Hati Senang

Surah al-Qadar 97 ~ Tafsir Ibni Katsir (2/3)

Tafsir Ibnu Katsir

Dari Buku:
Tafsir Ibnu Katsir, Juz 30
(An-Nabā’ s.d. An-Nās)
Oleh: Al-Imam Abu Fida’ Isma‘il Ibnu Katsir ad-Dimasyqi

Penerjemah: Bahrun Abu Bakar L.C.
Penerbit: Sinar Baru Algensindo Bandung

Firman Allah s.w.t.:

تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَ الرُّوْحُ فِيْهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّنْ كُلِّ أَمْرٍ.

Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. (al-Qadar: 4)

Yakni banyak malaikat yang turun di malam kemuliaan ini karena berkahnya yang banyak. Dan para malaikat turun bersamaan dengan turunnya berkah dan rahmat, sebagaimana mereka pun turun ketika al-Qur’ān dibacakan dan mengelilingi ḥalqah-ḥalqah zikir serta meletakkan sayap mereka menaungi orang yang menuntut ilmu dengan benar karena menghormatinya.

Adapun mengenai ar-rūḥ dalam ayat ini, menurut suatu pendapat makna yang dimaksud adalah Jibril a.s., yang hal ini berarti termasuk ke dalam bab “‘Athaf khusus kepada umum.” Menurut pendapat lain menyebutkan ar-rūḥ adalah sejenis malaikat tertentu, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya di dalam sūrat-un-Naba’. Hanya Allah sajalah Yang Maha Mengetahui.

Firman Allah s.w.t.:

مِّنْ كُلِّ أَمْرٍ

untuk mengatur segala urusan. (al-Qadar: 4)

Mujāhid mengatakan bahwa selamatlah malam kemuliaan itu dari semua urusan. Sa‘īd ibnu Manshūr mengatakan, telah menceritakan kepada kami ‘Īsā ibnu Yūnus, telah menceritakan kepada kami al-A‘masy, dari Mujāhid sehubungan dengan makna firman-Nya:

سَلَامٌ هِيَ

Malam itu (penuh) kesejahteraan. (al-Qadar: 5)

Bahwa malam itu penuh kesejahteraan, setan tidak mampu berbuat keburukan padanya atau melakukan gangguan padanya. Qatādah dan yang lainnya mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah semua urusan ditetapkan di dalamnya dan semua ajal serta rezeki ditakdirkan, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:

فِيْهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيْمٍ.

Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah. (ad-Dhukhān: 4).

Adapun firman Allah s.w.t.:

سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ

Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. (al-Qadar: 5)

Sa‘īd ibnu Manshūr mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Hisyām, dari Abū Isḥāq, dari asy-Sya‘bī sehubungan dengan makna firman-Nya:

كُلِّ أَمْرٍ. سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ

Untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. (al-Qadar: 4-5)

Makna yang dimaksud ialah salamnya para malaikat di malam Lailat-ul-Qadar kepada orang-orang yang ada di dalam masjid sampai fajar terbit. Dan Ibnu Jarīr telah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās, bahwa ia membaca ayat ini dengan bacaan berikut: Min kulli imri’in, yang artinya menjadi seperti berikut: Kepada setiap orang (malaikat memberi salam) di malam Lailat-ul-Qadar sampai terbit fajar, yang dimaksud adalah ahli masjid. Imām Baihaqī telah meriwayatkan sebuah atsar yang gharīb yang menceritakan turunnya para malaikat dan lewatnya mereka kepada orang-orang yang sedang salat di malam itu (malam kemuliaan) sehingga orang-orang yang shalat mendapat berkah karenanya.

Ibnu Abī Ḥātim telah meriwayatkan sebuah atsar yang gharīb dari Ka‘b-ul-Aḥbār cukup panjang menceritakan turunnya para malaikat dari Sidrat-ul-Muntahā dipimpin oleh Malaikat Jibril a.s. ke bumi di malam kemuliaan dan doa mereka bagi orang-orang mu’min laki-laki dan perempuan.

Abū Dāūd ath-Thayālisī mengakatan, telah menceritakan kepada kami ‘Imrān al-Qaththān, dari Qatādah, dari Abū Maimūnah, dari Abū Hurairah, bahwa Rasulullah s.a.w. pernah bersabda sehubungan dengan malam kemuliaan (Lailat-ul-Qadar):

إِنَّهَا لَيْلَةُ سَابِعَةٍ أَوْ تَاسِعَةٍ وَ عِشْرِيْنَ وَ إِنَّ الْمَلَائِكَةَ تِلْكَ اللَّيْلَةَ فِي الْأَرْضِ أَكْثَرُ مِنْ عَدَدِ الْحَصَى.

Sesungguhnya malam kemuliaan itu jatuh pada malam dua puluh tujuh atau dua puluh sembilan (Ramadhān), dan sesungguhnya para malaikat di bumi pada malam itu jumlahnya lebih banyak daripada bilangan batu kerikil.

Al-A‘masy telah meriwayatkan dari al-Minhal, dari ‘Abd-ur-Raḥmān ibnu Abū Lailā sehubungan dengan makna firman-Nya:

مِّنْ كُلِّ أَمْرٍ. سَلَامٌ هِيَ

Untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan. (al-Qadar: 4-5)

Yakni tiada suatu urusan pun yang terjadi di malam itu. Qatādah dan Ibnu Zaid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:

سَلَامٌ هِيَ

Malam itu (penuh) kesejahteraan. (al-Qadar: 5)

Yaitu semuanya baik belaka, tiada suatu keburukan pun yang terjadi di malam itu sampai matahari terbit. Pengertian ini didukung oleh apa yang telah diriwayatkan oleh Imām Aḥmad, telah menceritakan kepada kami Haiwah ibnu Syuraih, telah menceritakan kepada kami Baqiyyah, telah menceritakan kepadaku Bujair ibnu Sa‘d dan Khālid ibnu Ma‘dan, dari ‘Ubādah ibn-ush-Shāmit, bahwa Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:

لَيْلَةُ الْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ الْبَوَاقِيْ، مَنْ قَامَهُنَّ ابْتِغَاءَ حِسْبَتِهِنَّ فَإِنَّ اللهَ يَغْفِرُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَ مَا تَأَخَّرَ وَ هِيَ لَيْلَةُ وِتْرٍ: تِسْعٍ أَوْ سَبْعٍ أَوْ خَامِسَةٍ أَوْ ثَالِثَةٍ أَوْ آخِرِ لَيْلِةٍ.

Lailat-ul-Qadar terdapat di malam sepuluh yang terakhir (dari bulan Ramadhān); barang siapa yang melakukan qiyām padanya karena mengharapkan pahala di malam-malam tersebut, maka Allah memberi ampunan baginya atas semua dosanya yang terdahulu dan yang kemudian. Malam Lailat-ul-Qadar adalah malam yang ganjil, yang jatuh pada malam dua puluh sembilan, atau dua puluh tujuh, atau dua puluh lima, atau dua puluh tiga, atau malam yang terakhir.

Rasūlullāh s.a.w. telah bersabda pula:

إِنَّ أَمَارَةَ لَيْلَةِ الْقَدْرِ إِنَّهَا صَافِيَةٌ بَلْجَةٌ كَأَنَّ فِيْهَا قَمَرًا سَاطِعًا سَاكِنَةٌ سَاجِيَةٌ لَا بَرْدَ فِيْهَا وَ لَا حَرَّ، وَ لَا يَحِلُّ لِكَوْكَبٍ يُرْمَى بِهِ حَتَّى يُصْبِحَ، وَ إِنَّ أَمَارَةَ أَنَّ الشَّمْسَ صَبِيْحَتَهَا تَخْرُجُ مُسْتَوِيَةً لَيْسَ لَهَا شُعَاعٌ مِثْلُ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ وَ لَا يَحِلُّ لِلشَّيْطَانِ أَنْ يَخْرُجَ مَعَهَا يَوْمَئِذٍ.

Sesungguhnya pertanda Lailat-ul-Qadar ialah cuacanya bersih lagi terang seakan-akan ada rembulannya, terang, lagi hening: suhunya tidak dingin dan tidak pula panas, dan tiada suatu bintang pun yang dilemparkan pada malam itu sampai pagi hari. Dan sesungguhnya pertanda Lailat-ul-Qadar itu di pagi harinya matahari terbit dalam keadaan sempurna, tetapi tidak bercahaya seperti biasanya melainkan seperti rembulan di malam purnama, dan tidak diperbolehkan bagi setan ikut muncul bersamaan dengan terbitnya matahari di hari itu.

Sanad hadis ini ḥasan dan di dalam matannya terdapat gharabah, dan pada sebagian lafaznya terdapat yang hal munkar.

Abū Dāūd ath-Thayālisī mengatakan, telah menceritakan kepada kami Zam‘ah, dari Salamah ibnu Wahrām, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbās, bahwa Rasulullah s.a.w. telah bersabda sehubungan dengan malam Lailat-ul-Qadar:

لَيْلَةٌ سَمْحَةٌ طَلْقَةٌ لَا حَارَّةَ وَ لَا بَارِدَةَ وَ تَصْبِحُ شَمْسُ صَبِيْحَتِهَا ضَعِيْفَةً حَمْرَاءَ.

(Yaitu) malam yang sedang lagi terang, tidak panas dan tidak dingin, dan pada keesokan harinya cahaya mataharinya lemah kemerah-merahan.

Ibnu Abī ‘Āshim an-Nabīl telah meriwayatkan berikut sanad-nya dari Jābir ibnu ‘Abdullāh, bahwa Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:

إِنِّيْ رَأَيْتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فَأُنْسِيْتَهَا وَ هِيَ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ لَيَالِيْهَا وَ هِيَ طَلْقَةٌ بَلْجَةٌ لَا حَارَّةَ وَ لَا بَارِدَةَ كَأَنَّ فِيْهَا قَمَرًا لَا يَخْرَجُ شَيْطَانُهَا حَتَّى يُضِيْءُ فَجْرُهَا.

Sesungguhnya aku telah melihat malam Lailat-ul-Qadar, lalu aku dijadikan lupa kepadanya; malam Lailat-ul-Qadar itu ada pada sepuluh terakhir (bulan Ramadhān), pertandanya ialah cerah dan terang, suhunya tidak panas dan tidak pula dingin, seakan-akan padanya terdapat rembulan; setan tidak dapat keluar di malam itu hingga pagi harinya.

Para ulama berbeda pendapat, apakah di kalangan umat-umat terdahulu ada Lailat-ul-Qadar, ataukah memang Lailat-ul-Qadar hanya khusus bagi umat ini? Ada dua pendapat di kalangan mereka mengenainya.

Abū Mush‘ab alias Aḥmad ibnu Abū Bakar az-Zuhrī mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mālik, telah sampai kepadanya bahwa Rasulullah s.a.w. diperlihatkan kepadanya usia-usia manusia yang sebelumnya dari kalangan umat terdahulu, atau sebagian dari hal tersebut menurut apa yang dikehendaki oleh Allah. Maka Rasulullah s.a.w. seakan-akan menganggap pendek usia umatnya bila dibandingkan dengan mereka yang berusia sedemikian panjangnya dalam hal beramal, dan beliau merasa khawatir bila amal umatnya tidak dapat mencapai tingkatan mereka. Maka Allah s.w.t. memberinya Lailat-ul-Qadar yang lebih baik daripada seribu bulan.

Hadis ini telah disandarkan melalui jalur lain, dan apa yang dikatakan oleh Mālik ini memberikan pengertian bahwa Lailat-ul-Qadar hanya dikhususkan bagi umat ini. Dan pendapat ini telah dinukil oleh penulis kitab al-‘Iddah, salah seorang ulama dari kalangan madzhab Syāfi‘ī dari jumhur ulama; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Al-Khaththābī telah meriwayatkan adanya kesepakatan dalam hal ini, dan al-Qādhī telah menukilnya secara pasti dari madzhab Syāfi‘ī. Akan tetapi, pengertian yang ditunjukkan oleh hadis memberikan pengertian bahwa Lailat-ul-Qadar terdapat pula di kalangan umat-umat terdahulu sebagaimana terdapat di kalangan umat kita sekarang.

Imām Aḥmad Ibnu Ḥanbal mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yaḥyā ibnu Sa‘īd, dari ‘Ikrimah ibnu ‘Ammār, telah menceritakan kepadaku Abū Zamīl alias Sammāk al-Ḥanafī, telah menceritakan kepadaku Mālik ibnu Mas‘ūd ibnu ‘Abdullāh, telah menceritakan kepadaku Marshād yang telah mengatakan bahwa aku bertanya kepada Abū Dzarr: “Apakah yang pernah engkau tanyakan kepada Rasūlullāh s.a.w. tentang Lailat-ul-Qadar?” Abū Dzarr menjawab, bahwa dirinyalah orang yang paling gencar menanyakan tentang Lailat-ul-Qadar kepada Rasulullah s.a.w. Aku bertanya: “Wahai Rasūlullāh, ceritakanlah kepadaku tentang Lailat-ul-Qadar, apakah terdapat di dalam bulan Ramadhān ataukah di bulan yang lain?” Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Tidak, bahkan ia terdapat di dalam bulan Ramadhān.

Aku bertanya lagi: “Apakah Lailat-ul-Qadar itu hanya ada di masa para nabi saja? Apabila mereka telah tiada, maka Lailat-ul-Qadar dihapuskan, ataukah masih tetap ada sampai hari kiamat?” Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Tidak, bahkan Lailat-ul-Qadar tetap ada sampai hari kiamat.

Aku bertanya lagi: “Di bagian manakah Lailat-ul-Qadar terdapat dalam bulan Ramadhān?” Rasūlullāh s.a.w. menjawab:

اِلْتَمِسُوْهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَّلِ وَ الْعَشْرِ الْآخِرِ.

Carilah Lailat-ul-Qadar dalam sepuluh malam terakhirnya, jangan kamu bertanya lagi mengenai apa pun sesudah ini. (Terjemahan ini kurang pas. Lebih cocok sebagai terjemahan dari hadis di bawah. Terjemahan hadis ini sbb: Carilah Lailat-ul-Qadar dalam sepuluh (malam) pertamanya dan sepuluh (malam) terakhirnya. – msl.)

Kemudian Rasūlullāh s.a.w. melanjutkan perbincangannya, dan beliau terus berbincang-bincang, lalu aku memotong pembicaraannya dan bertanya: “Di dalam dua puluh berapakah Lailat-ul-Qadar itu?” Rasūlullāh s.a.w. menjawab:

ابْتَغُوْهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِر، لَا تَسْأَلْنِيْ عَنْ شَيْءٍ بَعْدَهَا.

Carilah ia di malam-malam sepuluh terakhir, dan jangan engkau bertanya lagi mengenainya sesudah ini.

Rasūlullāh s.a.w. melanjutkan pembicaraannya, kemudian aku memotong lagi pembicaraannya dan kukatakan kepadanya: “Wahai Rasūlullāh, aku bersumpah kepada engkau demi hakku atas dirimu setelah engkau menceritakannya kepadaku, di malam dua puluh berapakah Lailat-ul-Qadar itu?” Maka beliau s.a.w. kelihatan marah, dan aku belum pernah melihat beliau marah seperti itu sejak aku menjadi sahabatnya, lalu beliau bersabda:

اِلْتَمِسُوْهَا فِي السَّمْعِ الْأَوَاخِرِ، لَا تَسْأَلْنِيْ عَنْ شَيْءٍ بَعْدَهَا.

Carilah ia di malam-malam tujuh terakhi, dan jangan lagi engkau menanyakannya kepadaku sesudah ini.

Imām Nasā’ī meriwayatkannya dari al-Fallās, dari Yaḥyā ibnu Sa‘īd al-Qaththān dengan sanad yang sama. Di dalam hadis ini terkandung makna yang menunjukkan seperti apa yang telah kami sebutkan di atas, yaitu bahwa Lailat-ul-Qadar masih tetap ada sampai hari kiamat, tiap tahunnya sesudah Nabi s.a.w. tiada.Tidak sebagaimana yang disangka oleh sebagian golongan Syī‘ah yang mengatakan bahwa Lailat-ul-Qadar telah diangkat secara keseluruhan, sesuai dengan pemahaman mereka terhadap hadis yang akan kami kemukakan sehubungan dengan sabda Nabi s.a.w. yang mengatakan:

فَرُفِعَتْ وَ عَسَى أَنْ يَكُوْنَ خَيْرٌ لَكُمْ

Maka diangkatlah (dihapuskanlah) Lailat-ul-Qadar dan mudah-mudahan hal ini baik bagi kalian.

Karena sesungguhnya makna yang dimaksud ialah hanya penghapusan mengenai pengetahuan malamnya secara tertentu.

Juga dalam hadis di atas menunjukkan bahwa Lailat-ul-Qadar itu hanya khusus terjadi di dalam bulan Ramadhān, bukan bulan-bulan lainnya. Tidak sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Mas‘ūd dan ulama ahli Kufah yang mengikutinya, mereka mengatakan bahwa Lailat-ul-Qadar itu terdapat di sepanjang tahun dan diharapkan terdapat di setiap bulannya secara merata.

Imām Abū Dāūd di dalam kitab Sunan-nya telah menukil hadis ini dalam Bab “Penjelasan Lailat-ul-Qadar” terdapat di semua Ramadhān, untuk itu ia mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Sa‘īd ibnu Abū Maryam, telah menceritakan kepada kami Muḥammad ibnu Ja‘far ibnu Abī Katsīr, telah menceritakan kepadaku Mūsā ibnu ‘Uqbah, dari Abū Isḥāq, dari Sa‘īd ibnu Jubair, dari ‘Abdullāh ibnu ‘Umar yang mengatakan bahwa Rasūlullāh s.a.w. pernah ditanya mengenai Lailat-ul-Qadar, sedangkan ia mendengarkannya. Maka beliau s.a.w. menjawab:

هِيَ فِيْ كُلِّ رَمَضَانَ.

Lailat-ul-Qadar terdapat di semua Ramadhān.

Sanad ini semua perawinya berpredikat tsiqah; hanya saja Abū Dāūd mengatakan bahwa Syu‘bah dan Sufyān telah meriwayatkan hadis ini dari Abū Isḥāq, dan keduanya me-mauqūf-kan hadis ini hanya sampai kepadanya. Dan telah diriwayatkan dari Abū Ḥanīfah raḥimahullāh, bahwa Lailat-ul-Qadar itu diharapkan terdapat di setiap bulan Ramadhān. Ini merupakan suatu pendapat yang diriwayatkan oleh al-Ghazalī dan dinilai gharīb sekali oleh ar-Rafī‘ī.

Kemudian dikatakan bahwa Lailat-ul-Qadar itu terdapat di malam pertama bulan Ramadhān, pendapat ini diriwayatkan dari Abū Razīn. Menurut pendapat yang lain, Lailat-ul-Qadar terdapat pada malam tujuh belas Ramadhān. Sehubungan dengan hal ini Abū Dāūd telah meriwayatkan sebuah hadis marfū‘ dari Ibnu Mas‘ūd. Sebagaimana telah diriwayatkan pula hal yang sama secara mauqūf hanya sampai pada Ibnu Mas‘ūd, Zaid ibnu Arqām dan ‘Utsmān ibnu Abul-‘Āsh. Dan hal ini merupakan suatu pendapat yang bersumber dari Muḥammad ibnu Idrīs asy-Syāfi‘ī, dan diriwayatkan dari al-Ḥasan al-Bashrī. Mereka mengemukakan alasannya, bahwa Lailat-ul-Qadar terjadi di malam Perang Badar, yang jatuh pada hari Jum‘at tanggal tujuh belas Ramadhān. Dan di pagi harinya terjadi Perang Badar, yaitu hari yang disebut oleh Allah s.w.t. melalui firman-Nya dengan sebutan Yaum-ul-Furqān, alias hari pembeda atara perkara yang hak dan perkara yang batil.

Menurut pendapat lain, Lailat-ul-Qadar jatuh pada tanggal sembilan belas bulan Ramadhān; pendapat ini bersumber dari ‘Alī dan juga Ibnu Mas‘ūd. Menurut pendapat yang lain lagi, Lailat-ul-Qadar jatuh pada tanggal dua puluh satu berdasarkan hadis Abū Sa‘īd al-Khudrī yang mengatakan bahwa Rasūlullāh s.a.w. melakukan i‘tikaf di malam-malam sepuluh pertama bulan Ramadhān, dan kami pun ikut i‘tikaf bersamanya. Lalu datanglah Jibril dan mengatakan kepadanya: “Sesungguhnya yang engkau cari berada di depanmu.” Maka Nabi s.a.w. melakukan i‘tikaf pada malam-malam pertengahan (sepuluh kedua) bulan Ramadhān, dan kami ikut beri‘tikaf bersamanya.

Dan Jibril datang lagi kepadanya, lalu berkata: “Yang engkau cari berada di depanmu.” Kemudian Nabi s.a.w. berdiri dan berkhuthbah di pagi hari tanggal dua puluh Ramadhān, antara lain beliau bersabda:

مَنِ اعْتَكَفَ مَعِيْ فَلْيَرْجِعْ فَإِنِّيْ رَأَيْتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ وَ إِنِّيْ أُنْسِيْتُهَا وَ إِنَّهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ فِيْ وِتْرٍ وَ إِنِّيْ رَأَيْتُ كَأَنِّيْ اَسْجُدُ فِيْ طِيْنٍ وَ مَاءٍ.

Barang siapa yang telah melakukan i‘tikaf bersamaku, hendaklah ia pulang, karena sesungguhnya aku telah melihat malam kemuliaan itu. Dan sesungguhnya aku telah dibuat lupa terhadapnya, sesungguhnya malam kemuliaan itu berada di sepuluh terakhir bulan Ramadhān pada malam-malam ganjilnya, dan sesungguhnya aku telah bermimpi seakan-akan diriku sedang sujud di tanah dan air (karena cuacanya hujan).

Sedangkan atap masjid terbuat dari pelepah daun kurma, pada mulanya kami tidak melihat sepotong awan pun di langit. Lalu tiba-tiba terjadilah pelangi, dan terjadilah hujan, dan Nabi s.a.w. membawa kami shalat sehingga aku melihat bekas tanah dan air menempel di kening beliau; hal ini membuktikan kebenaran dari mimpi yang dilihatnya.

Menurut riwayat yang lain, kejadian itu terjadi pada pagi hari tanggal dua puluh satu Ramadhān; diketengahkan oleh Imām Bukhārī dan Imām Muslim di dalam kitab shaḥīḥ-nya masing-masing. Imām Syāfi‘ī mengatakan bahwa hadis ini merupakan hadis yang sanad-nya paling shaḥīḥ.

Menurut pendapat lainnya, malam kemuliaan terjadi pada tanggal dua puluh tiga Ramadhān berdasarkan hadis ‘Abdullāh ibnu Unais dalam kitab Shaḥīḥ Muslim, dan hadis ini konteksnya mendekati hadisnya Abū Sa‘īd, hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.

Menurut pendapat yang lainnya lagi, malam kemuliaan terjadi pada tanggal dua puluh empat Ramadhān. Sehubungan dengan hal ini Abū Dāūd ath-Thayālisī mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ḥammād ibnu Salamah, dari al-Jarīrī, dari Abū Nadhrah, dari Abū Sa‘īd, bahwa Rasūlullāh s.a.w. telah bersabda:

لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةُ أَرْبَعٍ وَ عِشْرِيْنَ.

Lailat-ul-Qadar adalah malam dua puluh empat (bulan Ramadhān).

Sanad hadis ini semua perawinya berpredikat tsiqah.

Aḥmad mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Mūsā ibnu Dāūd, telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahī‘ah, dari Yazīd ibnu Abū Ḥabīb, dari Abul-Khair ash-Shanābijī, dari Bilāl yang mengatakan bahwa Rasūlullāh s.a.w. pernah bersabda:

لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةُ أَرْبَعٍ وَ عِشْرِيْنَ

Lailat-ul-Qadar adalah malam dua puluh empat (bulan Ramadhān).

Ibnu Lahī‘ah orangnya dha‘īf. Hadis ini bertentangan dengan apa yang telah diriwayatkan oleh Imām Bukhārī dari Ashbāgh, dari Ibnu Wahb, dari ‘Amr ibnu Ḥārits, dari Yazīd ibnu Abū Ḥabīb, dari Abul-Khair dari Abū ‘Abdullāh ash-Shanābijī yang mengatakan bahwa telah menceritakan kepadaku Bilāl juru adzan Rasūlullāh s.a.w., bahwa malam kemuliaan itu terdapat pada malam tujuh terakhir dari bulan Ramadhān. Hadis ini mauqūf hanya sampai kepada Bilāl, dan inilah yang paling shaḥīḥ; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.

Hal yang sama telah diriwayatkan dari Ibnu Mas‘ūd, Ibnu ‘Abbās, Jābir, al-Ḥasan, Qatādah, dan ‘Abdullāh ibnu Wahb, bahwa malam kemuliaan terdapat pada malam dua puluh empat Ramadhān. Dalam pembahasan yang lalu telah disebutkan hadis Watsīlah ibn-ul-Asqā’ secara marfū‘, yaitu dalam tafsir surat al-Baqarah, berbunyi demikian:

إِنَّ الْقُرْآنَ أُنْزِلَ لَيْلَةَ أَرْبَعٍ وَ عِشْرِيْنَ.

Sesungguhnya al-Qur’ān diturunkan pada malam dua puluh empat (Ramadhān)

Menurut pendapat yang lainnya lagi, malam kemuliaan terdapat dalam malam dua puluh lima Ramadhān, berdasarkan apa yang telah diriwayatkan oleh Imām Bukhārī dari ‘Abdullāh ibnu ‘Abbās, bahwa Rasūlullāh s.a.w. pernah bersabda:

اِلْتَمِسُوْهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فِيْ تَاسِعَةٍ تَبْقَى فِيْ سَابِعَةٍ تَبْقَى فِيْ خَامِسَةٍ تَبْقَى.

Carilah malam kemuliaan di malam-malam sepuluh terakhir dari bulan Ramadhān, yaitu bila tinggal sembilan malam lagi atau bila tinggal tujuh malam lagi, atau bila tinggal lima malam lagi.

Kebanyakan ulama menakwilkan makna hadis ini dengan malam-malam yang ganjil, dan pendapat inilah yang kuat dan yang terkenal. Sedangkan ulama lainnya menakwilkannya terjadi pada malam-malam yang genap dari malam-malam sepuluh terakhir Ramadhān. Ini berdasarkan apa yang telah diriwayatkan oleh Imām Muslim dari Abū Sa‘īd, bahwa ia menakwilkannya demikian; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Menurut pendapat yang lainnya lagi, malam kemuliaan terdapat dalam malam dua puluh tujuh Ramadhān, berdasarkan apa yang telah diriwayatkan oleh Imām Muslim di dalam kitab shaḥīḥ-nya, dari Ubay ibnu Ka‘b, dari Rasūlullāh s.a.w., bahwa malam kemuliaan terjadi pada tanggal dua puluh tujuh.

Imām Aḥmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyān yang telah mendengar dari ‘Abdah dan ‘Āshim, dari Dzur yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada saudaramu Ibnu Mas‘ūd pernah mengatakan bahwa barang siapa yang melakukan qiyām-ul-lail sepanjang tahun, niscaya akan menjumpai Lailat-ul-Qadar.”

Ubay ibnu Ka‘b menjawab: “Semoga Allah merahmatinya, sesungguhnya dia telah mengetahui bahwa malam kemuliaan itu terdapat di dalam bulan Ramadhān dan tepatnya di malam dua puluh tujuh.” Kemudian Ubay ibnu Ka‘b bersumpah untuk menguatkan perkataannya. Dan aku bertanya: “Bagaimanakah kamu mengetahuinya?” Ubay ibnu Ka‘b menjawab: “Melalui alamat atau tandanya yang telah diberitahukan kepada kami oleh Nabi s.a.w., bahwa pada siang harinya mentari terbit di pagi harinya, sedangkan cahayanya lemah.”

Imām Muslim telah meriwayatkan ini melalui jalur Sufyān ibnu ‘Uyaynah, Syu‘bah, dan al-Auzā‘ī, dari ‘Abdah, dari Dzur, dari Ubay, lalu disebutkan hal yang semisal. Yang di dalamnya disebutkan bahwa Ubay ibnu Ka‘b mengatakan: “Demi Allah, yang tiada tuhan yang berhak disembah selain Dia, sesungguhnya malam kemuliaan itu benar-benar berada di bulan Ramadhān.” Ubay ibnu Ka‘b bersumpah tanpa mengucapkan pengecualian, lalu ia melanjutkan: “Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar mengetahui di tanggal berapakah Lailat-ul-Qadar itu berada, Rasūlullāh s.a.w. telah memerintahkan kami untuk melakukan qiyām padanya, yaitu tanggal dua puluh tujuh. Dan pertandanya ialah di pagi harinya mentari terbit dengan cahaya yang redup.”

Dalam bab yang sama telah disebutkan dari Mu‘āwiyah, Ibnu ‘Umar, dan Ibnu ‘Abbās serta selain mereka, dari Rasulullah s.a.w. yang telah bersabda bahwa Lailat-ul-Qadar itu adalah malam dua puluh tujuh. Dan inilah pendapat yang dipegang oleh segolongan ulama Salaf, dan merupakan pendapat yang dianut di kalangan madzhab Imām Aḥmad ibnu Ḥanbal raḥimahullāh, juga menurut suatu riwayat yang bersumber dari Imām Abū Ḥanīfah menyebutkan hal yang sama. Telah diriwayatkan pula dari sebagian ulama Salaf, bahwa Imām Abū Ḥanīfah berupaya menyimpulkan keadaan Lailat-ul-Qadar jatuh pada tanggal dua puluh tujuh dari al-Qur’ān melalui firman-Nya: “Hiya (malam itu),” dengan alasan bahwa kalimat ini merupakan kalimat yang kedua puluh tujuh dari surat yang bersangkutan; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.

Al-Ḥāfizh Abul-Qāsim ath-Thabrānī mengatakan, telah menceritakan kepada kami Isḥāq ibnu Ibrāhīm ad-Dubrī, telah menceritakan kepada kami ‘Abd-ur-Razzāq, telah menceritakan kepada kami Ma‘mar, dari Qatādah dan ‘Āshim; keduanya pernah mendengar ‘Ikrimah mengatakan bahwa Ibnu ‘Abbās telah menceritakan bahwa Khalīfah ‘Umar ibn-ul-Khaththāb r.a. mengundang semua sahabat, lalu menanyakan kepada mereka tentang Lailat-ul-Qadar, maka mereka sepakat mengatakan bahwa malam Lailat-ul-Qadar berada di malam sepuluh terakhir bulan Ramadhān.

Ibnu ‘Abbās melanjutkan, bahwa lalu ia berkata kepada ‘Umar: “Sesungguhnya aku benar-benar mengetahui – atau merasa yakin – di malam ke berapakah Lailat-ul-Qadar berada.” ‘Umar bertanya: “Kalau begitu, katakanlah di malam ke berapakah ia berada?” Ibnu ‘Abbās menjawab: bahwa Lailat-ul-Qadar adanya pada sepuluh malam terakhir Ramadhān bila telah berlalu tujuh malam, atau bila tinggal tujuh malam lagi.

‘Umar bertanya: “Dari manakah kamu mengetahui hal itu?” Ibnu ‘Abbās menjawab, bahwa Allah telah menciptakan langit tujuh lapis, bumi tujuh lapis, hari-hari ada tujuh, dan bulan berputar pada tujuh (manzilah). Manusia diciptakan dari tujuh (lapis bumi), makan dengan tujuh anggota, sujud dengan tujuh anggota, thawaf tujuh kali, melempar jumrah tujuh kali dan lain sebagainya. Maka ‘Umar berkata: “Sesungguhnya engkau mempunyai pandangan yang jeli yang kami tidak menyadarinya.” Dan tersebutlah bahwa menurut Qatādah, ia menambahkan dalam perkataan Ibnu ‘Abbās sesudah mengatakan bahwa manusia makan dengan tujuh anggota, yaitu firman Allah s.w.t. yang mengatakan:

فَأَنْبَتْنَافِيْهَا حَبًّا، وَ عِنَبًا وَ قَضْبًا.

Lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu, anggur dan sayur-sayuran. (‘Abasa: 27-28).

Sanad hadis ini jayyid lagi kuat, tetapi matannya gharīb sekali; hanya Allah Yang Maha Mengetahui.

Menurut pendapat yang lainnya lagi, Lailat-ul-Qadar terdapat di malam dua puluh sembilan.

Imām Aḥmad ibnu Ḥanbal mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abū Sa‘īd maula Bani Hāsyim, telah menceritakan kepada kami Sa‘īd ibnu Salamah, telah menceritakan kepada kami ‘Abdullāh ibnu Muḥammad ibnu ‘Aqīl, dari ‘Umar ibnu ‘Abd-ur-Raḥmān, dari ‘Ubādah ibn-ush-Shāmit, bahwa ia pernah bertanya kepada Rasūlullāh s.a.w. tentang Lailat-ul-Qadar bilakah adanya. Maka Rasūlullāh s.a.w. menjawab:

فِيْ رَمَضَانَ فَالْتَمِسُوْهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ فِإِنَّهَا فِيْ وِتْرِ إِحْدَى وَ عِشْرِيْنَ أَوْ ثَلَاثٍ وَ عِشْرِيْنَ أَوْ خَمْسٍ وَ عِشْرِيْنَ أَوْ سَبْعٍ وَ عِشْرِيْنَ أَوْ تِسْعٍ وَ عِشْرِيْنَ أَوْ فِيْ آخِرِ لَيْلِةٍ.

Dalam bulan Ramadhān, carilah dalam malam-malam sepuluh terakhirnya, dan sesungguhnya ia terdapat pada malam yang ganjil, yaitu dua puluh satu, atau dua puluh tiga, atau dua puluh lima, atau dua puluh tujuh, atau dua puluh sembilan, atau di malam yang terakhirnya.

Imām Aḥmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaimān ibnu Dāūd (yakni Abū Dāūd ath-Thayālisī), telah menceritakan kepada kami ‘Imrān al-Qaththān, dari Qatādah, dari Abū Maimūnah, dari Abū Hurairah, bahwa Rasūlullāh s.a.w. pernah bersabda sehubungan dengan malam kemuliaan:

إِنَّهَا فِيْ لَيْلَةِ سَابِعَةٍ أَوْ تَاسِعَةٍ وَ عِشْرِيْنَ وَ إِنَّ الْمَلَائِكَةِ تِلْكَ اللَّيْلَةِ فِي الْأَرْضِ أَكْثَرُ مِنْ عَدَدِ الْحَصَى.

Sesungguhnya ia berada di malam dua puluh tujuh atau dua puluh sembilan (Ramadhan), dan sesungguhnya para malaikat di malam itu di bumi jumlahnya lebih banyak daripada bilangan kerikil.

Imām Aḥmad meriwayatkannya secara tunggal, sanad-nya tidak ada celanya.

Menurut pendapat yang lain, Lailat-ul-Qadar terdapat di malam terakhir bulan Ramadhān, berdasarkan hadis yang telah disebutkan di atas tadi, juga hadis yang diriwayatkan oleh Imām Tirmidzī dan Imām Nasā’i melalui hadis ‘Uyaynah ibnu ‘Abd-ur-Raḥmān, dari ayahnya, dari Abū Bakrah, bahwa Rasūlullāh s.a.w. pernah bersabda:

فِيْ تِسْعٍ يَبْقَيْنَ أَوْ سَبْعٍ يَبْقَيْنَ أَوْ خَمْسٍ يَبْقَيْنَ أَوْ ثَلَاثٍ أَوْ آخِرِ لَيْلَةٍ.

Di malam dua puluh satu, atau dua puluh tiga, atau dua puluh lima, atau dua puluh tujuh, atau di malam terakhir.

Yakni carilah malam kemuliaan tersebut di malam-malam itu. Imām Tirmidzī mengatakan bahwa hadis ini kalau tidak ḥasan, shaḥīḥ. Dan di dalam kitab Musnad disebutkan melalui jalur Abū Salamah, dari Abū Hurairah, dari Nabi s.a.w. sehubungan dengan malam kemuliaan ini:

إِنَّهَا آخِرُ لَيْلَةٍ

Sesungguhnya malam kemuliaan itu berada di malam terakhir (Ramadhān).

Imām Syāfi‘ī mengatakan sehubungan dengan riwayat-riwayat ini, bahwa semuanya merupakan jawaban Nabi s.a.w. terhadap pertanyaan orang yang bertanya kepadanya: “Apakah kita mencari malam kemuliaan di malam anu?” Maka beliau s.a.w. menjawab: “Ya”. Padahal sesungguhnya malam kemuliaan itu adalah malam tertentu yang tidak berpindah-pindah. Demikianlah menurut apa yang telah dinukil oleh Imām Tirmidzī secara garis besarnya.

Telah diriwayatkan pula dari Abū Qilābah, bahwa ia telah mengatakan: “Lailat-ul-Qadar itu berpindah-pindah di malam-malam sepuluh terakhir Ramadhān.” Dan apa yang diriwayatkan dari Abū Qilābah ini dicatat sebagai nash oleh Mālik, ats-Tsaurī, Aḥmad ibnu Ḥanbal, Isḥāq ibnu Rahawaih, Abū Tsaur, al-Muzānī, dan Abū Bakar ibnu Khuzaimah, dan lain-lainnya. Imām Syāfi‘ī telah mengatakan hal yang sama pula menurut apa yang dinukil oleh al-Qādhī darinya; dan pendapat inilah yang lebih mirip kepada kebenaran; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.

Dan senada dengan pendapat ini apa yang telah disebutkan di dalam kitab Shaḥīḥain melalui ‘Abdullāh ibnu ‘Umar, bahwa beberapa orang laki-laki dari sahabat Rasūlullāh s.a.w. diperlihatkan kepada mereka Lailat-ul-Qadar dalam malam-malam tujuh terakhir Ramadhān. Maka Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

أَرَى رُؤْيَاكُمْ قَدْ تَوَاطَأْتُ فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ فَمَنْ كَانَ مُتَحِرِّيْهَا فَلْيَتَحَرَّهَا فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ.

Aku juga telah melihat hal yang sama seperti kalian dalam mimpiku, malam kemuliaan itu berada di tujuh malam terakhir Ramadhān. Maka barang siapa yang mencarinya, hendaklah ia mencarinya di tujuh malam terakhir.

Sehubungan dengan hal ini telah disebutkan pula melalui ‘Ā’isyah r.a., bahwa Rasūlullāh s.a.w. telah bersabda:

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ.

Carilah Lailat-ul-Qadar di malam yang ganjil dari sepuluh malam terakhir bulan Ramadhān.

Sedangkan lafazh hadis ini ada pada Imām Bukhārī.

Imām Syāfi‘ī dalam pendapatnya yang mengatakan bahwa Lailat-ul-Qadar itu tidak berpindah-pindah melainkan ada di malam tertentu dari bulan Ramadhān beralasan dengan apa yang telah diriwayatkan oleh Imām Bukhārī di dalam kitab shaḥīḥ-nya melalui ‘Ubādah ibn-ush-Shāmit yang menceritakan bahwa Rasūlullāh s.a.w. muncul untuk memberitahukan kepada kami tentang malam kemuliaan, maka tiba-tiba muncul pula dua orang dari kalangan kaum muslim (menemuinya). Setelah itu Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

خَرَجْتُ لِأُخْبِرُكُمْ بِلَيْلَةِ الْقَدْرِ فَتَلَاحَى فُلَانٌ وَ فُلَانٌ فَرُفِعَتْ وَ عَسَى أَنْ يَكُوْنَ خَيْرًا لَكُمْ فَالْتَمِسُوْهَا فِي التَّاسِعَةِ وَ السَّابِعَةِ وَ الْخَامِسَةِ.

Aku keluar untuk memberitahukan kepada kamu tentang malam kemuliaan, maka muncullah si Fulan dan si Fulan sehingga (pengetahuan mengenai) malam kemuliaan itu terhapuskan (dari ingatanku), dan barangkali hal ini baik bagi kamu. Maka carilah ia di malam (dua puluh) sembilan, (dua puluh) tujuh, dan (dua puluh) lima.

Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.