Yang tersimpulkan dari makna hadis ini menunjukkan bahwa seandainya malam kemuliaan tidak tertentu secara berkesinambungan, tentulah tidak akan diperoleh bagi mereka pengetahuan mengenai ketentuannya di setiap tahunnya. Sebab jika malam kemuliaan itu memang berpindah-pindah, niscaya mereka tidak mengetahui ketentuan malamnya terkecuali hanya tahun itu saja. Terkecuali jika dikatakan bahwa sesungguhnya beliau keluar hanya untuk memberitahukan kepada mereka mengenainya di tahun itu saja, dan hal ini ternyata tidak disebutkan.
Sabda Nabi s.a.w. yang mengatakan:
فَتَلَاحَى فُلَانٌ وَ فُلَانٌ فَرُفِعَتْ
maka muncullah si Fulan dan si Fulan sehingga (pengetahuan mengenai) malam kemuliaan itu terhapuskan (dari ingatanku)
Terkandung suatu rujukan yang menjadi sumber dari suatu peribahasa yang mengatakan bahwa sesungguhnya berbelit-belit itu dapat memutuskan faedah dan ilmu yang bermanfaat, sebagaimana pula halnya yang disebutkan dalam hadis yang mengatakan:
إِنَّ الْعَبْدَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيْبُهُ.
Sesungguhnya seorang hamba benar-benar terhalang dari rezekinya disebabkan dosa yang dikerjakannya.
Dan sabda Nabi s.a.w. yang mengatakan:
فَرُفِعَتْ
Maka dihapuslah (pengetahuan tentang malam kemuliaan dari ingatanku).
Yakni dihapuskan pengetahuan mengenai ketentuan malamnya dari kalian, dan bukan berarti bahwa malam kemuliaan itu dihapuskan seluruhnya, seperti yang dikatakan oleh orang-orang yang kurang akalnya dari golongan Syī‘ah. Karena sesungguhnya Nabi s.a.w. bersabda sesudahnya:
فَالْتَمِسُوْهَا فِي التَّاسِعَةِ وَ السَّابِعَةِ وَ الْخَامِسَةِ.
Maka carilah ia di malam (dua puluh) sembilan, (dua puluh) tujuh, dan (dua puluh) lima.
Sabda Nabi s.a.w. yang mengatakan:
وَ عَسَى أَنْ يَكُوْنَ خَيْرًا لَكُمْ
dan barangkali hal ini baik bagi kamu.
Yakni ketiadaan ketentuan malamnya lebih baik bagimu, karena sesungguhnya jika malam kemuliaan dimisterikan ketentuannya, maka orang-orang yang mencarinya akan mengejarnya dengan penuh kesungguhan guna mendapatkannya dalam seluruh bulan Ramadhān. Dengan demikian, berarti ibadah yang dilakukannya lebih banyak. Berbeda halnya jika ketentuan malamnya disebutkan dan mereka mengetahuinya, maka semangat menjadi pudar untuk mencarinya dan hanya timbul di malam itu saja, sedangkan pada malam lainnya mereka tidak mau melakukan qiyām padanya. Sesungguhnya hikmah disembunyikannya ketentuan malam kemuliaan ini dimaksudkan agar ibadah meramaikan seluruh bulan Ramadhān untuk mencarinya, dan kesungguhan makin meningkat bila Ramadhān mencapai sepuluh terakhirnya.
Untuk itulah maka Rasūlullāh s.a.w. melakukan i‘tikaf di malam sepuluh terakhir Ramadhān sampa Allah s.w.t. mewafatkannya, kemudian sesudah beliau istri-istri beliau mengikuti jejaknya dalam melakukan i‘tikaf ini. Imām Bukhārī dan Imām Muslim telah mengetengahkan hadis ini melalui riwayat ‘Ā’isyah r.a.
Dan masih dari Imām Bukhārī dan Imām Muslim, telah disebutkan melalui Ibnu ‘Umar bahwa Rasūlullāh s.a.w. selalu melakukan i‘tikaf di malam-malam sepuluh terakhir Ramadhān. Dan Siti ‘Ā’isyah r.a. telah mengatakan bahwa Rasūlullāh s.a.w. apabila telah masuk sepuluh terakhir bulan Ramadhān, maka beliau menghidupkan malam-malamnya (dengan qiyām-ul-lail), dan membangunkan istri-istrinya (untuk melakukan hal yang sama), dan beliau mengencangkan ikat pinggangnya (yakni tidak melakukan senggama dengan istri-istri beliau di malam-malam tersebut). Diketengahkan oleh Imām Bukhārī dan Imām Muslim.
Menurut riwayat Imām Muslim melalui ‘Ā’isyah, disebutkan bahwa Rasūlullāh s.a.w. mencurahkan semua kesibukannya untuk ibadah di malam (sepuluh terakhir Ramadhān) tidak sebagaimana kesungguhannya di malam-malam lainnya. Dan hal ini semakna dengan apa yang dikatakan oleh ‘Ā’isyah: “Mengencangkan ikat pinggangnya.”
Menurut suatu pendapat, yang dimaksud dengan mengencangkan ikat pinggang ialah memisahkan diri dari istri-istrinya. Akan tetapi, dapat juga ditakwilkan dengan pengertian mengikat pinggang sesungguhnya.
Imām Aḥmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Syuraih, telah menceritakan kepada kami Abū Ma‘syar, dari Hisyām ibnu ‘Urwah, dari ayahnya, dari ‘Ā’isyah yang mengatakan bahwa Rasūlullāh s.a.w. apabila Ramadhān tinggal sepuluh hari lagi, maka beliau mengencangkan ikat pinggangnya dan menjauhi istri-istrinya. Hadis diketengahkan oleh Imām Aḥmad secara tunggal.
Telah diriwayatkan pula dari Mālik raḥimahullāh, bahwa dianjurkan mencari malam kemuliaan pada semua malam sepuluh terakhir Ramadhān secara sama rata, tidak ada perbedaan antara satu malam dengan malam lainnya. Penulis mengatakan bahwa ia melihat pendapat ini dalam syarah ar-Rafī‘ī raḥimahullāh.
Hal yang dianjurkan dalam semua waktu ialah memperbanyak doa, dan dalam bulan Ramadhān hal yang lebih banyak membacanya ialah bila telah mencapai sepuluh terakhir darinya, kemudian yang lebih banyak lagi ialah di witir-witirnya. Dan hal yang disunatkan ialah hendaknya seseorang memperbanyak doa berikut:
اللهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّيْ.
Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, suka memberi maaf, maka maafkanlah daku.
Sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Imām Aḥmad, bahwa telah menceritakan kepada kami Yazīd ibnu Hārūn, telah menceritakan kepada kami al-Juwairī alias Sa‘īd ibnu Iyās, dari ‘Abdullāh ibnu Buraidah, bahwa ‘Ā’isyah pernah bertanya: “Wahai Rasūlullāh, jika aku menjumpai malam kemuliaan, apakah yang harus aku ucapkan?” Rasūlullāh s.a.w. menjawab:
قُوْلِيْ: اللهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّيْ.
Ucapkanlah olehmu: Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, suka memberi maaf, maka maafkanlah daku.
Imām Tirmidzī, Imām Nasā’ī, dan Imām Ibnu Mājah telah meriwayatkannya melalui jalur Kahmas ibn-ul-Ḥasan, dari ‘Abdullāh ibnu Buraidah, dari ‘Ā’isyah yang telah bertanya: “Wahai Rasūlullāh, bagaimanakah pendapatmu jika aku mengetahui malam kemuliaan, lalu apakah yang harus aku ucapkan padanya?” Rasūlullāh s.a.w. menjawab:
قُوْلِيْ: اللهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّيْ.
Ucapkanlah: Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, suka memberi maaf, maka maafkanlah daku.
Hadis ini menurut lafazh yang ada pada Imām Tirmidzī. Kemudian ia mengatakan bahwa hadis ini ḥasan shaḥīḥ. Imām Ḥakīm mengetengahkannya di dalam kitab Mustadrak-nya, dan ia mengatakan bahwa hadis ini shaḥīḥ dengan syarat Syaikhain.
Imām Nasā’ī telah meriwayatkannya pula melalui jalur Sufyān ats-Tsaurī, dari ‘Alqamah ibnu Marshād, dari Sulaimān ibnu Buraidah, dari ‘Ā’isyah yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya: “Wahai Rasūlullāh, bagaimanakah menurutmu jika aku menjumpai malam kemuliaan, apakah yang harus aku ucapkan padanya?” Rasūlullāh s.a.w. menjawab:
قُوْلِيْ: اللهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّيْ.
Ucapkanlah: Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, suka memberi maaf, maka maafkanlah daku.
Atsar yang aneh dan berita yang mengherankan berkaitan dengan malam kemuliaan (Lailat-ul-Qadar) ini. Diriwayatkan oleh Imām Abū Muḥammad ibnu Abī Ḥātim dalam tafsir ayat ini. Untuk itu ia mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami ‘Abdullāh ibnu Abū Ziyād al-Qathwānī, telah menceritakan kepada kami Sayyār ibnu Ḥātim, telah menceritakan kepada kami Mūsā ibnu Sa‘īd ar-Rāsī, dari Hilāl ibnu Abū Jabālah, dari Abū ‘Abd-us-Salām, dari ayahnya, dari Ka‘b.
Ka‘b-ul-Aḥbār mengatakan bahwa sesungguhnya Sidrat-ul-Muntahā itu berada di perbatasan langit ketujuh dekat dengan surga, udaranya adalah campuran antara udara dunia dan udara akhirat. Dahan dan ranting-rantingnya berada di bawah al-Kursī. Padanya terdapat malaikat-malaikat yang bilangannya tiada yang mengetahuinya kecuali hanya Allah s.w.t. Mereka selalu melakukan ibadah kepada Allah s.w.t. di semua dahannya dan di setiap tempat bulu pohon itu terdapat seorang malaikat, sedangkan kedudukan Malaikat Jibril berada di tengah-tengahnya.
Allah memanggil Jibril untuk turun di setiap malam kemuliaan bersama dengan para malaikat yang menghuni Sidrat-ul-Muntahā. Tiada seorang malaikat pun dari mereka melainkan telah dianugerahi rasa lembut dan kasih sayang kepada orang-orang mu’min.
Maka turunlah mereka di bawah pimpinan Jibril a.s. di malam kemuliaan di saat matahari terbenam. Maka tiada suatu tempat pun di bumi di malam kemuliaan melainkan telah terisi oleh malaikat; ada yang sedang sujud, ada pula yang sedang berdiri mendoakan orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Terkecuali jika tempat itu berupa gereja, atau sinagog (tempat peribadatan orang-orang Yahudi), atau tempat pemujaan api, atau tempat pemujaan berhala, atau sebagian tempat kalian yang dipakai oleh kalian membuang kotoran, atau rumah yang di dalamnya terdapat orang mabuk, atau rumah yang ada minuman yang memabukkan, atau rumah yang di dalamnya ada berhala yang terpasang, atau rumah yang di dalamnya ada lonceng yang tergantung atau tempat sampah, atau tempat sapu.
Mereka terus-menerus sepanjang malam itu mendoakan orang-orang mu’min laki-laki dan perempuan. Dan Jibril tidak sekali-kali mendoakan seseorang dari kaum mu’min melainkan ia menyalaminya. Dan sebagai pertandanya ialah bila seseorang yang sedang melakukan qiyām bulunya merinding (berdiri) dan hatinya lembut serta matanya menangis, maka itu akibat salam Jibril kepadanya (jabat tangan Jibril kepadanya).
Ka‘b-ul-Aḥbār menyebutkan bahwa barang siapa yang di malam kemuliaan membaca kalimah: “Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah” sebanyak tiga kali, Allah memberikan ampunan baginya dengan salah satunya, dan menyelamatkannya dari neraka dengan satunya lagi, dan dengan yang terakhir Allah memasukkannya ke dalam surga.
Maka kami bertanya kepada Ka‘b-ul-Aḥbār: “Hai Abū Isḥāq, benarkah ucapanmu itu?” Ka‘b-ul-Aḥbār menjawab: “Tiada yang mengucapkan kalimah “Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah” kecuali hanyalah orang yang benar. Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, sesungguhnya Lailat-ul-Qadar itu benar-benar terasa berat bagi orang kafir dan orang munafik, sehingga seakan-akan beratnya seperti bukit di punggungnya.”
Ka‘b-ul-Aḥbār melanjutkan, bahwa para malaikat itu terus-menerus dalam keadaan demikian hingga fajar terbit. Dan malaikat yang mula-mula naik ke langit adalah Malaikat Jibril; manakala sampai di ufuk yang tinggi di dekat matahari, maka ia membuka lebar-lebar sayapnya. Ia memiliki sepasang sayap yang berwarna hijau, dan dia belum pernah membukanya kecuali hanya di saat itu. Karenanya maka cahaya matahari kelihatan redup.
Kemudian Jibril memanggil malaikat demi malaikat, maka naiklah yang dipanggilnya sehingga berkumpullah nūr para malaikat dan nūr kedua sayap Jibril. Maka matahari di hari itu terus-menerus kelihatan cahayanya pudar. Dan Jibril beserta pada malaikat bermukim di antara bumi dan langit di hari itu dalam keadaan berdoa dan memohonkan rahmat serta ampunan bagi orang-orang mu’min laki-laki dan perempuan, dan bagi orang-orang yang puasa Ramadhān karena iman dan mengharapkan pahala Allah. Dan Jibril mendoakan orang yang hatinya mengatakan bahwa jika dia hidup sampai Ramadhān tahun depan, maka ia akan puasa lagi karena Allah.
Bila hari telah petang, mereka memasuki perbatasan langit yang terdekat, lalu mereka duduk dan membentuk lingkaran-lingkaran dan bergabung dengan mereka semua malaikat yang ada di langit terdekat. Maka para malaikat langit yang terdekat menanyakan kepada mereka tentang perihal laki-laki dan perempuan dari penduduk dunia, lalu para malaikat Sidrat-ul-Muntahā menceritakan keadaan orang-orang yang ditanyakan mereka kepada mereka. Hingga mereka bertanya: “Apakah yang dikerjakan oleh si Fulan dan bagaimanakah engkau menjumpainya di tahun ini?” Maka para malaikat yang baru datang itu menjawab: “Kami jumpai si Fulan di permulaan malam tahun lalu sedang ibadah, dan kami jumpai dia tahun ini dalam keadaan mengerjakan perbuatan bid‘ah. Dan kami telah menjumpai si Fulan di tahun kemarin dalam keadaan berbuat bid‘ah, sedangkan di tahun ini kami menjumpainya dalam keadaan beribadah.”
Maka para malaikat langit yang terdekat tidak lagi mendoakan ampunan bagi orang yang berbuat bid‘ah dan memohonkan ampunan bagi orang yang beribadah. Dan mereka memberitahukan bahwa kami jumpai si Fulan dan si Anu dalam keadaan berzikir kepada Allah, dan kami jumpai si Fulan sedang ruku‘, dan kami jumpai si Fulan sedang sujud, dan kamu jumpai si Anu sedang membaca Kitābullāh.
Ka‘b-ul-Aḥbār melanjutkan, bahwa mereka di siang dan malam hari itu tetap dalam keadaan demikian, hingga naiklah mereka ke langit yang kedua. Dan di setiap langit mereka singgah selama sehari semalam, hingga sampailah mereka ke tempat semula di Sidrat-ul-Muntahā.
Maka Sidrat-ul-Muntahā menyambut mereka dan berkata: “Hai para pendudukku, ceritakanlah kepadaku tentang manusia dan sebutkanlah nama-nama mereka kepadaku, karena sesungguhnya aku mempunyai hak atas kalian, dan sesungguhnya aku menyukai orang-orang yang menyukai Allah.”
Ka‘b-ul-Aḥbār menceritakan bahwa mereka menyebutkan kepada Sidrat-ul-Muntahā apa yang diinginkannya dengan menyebutkan nama tiap laki-laki dan perempuan yang diceritakannya, juga nama orang tua mereka. Kemudian surga datang kepada Sidrat-ul-Muntahā dan mengatakan: “Ceritakanlah kepadaku apa yang telah diceritakan oleh malaikat-malaikat yang menghunimu,” lalu Sidrat-ul-Muntahā menceritakan hal itu kepadanya.
Ka‘b-ul-Aḥbār melanjutkan, bahwa setelah itu surga mengatakan: “Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada si Fulan dan semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada si Fulanah. Ya Allah, segerakanlah mereka kepadaku.”
Jibril lebih dahulu sampai di tempatnya sebelum para malaikat yang menyertainya, lalu Allah mengilhamkan kepadanya untuk berbicara, maka Jibril berkata: “Aku telah menjumpai si Fulan sedang sujud, maka ampunilah dia,” kemudian Allah memberikan ampunan bagi si Fulan yang bersangkutan. Suara Jibril terdengar oleh para malaikat pemikul ‘Arasy, maka mereka memohon: “Semoga rahmat Allah terlimpahkan kepada si Fulan, dan semoga rahmat Allah terlimpahkan kepada si Fulanah, dan semoga ampunan Allah diberikan kepada si Fulan.”
Jibril berkata: “Ya Tuhanku, aku menjumpai hamba-Mu si Fulan yang telah kujumpai di tahun kemarin dalam keadaan menempuh jalan sunnah dan beribadah, sekarang di tahun ini aku menjumpainya telah melakukan suatu perbuatan bid‘ah,” lalu Jibril menolak untuk memohonkan ampunan dan rahmat bagi orang itu. Maka Allah s.w.t. berfirman: “Hai Jibril, jika dia bertobat dan kembali ke jalan-Ku tiga jam sebelum dia mati, Aku memberikan ampunan baginya.”
Maka Jibril berkata: “Bagi-Mu segala puji, ya Tuhanku, Engkau lebih penyayang daripada semua makhluk-Mu, dan Engkau lebih penyayang kepada hamba-hambaMu daripada hamba-hambaMu terhadap diri mereka sendiri.”
Ka‘b-ul-Aḥbār mengatakan bahwa lalu ‘Arasy berguncang berikut semua yang ada di sekitarnya dan juga semua ḥijāb (tirai). Semua langit dan para penghuninya mengatakan: “Segala puji bagi Allah Yang Maha Penyayang.”
Perawi mengatakan bahwa Ka‘b-ul-Aḥbār telah mengatakan: “Barang siapa yang melakukan puasa Ramadhān, sedangkan dalam dirinya ia berbicara bahwa apabila ia berbuka (yakni telah selesai dari puasa Ramadhānnya) ia bertekad untuk tidak akan berbuat durhaka kepada Allah s.w.t., niscaya orang itu masuk surga tanpa pertanyaan dan tanpa hisab.”
Demikianlah akhir tafsir sūrat-ul-Qadar, segala puji bagi Allah atas segala karunia yang telah dilimpahkan-Nya.