Bagian pertama surah ini berirama dengan satu irama dan hampir semuanya bersajak sama, yaitu huruf lām ber-fatḥah yang dibaca panjang. Dan ini merupakan irama yang lunak, anggun dan agung, sejalan dengan keagungan tugas dan keseriusan urusan yang dikandungnya, disertai dengan urusan-urusan besar yang mengiringinya, yang dipaparkan dalam ayat-ayatnya…. yaitu perkataan yang berat sebagai yang telah kami kemukakan, dan ancaman besar yang menakutkan:
“Dan biarkanlah Aku (saja) bertindak terhadap orang-orang yang mendustakan itu, orang-orang yang mempunyai kemewahan dan beri tangguhlah mereka barang sebentar. Karena sesungguhnya pada sisi Kami ada belenggu-belenggu yang berat dan neraka yang bernyala-nyala, dan makanan yang menyumbat di kerongkongan dan ‘adzāb yang pedih” (al-Muzzammil: 11-13).
Suatu perhentian yang tampak jelas dalam permandangan-pemandangan alam dan suatu sikap yang tampak nyata dalam lubuk jiwa:
“Pada hari bumi dan gunung-gunung bergoncangan, dan menjadilah gunung-gunung itu tumpukan-tumpukan pasir yang beterbangan.” (al-Muzzammil: 14).
“Maka bagaimanakah kamu akan dapat memelihara dirimu jika kamu tetap kafir kepada hari yang menjadikan anak-anak beruban. Langit (pun) menjadi pecah-belah pada hari itu. Adalah janji-Nya itu pasti terlaksana.” (al-Muzzammil: 17-18).
Adapun ayat terakhir yang panjang itu menggambarkan bagian kedua. Ia turun setelah setahun Rasūlullāh s.a.w. melaksanakan shalat malam sehingga kaki beliau bengkak, demikian juga sejumlah orang dari sahabat beliau. Dan, Allah menjanjikan buat beliau dan buat mereka sesuatu yang sudah disediakan buat mereka karena shalatnya ini. Maka turunlah ayat yang memberi keringanan ini, di samping memberi ketenangan bahwa Allah telah memilihkan buat mereka sesuai dengan ‘ilmu dan hikmah-Nya di dalam pengetahuan-Nya.
Ayat ini memiliki nuansa khusus. Ayatnya panjang dan nuansa musiknya bermacam-macam, ada yang nadanya tenang dan mantap, dan kata terakhirnya sesuai dengan nuansa kemantapan ini, yaitu huruf mīm yang sebelumnya terdapat huruf yā’ yang dibaca panjang, yaitu lafal:
“Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Muzzammil: 20).
Surah ini dengan kedua bagiannya membentangkan lembaran sejarah dakwah ini, dimulai dengan seruan yang tinggi lagi mulia yang berisi pemberian tugas yang agung, dan menggambarkan persiapan-persiapannya yang berupa shalat malam, shalat fardhu, membaca al-Qur’ān dengan teratur, dzikir dengan khusyū‘ dan tekun, bersabar kepada Allah saja, bersabar menghadapi gangguan, menjauhi dengan cara yang baik dari orang-orang yang mendustakan agama Allah, dan memisahkan antara mereka dengan Allah Yang Maha Kuasa lagi Maha Perkasa, Pemilik dakwah dan perjuangan yang sebenarnya.
Surah ini diakhiri dengan sentuhan kelembutan dan kasih-sayang, pemberian keringanan dan kemudahan, pengarahan untuk melaksanakan ketaatan dan pendekatan diri kepada Tuhan, beserta lambaian rahmat dan ampunan Yang Maha Pengampunan lagi Maha Penyayang:
“Sesungguhnya Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Surah ini dengan kedua segmennya melukiskan suatu lembaran dari lembaran-lembaran perjuangan yang agung dan mulia yang telah dicurahkan oleh golongan manusia pilihan, yang asalnya bingung tak tahu jalan, untuk dikembalikannya kepada Tuhannya, bersabar terhadap gangguan-gangguan, berjuang dengan segenap hatinya, lepas dari keinginan duniawi yang menggiurkan, kelezatan yang melalaikan, dan kesenangan yang dini‘mati orang-orang yang berhati hampa, serta tidur nyenyak yang dini‘mati orang-orang yang banyak menganggur.
Sekarang kita hadapi surah ini beserta paparan Qur’āninya yang indah.
يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ. قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيْلًا. نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيْلًا. أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَ رَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيْلًا. إِنَّا سَنُلْقِيْ عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيْلًا. إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْءًا وَ أَقْوَمُ قِيْلًا. إِنَّ لَكَ فِي النَّهَارِ سَبْحًا طَوِيْلًا. وَ اذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ وَ تَبَتَّلْ إِلَيْهِ تَبْتِيْلًا. رَبُّ الْمَشْرِقِ وَ الْمَغْرِبِ لَا إِلهَ إِلَّا هُوَ فَاتَّخِذْهُ وَكِيْلًا.
“Hai orang yang berselimut (Muḥammad), bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah al-Qur’ān itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat. Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyu‘) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak). Sebutlah nama Tuhanmu, dan beribādahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan. (Dia-lah) Tuhan masyriq dan maghrib, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai pelindung. (al-Muzzammil: 1-9).
“Hai orang yang berselimut, bangunlah….”
Ini adalah seruan dari langit, suara Tuhan Yang Maha Agung lagi Maha Tinggi…. Bangunlah…. Bangunlah untuk menyongsong urusan besar yang sedang menantimu dan tugas berat yang akan dibebankan kepadamu. Bangunlah untuk berjuang dan berusaha, berkiprah dan bersusah-payah. Bangunlah, waktu tidur dan istirahat telah berlalu….Bangunlah dan bersiap-siagalah menyongsong urusan ini…..
Ini adalah kalimat yang agung dan menakutkan yang menjauhkan Rasūl dari hangatnya tempat tidur, di rumah yang tenang, nyaman, dan hangat. Yang mendorongnya pergi ke tengah-tengah kelompok yang besar, menghadapi berbagai macam goncangan dan kesulitan, menghadapi pengaruh dan daya tarik hati manusia dan realitas kehidupan.
Orang yang hidup dengan mementingkan dirinya sendiri memang kadang-kadang bisa hidup senang, akan tetapi hidupnya itu tak bernilai dan matinya pun dalam penilaian yang kecil. Sedangkan, orang besar yang memikul tugas yang besar….. maka apalah artinya tidur baginya? Apa artinya istirahat? Apa arti ranjang yang hangat dan kehidupan yang penuh kesenangan? Apa pula arti kesenangan duniawi yang menyenangkan? Rasūlullāh s.a.w. telah mengerti dan mengetahui ukuran hakikat urusan ini. Karena itu, ketika Khadījah mengajak beliau istirahat dan tidur, beliau berkata kepadanya: “Telah berlalu waktu tidur, wahai Khadījah.”
Ya, telah berlalu waktu tidur, dan tidak ada yang kembali lagi sejak hari itu kecuali berjaga, berpayah-payah, dan berjuang dengan perjuangan yang panjang dan berat.
“Hai orang yang berselimut (Muḥammad), bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah al-Qur’ān itu dengan perlahan-lahan.” (al-Muzzammil: 1-4).
Ini adalah persiapan untuk mengemban tugas yang amat besar dengan perantaraan persiapan Ilahiah yang terjamin…. yaitu shalat malam, maksimal lebih dari separo malam tetapi kurang dari dua pertiga malam, dan minimal sepertiga malam…. Bangun untuk shalat malam dan membaca al-Qur’ān dengan tartil, yaitu membacanya dengan memperhatikan panjang-pendeknya dan tajwīdnya, bukan dengan menyanyikan dan melagu-lagukannya, tidak berlebih-lebihan, dan bukan berasyik-asyik dalam menyanyikan dan menyenandungkannya.
Telah diriwayatkan secara sah mengenai shalat witir (shalat malam) Rasūlullāh s.a.w. bahwa beliau tidak pernah melakukannya lebih dari sebelas rakaat. Namun demikian, untuk shalat sebelas rakaat ini hampir memakan waktu dua pertiga malam, dan beliau baca al-Qur’ān padanya dengan tartīl.
Imām Aḥmad meriwayatkan di dalam Musnad-nya bahwa telah diceritakan kepada kami oleh Yaḥyā bin Sa‘īd – Ibnu Abī ‘Arūbah – dari Qatādah, dari Zarārah bin Aufā, dari Sa‘īd bin Hisyām… bahwa ia pernah datang kepada Ibnu ‘Abbās lalu menanyakan kepadanya tentang shalat witir. Kemudian Ibnu ‘Abbās menjawab: “Maukah kuberitahukan kepadamu tentang orang yang paling mengetahui shalat witir (shalat malam) Rasūlullāh s.a.w.?” Sa‘īd menjawab: “Mau.” Ibnu ‘Abbās berkata: “Datanglah kepada ‘Ā’isyah, kemudian tanyakanlah kepadanya. Setelah itu, kembalilah kepadaku dan beritahukan kepadaku apa jawabannya.” …. Kemudian Sa‘īd bin Hisyām berkata: “Aku berkata: “Wahai Umm-ul-Mu’minīn, beritahukanlah kepadaku tentang akhlāq Rasūlullāh s.a.w.” ‘Ā’isyah menjawab: “Apakah engkau tidak pernah membaca al-Qur’ān? Saya jawab: “Pernah.” Ia berkata: “Akhlāq Rasūlullāh s.a.w. adalah al-Qur’ān”. Saya pun hendak pergi, kemudian teringat olehku tentang shalat malam yang dilakukan Rasūlullāh s.a.w., kemudian saya berkata: “Wahai Umm-ul-Mu’minīn, beritahukanlah kepadaku tentang shalat malam Rasūlullāh s.a.w.” Ia berkata: “Apakah engkau tidak pernah membaca surah “Yā ayyuh-al-muzzammil ini?” Saya jawab: “Pernah.” Ia berkata: “Allah telah mewajibkan mengerjakan shalat malam pada permulaan surah ini, kemudian beliau melaksanakannya bersama sahabat-sahabat beliau hingga kedua kaki beliau bengkak, dan Allah menahan ayat terakhir surah ini di langit selama dua belas bulan. Kemudian diturunkanlah ayat yang memberikan keringanan pada akhir surah ini. Maka jadilah shalat malam ini sebagai tathawwu‘ (suatu sunnah) setelah dahulunya diwajibkan…..” Maka saya pun hendak berdiri, tetapi kemudian saya teringat shalat witir Rasūlullāh s.a.w., lalu saya berkata: “Wahai Umm-ul-Mu’minīn, beritahukanlah kepadaku tentang shalat witir Rasūlullāh s.a.w.. ‘Ā’isyah menjawab:
كُنَّا نُعِدُّ لَهُ سِوَاكَهُ وَ طَهُوْرَهُ، فَيَبْعَثُهُ اللهُ كَمَا شَاءَ أَنْ يَبْعَثَهُ مِنَ اللَّيْلِ، فَيَتَوَسَّكُ، ثُمَّ يَتَوَضَّأُ، ثُمَّ يُصَلِّيْ، ثَمَانَ رَكَعَاتٍ لَا يَجْلِسُ فِيْهِنَّ إِلَّا عِنْدَ الثَّمِنَةِ، فَيْجْلِسُ وَ يَذْكُرُ رَبَّهُ تَعَالَى وَ يَدْعُوْ، ثُمَّ يَنْهَضُ وَ مَا يُسَلِّمُ، ثُمَّ يَقُوْمُ لِيُصَلِّيَ التَّاسِعَةَ، ثُمَّ يَقْعُدُ فَيَذْكُرُ اللهَ وَحْدَهُ، ثُمَّ يَدْعُوْهُ، ثُمَّ يُسَلَّمُ تَسْلِيْمًا يُسْمِعُنَا. ثُمَّ يُصَلِّيْ رَكَعَتَيْنِ وَ هُوَ جَالِسٌ بَعْدَ مَا يُسَلِّمُ، فَتِلْكَ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةٍ يَا بُنَيَّ. فَلَمَّا أَسَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَ أَخَذَ اللَّحْمَ أَوْتَرَ بِسَبْعٍ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَ هُوَ جَالِسٌ بَعْدَ مَا يُسَلِّمُ، فَتِلْكَ تِسْعٌ يَا بُنَيَّ. وَ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِذَا صَلَّى صَلَاةً أَحَبَّ أَنْ يُدَاوِمَ عَلَيْهَا. وَ كَانَ إِذَا شَغَلَهُ عَنْ قِيَامِ اللَّيْلِ نُوْمٌ أَوْ وَجَعٌ أَوْ مَرَضٌ صَلَّى مِنْ نَهَارٍ اثْنَتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً. وَ لَا أَعْلَمُ نِبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَرَأَ الْقُرْآنَ كُلَّهُ فِيْ لَيْلَةٍ حَتَّى يُصْبِحَ، وَ لَا صَامَ شَهْرًا كَامِلًا غَيْرَ رَمَضَانَ…..
“Kami menyiapkan siwak dan air wudhū’ beliau, lalu beliau dibangunkan oleh Allah pada malam hari, kemudian beliau bersiwak (menggosok gigi), lalu berwudhū’, lalu mengerjakan shalat delapan raka‘at dengan tidak duduk (tasyahhud) kecuali pada raka‘at kedelapan. Lalu beliau duduk, berdzikir menyebut Tuhannya Yang Maha Tinggi dan berdoa, kemudian bangun dan belum mengucapkan salam, lalu berdiri untuk shalat pada raka‘at kesembilan, kemudian duduk, lalu menyebut Allah Yang Maha Esa, kemudian berdoa kepada-Nya, kemudian mengucapkan salam dengan beliau perdengarkan kepada kami. Kemudian beliau shalat dua raka‘at sambil duduk setelah salam tadi. Maka semua itu ada sebelas raka‘at, wahai anakku. Ketika Rasūlullāh s.a.w. sudah lanjut usianya dan badannya gemuk, beliau berwitir tujuh raka‘at, kemudian shalat dua raka‘at, wahai anakku. Dan apabila beliau tertidur atau sakit hingga tidak bisa melakukan shalat malam, maka pada siang harinya beliau melakukan shalat dua belas raka‘at. Dan saya tidak pernah mengetahui Rasūlullāh s.a.w. membaca al-Qur’ān semalam suntuk hingga pagi, dan tidak pernah berpuasa sebulan penuh selain bulan Ramadhān....” (HR. Muslim).
Ini merupakan persiapan untuk menerima perkataan berat yang akan diturunkan Allah kepada beliau…..
“Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat” (al-Muzzammil: 5).
Yaitu al-Qur’ān dengan segala tugas yang ada di belakangnya… al-Qur’ān ini pada dasarnya tidaklah berat karena dia mudah diingat. Akan tetapi, dia berat dalam timbangan kebenaran dan berat pengaruhnya di dalam hati:
“Kalau sekiranya Kami menurunkan al-Qur’ān ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah-belah disebabkan takut kepada Allah.” (al-Ḥasyr: 21).
Maka Allah menurunkannya kepada hati yang lebih mantap daripada gunung untuk menerimanya.
Jika untuk menerima dan memahami limpahan cahaya dan pengetahuan itu benar-benar berat, ia memerlukan persiapan yang panjang.
Jika untuk bergaul dengan hakikat-hakikat yang sangat besar dan murni itu benar-benar berat, ia memerlukan persiapan yang panjang.
Jika berhubungan dengan makhlūq tertinggi dan dengan rūḥ semesta dari rūḥ makhlūq-makhlūq hidup yang tidak hidup seperti yang disiapkan untuk dilakukan Rasūlullāh s.a.w. itu benar-benar berat, maka ia membutuhkan persiapan yang panjang.
Jika bersikap istiqāmah terhadap urusan ini tanpa bimbang dan ragu-ragu, dan tidak berpaling ke sini dan ke sana mengikuti berbagai bisikan dan tarikan serta hambatan-hambatan itu benar-benar berat, maka ia membutuhkan persiapan yang panjang.
Mengerjakan shalat malam ketika orang-orang lain sedang nyenyak tidur, dan memutuskan hubungan dengan kehidupan dunia yang menipu dan rendah nilainya, dan berhubungan dengan Allah, menerima limpahan rahmat dan pancaran cahaya-Nya, bersenang hati bersama-Nya, bersepi-sepi dengan-Nya, membaca al-Qur’ān dengan tartīl ketika alam sedang suasana hening dan terasa seakan-akan al-Qur’ān baru saja turun dari alam tertinggi dan bercengkerama dengan alam semesta dengan tartīl tanpa perkataan dan kalimat manusia yang terucapkan, dan menyambut pancaran cahayanya, pengarahan-pengarahannya, dan kesan-kesannya pada malam yang sunyi…., semua ini menjadi bekal untuk memikul perkataan yang berat itu, beban yang berat, dan perjuangan yang pahit yang sedang menantikan Rasūl dan orang-orang yang menyerukan dakwahnya pada setiap generasi! Dan, aktivitas di malam sunyi yang seperti itu akan dapat menerangi hati di jalan perjuangan yang berat dan panjang, melindunginya dari bisikan-bisikan syaithān, dan dari kebingungan di dalam kegelapan yang mengepung jalan yang bersinar terang-benderang.