelum beliau menjadi nabi. Dan, mereka pulalah yang memberi gelar kepada beliau dengan al-Amīn (yang terpercaya), dan mereka biasa menitipkan amanat-amanat mereka kepada beliau hingga saat beliau hijrah, sesudah mereka memusuhi beliau dengan sengit.
Diriwayatkan bahwa ‘Alī menggantikan Rasūlullāh selama beberapa hari di Makkah, untuk mengembalikan kepada mereka titipan-titipan mereka yang ada pada beliau, hingga mereka menentang dan memusuhi beliau sedemikian keras. Mereka tidak pernah melihat beliau berbohong walau hanya sekali sebelum diutus menjadi rasul. Maka, ketika Heraklius bertanya kepada Abū Sufyān tentang beliau, “Apakah Anda menuduhnya pernah berdusta ketika belum diutus sebagai nabi?” Abū Sufyān menjawab, “Tidak.” padahal dia adalah musuh beliau sebelum dia masuk Islam. Heraklius berkata, “Orang yang tidak pernah berdusta terhadap manusia tidak mungkin dia berdusta atas nama Allah.”
Manusia merasa heran mengapa kemarahan kaum musyrikīn Quraisy sampai mendorong mereka untuk mengucapkan perkataan ini (gila) dan lain-lainnya terhadap manusia yang tinggi dan mulia ini, yang sudah populer di kalangan mereka dengan keunggulan pikirannya dan akhlaknya yang lurus. Akan tetapi, rasa dendam telah menjadikan mereka buta dan tuli. Demi mencapai tujuan, maka mereka tidak merasa keberatan melontarkan tuduhan-tuduhan palsu, padahal orang yang menuduh itu sendiri mengetahui sebelum seorang pun mengetahui bahwa dirinya adalah pembohong yang berlumuran dosa.
“Berkat nikmat Tuhanmu, kamu (Muḥammad) sekali-kali bukan orang gila.” (al-Qalam: 2)
Demikianlah Allah berfirman dengan lemah lembut, menggembirakan, dan memuliakan beliau, dalam menjawab kedengkian orang kafir itu dan ke- bohongannya yang tercela.
“Sesungguhnya bagi kamu benar-benar pahala yang besar yang tidak putus-putusnya.” (al-Qalam: 3)
Sungguh engkau (Muḥammad) benar-benar mendapatkan pahala yang kekal dan terus-menerus, yang tidak akan terputus dan takkan berkesudahan. Pahala di sisi Tuhanmu yang telah memberi nikmat kepadamu yang berupa kenabian dan kedudukan yang terhormat….
Ini adalah sesuatu yang menenangkan dan menggembirakan, dan sebagai ganti kerugian yang melimpah ruah dari semua keterhalangan, semua kekerasan, dan semua tuduhan bohong yang dilontarkan orang-orang musyrik. Nah, kalau begitu, apakah yang hilang dari orang yang dikenai firman Tuhannya dengan penuh kelembutan, kasih sayang, dan penghormatan, “Sesungguhnya bagi kamu benar- benar pahala yang besar yang tidak putus-putusnya?”
Setelah itu datanglah kesaksian terbesar dan penghormatan yang agung.
“Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (al-Qalam: 4)
Semua penjuru mendapatkan jawaban dengan sanjungan yang unik terhadap nabi yang mulia ini, dan mantaplah sanjungan yang tinggi ini di dasar alam wujud ini.
Semua pena dan semua gambaran tidak mampu melukiskan nilai kalimat agung dari Tuhan semesta alam ini. Dan, ini adalah kesaksian dari Allah, dalam timbangan Allah, buat hamba Allah, yang Dia berfirman kepadanya dalam hal ini, “Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” Jangkauan budi pekerti yang agung yang ada di sisi Allah ini tidak dapat dijangkau oleh pengetahuan seorang pun di alam semesta ini.
Petunjuk kalimat yang agung atas keagungan Nabi Muḥammad s.a.w. ini tampak dari berbagai sudut, antara lain sebagai berikut.
Tampak dari keberadaan kalimat itu sendiri yang datang dari Allah Yang Mahaagung lagi Mahatinggi, yang dicatat oleh nurani alam semesta, mantap dalam eksistensinya, dan berulang-ulang di kalangan golongan makhluk tertinggi hingga apa yang dikehendaki Allah.
Dari sisi lain, tampak dari sisi kemampuan Nabi Muḥammad s.a.w. menerimanya, sedang beliau mengetahui ini dari Tuhannya, yang mengucapkan kalimat ini. Apakah dia? Apa keagungannya? Apa petunjuk kalimat-kalimatnya? Sampai di mana jangkauannya? Bagaimana ukurannya? Dan, dia mengetahui siapakah dia di samping keagungan yang mutlak ini, yang dia mengerti darinya apa yang tidak dimengerti oleh seorang pun manusia di alam ini.
Sesungguhnya kemampuan Nabi Muḥammad s.a.w. untuk menerima kalimat ini, dari sumber ini, dengan demikian mantap, tidak lumat di bawah tekanannya yang besar, dan tidak goncang kepribadiannya di bawah jatuhnya kalimat ini…. sebagai bukti yang menunjukkan keagungan pribadinya, melebihi bukti apa pun.
Keagungan akhlak beliau ini banyak diriwayatkan dalam perjalanan hidup beliau dan melalui lisan sahabat-sahabat beliau. Realitas kehidupan beliau merupakan kesaksian yang lebih besar daripada semua riwayat tentang beliau. Akan tetapi, kalimat (firman Allah) ini lebih agung petunjuknya dari segala sesuatu yang lain, lebih agung karena bersumber dari Yang Mahatinggi lagi Mahabesar. Lebih agung karena diterima oleh Nabi Muḥammad s.a.w. dari Zat yang beliau mengetahui bahwa Dia adalah Mahatinggi lagi Mahabesar. Keberadaan beliau sesudah itu adalah mantap, teguh, dan tenang, tidak sombong terhadap hamba-hamba Allah, tidak angkuh, tidak tinggi hati, padahal beliau mendengar apa yang beliau dengar dari Yang Mahatinggi lagi Mahaagung.
Allah lebih mengetahui di mana Dia menciptakan risalah-Nya. Tidak ada lain kecuali Muḥammad s.a.w. yang diberi tugas untuk mengemban risalah terakhir ini dengan segala keagungan alaminya yang terbesar ini. Maka, beliau sangat memadai menyandang tugas ini, sebagaimana beliau juga sebagai gambar hidup risalah ini.
Sesungguhnya risalah yang sempurna dan indah ini, agung dan lengkap, benar dan haq, tidak ada yang layak mengembannya kecuali orang yang dipuji oleh Allah dengan sanjungan ini, yang jiwanya mampu menerima sanjungan ini dengan mantap, seimbang, dan tenang. Ketenangan hati yang besar hingga mampu memuat hakikat risalah itu dan hakikat sanjungan yang agung ini. Kemudian beliau menerima celaan dan teguran Tuhannya atas beberapa tindakan beliau, dengan penuh kemantapan, keseimbangan, dan ketenangan. Semua ini beliau sampaikan, sebagaimana beliau menyampaikan yang itu, dengan tidak ada sedikit pun yang disembunyikan dan dirahasiakan…. Dan beliau, dalam kedua hal ini tetaplah seorang nabi yang mulia, hamba yang patuh, dan mubāligh yang terpercaya.
Sesungguhnya hakikat jiwa Nabi s.a.w. ini termasuk hakikat jiwa risalah, dan keagungan jiwa beliau ini termasuk keagungan jiwa risalah. Sesungguhnya hakikat Muḥammadiyyah (segala sesuatu yang berkenaan dengan Nabi Muḥammad) adalah seperti hakikat Islam, yang lebih jauh jangkauannya dari pengeras suara mana pun yang dimiliki manusia. Pendek kata, tidak ada teropong yang mampu melihatnya dan membatasi jangkauannya, karena agungnya hakikat ini, dan tidak ada yang dapat membatasi jalannya.
Pada kali lain saya dapati diri saya terikat untuk berhenti di sisi petunjuk besar mengenai penerimaan Rasulullah terhadap kalimat ini dari Tuhannya, sedangkan beliau tetap mantap, seimbang, dan tenang…. Beliau pernah memuji salah seorang sahabatnya, maka gemetarlah sahabat ini dan sahabat-sahabat yang lain karena terjadinya pujian yang agung ini. Beliau adalah seorang manusia, dan sahabat itu pun mengetahui bahwa beliau seorang manusia biasa. Sahabat-sahabat yang lain pun tahu bahwa beliau adalah manusia biasa.
Memang benar beliau seorang nabi, tetapi daerah- nya sudah dimaklumi dan terbatas, dan daerah manusiaitu juga terbatas… Adapun beliau menerima kalimat ini dari Allah, dan beliau mengerti siapa Allah itu, bahkan orang khusus yang mengetahui siapa dia Allah itu. Beliau mengetahui dari Allah apa yang tidak diketahui orang lain, kemudian beliau sabar, teguh, menerimanya, dan melaksanakannya. Maka, sesungguhnya itu adalah urusan di atas semua bayangan dan semua perkiraan!!!
Sesungguhnya hanya Nabi Muḥammad sajalah yang dapat mencapai ufuk keagungan ini… Sesungguhnya hanya Nabi Muḥammad sajalah yang dapat mencapai puncak kesempurnaan manusiawi yang sama-sama mendapat tiupan-tiupan ruh dari Allah untuk eksistensi manusia ini. Sesungguhnya hanya Nabi Muḥammad sajalah yang mumpuni mengemban risalah insāniah yang universal ini, hingga tercermin sebagai makhluk hidup pada diri beliau, berjalan di muka bumi dengan berkulitkan manusia. Sesungguhnya hanya Nabi Muḥammad sajalah yang menurut pengetahuan Allah layak menyandang kedudukan ini.
Allah Maha Mengetahui di mana Dia menciptakan risalah-Nya, dan dalam hal ini Dia mengumumkan bahwa Rasulullah s.a.w. berbudi pekerti yang agung. Pada tempat lain Allah memberitahukan bahwa Dia Yang Mahaluhur dan Mahasuci zat-Nya dan sifat-Nya bershalawat atas Nabi, demikian pula para malaikat-Nya.
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi….” (al-Aḥzāb: 56)
Hanya Allah sendiri yang mampu memberikan karunia yang agung itu kepada salah seorang dari hamba-hamba-Nya…
Selanjutnya, hak ini menunjukkan betapa mulianya unsur akhlak dalam timbangan Allah. Mendasarnya unsur akhlak ini di dalam hakikat Islam adalah seperti mendasarnya hakikat ajaran Nabi Muḥammad s.a.w..
Orang yang memperhatikan ‘aqidah Islamiah ini seperti orang yang memperhatikan riwayat hidup Rasul-Nya, dia akan menjumpai unsur akhlak demikian menonjol dan mendasar di dalamnya, yang di atasnya berdiri tegak prinsip-prinsip syariatnya dan prinsip-prinsip pendidikannya…. Seruan terbesar dalam ‘aqidah ini adalah kepada kesucian, kebersihan, amanah, kejujuran, keadilan, kasih sayang, kebajikan, memelihara perjanjian, keserasian kata dengan perbuatan, serta kesesuaian keduanya dengan niat dan hati nurani. Juga mencegah tindakan aniaya, zalim, menipu, curang, memakan harta orang lain secara batil, melanggar kehormatan dan harga diri, dan melarang penyebaran kemungkaran dalam bentuk apa pun. Dan, tasyrī’at (pensyariatan) di dalam ‘aqidah ini adalah untuk memelihara asas-asas ini dan untuk melindungi unsur akhlak ini di dalam perasaan dan perilaku, di dalam lubuk hati dan dalam realitas sosial, dan dalam hubungan-hubungan pribadi, masyarakat, dan negara.
Rasul yang mulia bersabda,
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلاَقِ
“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” Maka, difokuskanlah risalahnya untuk tujuan yang bagus ini, dan berdatanganlah hadits-hadits beliau untuk menganjurkan dan memacu manusia kepada akhlaq yang mulia ini. Perjalanan hidup pribadi beliau sendiri menjadi teladan yang hidup, lembaran yang bersih, lukisan yang tinggi, yang layak mendapatkan sanjungan dari Allah di dalam kitab-Nya yang abadi, “Sesungguhnya engkau berbudi pekerti yang agung.”
Dengan sanjungan ini, Dia memuji Nabi-Nya s.a.w., sebagaimana dengan sanjungan ini pula Dia memuji unsur akhlaq di dalam manhaj-Nya yang dibawa oleh nabi-Nya yang mulia itu. Dengannya Dia mengikatkan bumi ke langit, dan dengannya Dia menggantungkan hati orang-orang yang mengharapkan keridhaan-Nya. Dia menunjukkan mereka kepada akhlak lurus yang dicintai dan diridhai-Nya.
Pernyataan ini adalah pernyataan tunggal tentang akhlaq Islam. Ia adalah akhlaq yang tidak bersumber pada lingkungan, ia tidak bersumber dari jargon-jargon dunia secara mutlak, serta ia tidak berpijak dan tidak bersandar pada ungkapan- ungkapan adat, kepentingan, atau pertalian-pertalian generasi. Tetapi, ia berpijak dan bersumber dari langit, bersumber dari suara langit ke bumi untuk melihat ke ufuk. Ia bersumber dari sifat-sifat Allah yang mutlak supaya diaplikasikan manusia sebatas kemampuannya, supaya mereka dapat merealisasikan kemanusiaannya yang tertinggi, supaya mereka layak mendapatkan penghormatan dari Allah dan menjadi khalifah di muka bumi, dan supaya mereka layak memperoleh kehidupan yang tinggi di alam akhirat nanti.
“Di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Berkuasa.” (al-Qamar: 55)
Oleh karena itu, akhlaq Islam ini tidak terikat dan tidak dibatasi dengan batas-batas jargon atau pepatah petitih apa pun di bumi ini. Ia lepas bebas naik ke tempat yang tinggi yang tidak dapat dijangkau oleh manusia, karena ia merefleksikan sifat-sifat Allah yang bebas dari semua batas dan ikatan.