Tanaman ini (tanaman ‘Aqīdah Islamiah) ditaburkan di muka bumi untuk pertama kalinya dalam bentuknya yang tinggi, murni, dan indah. Ia terasa asing di dalam perasaan jahiliah yang sedang dominan bukan cuma di jazirah Arab saja, tetapi di seluruh penjuru bumi.
Terdapat peralihan besar antara bentuk yang palsu, menyimpang, dan buruk dari agama Nabi Ibrāhīm yang disimpangkan oleh orang-orang musyrik Quraisy, dibandingkan dengan bentuknya yang cemerlang, mulia, lurus, jelas, lapang, lengkap, dan meliputi yang dibawa kepada mereka oleh Nabi Muḥammad s.a.w.. Padahal, prinsip-prinsip agama yang dibawa Nabi Muḥammad itu sesuai dengan agama hanif yang pertama (agama Nabi Ibrāhīm a.s.) dan telah mencapai puncak kesempurnaan yang sesuai dengan keberadaannya sebagai risalah terakhir di muka bumi untuk berbicara kepada akal manusia yang sehat hingga akhir zaman.
Terdapat peralihan yang besar antara mempersekutukan Allah dan bertuhan banyak, serta semua pandangan dan kepercayaan yang carut-marut yang menjadi unsur-unsur ‘aqidah jahiliah… dengan bentuknya yang cemerlang yang dilukiskan al-Qur’ān mengenai Zat Ilahi Yang Maha Esa dengan keagungan dan keluhurannya, dan hubungan kehendak-Nya dengan semua makhluk.
Juga terdapat peralihan besar antara kelas yang berkuasa di jazirah Arabia, para dukun yang berkuasa dalam bidang keagamaan, kelas-kelas tertentu yang dipandang terhormat, perawat Ka’bah, pelayan mereka dan bangsa Arab lainnya… dengan kesetaraan dan kesamaan di hadapan Allah serta hubungan langsung antara Dia dan hamba-hamba-Nya dengan tanpa perantaraan siapa pun sebagai mana diajarkan oleh al-Qur’ān. Demikian juga peralihan dari akhlak yang berlaku di kalangan jahiliah dengan akhlak yang diajarkan al-Qur’ān dan dibawa serta diserukan oleh Nabi Muḥammad s,a.w..
Peralihan ini saja sudah cukup untuk menunjukkan perbenturan antara ‘aqidah yang baru (Islam) dengan kaum Quraisy dengan segenap kepercayaan dan moralitasnya. Akan tetapi, ini bukan satu-satunya, karena di samping itu terdapat ungkapan-ungkapan yang boleh jadi lebih besar menurut ukuran orang Quraisy daripada persoalan ‘aqidah sendiri, karena besarnya.
Di sana terdapat ungkapan-ungkapan di kalangan masyarakat yang biasa diucapkan oleh sebagian mereka sebagaimana direkam oleh al-Qur’ān-ul-Karīm,
“…Mengapa al-Qur’ān ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri ini?” (az-Zukhruf: 31)
Kedua negeri itu adalah Makkah dan Thā’if. Karena Rasulullah di samping kemuliaan nasabnya dan termasuk dari golongan elit Quraisy, namun beliau tidak mempunyai kedudukan dan kekuasaan terhadap mereka sebelum diangkat menjadi nabi. Sedangkan, di sana sudah ada pemuka-pemuka Quraisy dan Tsaqīf serta lain-lainnya dalam suatu lingkungan yang menjadikan kedudukan dan kekuasaan suku benar-benar diperhitungkan. Karena itu, tidak mudah bagi pemuka-pemuka itu untuk mengikuti Nabi Muḥammad s.a.w..
Di sana juga terdapat semboyan-semboyan kekeluargaan yang menjadikan seseorang seperti Abū Jahal (‘Amr bin Hisyām) enggan menerima kebenaran yang sedang menghadapinya dengan kekuatan risalah Islamiah, karena nabinya dari bani ‘Abdi Manaf…. Begitulah, sebagaimana disebutkan kisah bahwa Abū Jahal bersama al-Akhnas bin Syuraiq dan Abū Sufyān bin Ḥarb keluar selama tiga malam berturut-turut untuk mendengarkan al-Qur’ān dengan sembunyi-sembunyi. Pada setiap malam mereka saling berjanji tidak akan kembali ke sana lagi karena khawatir diketahui orang lain, sehingga terjadilah sesuatu di dalam jiwa mereka.
Ketika al-Akhnas bin Syuraiq bertanya kepada Abū Jahal mengenai pendapatnya tentang apa yang didengarnya dari Muḥammad, maka jawabnya, “Apa yang saya dengar? Kita telah berseteru dengan bani ‘Abdi Manaf tentang kemuliaan. Mereka memberi makan kepada orang miskin, maka kita juga memberi makan kepada orang miskin. Mereka mau menanggung beban, maka kita juga menanggung beban. Mereka memberi, maka kita juga memberi, hingga ketika kita sama-sama duduk berlutut di atas kendaraan dan kita dengan mereka seperti dua kuda pacuan (sama tingkat kedudukannya). Akan tetapi, mereka (banu ‘Abdi Manaf) mengatakan, “Di antara kami ada yang menjadi nabi yang mendapat wahyu dari langit.” Maka, kapankah kita mencapai tingkatan seperti ini? Demi Allah, kita tidak akan mempercayainya selama-lamanya dan tidak akan membenarkannya!”
Masih ada ungkapan-ungkapan lain yang berkenaan dengan jasa, kelas, dan kejiwaan yang merupakan tumpukan kejahiliahan yang terdapat dalam syair-syair, ilustrasi-ilustrasi, dan peraturan- peraturan yang semuanya sebagai upaya untuk membunuh tanaman baru itu dengan segala cara sebelum akarnya mantap dan menghunjam, sebelum berkembang ranting-rantingnya dan rimbun daunnya. Khususnya setelah berlalu fase dakwah individual dan Allah memerintahkan Nabi s.a.w. supaya menyampaikan dakwah secara terang-terangan. Juga setelah rambu-rambu dakwah menjadi jelas, sebagaimana al-Qur’ān telah turun dengan menganggap bodoh terhadap ‘aqīdah syirik beserta segala segala sesuatu yang ada di belakangnya yang berupa berhala-berhala sembahan mereka, pandangan- pandangan yang menyimpang, dan tradisi-tradisi yang batil.
Meskipun Muḥammad s.a.w. seorang nabi, menerima wahyu dari Tuhannya, dan dapat berhubungan dengan makhluk kelas atas (malaikat) …, namun beliau tetaplah seorang manusia dengan segenap perasaannya sebagai manusia biasa. Beliau menghadapi perseteruan yang keras dan peperangan yang disulut oleh orang-orang musyrik, dan dengan susah payah beliau bersama pengikutnya yang beriman yang sedikit jumlahnya terpaksa menghadapi kaum musyrikīn itu.
Rasulullah dan orang-orang yang beriman kepada beliau sering mendengar apa yang diucapkan kaum musyrikīn ketika mengata-ngatai dan mencela kepribadian beliau yang mulia.
“…Dan mereka berkata, “Sesungguhnya ia (Muḥammad) benar-benar orang yang gila.” (al-Qalam: 51)
Perkataan seperti ini hanya salah satu saja dari sekian banyak omelan dan cacian mereka sebagaimana yang diceritakan al-Qur’ān dalam surah-surah lain. Ini salah satu cacian yang ditujukan kepada pribadi beliau s.a.w. dan orang-orang yang beriman kepada beliau. Juga gangguan-gangguan lain yang ditimpakan kepada kebanyakan mereka oleh keluarga-keluarga dekat mereka sendiri.
Caci maki (apalagi yang dicaci maki itu keadaannya lemah dan jumlahnya sedikit) sangat menyakitkan jiwa manusia, meski jiwa Rasūl sekalipun. Karena itu, kita lihat dalam surah-surah Makkiyyah bahwa Allah seakan-akan mengasuh Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman bersama beliau, mengasihi dan menghiburnya, serta menyanjungnya dan menyanjung kaum mu’minīn. Ditonjolkan-Nya unsur akhlak yang tercermin dalam dakwah ini dan nabinya yang mulia. Disanggah-Nya apa yang diucapkan oleh orang-orang yang mengata-ngatai beliau. Ditenangkan-Nya hati orang-orang yang lemah ini bahwa Dia akan selalu melindungi mereka dari serangan musuh-musuh mereka. Dibebaskan-Nya mereka dari memikirkan urusan musuh yang kuat dan kaya itu!
Hal ini dapat kita jumpai dalam surah al-Qalam ini seperti firman Allah tentang Nabi s.a.w.,
“Nūn, demi qalam dan apa yang mereka tulis. Berkat nikmat Tuhanmu, kamu (Muḥammad) sekali-kali bukan orang gila. Sesungguhnya bagi kamu pahala yang besar yang tidak putus-putusnya. Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (al-Qalam: 1-4)
Dan, firman-Nya mengenai orang-orang yang beriman,
“Sesungguhnya bagi orang-orang yang bertaqwa (disediakan) surga-surga yang penuh kenikmatan di sisi Tuhannya. Maka, apakah patut Kami menjadikan orang- orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)? Mengapa kamu (berbuat demikian), bagaimanakah kamu mengambil keputusan?” (al-Qalam: 34-36)
Firman-Nya mengenai salah seorang musuh Nabi yang menonjol.
“Janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina. Yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah. Yang sangat enggan berbuat baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa. Yang kaku kasar, selain dari itu, yang terkenal kejahatannya, karena dia mempunyai (banyak) harta dan anak. Apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, ia berkata, “(Ini adalah) dongeng-dongengan orang- orang dahulu kala.” Kelak akan Kami beri tanda dia di belalai(nya).” (al-Qalam: 10-16)
Kemudian firman-Nya mengenai serangan orang-orang yang mendustakan secara umum.
“Maka, serahkanlah (ya Muḥammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang yang mendustakan perkataan ini (al-Qur’ān). Nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui, dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana-Ku amat teguh.” (al-Qalam: 44-45)
Ini, belum lagi azab akhirat yang menghinakan orang-orang yang sombong,
“Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud, maka mereka tidak kuasa, (dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud, dan mereka dalam keadaan sejahtera.” (al-Qalam: 42-43)
Dijadikan bagi mereka para pemilik kebun (kebun dunia) sebagai contoh bagaimana akibat kesombongan mereka, yang hal ini sebagai ancaman bagi pembesar-pembesar Quraisy yang terpedaya oleh harta dan anak-anak mereka, bagi mereka yang kaya dan banyak anak, yang suka melakukan makar terhadap dakwah Islamiah, bagi mereka yang tidak mempunyai harta dan anak-anak. Pada bagian akhir surah Allah berpesan kepada Nabi s.a.w. supaya bersabar dengan kesabaran yang bagus,
“Maka, bersabarlah kamu (hai Muḥammad) terhadap ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu seperti orang (Yūnus) yang berada dalam (perut) ikan….” (al-Qalam: 48)
Dari celah-celah pencurahan kasih sayang, sanjungan, dan pemantapan ini, juga di samping ancaman keras kepada orang-orang yang mendustakan, Allah sendiri melindungi beliau dari serangan mereka yang keras…. Dari celah-celah semua ini, tampaklah ciri-ciri periode itu. Periode kelemahan dan minoritas, masa-masa yang penuh kepayahan dan kemelaratan, masa-masa usaha yang keras untuk menanamkan tanaman yang mulia di tanah yang keras.
Dari celah-celah uslub, pengungkapan, dan tema yang dihadapi dakwah Islam waktu itu. Yaitu, lingkungan masyarakat yang masih bersahaja dan terbelakang dalam pola pikir, perasaan, kepentingan-kepentingan, dan persoalan-persoalan yang dihadapinya.
Kita lihat kebershajaan ini pada cara mereka memerangi dakwah dengan mengatakan tentang Nabi s.a.w., “…Sesungguhnya dia benar-benar orang yang gila.”
Ini adalah tuduhan yang sama sekali tidak berdasar dan dengan caci maki yang kasar yang diucapkan tanpa pendahuluan dan tanpa bukti-bukti yang jelas, sebagaimana yang biasa dikatakan oleh orang-orang kampungan yang masih bersahaja.
Kita lihat bagaimana cara Allah menyanggah kebohongan mereka dengan jawaban yang sesuai dengan keadaan mereka,
“Berkat nikmat Tuhanmu, kamu (Muḥammad) sekali-kali bukan orang gila. Sesungguhnya bagi kamu benar-benar pahala yang besar yang tidak putus-putusnya. Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. Maka, kelak kamu akan melihat dan mereka (orang-orang kafir) pun akan melihat, siapa di antara kamu yang gila.” (al-Qalam: 2-6)
Demikian juga dalam ancaman terbuka yang keras, firman-Nya,
“Maka, serahkanlah (ya Muḥammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang yang mendustakan perkataan ini (al-Qur’ān). Nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui, dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana-Ku amat teguh.” (al-Qalam: 44-45)
Kita lihat juga di dalam menjawab caci maki ini kepada salah seorang dari mereka, firman-Nya,
“Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina. Yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah. Yang sangat enggan berbuat baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa. Yang kaku kasar, selain dari itu, yang terkenal kejahatannya.” (al-Qalam: 10-13)
Kita lihat kebersahajaan itu pada kisah-kisah para pemilik kebun yang dijadikan Allah percontohan bagi mereka. Yaitu, kisah kaum yang masih bersahaja pemikirannya dan pandangannya, kesombongannya, perbuatannya, dan perkataannya.
“Maka, pergilah mereka saling berbisik-bisikan, “Pada hari ini janganlah ada seorang miskin pun masuk ke dalam kebunmu.”” (al-Qalam: 23-24)
Akhirnya, kita lihat kebersahajaan mereka dari celah-celah bantahan yang ditujukan kepada mereka,
“Atau, adakah kamu mempunyai sebuah kitab (yang diturunkan Allah) yang kamu membacanya bahwa di dalamnya kamu benar-benar boleh memilih apa yang kamu sukai untukmu? Atau, apakah kamu memperoleh Janji-janji yang diperkuat dengan sumpah dari Kami, yang tetap berlaku sampai hari Kiamat, sesungguhnya kamu benar-benar dapat mengambil keputusan (sekehendakmu)? Tanyakanlah kepada mereka, “Siapakah di antara mereka yang bertanggung jawab terhadap keputusan yang diambil itu?”” (al-Qalam: 37-40)
Inilah beberapa ciri yang tampak dengan jelas dari celah-celah pengungkapan (redaksi) al-Qur’ān, dan sangat berguna di dalam mempelajari sejarah, kejadian-kejadiannya, dan langkah-langkah dakwah padanya. Juga sejauh mana sesudah itu al-Qur’ān mengangkat lingkungan ini dan jamaah itu pada masa-masa terakhir Rasulullah. Dan, sejauh mana pula al-Qur’ān telah memindahkan mereka dari kesederhanaan dan kebersahajaan mereka dalam berpikir, berpandangan, perasaan, dan kepentingannya, sebagaimana tampak jelas di dalam metode penyampaian ayat-ayatnya sesudah itu mengenai hakikat-hakikat, perasaan, pandangan, dan kepentingan-kepentingan mereka sesudah dua puluh tahun, tidak lebih.
Peralihan yang besar dan menyeluruh ini tidak ditemukan serta tidak ada bandingannya di dalam kehidupan bangsa-bangsa… yang dialami oleh jamaah ini dalam waktu yang singkat ini. Dengan ini pula, mereka diserahi memimpin manusia hingga berhasil meningkatkan pola pikir dan pola pandang mereka beserta moralitasnya ke tingkatan yang sangat tinggi yang tidak pernah dicapai oleh kepemimpinan mana pun dalam sejarah manusia, dari segi karakter ‘aqidahnya dan pengaruh-pengaruh riilnya dalam kehidupan manusia di muka bumi. Juga dari segi keluasan dan kekomplitannya yang menyatukan seluruh kemanusiaan dalam ketoleranan dan kelemahlembutan di bawah kepakan sayap-sayapnya. Serta, di dalam memenuhi setiap kebutuhan spiritualnya, kebutuhan pikirannya, kebutuhan sosialnya, dan kebutuhan-kebutuhan peraturannya dalam semua lapangan.
Sungguh ini merupakan mukjizat (keluarbiasaan) yang tampak jelas dalam peralihan dari kebersahajaan yang tampak ciri-cirinya dari celah-celah surah seperti ini hingga ke kedalaman dan kekomplitannya. Ini adalah peralihan yang lebih luas dan lebih besar daripada peralihan dari minoritas menjadi mayoritas, dan dari lemah menjadi kuat, karena membangun jiwa dan pikiran itu lebih sulit daripada menambah jumlah dan barisan.