AYAT 6-7
إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْءًا وَ أَقْوَمُ قِيْلًا. إِنَّ لَكَ فِي النَّهَارِ سَبْحًا طَوِيْلًا.
73: 6. Sesungguhnya, shalat-shalat malam kamu adalah lebih menguatkan (jiwa) dan (bacaan-bacaannya) lebih berkesan.
73: 7. Sesungguhnya, kamu di siang hari sibuk dengan urusan kamu.
TAFSIR
Ayat ini selanjutnya membahas tentang shalat malam dan pertumbuhan spiritual yang dihasilkan oleh bacaan ayat al-Qur’ān di malam hari. Ayat ini sesungguhnya lebih mendukung ayat sebelumnya. Perintah Allah mengenai shalat malam dan bacaan ayat al-Qur’ān menghasilkan shalat yang lebih kuat dan mantap. Bentuk nomina ‘Arab nasyi’ah bermakna “kejadian”, tetapi tiga kemungkinan dikemukakan bagi makna kontekstualnya. Jam malam yang berlangsung secara khusus pada akhir malam dan waktu fajar; bangun shalat malam dan membaca ayat-ayat al-Qur’ān, diriwayatkan dari Imām Bāqir a.s. dan Imām Shādiq a.s. bahwa bangun di akhir malam untuk mendirikan malam adalah yang dimaksud di sini. (2481). Menurut hadits lain dari Imām Shādiq a.s., yang dimaksud di sini adalah orang yang bangun dari tempat tidur dengan niat hanya untuk berdoa kepada Allah s.w.t. (2492).
Kata keterangan bahasa ‘Arab wath’an bermakna menginjakkan kaki dan juga persetujuan. Kalimat keterangan ‘Arab asyaddu wath’an bermakna kesukaran dan kesulitan dalam bangun di waktu malam untuk mendirikan shalat. Juga dapat bermakna kesan kuat dan abadi yang masuk dalam jiwa manusia. Namun, makna kedua terdengar lebih cocok. Istilah tersebut juga dapat berarti keharmonisan yang dialami hati, penglihatan dan pendengaran manusia, yang terwujud pada waktu shalat tersebut.
Bentuk kata sifat komparatif ‘Arab aqwama, seakar dengan kata qiyām (“bangun”), yang bermakna “lebih kokoh, lebih lurus”. Bentuk kata kerja pasif ‘Arab qīla di sini bermakna mengingat Allah s.w.t. dan membaca al-Qur’ān. Ayat ini termasuk di antara ayat-ayat yang mengungkapkan dengan sangat jelas keutamaan shalat di malam hari dan di waktu fajar. Ketika itu, pikiran tidak begitu sibuk dengan urusan duniawi dan karenanya dapat menyucikan dan membantu perkembangan jiwa manusia. Dijelaskan bahwa jiwa manusia terutama memang telah disiapkan untuk beribadah kepada Allah s.w.t. serta sibuk dalam berdzikir dan mengingat-Nya.
Ayat ke-7 merefleksikan fakta bahwa kita sibuk melakukan banyak urusan di siang hari, sehingga dapat menghabiskan malam hari dengan mendirikan shalat (malam).
Yang lain mengemukakan penafsiran bahwa karena engkau memikul beban berat dari kewajibanmu, maka engkau dapat menguatkan jiwamu dengan mendirikan shalat malam.
Bentuk nomina ‘Arab sabḥ, yang bermakna gerakan dan kata tersebut juga dipakai dengan makna berenang karena “berenang” memerlukan banyak gerakan. Linkungan masyarakat bisa diserupakan dengan samudera tak bertepi, karena manusia sering tenggelam di dalamnya. Di samudera yang ganas itu, ombak bergerak menuju arah yang berbeda-beda, sedangkan kapal-kapal kecil belayar mencari pelabuhan yang aman. Nabi s.a.w. merupakan garda penyelamat satu-satunya dan al-Qur’an merupakan sekoci penyelamat satu-satunya di samudera tersebut. Perenang yang hebat seharusnya menyiapkan diri untuk menjalani misi yang demikian besar itu.
AYAT 8-10.
وَ اذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ وَ تَبَتَّلْ إِلَيْهِ تَبْتِيْلًا. رَبُّ الْمَشْرِقِ وَ الْمَغْرِبِ لَا إِلهَ إِلَّا هُوَ فَاتَّخِذْهُ وَكِيْلًا. وَ اصْبِرْ عَلَى مَا يَقُوْلُوْنَ وَ اهْجُرْهُمْ هَجْرًا جَمِيْلًا.
73: 8. Dan sebutlah nama Tuhanmu dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan.
73: 9. Tuhan Timur dan Barat. Tidak ada tuhan selain Dia, maka jadikanlah Dia sebagai Penjagamu.
73: 10. Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka katakan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik.
TAFSIR
Menyusul perintah Allah tentang bangun di malam hari dan penjelasan singkat mengenai keisitmewaan shalat malam, diungkapkan lima perintah yang saling melengkapi, bunyinya: Sebutlah nama Tuhanmu. Sudah jelas bahwa sekadar mengingat nama-Nya bukanlah yang dimaksudkan di sini. Maksudnya adalah dengan memerhatikan dzikir verbal yang berfungsi sebagai pendahuluan bagi dzikir hati ini, maka dia dapat menyucikan jiwa dan membantu tumbuhnya pohon pengetahuan, kepekaan hati dan ketaqwaan kepada Allah s.w.t. Bentuk nomina ‘Arab Rabb mengisyaratkan bahwa apabila seseorang mengucapkan nama Allah s.w.t., dia seharusnya memerhatikan nikmat tak terhingga yang diberikan-Nya dan terus mengupayakan perkembangan jiwa.
Berbagai tahap mengingat Allah s.w.t. disebutkan oleh salah seorang mufassir. Tahap pertama adalah menyebut nama-Nya; kedua adalah mengingat hakikat suci-Nya dalam hati, sebagaimana dijelaskan pada surah 7, ayat 205: Dan ingatlah nama Tuhanmu dalam dirimu, dengan merendahkan hati dan perasaan takut. Tahap ketiga melampaui tahap ketuhanan Allah menuju sifat-sifat Allah yang berupa keindahan dan keagungan-Nya. Sebagaimana ditunjukkan pada surah 33, ayat 31: Wahai orang-orang yang beriman! Berdzikirlah kepada Allah dengan dzikir yang banyak. Karenanya, dzikir yang berlangsung terus-menerus akan mengalami berbagai tahap perkembangan dan orang yang berdzikir kepada-Nya akan dibawa menuju puncak kesempurnaan. (2503).
Perintah kedua berbunyi: “Hubungkanlah hatimu kepada Allah s.w.t., putuskanlah segala ketergantungan dari apa pun selain Dia, dan bangkitlah dengan tulus untuk beribadah kepada-Nya.” Bentuk kata kerja perintah ‘Arab tabattal bermakna “putuskanlah ikatan-ikatan!” Maryam a.s. dinamakan al-Batūl karena tidak pernah menikah (dengan seorang laki-laki pun). Fāthimah a.s. juga dinamakan al-Batūl karena berbeda dan lebih unggul daripada para perempuan lainnya pada masanya berkenaan dengan amalan, akhlak dan pengetahuan sehingga dia mencapai tahap pemutusan ikatan dari segala sesuatu selain Allah. Kata kerja tersebut menyiratkan kondisi seluruh hati manusia yang beralih menuju Allah s.w.t. dengan memutuskan segala ikatannya dari apa pun selain Allah dengan sibuk dalam ketaatan kepada Allah s.w.t. dan melaksanakan segala amalannya hanya untuk-Nya. Diriwayatkan dari Imām Shādiq a.s. bahwa bentuk kata kerja tersebut menyiratkan kondisi ketundukan hati pada waktu beribadah kepada Allah s.w.t. (2514).
Diriwayatkan dari Nabi s.a.w. yang bersabda: “Tidak ada kerahiban dan tidak pula pengucilan diri (bertapa) dalam Islam.” Hadits tersebut mengandung makna bahwa berpaling dari dunia sebagaimana dipraktikkan oleh para rahib Kristen tidak ada dalam ajaran Islam. Karena para rahib itu tidak kawin dan meninggalkan seluruh aktivitas sosial lainnya, tapi seorang muslim sejati mengabdikan dirinya sepenuh hati kepada Allah s.w.t.
Diriwayatkan dari para Imām a.s. bahwa bentuk kata kerja di pembahasan ini bermakna meluruskan tangan sewaktu mendirikan shalat wajib. Sangat jelas bahwa kata tersebut menjelaskan salah satu perwujudan dari ketaatan dan memutuskan ikatan seseorang dari segala sesuatu selain Allah s.w.t. (2525) Dzikir kepada Allah s.w.t. dan ketaatan kepada-Nya merupakan sumber besar yang digunakan oleh para wali Allah dalam melaksanakan kewajiban mereka yang sangat besar yang bertujuan untuk membimbing manusia.
Ayat ke-9 membahas tentang perintah ketiga: Tuhan Timur dan Barat. Tidak ada tuhan selain Dia, maka jadikanlah Dia sebagai Penjagamu dan Pengatur urusan-urusanmu. Menyusul tahap mengingat dan taat kepada Allah s.w.t., tahap ketiga adalah menaruh kepercayaan secara total kepada Allah s.w.t., Tuhan Timur dan Barat. Dengan kata lain, alam eksistensi seluruhnya tunduk kepada kedaulatan dan keilahian-Nya. Dia adalah satu-satunya Tuhan yang disembah. Ayat ini menyuruh agar kita menaruh kepercayaan secara total kepada Allah s.w.t. selama kita hidup di alam semesta yang luas ini. Manusia hanya dapat bergantung pada-Nya karena Dia adalah satu-satunya Tuhan Pemegang kedaulatan, Pemberi kebaikan dan nikmat Yang Pantas Disembah.
Disebutkan tentang perintah keempat dan kelima pada ayat ke-10: Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka katakan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik. Ayat itu membahas tentang kondisi kesabaran dan pengucilan diri. Jalan untuk menyeru manusia menuju kebenaran terhalang oleh banyaknya fitnah dan gangguan para musuh. Seorang tukang kebun seharusnya siap menghadapi tusukan duri demi bisa memetik bunga. Karenanya, seseorang seharusnya mengabaikan para musuh untuk menghindari perbuatan jahat mereka dan memberi mereka pelajaran. Perlu dicatat bahwa menjauhkan diri dari mereka bukan berarti menginggalkan tugas mendidik, berdakwah dan menyeru manusia kepada Allah s.w.t.
Ayat ini memberikan serangkaian aturan yang komprehensif dan sempurna kepada Nabi s.a.w. dan semua orang yang mengikuti langkahnya. Mereka didorong untuk memperoleh hikmah dari mendirikan shalat di malam hari dan di waktu fajar. Ibadah ini membantu tumbuhnya pohon iman dengan berdzikir kepada Allah di segala waktu dengan penuh ketaatan dan tawakkal kepada-Nya, dan adakalanya menjauhkan diri dari para musuh. Betapa menarik dan komprehensifnya rangkaian aturan ini.
Ungkapnya “Tuhan Timur dan Barat” menunjukkan kedaulatan dan keilahian-Nya atas seluruh alam eksistensi. Ungkapan serupa digunakan ketika mengatakan si Fulan memerintah Timur dan Barat, yaitu bahwa dia memerintah seluruh dunia dan bukan sekadar tempat-tempat di Tirmu dan Barat saja.
“Menjauhi dengan cara yang baik” (hijr jamīl), bermakna menjauhkan diri dengan sikap lemah lembut dan menyeru manusia menuju kebenaran. Ini adalah metode pendidikan yang digunakan pada waktu tertentu, yang sejalan dengan persoalan jihad di kesempatan yang lain, karena masing-masing memiliki tempatnya sendiri. Dengan kata lain, penjauhan diri tidak mengakibatkan sikap tak peduli, karena sebenarnya ini pun bentuk pemberian perhatian. Sebagian orang menganggap ayat ini membatalkan ayat tentang jihad.
Almarhum ulama terkemuka, Thabarsi, dalam kitabnya Majma‘-ul-Bayān menyatakan bahwa para penyebar ajaran Islam dan para penyeru kepada al-Qur’ān seharusnya bersabar dalam menghadapi kesulitan. Bergaul dengan mansuia dengan penuh kesabaran dan perilaku yang baik sehingga hati orang-orang yang diseru itu lebih cepat menyambut kata-kata mereka.
Catatan: