Surah al-Muzzammil 73 ~ Tafsir al-Azhar (3/3)

Dari Buku:
Tafsir al-Azhar
Oleh: Prof. Dr. HAMKA

Penerbit: PT. Pustaka Islam Surabaya

Rangkaian Pos: Surah al-Muzzammil 73 ~ Tafsir al-Azhar

***

إِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُوْمُ أَدْنَى مِنْ ثُلُثَيِ اللَّيْلِ وَ نِصْفَهُ وَ ثُلُثَهُ وَ طَائِفَةٌ مِّنَ الَّذِيْنَ مَعَكَ وَ اللهُ يُقَدِّرُ اللَّيْلَ وَ النَّهَارَ عَلِمَ أَنْ لَّنْ تُحْصُوْهُ فَتَابَ عَلَيْكُمْ فَاقْرَؤُوْا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ عَلِمَ أَنْ سَيَكُوْنُ مِنْكُمْ مَّرْضَى وَ آخَرُوْنَ يَضْرِبُوْنَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُوْنَ مِنْ فَضْلِ اللهِ وَ آخَرُوْنَ يُقَاتِلُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ فَاقْرَؤُوْا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ وَ أَقِيْمُوا الصَّلَاةَ وَ آتُوا الزَّكَاةَ وَ أَقْرِضُوا اللهَ قَرْضًا حَسَنًا وَ مَا تُقَدِّمُوْا لِأَنْفُسِكُمْ مِّنْ خَيْرٍ تَجِدُوْهُ عِنْدَ اللهِ هُوَ خَيْرًا وَ أَعْظَمَ أَجْرًا وَ اسْتَغْفِرُوا اللهَ إِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

73: 20. Sesungguhnya Tuhan engkau mengetahui bahwasanya engkau berdiri kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan satu golongan dari orang-orang yang bersama engkau. Dan Allah menentukan ukuran malam dan siang. Tuhan telah tahu bahwa kamu sekali-kali tidak dapat memperhitungkannya, maka diberinya taubatlah atas kamu. Sebab itu bacalah mana yang mudah dari al-Qur’ān. Tuhan telah tahu bahwa ada di antara kamu yang sakit dan yang lain-lain mengembara di muka bumi mengharapkan karunia dari Allah; dan yang lain-lain berperang pada jalan Allah; Maka bacalah mana yang mudah daripadanya dan dirikanlah sembahyang, dan berikanlah zakat dan beri pinjamlah Allah, pinjaman yang baik. Dan apa juapun yang kamu dahulukan untuk dirimu dari kebajikan, akan kamu perdapat dia di sisi Allah, dia adalah baik dan sebesar-besar ganjaran. Dan mohonlah ampun kepada Allah; sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

YANG BERAT DIRINGANKAN

Perintah Allah pada permulaan surat supuya Nabi Muḥammad dan orang-orang yang beriman bangun sembahyang malam, menurut yang ditentukan Tuhan, telah mereka laksanakan dengan baik.

Sekarang pada penutup Sūrat, ayat ke-20 datanglah penjelasan lagi dan penghargaan Tuhan karena mereka telah melaksanakan perintah itu;

Sesungguhnya Tuhan engkau mengetahui bahwasanya engkau berdiri kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya”. (Pangkal ayat 20). Artinya segala perintah itu telah engkau jalankan sebagaimana yang ditentukan oleh Tuhan; yang dekat dengan dua pertiga sudah, yang seperdua malampun sudah, demikian juga yang sepertiga. Semuanya sudah dilaksanakan dengan baik; “dan satu golongan dari orang-orang yang bersama engkau” Artinya bahwa engkau telah memberikan teladan tentang bangun sembahyang malam itu kepada pengikut-pengikut setia engkau dan merekapun telah berbuat demikian pula bersama engkau; “Dan Allah menentukan ukuran malam dan siang”. Di musim dingin lebih pendek siang, lebih panjang malam, di musim panas lebih panjang siang lebih pendek malam. Di musim kembang (semi) terdapat persamaan siang dengan malam. Ibnu Katsīr memberikan tafsir bahwa inilah hikmatnya maka sejak semula perintah ini didatangkan, Nabi boleh membuat dua pertiga malam atau lebih, atau kurang atau seperdua atau sepertiga. Karena perimbangan malam itu tidak sama. Yang perbedaan tidak seberapa ialah di negeri-negeri Khathth-ul-Istiwā (Khatulistiwa) sebagai kepulauan kita Indonesia ini. “Tuhan telah tahu bahwa kamu sekali-kali tidak dapat memperhitungkannya” dengan teliti. Apatah lagi di zaman itu ilmu hisab dan ilmu falak belum semaju sebagai sekarang. Belum ada buat penelitian perjalanan musim dan pergantian hari sebagai yang ada di Grenwich sekarang ini. Walaupun tahu, tidak pula semua orang wajib mengetahuinya. “Maka diberinya taubatlah atas kamu”. Artinya bukanlah diberi taubat karena ada suatu perintah yang dilanggar, melainkan beban yang berat diringankan. “Sebab itu bacalah mana yang mudah dari al-Qur’ān”. Artinya janganlah kamu persukar dirimu karena pembacaan itu. Karena tadinya sudah diperintahkan membaca al-Qur’ān dengan perlahan-lahan, maka banyaklah di antara sahabat-sahabat Rasūlullāh itu yang tekun membaca lalu sembahyang, dan membaca lagi lalu sembahyang. Membaca di dalam sembahyang dan membaca di luar sembahyang, semuanya karena ingin melaksanakan apa yang diperintahkan Tuhan. Disuruh pilih di antara dua pertiga, boleh ditambah dan boleh dikurangi, seperdua pun boleh, sepertigapun boleh, namun banyak yang berbuat lebih dekat kepada dua pertiga.

Ar-Rāzī menukilkan dalam tafsirnya perkataan Muqātil: “Ada sahabat Rasūlullāh yang sembahyang seluruh malam, karena takut kalau-kalau kurang sempurna mengerjakan sembahyang yang wajib. “Tuhan telah tahu bahwa ada di antara kamu yang sakit”. Tentu saja orang yang sakit tidak diberati dengan perintah. Dan lagi kalau ada orang yang sembahyang saja terus-terusan satu malam, niscaya dia akan kurang tidur. Kurang tidurpun bisa menimbulkan sakit. Maksud Tuhan memerintahkan beribadat, bukanlah supaya orang jadi sakit, melainkan tetap sehat wal-‘afiat: “dan yang lain-lain mengembara di muka bumi mengharapkan karunia dari Allah”. Yang dimaksud ialah terutama sekali, berniaga. Atau bercocok tanam, yang menghasilkan buah. Atau beternak yang menghasilkan binatang peliharaan. Semuanya itu diperintahkan belaka oleh Allah, sebagaimana tersebut di dalam Sūrat ke-67, al-Mulk ayat 15 yang telah kita ketahui di pangkal Juzu’ ke-29 ini. Mencari rezeki yang halal dan yang baik adalah suruhan pula dari Tuhan. Dengan suku ayat ini Ibn-ul-Farash berkata bahwa ayat yang menerangkan tentang pengembaraan di muka bumi ini mencari kurnia dari Allah adalah satu galakan atau anjuran utama supaya berniaga. Dia diserangkaikan dengan Jihād fī sabīlillīh, dengan sambungan ayat: “dan yang lain-lain berperang pada jalan Allah”. Maka kalau kurang istirahat pada malam hari, niscaya lemah bertempur dengan musuh pada siang harinya.

Ibnu Katsīr menerangkan pula. Sudah sama diketahui bahwa Sūrat ini diturunkan di Makkah. Masyarakat Islam baru saja tumbuh. Perintah Jihad belum ada. Tetapi sudah mulai dibayangkan bahwa ini akan terjadi. Inilah salah satu mu‘jizat dari Nabi Muḥammad s.a.w. “Maka bacalah mana yang mudah daripadanya”. Berdasar kepada Hadits yang pernah dirawikan oleh ‘Ubādah bin Shāmit, bahwa Nabi pernah bersabda:

لَا صَلَاةَ إِلَّا بِقِرَاءَةِ فَاتِحَةِ الْكِتَابِ.

Tidaklah ada sembahyang, kecuali bahwa kamu baca Fātiḥat-ul-Kitāb”, yang dirawikan oleh Bukhārī dan Muslim, maka Ulama-ulama menyatakan pendapat bahwa yang termudah dari al-Qur’ān itu ialah al-Fātiḥah. Tetapi Ulama-ulama dalam Madzhab Ḥanafī ada yang berpendapat bahwa meskipun bukan Fātiḥah yang dibaca, asal saja ayat al-Qur’ān, walau satu ayat, sembahyangnya shaḥḥ juga.

Selanjutnya firman Tuhan: “Dan dirikanlah sembahyang, dan berikanlah zakat”. Perintah mengerjakan sembahyang di dalam ayat ini menyebabkan jadi jelas bahwa di samping sembahyang malam dengan perintah yang khas ini, Rasūlullāh s.a.w. sebelum Mi‘rāj telah mendapat juga perintah melakukan sembahyang yang lain, meskipun belum diatur lima waktu. Perintah memberikan zakatpun telah ada sejak dari Makkah, meskipun mengatur nishab zakat baru diatur setelah hijrah ke Madīnah. Maka orang-orang yang beriman di masa Makkah dengan bimbingan Nabi sendiri telah sembahyang dan telah berzakat. “Dan beri pinjamlah Allah, pinjaman yang baik”. Yaitu mengeluarkan harta benda untuk menegakkan kebajikan, untuk berjuang menegakkan jalan Allah, untuk menegakkan agama, dipilih dari harta yang halal, membantu yang patut dibantu, kikis dari diri penyakit bakhil yang sangat berbahaya itu. Tuhan di sini memilih kata-kata “pinjam”, artinya; “bayarkanlah terlebih dahulu rezeki yang diberikan Allah yang ada dalam tanganmu itu, Allah berjanji akan menggantinya kelak berlipat ganda. Orang yang pemurah tidaklah akan berkekurangan”. – “Dan apapun yang kamu dahulukan untuk dirimu dari kebajikan”. Dalam susunan bahasa kita tiap hari; “Apapun kebajikan yang kamu dahulukan untuk kepentingan dan kebahagiaan dirimu; “akan kamu perdapat dia di sisi Allah”. Artinya tidak ada satu kebajikanpun yang telah di‘amalkan, baik bederma, berwaqaf, bershadaqah, menolong dan berjuang menegakkan kebenaran, berjihad, tidak ada yang luput dari catatan Allah. “Dia adalah baik dan sebesar-besar ganjaran”. Asal semuanya itu dikerjakan dengan ikhlas karena Allah, ganjarannya di sisi Tuhanpun sangat baik. Perhatikanlah isi dari firman Tuhan itu; Apapun yang kamu dahulukan dari kebajikan”. Sebab, segala ‘amalan kebajikan yang kita lakukan sementara hidup ini samalah artinya dengan mengirimkannya lebih dahulu ke hadrat Allah sebagai simpanan kekayaan yang kelak pasti kita dapati dalam perhitungan di akhirat. Mana yang telah kita belanjakan terlebih dahulu itulah yang terang buat kita. Yang lain belum tentu buat kita.

Tiga hadits yang sama artinya, satu dirawikan oleh Bukhārī, satu lagi oleh an-Nasā’ī dan satu lagi dari Abū Ya‘lā, tetapi ketiga hadits itu melalui al-A‘masy dari Ibrāhīm dan Ḥārits bin Suwaid, bahwa Rasūlullāh s.a.w. pernah bertanya: “Siapakah di antara kamu yang lebih suka kepada hartanya sendiri daripada harta yang dipunyai oleh warisnya?

Sahabat-sahabat Rasūlullāh yang hadir mendengar pertanyaan itu menjawab; “Tidak ada di antara kami seorangpun yang lebih menyukai harta kepunyaan warisnya dari mencintai hartanya sendiri!” Rasūlullāh berkata lagi: “Fikirkan benarkah apa yang kamu katakan itu!”. Mereka menjawab: “Tidak ada pengetahuan kami yang lain, yā Rasūlallāh, melainkan begitulah yang kejadian”, harta sendiri yang lebih disukai daripada harta kepunyaan waris. Lalu beliau berkata: “Yang benar-benar harta kamu ialah yang lebih dahulu kamu nafkahkan, dan yang tinggal adalah harta kepunyaan waris kamu!

Sama jugalah makna dari sabda Rasūlullāh itu dengan perumpamaan yang biasa kita dengar; “Jika burung terbang sepuluh ekor, kamu tembak, lalu jatuh empat; berapa yang tinggal?” Orang yang tidak sempat berfikir dijawabnya saja; “Enam yang tinggal”. Tetapi orang yang berfikir lebih mendalam akan menjawab: “Yang tinggal ialah yang empat ekor telah kena itu. Adapun yang enam telah terbang, belum tentu akan dapat lagi!”

Maka pada suatu hari singgahlah penulis ini di kota Semarang menemui seorang dermawan yang patut dihargai di zaman sebagai sekarang. Dia wakafkan sebahagian besar dari kekayaannya kepada Perkumpulan Muhammadiyyah. Dia telah berkata kepada anak-anaknya ketika akan memberikan wakaf itu: “Harta benda yang untuk kamu, wahai anak-anakku sudah ada ketentuannya di dalam al-Qur’ān. Jika ayah mati, maka di saat roh ayah bercerai dengan badan, harta itu semuanya sudah kamu yang empunya. Di saat itu tidak ada sebuahpun yang akan ayah bawa ke akhirat selain lapis kafan pembungkus diri ayah sampai hancur. Sebab itu sebelum ayah meninggal ini, biarkanlah ayah mengirim lebih dahulu harta yang akan ayah dapati di akhirat, dengan jalan mendirikan rumah-sakit untuk menolong orang-orang miskin yang tidak kuat membayar mahal dan dipelihara oleh perkumpulan Islam yang dipercayai. Apa yang ayah ‘amalkan dan kirimkan “terlebih dahulu” itulah yang jelas harta ayah.”

Anak-anaknya pun menerima keinginan ayahnya itu dengan ikhlas. “Dan mohonlah ampun kepada Allah”. Karena sebagai manusia yang hidup, tidaklah akan sunyi kamu dari kealpaan dan kekhilafan. Yang penting adalah mengakui kekurangan diri di hadapan Kebesaran Allah; “Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Ujung ayat 20).

Sebab bagaimanapun kebajikan yang kita perbuat, ‘amalan yang kita kerjakan, menolong orang yang kesusahan, berjuang dan berjihad, akan ada sajalah kekurangan kita dan tidak akan ada yang sempurna. Sebab Yang Maha Sempurna itu hanyalah Allah ta‘ālā Sendiri. Maka dengan mengingat akan dua nama Allah, pertama GHAFŪR artinya Maha Pengampun dan kedua RAḤĪM, Maha Penyayang, masuklah kita daripada pintunya, moga-moga terkabul apa yang kita harapkan. Sebab bagaimanapun kekurangan, namun niat menuju Tuhan tidaklah pernah patah.

 

Beberapa keterangan berhubung dengan Sūrat-ul-Muzzammil.

Suatu riwayat dari Ibnu ‘Abbās; Tuhan menyuruh Nabi-Nya dan orang-orang yang beriman supaya bangun sembahyang malam, kecuali sedikit, artinya sediakan malam buat tidur. Rupanya setelah dikerjakan oleh orang-orang mu’min, nampak telah memberati. Lalu datanglah perintah keringanan di akhir surat. Maka segala puji bagi Allah.

Menurut riwayat dari Abū ‘Abd-ir-Raḥmān; Ketika telah turun Sūrat: “Yā ayyuh-al-muzzammil, maka satu tahun lamanya kaum beriman mengerjakan dengan tekun tiap malam, sampai kaki mereka jadi pegal lantaran lamanya sembahyang. Lalu turunlah akhir surat. Dengan demikian terlepaslah mereka dari ibadat yang berat itu.

Riwayat dari Sa‘īd bin Jubair, al-Ḥasan al-Bashrī dan ‘Ikrimah begitu jua.

Al-Ḥāfizh Ibnu Ḥajar menulis dalam Syarḥ Bukhārī: “Setengah Ulama berpendapat bahwa pada mulanya sembahyang malam itu adalah wajib. Kemudian perintah itu di-mansūkh-kan dengan bangun sembahyang malam sekadar kuat, kemudian yang itupun di-mansūkh-kan dengan perintah sembahyang lima waktu.

Tetapi al-Marūzī membantah keterangan itu.

Setengahnya lagi mengatakan sebelum Nabi Mi‘rāj belum ada sembahyang yang difardhukan. As-Suyūthī berpendapat bahwa ayat ke-20 itu me-mansūkh-kan kewajiban yang dipikulkan di pangkal surat. Suatu golongan Ulama mengatakan bahwa sembahyang malam itu tetap wajib atas Nabi saja. Setengah Ulama lagi mengatakan bahwa atas ummat pun wajib juga, tetapi berapa bilangannya tidaklah ditentukan, hanya asal berapa kuat saja.

Di antara ahli tafsir mengeluarkan pendapat bahwa sejak semula Qiyām-ul-Lail itu tetaplah nāfilah atau mandūb atau sunnah (dianjurkan), tidak ada nāsikh dan mansūkh dalam perkara ini. Ayatnya adalah ayat muḥkam, artinya tetap berlaku. Tetapi meskipun dia perintah sunnat, namun setengah orang yang beriman mengerjakannya dengan tekun sampai tidak mengingat lagi akan kesehatan badan dan tidak mengingat lagi bahwa merekapun wajib pula berusaha mencari rezeki yang halal. Dan kemudian hari akan datang waktunya mereka musti pergi berperang pada jalan Allah. Maka diperingatkanlah di akhir Sūrat, ayat ke-20 supaya ibadat itu dilakukan ala kadarnya saja, jangan sampai memberati.

Inipun dibuktikan pula dengan beberapa hadits, bahwa ada orang yang menentangkan tali tempat bergantung ketika akan berdiri menyambung sembahyang di dalam masjid, terutama setelah pindah ke Madīnah. Sedangkan dalam mengerjakan sembahyang tarāwiḥ atau qiyām-ul-lail yang bulan puasa, tersebut pula ada yang sampai sembahyang 41 raka‘at dengan witir, sampai sembahyangnya itu ditutup saja dengan makan sahur atau dengan waktu subuh. Maka diperingatkan oleh Tuhan agar diingat juga kewajiban-kewajiban lain yang akan kita hadapi dalam hidup ini.

Sekian tafsir dari Sūrat-ul-Muzzammil; al-ḥamdulillāh!

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *