Surah al-Muzzammil 73 ~ Tafsir Sayyid Quthb (1/4)

Dari Buku:
Tafsīr fi Zhilāl-il-Qur’ān
Oleh: Sayyid Quthb
 
Penerbit: Gema Insani

Rangkaian Pos: Surah al-Muzzammil 73 ~ Tafsir Sayyid Quthb

SURAH AL-MUZZAMMIL

Diturunkan di Makkah
Jumlah Ayat: 20.

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

 

يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ. قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيْلًا. نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيْلًا. أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَ رَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيْلًا. إِنَّا سَنُلْقِيْ عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيْلًا. إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْءًا وَ أَقْوَمُ قِيْلًا. إِنَّ لَكَ فِي النَّهَارِ سَبْحًا طَوِيْلًا. وَ اذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ وَ تَبَتَّلْ إِلَيْهِ تَبْتِيْلًا. رَبُّ الْمَشْرِقِ وَ الْمَغْرِبِ لَا إِلهَ إِلَّا هُوَ فَاتَّخِذْهُ وَكِيْلًا. وَ اصْبِرْ عَلَى مَا يَقُوْلُوْنَ وَ اهْجُرْهُمْ هَجْرًا جَمِيْلًا. وَ ذَرْنِيْ وَ الْمُكَذِّبِيْنَ أُوْلِي النَّعْمَةِ وَ مَهِّلْهُمْ قَلِيْلًا. إِنَّ لَدَيْنَا أَنْكَالًا وَ جَحِيْمًا. وَ طَعَامًا ذَا غُصَّةٍ وَ عَذَابًا أَلِيْمًا. يَوْمَ تَرْجُفُ الْأَرْضُ وَ الْجِبَالُ وَ كَانَتِ الْجِبَالُ كَثِيْبًا مَّهِيْلًا. إِنَّا أَرْسَلْنَا إِلَيْكُمْ رَسُوْلًا شَاهِدًا عَلَيْكُمْ كَمَا أَرْسَلْنَا إِلَى فِرْعَوْنَ رَسُوْلًا. فَعَصَى فِرْعَوْنُ الرَّسُوْلَ فَأَخَذْنَاهُ أَخْذًا وَبِيْلًا. فَكَيْفَ تَتَّقُوْنَ إِنْ كَفَرْتُمْ يَوْمًا يَجْعَلُ الْوِلْدَانَ شِيْبًا. السَّمَاءُ مُنْفَطِرٌ بِهِ كَانَ وَعْدُهُ مَفْعُوْلًا. إِنَّ هذِهِ تَذْكِرَةٌ فَمَنْ شَاءَ اتَّخَذَ إِلَى رَبِّهِ سَبِيْلًا. إِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُوْمُ أَدْنَى مِنْ ثُلُثَيِ اللَّيْلِ وَ نِصْفَهُ وَ ثُلُثَهُ وَ طَائِفَةٌ مِّنَ الَّذِيْنَ مَعَكَ وَ اللهُ يُقَدِّرُ اللَّيْلَ وَ النَّهَارَ عَلِمَ أَنْ لَّنْ تُحْصُوْهُ فَتَابَ عَلَيْكُمْ فَاقْرَؤُوْا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ عَلِمَ أَنْ سَيَكُوْنُ مِنْكُمْ مَّرْضَى وَ آخَرُوْنَ يَضْرِبُوْنَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُوْنَ مِنْ فَضْلِ اللهِ وَ آخَرُوْنَ يُقَاتِلُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ فَاقْرَؤُوْا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ وَ أَقِيْمُوا الصَّلَاةَ وَ آتُوا الزَّكَاةَ وَ أَقْرِضُوا اللهَ قَرْضًا حَسَنًا وَ مَا تُقَدِّمُوْا لِأَنْفُسِكُمْ مِّنْ خَيْرٍ تَجِدُوْهُ عِنْدَ اللهِ هُوَ خَيْرًا وَ أَعْظَمَ أَجْرًا وَ اسْتَغْفِرُوا اللهَ إِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

73: 1. Hai orang yang berselimut (Muḥammad),
73: 2. bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya),
73: 3. (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit,
73: 4. atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah al-Qur’ān itu dengan perlahan-lahan.
73: 5. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat.
73: 6. Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyu‘) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan.
73: 7. Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak).
73: 8. Sebutlah nama Tuhanmu, dan beribādahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan.
73: 9. (Dia-lah) Tuhan masyriq dan maghrib, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai pelindung.
73: 10. Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik.
73: 11. Dan biarkanlah Aku (saja) bertindak terhadap orang-orang yang mendustakan itu, orang-orang yang mempunyai kemewahan dan beri tangguhlah mereka barang sebentar.
73: 12. Karena sesungguhnya pada sisi Kami ada belenggu-belenggu yang berat dan neraka yang bernyala-nyala,
73: 13. dan makanan yang menyumbat di kerongkongan dan ‘adzāb yang pedih.
73: 14. Pada hari bumi dan gunung-gunung bergoncangan, dan menjadilah gunung-gunung itu tumpukan-tumpukan pasir yang beterbangan.
73: 15. Sesungguhnya Kami telah mengutus kepada kamu (hai orang kafir Makkah) seorang rasūl, yang menjadi saksi terhadapmu, sebagaimana Kami telah mengutus (dahulu) seorang rasūl kepada Fir‘aun.
73: 16. Maka Fir‘aun mendurhakai rasūl itu, lalu Kami siksa dia dengan siksaan yang berat.
73: 17. Maka bagaimanakah kamu akan dapat memelihara dirimu jika kamu tetap kafir kepada hari yang menjadikan anak-anak beruban.
73: 18. Langit (pun) menjadi pecah-belah pada hari itu. Adalah janji-Nya itu pasti terlaksana.
73: 19. Sesungguhnya ini adalah suatu peringatan. Maka barang siapa yang menghendaki niscaya ia menempuh jalan (yang menyampaikannya) kepada Tuhannya.
73: 20. Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Qur’ān. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang lainnya berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Qur’ān dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu, niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Pendahuluan.

Mengenai sebab turunnya surah ini terdapat suatu riwayat yang menceritakan bahwa kaum Quraisy berkumpul di Dār-un-Nadwah (balai pertemuan) untuk mengatur tipu-daya terhadap Nabi s.a.w. dan dakwah yang beliau bawa. Setelah informasi tentang hal itu sampai kepada Rasūlullāh s.a.w. maka beliau bersedih hati, lantas berselimutkan dengan pakaiannya dan tidur dengan penuh kesedihan. Maka datanglah malaikat Jibrīl menyampaikan bagian pertama surah ini: “Hai orang yang berselimut (Muḥammad),

73: 2. bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (darinya)…. dst.” Dan paroan yang kedua belakangan datangnya, yaitu dari firman Allah: “Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam….” Hingga akhir surah. Bagian yang kedua ini terlambat satu tahun penuh, yaitu ketika Rasūlullāh s.a.w. menunaikan shalat bersama segolongan sahabatnya, sehingga kedua kaki beliau bengkak. Maka turunlah ayat yang memberikan keringanan kepada beliau pada bagian kedua ini setelah berlalu dua belas bulan.

Dan diceritakan dalam riwayat lain yang mengulang peristiwa itu dengan menisbatkannya kepada surah al-Muddatstsir, sebagaimana akan dibicarakan di dalam membicarakan surah al-Muddatstsir nanti, in syā’ Allāh.

Ringkasnya, bahwa Rasūlullāh s.a.w. biasa ber-taḥanannuts, ya‘ni menyucikan diri dan ber‘ibadah di gua Ḥirā’ – tiga tahun sebelum beliau diutus menjadi nabi – dan taḥannuts itu beliau lakukan selama sebulan setiap tahunnya – yaitu pada bulan Ramadhān. Beliau pergi ke gua Ḥirā’ yang jauhnya sekitar dua mil dari Makkah, bersama keluarga dekatnya. Beliau berdiam di sana pada bulan Ramadhān itu, beliau beri makan orang miskin yang datang ke sana, dan beliau habiskan waktunya untuk melakukan ‘ibādah, memikirkan dan merenungkan pemandangan alam yang ada di sekitarnya, dan memikirkan kekuatan pencipta yang ada di balik semua itu…. Karena beliau tidak mantap terhadap ‘aqīdah syirik yang rapuh yang dipeluk kaumnya beserta segala pandangannya yang lemah. Akan tetapi di depan beliau tidak terdapat jalan yang terang, manhaj yang pasti, dan tidak ada jalan hidup yang lurus yang menangkan dan menyenangkan hatinya.

Pilihan Rasūlullāh s.a.w. melakukan ‘uzlah “menyendiri” ini rupaya sudah menjadi skenario Allah untuk menyiapkan beliau buat menantikan urusan yang agung. Dalam ‘uzlah ini beliau menyendiri, bersunyi-sunyi seorang sendiri, dan membebaskan diri dari hiruk-pikuk kehidupan dan segala kesibukannya yang kecil (tak bernilai), dan beliau kosentrasikan pikirannya untuk merenungkan alam semesta, memperhatikan fenomena-fenomena keindahan, dan rūḥnya bertasbīḥ bersama rūḥ alam wujūd, berpelukan dengan keindahan dan kesempurnaan ini, bergaul dengan hakikat yang agung, dan latihan bergaul dengannya dengan penuh pengertian dan pemahaman.

Sudah tentu, bagi rūḥ yang dikehendaki untuk mempengaruhi realitas kehidupan manusia ini dan mengubahnya ke arah lain….. Sudah tentu, rūḥ yang demikian ini harus berkhalwat dan ber-‘uzlah (menyepi dan menyendiri) pada suatu waktu, dan menjauhi kesibukan duniawi, hiruk-pikuk kehidupan, dan kepentingan-kepentingan kecil manusia yang sibuk dengan urusan kehidupan.

Harus ada waktu untuk memikirkan, menerungkan, dan bergaul dengan alam yang besar dan hakikatnya yang mutlak. Karena tenggelam dalam kehidupan akan menjadikan jiwa akrab dan tertarik kepadanya, sehingga ia tidak akan berusaha mengubahnya. Adapun melepaskan diri darinya sementara waktu, menjauhinya, dan hidup dalam kebebasan yang penuh dari tawanan realitas yang kecil, dan dari kesibukan-kesibukannya yang rendah dan remeh, maka hal ini akan menjadikan rūḥnya yang besar layak memandang sesuatu yang lebih besar, dan melatihnya untuk merasakan kesempurnaan dirinya tanpa memerlukan tradisi manusia, dan ia dapatkan pertolongan dari sumber lain selain tradisi yang berkembang selama ini.

Demikianlah Allah memprogram Nabi Muḥammad s.a.w. yang dipersiapkannya untuk mengemban amanat teragung, mengubah wajah dunia, dan meluruskan garis sejarah. Allah memprogramkan ‘uzlah ini untuknya sebelum ditugasi mengemban risālah tiga tahun kemudian. Muḥammad melakukan ‘uzlah selama sebulan (dalam setahun), bercengkerama dengan rūḥ alam semesta yang bebas, dan merenungkan keghaiban yang tersembunyi di balik alam nyata ini, hingga tiba masanya bergaul dengan alam ghaib ini ketika Allah mengidzinkan.

Ketika Allah s.w.t. telah mengidzinkan dan berkehendak melimpahkan rahmat-Nya kepada dunia, maka datanglah malaikat Jibrīl a.s. kepada Nabi s.a.w. ketika beliau sedang berada di Gua Ḥirā’. Hal itu diceritakan oleh Rasūlullāh s.a.w. sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Isḥāq dari Wahb bin Kīsān, dari ‘Ubaid, dia berkata:

“Maka datanglah malaikat Jibrīl kepadaku ketika aku sedang tidur, dengan membawa permadani sutra yang ada tulisannya, lalu ia berkata: “Iqra’” (Bacalah!). Aku menjawab: “Mā aqra’u” (dalam satu riwayat: “Mā anā biqāri’”[Saya sama sekali tidak dapat membaca]. Lalu ia menghimpitku sehingga aku mengira akan mati. Kemudian ia melepaskanku seraya berkata: “Bacalah!” Aku menjawab: “Aku tidak dapat membaca”. Lalu ia menghimpitku sehingga aku mengira aku akan mati. Kemudian ia melepaskanku seraya berkata: “Bacalah!” Aku menjawab: “Aku tidak dapat membaca.” Lalu ia menghimpitku lagi sehingga aku mengira bahwa aku akan mati. Kemudian ia melepaskan lagi seraya berkata: “Bacalah!” Aku bertanya: “Apaka yang harus aku baca?” Aku berkata begitu dengan maksud akan menirukan apa yang ia bacakan kepadaku. Lalu ia mengucapkan:

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah, Yang mengajar manusia dengan (perantaraan) qalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (al-‘Alaq: 1-5).

Nabi berkata: “Lalu aku membacanya. Kemudian setelah selesai, ia pergi dariku. Dan pada waktu aku bangun tidur, maka seakan-akan dituliskan suatu kitab di dalam hatiku. Kemudian aku keluar, dan ketika sampai di tengah-tengah gunung, aku mendengar suara dari langit yang berkata: “Hai Muḥammad, engkau adalah rasūl (utusan) Allah dan aku adalah malaikat Jibrīl.” Lalu aku menengadah sambil memandang ke langit, tiba-tiba malaikat Jibrīl dalam bentuk seorang laki-laki, sambil membuka kedua kakinya di ufuk langit seraya berkata: “Hai Muḥammad, engkau adalah Rasūl Allah dan aku adalah Jibrīl.” Aku berhenti sambil memandang kepadanya. Aku tetap saja berdiri dengan tidak melangkahkan kaki ke depan ataupun ke belakang, hingga Khadījah mengirim beberapa orang utusannya untuk mencariku. Maka sampailah mereka di atas kota Makkah, kemudian mereka kembali lagi kepadanya sedang saya masih berdiri di tempat saya itu. Kemudian Jibrīl pergi dariku dan saya pun pulang kepada keluargaku hingga bertemu Khadījah. Kemudian aku duduk di pahanya dan bersandar kepadanya, lalu ia bertanya: “Wahai ayah al-Qāsim, di mana engkau tadi. Demi Allah, aku telah mengutus beberapa orang untuk mencarimu hingga ke atas kota Makkah, kemudian mereka kembali lagi kepadaku.” Kemudian saya ceritakan kepadanya apa yang saya lihat dan alami itu. Lalu ia berkata: “Bergembiralah engkau wahai putra pamanku, dan mantapkanlah hatimu. Demi Allah yang diri Khadījah berada di tangan-Nya, sungguh aku berharap bahwa engkaulah Nabi umat ini.”

Kemudian wahyu terhenti dari Nabi s.a.w. beberapa lama, hingga ketika beliau berada di gunung pada kali lain, tiba-tiba beliau melihat malaikat Jibrīl lagi, maka tubuh beliau gemetar hingga bersimpuh ke tanah, kemudian beliau pulang kepada istrinya dengan perasaan takut dan tubuh gemetar, lalu berkata: “Selimutilah aku, selimutilah aku!” Lalu keluarganya menyelimutinya, sedang tubuhnya masih gemetar karena takut. Tetapi tiba-tiba malaikat Jibrīl berseru:

يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ.

Hai orang yang berselimut ….!

Dan ada yang mengatakan:

Hai orang yang berkemul (berselimut)…..!

Allah lebih mengetahui mana yang benar.

Terlepas, apakah sah riwayat pertama tentang sebab turunnya sebagian surah ini, atau yang sah itu riwayat kedua mengenai sebab turunnya bagian permulaannya, sesungguhnya Rasūlullāh s.a.w. mengerti bahwa sesudah itu beliau tidak dapat tidur dengan leluasa lagi karena di sana ada tugas yang berat dan jihad yang panjang, dan bahwa sejak adanya seruan (wahyu dari malaikat Jibrīl) itu beliau harus bangkit, berjuang, dan berusaha keras, serta tidak dapat tidur dengan leluasa lagi.

Dikatakan kepada Rasūlullāh s.a.w.: “Bangunlah!”…… Maka beliau pun bangun. Dan sesudah itu, beliau bangun (berjuang) lebih dari dua puluh tahun, tidak beristirahat, tidak berhenti, dan tidak hidup untuk kepentingan diri sendiri dan keluarganya. Tetapi beliau bangun dan berjuang mendakwahkan agama Allah, menyeru manusia ke jalan Allah. Puncak beliau memikul beban yang berat yang tak pernah terlepas, beban amanat terbesar di muka bumi ini, beban kemanusiaan secara total, beban pembinaan yang menyeluruh, beban perjuangan dan jihad dalam berbagai lapangan dan medan.

Beliau pikul beban perjuangan dan jihad di lapangan hati manusia yang tenggelam dalam khurafat dan pandangan jahiliah, yang menancap di bumi dan tertarik oleh berbagai daya tariknya, yang terbelenggu dengan tahanan dan belenggu syahwat…. Sehingga apabila hati ini telah bersih dari tumpukan-tumpukan kejahiliahan dan kehidupan duniawi yang selama ini sudah melekat pada diri mereka, maka perjuangan mulai dialihkan ke medan lain…. bahkan ke medan-medan perang yang susul-menyusul dan berkesinambungan…. terhadap musuh-musuh dakwah yang senantiasa menentangnya dan menentang orang-orang yang beriman kepadanya, musuh-musuh yang berkeinginan keras untuk membunuh tanaman yang suci di tempat tumbuhnya ini, sebelum berkembang akar-akarnya di dalam tanah dan cabang-cabangnya di angkasa, dan menaungi hamparan-hamparan lainnya…. Suatu tugas dan perjuangan yang hampir tidak pernah kosong dari serangan-serangan yang dilancarkan musuh di Jazīrah ‘Arab sehingga bangsa Rumawi pun bersiap-siap menghadapi umat yang baru ini, dan bersiap siaga menyerangnya di perbatasan utara.

Di tengah-tengah semua peperangan ini, perang yang pertama dan utama – memerangi hati nurani – pun tidak pernah kunjung usai, karena ini merupakan peperangan yang abadi, sedang syaithān selalu menyertainya, karena ia tidak pernah berhenti sama sekali dari melancarkan aktivitasnya di dalam lubuk hati manusia. Nabi Muḥammad s.a.w. selalu berdiri di sana untuk menyampaikan dakwah ke jalan Allah, dan melakukan peperangan dalam medan yang berbeda-beda, dalam lapangan kehidupan dunia yang keras dan selalu menghadapinya. Beliau terus berjuang dan berusaha keras, dan kaum mu’minīn yang ada di sekitar beliau dapat memperoleh kesenangan di bawah naungan keamanan dan ketenangan. Beliau senantiasa melakukan perjuangan yang melelahkan, dengan terus-menerus tiada henti…. Dalam menghadapi semua itu beliau bersikap sabar dengan kesabaran yang baik, senantiasa aktif melakukan shalat malam, ber‘ibādah kepada Tuhannya, membaca Qur’ān-Nya dengan teratur dan tekun, sebagaimana yang diperintahkan Allah kepada beliau ketika Dia menyerunya:

Hai orang yang berselimut (Muḥammad), bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah al-Qur’ān itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat. Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyu‘) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak). Sebutlah nama Tuhanmu, dan beribādahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan. (Dia-lah) Tuhan masyriq dan maghrib, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai pelindung. Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik.” (al-Muzzammil: 1-10).

Demikianlah Nabi Muḥammad s.a.w. berjuang dan hidup dalam peperangan yang terus-menerus lebih dari dua puluh tahun, dengan tidak ada sesuatu pun yang dapat melalaikannya dari perjuangan ini, semenjak beliau mendengar seruan tertinggi dan mulia dan menerima tugas yang berat dari-Nya. Semoga Allah memberikan balasan kepada beliau dengan balasan yang sebaik-baiknya atas perjuangan beliau membimbing kita dan semua manusia.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *