Surat ke-73
20 Ayat
Diturunkan di Makkah
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
PENDAHULUAN
Surat ini bernama al-Muzzammil, yang berarti orang yang berselimut. Yang dimaksud ialah Nabi Muḥammad s.a.w. sendiri. Dia adalah Sūrat yang ke-73 dalam susunan Mushḥaf ‘Utsmānī, terdiri daripada 20 ayat. ‘Al-Muzzammil” sebagai nama dari Sūrat, bertemu di dalam ayat yang pertama.
Ada berbagai riwayat diriwayatkan orang apa sebab disebut yang berselimut. Riwayat yang merata ialah bahwa Surat ini turun sesudah Nabi Muḥammad s.a.w. turun dari gua Ḥirā’, menerima Ayat-ayat al-Qur’ān yang pertama-tama turun, yaitu panggal pertama, lima ayat dari Sūrat al-‘Alaq “Iqra’ bismi rabbikal ladzi khalaq” dan seterusnya, beliaupun pulang ke rumahnya mendapati istrinya Siti Khadījah. Beliau berkata: “Zammilūnī, Zammilūnī”, selimutilah aku, selimutilah aku. Karena beliau merasa kedinginan setelah diri beliau dipeluk keras oleh Jibrīl, sebagai pengalaman pertama beliau menerima wahyu.
Satu riwayat lagi mengatakan bahwa arti berselimut di sini bukanlah benar-benar berselimut kain karena kedinginan, Melainkan tanggung jawab nubuwwat dan risalat yang diberikan Allah kepada beliau, saking beratnya, seakan-akan membuat badan jadi “panas-dingin”, yaitu suatu perintah dari Allah yang wajib dia sampaikan kepada manusia terutama terlebih dahulu kepada kaumnya yang masih sangat kuat mempertahankan jahiliyyah dan kemusyrikan. Dari semula beliau telah merasakan bahwa pekerjaan itu tidaklah mudah. Lantaran itu maka dia dipanggil Allah dengan “Muzzammil”, yang boleh diartikan orang yang diselimuti seluruh dirinya oleh tugas yang berat.
Yang ketiga ialah bahwa Ayat ini turun di malam hari, sedang Nabi s.a.w. enak tidur dan berselimut. Maka datang perintah menyuruh berdiri mengerjakan sembahyang malam. Untuk sembahyang malam itu selimut hendaklah disingkirkan, segera bangun, ambil wudhū’ dan sembahyang. Inipun dapat dipertalikan dengan Ayat 79 daripada Sūrat ke-17, al-Isrā’:
وَ مِنَ اللَّيْلِ فَتهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ.
“Dan pada sebagian malam hari bershalat tahajjudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu” (al-Isrā’ [17]: 79). Tahajjud ialah bangun menyentak, melepaskan selimut.
Dari ketiga keterangan itu, yang menguatkan yang lain dan semuanya dapat diterima, jelaslah termaktub salah satu gelar kehormatan Nabi Muḥammad s.a.w. yaitu: “Al-Muzzammil”, di samping gelar-gelar kehormatan beliau yang lain.
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
Dengan nama Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang
I
يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ. قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيْلًا. نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيْلًا. أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَ رَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيْلًا. إِنَّا سَنُلْقِيْ عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيْلًا. إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْءًا وَ أَقْوَمُ قِيْلًا. إِنَّ لَكَ فِي النَّهَارِ سَبْحًا طَوِيْلًا. وَ اذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ وَ تَبَتَّلْ إِلَيْهِ تَبْتِيْلًا. رَبُّ الْمَشْرِقِ وَ الْمَغْرِبِ لَا إِلهَ إِلَّا هُوَ فَاتَّخِذْهُ وَكِيْلًا.
73: 1. Wahai orang yang berselimut.
73: 2. Bangunlah di malam hari, kecuali sedikit.
73: 3. Seperduanya atau kurangilah daripadanya sedikit.
73: 4. Atau tambah daripadanya, dan bacalah al-Qur’ān itu dengan perlahan-lahan.
73: 5. Sesungguhnya Kami hendak menurunkan kepada engkau perkataan yang berat.
73: 6. Sesungguhnya bangun malam itu adalah lebih mantap dan bacaannya lebih berkesan.
73: 7. Sesungguhnya bagi engkau pada siang hari urusan-urusan yang panjang.
73: 8. Dan sebutlah nama Tuhan engkau, dan tunduklah kepada-Nya sebenar-benar tunduk.
73: 9. Tuhan dari masyriq dan maghrib, tiada Tuhan melainkan Dia, maka ambillah Dia jadi pelindung.
“Wahai orang yang berselimut”. (Ayat 1). Ucapan wahyu Tuhan terhadap Rasūl-Nya yang membayangkan rasa kasih sayang yang mendalam, baik karena sedang dia enak tidur dibangunkan atau karena berat tanggung jawab yang dipikulkan ke atas dirinya.
“Bangunlah di malam hari” (Pangkal ayat 2). Yaitu bangun buat mengerjakan sembahyang. Perintah Tuhan buat mengerjakan sembahyang selalu disebut dengan “Qiyām” dalam al-Qur’ān “kerjakanlah sembahyang”. Sebab dengan menyebut bangunlah atau berdirilah sembahyang, atau mendirikan sembahyang, jelas bahwa sembahyang itu didirikan dengan sungguh-sungguh dan dengan kesadaran yang penuh; “kecuali sedikit” (Ujung ayat 2). Yaitu tinggalkanlah malam itu buat istirahat agak sedikit, namun yang terbanyak hendaklah untuk melakukan sembahyang.
“Seperduanya” (Pangkal ayat 3). Artinya, perdualah malam itu; yang seperdua gunakan untuk mendirikan sembahyang dan yang seperdua untuk istirahat: “atau kurangilah daripadanya sedikit” (Ujung ayat 3). Kalau dikurangi dari seperdua, jadilah dianya dua pertiga untuk istirahat.
“Atau tambah daripadanya” (Pangkal ayat 4). Atau tambah dari seperdua malam, menjadi lebih banyak sembahyangnya dari tidurnya; “dan bacalah al-Qur’ān itu dengan perlahan-lahan.” (Ujung ayat 4).
Selain dari mengerjakan sembahyang malam itu, baik dua pertiga malam, atau separo malam ataupun sepertiga malam, dan itu terserah kepada kekuatan mengerjakannya, hendaklah pula al-Qur’ān yang telah diturunkan kepada engkau itu, selalu engkau baca dengan perlahan-lahan. Jangan dibaca dengan tergesa-gesa. Biar sedikit terbaca, asal isi kata-kata al-Qur’ān itu masuk benar ke dalam hatimu dan engkau fahamkan dengan mendalam.
Menurut sebuah Hadits yang dirawikan oleh Bukhārī dari Anas bin Mālik, ada ditanyakan kepada Anas bagaimana Nabi s.a.w. membaca al-Qur’ān. Lalu Anas memberikan keterangan bahwa Nabi bila membaca al-Qur’ān ialah dengan suara tenang panjang, tidak tergesa terburu. Anas membuat misal kalau Nabi membaca: Bismillāh-ir-Raḥmān-ir-Raḥīm, Bismillāh beliau baca dengan panjang, ar-Raḥmān dengan panjang dan ar-Raḥīm dengan panjang pula. Dan menurut riwayat Ibnu Juraij yang diterima dari Ummu Salamah, istri Rasūlullāh, kalau beliau membaca Surat al-Fātiḥah, tiap-tiap ayat itu beliau baca se ayat demi se ayat dengan terpisah. Bismillāh-ir-Raḥmān-ir-Raḥīm, beliau berhenti lalu beliau baca Alḥamdu lillāhi Rabb-il-‘Ālamīn demikian pula seterusnya. Sebab itu, tidaklah beliau membacanya dengan tergesa-gesa bersambung-sambung tiada perhentian (washal).
Itulah contoh teladan daripada Nabi s.a.w. sendiri di dalam hal membaca al-Qur’ān. Malahan beliau anjurkan supaya dilagukan membacanya. Bahkan beliau suruh baca dengan perasaan sedih, seakan-akan hendak menangis, supaya dia lebih masuk ke dalam jiwa. Abū Mūsā al-Asy‘arī ketika beliau (Nabi) dengar bagus bacaan Qur’ānnya, beliau puji dan beliau katakan: “Suaramu laksana bacaan Mazmūr Nabi Dāūd.” Karena Nabi Dāūd terkenal keindahan suara beliau ketika munajat kepada Allah dengan Mazmūrnya yang terkenal.
‘Abdullāh bin Mas‘ūd, shahabat Rasūlullāh s.a.w. memberi ingat kalau membaca al-Qur’ān jangan tergesa-gesa, jangan terburu-buru, bahkan bacalah dengan perlahan, jangan sebagai mendendangkan sya‘ir. Kalau bertemu dengan ke‘ajaibannya berhentilah sejenak merenungkannya, dan gerakkan hati untuk memperhatikannya.
Oleh sebab itu, bertalilah rupanya di antara kedua ‘ibarat ini, yaitu sembahyang malam dengan membaca al-Qur’ān dengan tartil. Dan itupun lebih dianjurkan lagi oleh Nabi jika bulan Ramadhān; di samping mengerjakan shalātul lail (sembahyang malam, tarawih) dianjurkan pula membaca al-Qur’ān dengan tartil, supaya jiwa lebih kuat dan hati bertambah dekat kepada Tuhan, sehingga apa yang kita mohonkan kepada Tuhan akan mudah dikabulkan.
Apakah sebab dan apa gunanya ‘ibadat sembahyang malam dan tartil al-Qur’ān? Jawabnya ialah ayat yang selanjutnya:
“Sesungguhnya Kami hendak menurunkan kepada engkau perkataan yang berat.” (Ayat 5).
Wahyu sungguh-sungguh adalah perkataan yang berat. Berat bagi rohani dan berat bagi jasmani. Kedatangan malaikat Jibril membawa wahyu itu bukanlah perkara yang enteng; bahkan memang berat.
Menurut satu hadits yang dirawikan oleh Imām Aḥmad, ‘Abdullāh bin ‘Āmir pernah bertanya kepada Nabi bagaimana permulaan datangnya wahyu kepada beliau. Beliau jawab: “Mula-mula saya dengar sebagai bunyi lonceng, di waktu itu aku terdiam. Tiap-tiap wahyu turun, rasanya sebagai akan matilah aku”.
Ḥārits bin Hisyām pun pernah menanyakan kepada beliau tentang turunnya wahyu. Beliau menjawab seperti itu juga; yaitu terdengar mulanya sebagai bunyi lonceng, akupun terpana ketika mendengar itu; setelah itu mengertilah aku semua apa yang dikatakan malaikat itu. Kadang-kadang malaikat itu sendiri berkata kepadaku, lalu aku faham apa yang dikatakannya itu.
‘Ā’isyah mengatakan bahwa dia pernah melihat ketika suatu hari Rasūlullāh menerima wahyu, ketika itu hari sangat dingin. Namun keringat mengalir di dahi Rasūlullāh s.a.w.
Hisyām bin ‘Urwah bin Zubair meriwayatkan bahwa kalau wahyu datang sedang Nabi berkendaraan, maka onta yang beliau kendarai itu tidak sanggup melangkahkan kakinya. Zaid bin Tsābit berceritera bahwa satu kali wahyu turun kepada Rasūlullāh, sedang kaki beliau ketika duduk bersila terletak di atas kaki Zaid. Kata Zaid di waktu itu dia merasakan sangat berat, sehingga dia tidak sanggup menggerakkan kakinya.
Ibnu Jarīr dalam tafsirnya mengatakan: bahwa wahyu itu berat dari dua pihak; Berat bagi badan, sebab malaikat sedang datang. Dan berat bagi jiwa, kerana berat tanggung jawabnya.
‘Abd-ur-Raḥmān bin Zaid bin Aslam berkata: “Berat wahyu itu di alam dunia ini dan berat pula di akhirat kelak pada timbangannya.”
“Sesungguhnya bangun malam itu adalah lebih mantap” (Pangkal ayat 6). Karena di waktu malam gangguan sangat berkurang. Malam adalah hening, keheningan malam berpengaruh pula kepada keheningan fikiran. Di dalam suatu hadits Qudsi, Tuhan berfirman: bahwa pada sepertiga malam, Tuhan turun ke langit dunia buat mendengarkan keluhan hamba-Nya yang mengeluh, buat menerima taubat orang yang taubat dan permohonan maghfirah (ampunan) hamba-Nya yang memohonkan ampun. Maksudnya ialah bahwa hubungan kita dengan langit pada waktu malam adalah sangat dekat. Orang ahli Ilmu Alam menyebut bahwa udara ini dipenuhi oleh ether, maka ether di waktu malam itu memperdekat hubungan. Memperdekat hati; “dan bacaannya lebih berkesan.” (Ujung ayat 6). Baik bacaan sedang sembahyang ataupun membaca al-Qur’ān dengan perlahan-lahan di malam hari, dengan tidak mengganggu orang lain yang sedang tidur.
“Sesungguhnya bagi engkau pada siang hari urusan-urusan yang panjang”. (Ayat 7). Memang urusan pada siang hari selalu sibuk. Tiap-tiap manusia ada saja urusannya. Dalam ayat yang lain, sebagaimana tersebut kelak dalam Sūrat ke-78, an-Naba’, ayat 11:
وَ جَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًا.
“Dan Kami jadikan siang hari itu untuk penghidupan.”
Bercocok tanam, mengembala, menjadi nelayan, berniaga, berperang, berusaha yang lain, dalam segala bentuk kehidupan. Dan Tuhan pula yang menyuruh tiap-tiap orang berusaha di muka bumi di siang hari mencari rezeki yang halal. Maka waktu malam adalah waktu yang tenang dan lapang.
“Dan sebutlah nama Tuhan engkau” (Pangkal ayat 8). Wadzkur, artinya ialah sebut dan ingat. Diingat dalam hati lalu dibaca dengan lidah, setali lafazh dengan ma‘na, sesuai yang lahir dengan yang batin. 99 nama Allah, yang bernama “al-Asmā’-ul-Ḥusnā”, yang berarti nama-nama yang indah. Sebutlah nama itu semuanya dengan mengingat artinya! Atau segala zikir yang telah tertentu. Puncak zikir ialah Tahlīl (Lā ilāha illallāh), Taḥmīd (Alḥamdulillāh), Tasbīḥ (Subḥānallāh), Istighfār (Astaghfirullāh), Ḥauqalah (Lā ḥaula wa lā quwwata illā billāh), Takbīr (Allāhu Akbar), dan sebagainya; “dan tunduklah kepada-Nya sebenar-benar tunduk” (Ujung ayat 8).
Lakukan murāqabah, yang berarti mengintai waktu yang baik atau peluang untuk mengontakkan diri dengan Dia. Atau muḥāsabah yaitu memperhitungkan kebebalan dan kelalaian diri di samping nikmat yang begini besar dianugerahkan Allah.
Siapa yang wajib engkau sembah dan engkau tunduk kepadanya itu?
Ialah “Tuhan dari masyriq dan maghrib”. (Pangkal ayat 9). Dia Yang Maha Kuasa dan Maha Menentukan perjalanan Matahari dari sebelah Timur ke sebelah Barat, teratur jalannya, tidak pernah berkisar tempatnya, masa dengan masa; “tiada Tuhan melainkan Dia”. Ke sanalah hidup ini ditujukan, daripadanyalah diambil kekuatan: “maka ambillah Dia jadi pelindung”. (Ujung ayat 9).
Dengan cara yang demikianlah jasmani dan rohani engkau akan dapat kuat dan teguh melakukan tugas. Karena engkau tidak pernah jauh dari Tuhan.