كَلَّا إِنَّ كِتَابَ الْأَبْرَارِ لَفِيْ عِلِّيِّيْنَ
Kallā berarti ‘Pasti!’ Dalam setiap kasus di mana kata ini muncul, kata ini menyelang di antara dua gagasan yang biasanya berlawanan. Meskipun kallā diterjemahkan di sini sebagai ‘sekali-kali tidak’, ia tidak sama dengan lā yang berarti ‘tidak’.
Abrār berarti ‘benar, adil, baik’ dan berasal dari akar kata yang sama dengan barr, yang berarti ‘gurun pasir, permukaan tanah yang luas’. Dengan demikian abrār menunjuk kepada ‘orang-orang yang berada dalam keadaan luas, orang-orang yang benar’. Ia juga menunjukkan loyalitas. Tidak setiap barr adalah gurun pasir, tapi setiap gurun pasir adalah barr, suatu tanah datar. Barr bisa berupa suatu permukaan terbuka yang tidak diolah, tempat di mana tidak ada halangan dan tak ada yang tersembunyi.
‘Illiyyīn berasal dari kata kerja ‘alā, di antaranya berarti ‘meninggikan, menaikkan, menjulangtinggikan, mengangkat, mengatasi’. Ini berarti bahwa hal yang benar itu begitu terang dan diangkat dari kerendahan nilai sehingga dinaikkan ke tempat yang mulia. Allah adalah al-‘Alī (Yang Mahatinggi); itulah salah satu Nama Ketuhanan-Nya. Barrī adalah orang yang selalu berkata jujur tentang warisannya, dan karena warisannya adalah Allah, maka ia bersama Allah. Apa yang telah ditulis untuknya, atau apa yang telah ditulisnya untuk dirinya sendiri, adalah mulia.
وَ مَا أَدْرَاكَ مَا عِلِّيُّوْنَ
Ayat ini menyuruh kita untuk berpikir dan merenungkannya. Kita harus menyadari sumber yang sangat halus dari mana kita berasal dan jangan membicarakan soal roh secara membabi-buta. Apakah itu hakikat halus yang berkata: Kun fa-yakūn (Jadi! maka jadilah)?
‘Illiyūn adalah orang-orang yang telah menyaksikan kesatuan di balik dualitas eksistensi, dan kesatuan di balik berbagai atribut. Selubung jarak antara Pencipta dengan yang dicipta telah disingkapkan bagi mereka: mereka berada dalam stasiun penghampiran.
كِتَابٌ مَّرْقُوْمٌ
Lagi-lagi ini berkenaan dengan suatu catatan tertulis, yakni, suatu Realitas yang dikenal, jelas dan gamblang.
يَشْهَدُهُ الْمُقَرَّبُوْنَ
Ini berkenaan dengan orang-orang yang dekat kepada Realitas. Realitas, atau Allah, tidak terdapat di satu tempat tertentu tapi kita harus pergi untuk mendekat. Firman Allah dalam al-Qur’an: “Aku lebih dekat kepadamu daripada urat lehermu“ (Q.S.50:16). Yang menghalangi kita dari mengenal Allah adalah tabir diri. Kita merasa jauh dari Allah karena diri atau ego, sang ‘Aku’, terus-menerus menonjolkan sifat rendahnya. Kita harus ‘membunuh’ diri kita seraya tetap hidup, melalui penyerahan diri, dengan kesiapan untuk pasrah total dari hati kita, sekalipun sesaat. Semua praktik hamba Allah merupakan tehnik yang memungkinkan kita untuk mencapai keadaan itu, untuk terus duduk tanpa berpikir dan menjadi energi murni.
Kita menjauhkan diri dari Pencipta sebab kita telah menempatkan berbagai hal di antara diri kita dan sang Pencipta. Kondisi ini sangat sederhana dan mudah dimengerti. Ia berhubungan dengan amal yang bersih, dan merupakan lompatan yang harus kita lakukan. Sebab itulah maka ketika pertama kali orang masuk Islam, mereka dengan cepat menjadi sangat dekat kepada Nabi. Islam harus dihidupkan, bukan dipelajari. Sebab itulah maka Islam tak akan pernah dipahami kecuali oleh mereka yang secara total dan utuh berada di dalamnya.
Ketika sahabat, Salmān al-Fārisī, pertama kali mendengar tentang Nabi, ia merasa apa yang sedang dicarinya akan tercapai melalui ajaran Nabi. Namun, dalam perjalanan untuk menemui Nabi ia ditangkap, dijadikan budak lalu dibeli oleh Abū Bakar. Ia menjadi seorang muslim dan nyaris tak lama kemudian Nabi konon berkata tentang dia, “Salmān adalah bagian dari keluargaku.” Ada banyak lainnya yang memiliki pengalaman serupa yang muncul sebagai akibat dari kondisi hati. Jika hati berada dalam kondisi di mana ia siap menyerahkan apa yang bukan miliknya, hadiah yang paling dicari dan paling berharga, kehidupan itu sendiri, maka hati berada dalam keadaannya yang paling bersih. Ucapan Nabi itu, dari sudut pandang para wali Allah, menunjukkan suatu maqām (stasiun), bukan keadaan jiwa. Maqām berarti benar-benar mapan dalam suatu keadaan tertentu. Keadaan jiwa adalah suatu fase yang melintas, sesuatu yang kadang-kadang kita rasakan. Jika hati diserahkan dalam ketundukkan, maka hati dapat melihat Kitab, karena Kitab itu tertulis di atasnya.
إِنَّ الْأَبْرَارَ لَفِيْ نَعِيْمٍ
Berada dalam kebenaran berarti berada dalam na‘īm (kebahagiaan, kesenangan, kenyamanan, kedamaian). Ni‘mah (kenikmatan, kebaikan hati) yang dihubungkan dengan na‘īm, memiliki makna yang sangat halus. Kita semua mengatakan na‘am, yang berarti ‘ya’ terhadap ni‘mah. Itulah sebabnya Nabi berkata, “Jika aku sudah mengetahui apa yang baik untukku, maka aku akan memilih hanya situasi yang menguntungkan bagiku,” dengan demikian mengungkapkan dua atribut utamanya, yakni beliau adalah manusia yang memiliki sifat kemanusiaan dan kesucian Tuhan. Dua aspek ini menjadikan kita barzakh (ruangan antara yang nyata dan yang gaib).
عَلَى الْأَرَائِكِ يَنْظُرُوْنَ
Keadaan berbaring di atas sofa berarti berada dalam situasi yang netral, yang menyiratkan tidak adanya gangguan maupun rasa ketidaknyamanan lahiriah.
Yanzhurūn berarti ‘mereka melihat’ atau ‘mereka menyaksikan’. Dalam al-Qur’an hal pertama yang dikatakan adalah tentang misi kemanusiaan yang paling tinggi, yakni tentu saja misi semua nabi: “Sesungguhnya Kami mengutus engkau sebagai saksi’ (Q.S. 33:45). Bunyi ayat itu selanjutnya: “dan sebagai pembawa berita baik dan sebagai pemberi peringatan“. Dalam hal ini ayat tersebut mencakup tiga misi pokok seorang nabi.
Saksi bersifat netral. Dengan melihat, menyaksikan, berarti ia memiliki pengetahuan. Dalam ayat ini tersirat bahwa mereka memiliki pengetahuan, karena mereka dekat. Mereka menjadi mata yang menjadi saksi sendiri. Mereka melihat dengan pengetahuan yang dalam atau tanpa gangguan dari manisfestasi fisik. Ketika Amīr al-Mu’minīn (Pemimpin Orang Beriman) ‘Alī ditanya, “Pernahkah Anda melihat Allah?” ia menjawab, “Bagaimana mungkin aku menyembah Tuhan yang tidak aku lihat? Maksudnya adalah beliau telah melihat-Nya dengan hatinya, dengan ḥaqq al-yaqīn (kebenaran yang pasti), tidak dengan mata lahiriahnya.
تَعْرِفُ فِيْ وُجُوْهِهِمْ نَضْرَةَ النَّعِيْمِ
Kita akan melihat kegembiraan yang memancar dari wajah mereka. Mereka akan bersinar dengan kenikmatan tauhid karena mereka telah dihubungkan selamanya.
يُسْقَوْنَ مِنْ رَّحِيْقٍ مَّخْتُوْمٍ
Saqā adalah ‘mengairi, memberi minum’. Raḥīq berarti ‘minuman sangat lezat’. Minuman sangat lezat yang diminum oleh mereka yang telah mencapai tujuan adalah sudah lengkap komposisinya. Artinya, tidak ada lagi yang dapat ditambahkan atau dikurangi. Memang itu sudah usai dan lengkap.
Makhtūm berarti ‘disegel (ditutup)’. Kita hanya dapat menyegel sesuatu yang lengkap. Nabi Muḥammad adalah ‘Segel (penutup) para nabi’, artinya bahwa dengan kelahirannya segala sesuatu yang telah datang sebelumnya telah dilengkapi dan disegel.
خِتَامُهُ مِسْكٌ وَ فِيْ ذلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُوْنَ
Misk artinya ‘kesturi’, dan kesturi, selain sebagai parfum yang harum, berfungsi sebagai pembangkit perasaan yang dalam. Kesturi berasal dari kelenjar kijang kesturi. Kita belum mengetahui secara pasti bagaimana kesturi bereaksi menentukan wewangian, tapi tanpa kesturi bau parfum akan benar-benar hilang. Ketika ayat ini mengatakan bahwa minuman sangat lezat itu disegel dengan kesturi, ini menunjukkan bahwa kelezatan tersebut tetap. Karena itu kesturi menimbulkan suatu keadaan ni‘mah yang permanen.
Begitu seseorang mengalami penyingkapan batin yang penuh kebahagiaan, maka keadaan itu akan terus-menerus mendorongnya, laksana bau kesturi. Saking harumnya bau kesturi, sampai-sampai kijang kesturi memforsir dirinya berlari mengejar ke arah bau itu, padahal sebenarnya bau kesturi itu berasal dari dirinya. Kita dapat memenangkan perlombaan di dunia ini hanya dengan memforsir nafs (jiwa rendah) kita. Ketika kita mencapai tingkat pengetahuan yang paling tinggi, maka kita mencapai Allah, Yang Awal. Kita dilihat oleh diri kita sendiri sebagai entitas biologis aktif yang lambat laun habis dan teroksidasi. Namun, semakin kita mengalahkan nafs kita dan berserah diri, maka kita semakin mengetahui bahwa ternyata penyerahan diri ini membawa kita kepada ketakterbatasan yang nyata dan ketiadaapa-apaan, yang muncul pada saat penciptaan. Kosong dan ketakterbatasan, tiada apa-apa dan terbatas: kita hanya dapat berjalan selangkah demi selangkah menuju suatu titik tertentu yang lebih dari itu tidak bisa kita gapai. Karena, pada titik itu ketakterbatasan tidak bisa lagi didekati dengan langkah atau tahapan. Pada mulanya kita mendekati Allah selangkah demi selangkah melalui upaya dan kesadaran kita sendiri, tapi kita mencapai suatu titik di mana kita memerlukan suatu loncatan kuantum.
وَ مِزَاجُهُ مِنْ تَسْنِيْمٍ
Tasnīm diterjemahkan sebagai ‘air yang datang dari atas’ karena ia merupakan nama dari sebuah sungai yang berasal dari bagian surga yang paling tinggi. Akar kata tasnīm adalah sanima, ‘menjadi tinggi (dari seekor unta), naik, gunung’. Sanam, dari akar kata yang sama, adalah ponok unta – bagian paling tinggi dari tubuh seekor unta.
Taman (surga) sering kali digambarkan sebagai memiliki sungai-sungai yang dialiri dari bawah tanah. Yang di maksud di sini adalah sungai lainnya, atau aliran energi, yang berasal dari atas, dari tempat yang tinggi. Maka, ketika menjelaskan lebih jauh mengenai kualitas minuman yang ditinggikan ini, ayat ini mendorong si pencari sejati untuk berusaha keras mencapai kedekatan yang ditinggikan kepada Allah.
عَيْنًا يَشْرَبُ بِهَا الْمُقَرَّبُوْنَ
Minuman yang keluar dari mata air ini tidak memancar hanya sekali-sekali, tapi terus-menerus. Karena itu mata air menunjukkan suatu sumber yang permanen. Ketika seseorang dekat kepada sumber dari mana segala sesuatu berasal, maka ia dekat kepada Allah, kepada sumber pengetahuan, dan kepada Hakikat yang merupakan asal dari segala Atribut ini.
‘Ayn (mata air, sumber) juga berarti ‘mata, pengintai, orang penting, pemimpin, harta, modal’. Bila hujan lebih dari lima hari, orang ‘Arab menyebut tenggang waktu ini sebagai ‘ayn, karena ia bagaikan mata air yang memancar dari langit. ‘Ayn juga digunakan sehubungan dengan sumber daya seseorang, dana atau kekayaan. Ketika ‘Alī ibn Abī Thālib sedang menasihati gubernurnya di Mesir, beliau berkata, “Engkau harus mengangkat ‘uyūn (jama‘ dari ‘ayn)’, maksudnya, “Engkau harus yakin bahwa orang yang telah engkau angkat, yang seharusnya menjamin keadilan, ada yang memeriksa dan mengawasinya.” Ini tidak berarti memata-matai, karena memata-matai dilakukan secara diam-diam, sedangkan pernyataan ini menganjurkan pengawasan. Ketika seseorang tahu bahwa pengawas akan meninjaunya, ia akan berkelakuan baik dan berhenti melakukan perbuatan salah. Nasihat ‘Alī ibn Abī Thālib kepada gubernurnya agar menunjuk ‘uyūn adalah untuk memperluas bidang pandangannya.
إِنَّ الَّذِيْنَ أَجْرَمُوْا كَانُوْا مِنَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا يَضْحَكُوْنَ
Ajramu berasal dari kata kerja ajrama, ‘melakukan kejahatan, menyakiti’. Bangkitnya ego adalah kejahatan. Penegasan bahwa kita terpisah adalah kejahatan. Ayat ini berkenaan dengan orang-orang yang telah melakukan kejahatan tertutama terhadap dirinya sendiri. Mereka yang melakukan kejahatan terhadap dirinya sendiri lebih dari mampu melakukan kejahatan terhadap orang lain.
Orang kafir (yang menutupi kebenaran, baik lahir maupun batin), menertawakan orang yang beriman. Mereka yang memiliki kepercayaan tahu bahwa kehidupan tidaklah tanpa makna, bahwa ada keadilan dan kebenaran. Gelak-tawa adalah bentuk ucapan selamat kepada diri sendiri. Ketika kita tertawa maka kita dalam keadaan damai dengan diri kita sendiri. Berarti, kesalahan yang menyebabkan sakit hati, yakni dengan menertawakan orang beriman, adalah dalam rangka menenteramkan hatinya sendiri dan tenggelam kembali ke dalam kepuasan diri di bawah bayang-bayang ejekan mereka sendiri.
وَ إِذَا مَرُّوْا بِهِمْ يَتَغَامَزُوْنَ
Lagi-lagi, mereka berbuat demikian untuk saling menenteramkan hati. Manusia terus-menerus mencari ketenteraman diri. Ketika orang-orang mengedipkan mata berarti mereka berkomunikasi satu sama lain dengan bersekongkol: mereka tahu sesuatu tentang seseorang lain yang mereka anggap menggelikan, dan dengan demikian saling menunjukkan superioritas mereka. Dalam kasus ini kedipan mata itu berkenaan dengan seseorang yang telah menjadi seorang muslim. Mengedipkan mata merupakan penenteraman diri yang lebih halus dibanding tertawa, karena gelak-tawa dapat dihadapi dengan lebih mudah.
وَ إِذَا انْقَلَبُوْا إِلَى أَهْلِهِمُ انْقَلَبُوْا فَكِهِيْنَ
Ahl (keluarga, kaum, pengikut) melambangkan keamanan dan kesenangan sebagai buah keakraban, sebagaimana pada contoh sebelumnya ketika Nabi berkata bahwa Salmān al-Fārisī adalah bagian dari keluarganya. Salmān tidak ada hubungan darah dengan keluarga Nabi, tapi, seperti kita tahu, dalam kehidupan kita pun sebagian di antara kita lebih dekat kepada teman kita dibanding kepada saudara kita sendiri. Bila orang ‘Arab menyambut seseorang, mereka berkata, Ahlan wa sahlan, ‘Selamat datang, Anda telah datang kepada keluarga Anda’, atau, dengan kata lain, ‘Bersenang-senanglah, santai saja, jadilah bagian dari kami!’
Jika secara eksistensial kita tidak bisa menjadi bagian, maka bagaimana kita bisa secara total dan abstrak menjadi bagian dari Tuhan kita? Jika kita merasa senang berada di masjid, maka kita akan merasa senang ketika lebih dekat kepada Allah.
Fakihīn berarti ‘bersendagurau, bersukaria, bergembira’. Lagi-lagi ini mempakan implikasi bahwa di sepanjang waktu dan dalam segala keadaan kita mencari ketenteraman hati. Kita adalah makhluk ekologis. Kita semua ingin berada di lingkungan yang benar. Jika kita semua pembohong, seperti digambarkan dalam ayat ini, kita akan kembali ke golongan kita untuk mencari ketenteraman dan keamanan hati.
وَ إِذَا رَأَوْهُمْ قَالُوْا إِنَّ هؤُلَاءِ لَضَالُّوْنَ
Karena penenteraman hati yang sifatnya berlindung dengan berada di tengah golongannya sendiri, orang-orang yang bersalah ini terang-terangan mencela orang yang benar sebagai orang yang salah karena orang yang benar, sudah barang tentu, tidak menegakkan sistem yang sama dengan yang ditegakkan si pendosa itu. Kita sedang bergerak ke arah pemfosilan ego-ego kita, atau, kalau tidak, kita sedang membebaskan diri dari mereka. Kita tidak bisa bersikap netral dan statis karena dalam kenyataannya tidak ada netralitas. Kita kalau tidak maju tentu mundur. Dari sejak lahir, kita sedang terus mundur karena pada setiap saat secara biologis kita semakin dekat ke kuburan. Secara batiniah, secara spiritual, memang terserah kita apakah mau maju atau mundur. Kemajuan dibuat tidak hanya melalui perjuangan tapi akhirnya melalui pembebasan diri yang sebenarnya. Oleh karena itu, perjuangan adalah melawan sifat rendah. Namun esensi dari realitas sudah ada dalam diri kita.
وَ مَا أُرْسِلُوْا عَلَيْهِمْ حَافِظِيْنَ
Siapakah orang-orang yang dalam keadaan menyangkal ini? Ayat ini secara khusus merujuk kepada orang-orang yang tersesat, yang menyangkal kebenaran—muthaffifīn. Mereka hanya memperhatikan situasi eksistensial yang segera, dengan mengingkari akhirat (dunia akan datang), pengadilan dan keadilan. Namun mereka tidak bisa terus menyembunyikan kebenaran. Meskipun mereka dalam kegelapan, namun tidak berarti bahwa mereka dapat menguasai kebenaran atau orang-orang yang beriman.
فَالْيَوْمَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا مِنَ الْكُفَّارِ يَضْحَكُوْنَ
Ini berkenaan dengan Hari Pengadilan, ketika segala sesuatu akan terbuka dan tersingkap. Pada hari ini kaum beriman akan bergembira, mereka akan melihat keesaan (tauḥīd) dan akan bersatu kembali dengan yang mereka kenal sebelumnya. Sekarang giliran mereka menertawakan kaum kufur. Pada saat kita mengetahui iman kita seutuhnya maka saat itu akan menjadi hari kebangkitan kecil bagi kita. Kita akan tertawa sedemikian rupa sampai-sampai tawa itu pun tidak nampak pada wajah. Gelak-tawa kita akan begitu dalam sehingga akan lebih dari sekadar gelak-tawa. Peristiwa ini mengekspresikan saat ketika kita berhubungan kembali secara sekilas pandang dengan keesaan nyata (tauḥīd) yang kita alami saat di dunia ini.
عَلَى الْأَرَائِكِ يَنْظُرُوْنَ
Ketika tidak ada lagi gangguan luar, ketika tidak ada yang dapat menghalangi pandangan yang dalam dan menyeluruh, mereka akan melihat kebenaran yang mereka imani. Penglihatan ini akan memperkuat keyakinan mereka dan mendatangkan kesantaian yang sebenarnya, yakni keadaan batin yang tertawa-tawa. Tertawa mendatangkan kepuasan hati dan pada gilirannya ungkapan kepuasan hati ini timbul karena pengenalan terhadap Tuhan.
هَلْ ثُوِّبَ الْكُفَّارُ مَا كَانُوْا يَفْعَلُوْنَ
Tsawwaba adalah ‘memberi ganjaran’. Bentuk akar dari tsawwaba adalah tsāba (kembali) yang, bagi telinga pembicara bahasa ‘Arab, kedengarannya sangat mirip dengan tāba (menyesali, meninggalkan, berbalik dari) dan juga mengandung arti kembali dari kebodohan dan jalan sesat ke jalan yang baik dan pengetahuan yang luas. Tsawāb adalah ‘ganjaran’ atas ketaatan dan untuk memperolehnya adalah dengan tawwāb (bertobat).
Ayat ini meminta kita untuk benar-benar merenungkan segala niat kita, meneliti mengapa kita melakukan apa yang kita lakukan, sehingga mendapati kita diganjar seratus persen sesuai dengan niat-niat kita. Jika niat kita bersih, maka ganjarannya tidak akan menyakitkan kita. ‘Apakah ganjaran kebaikan mesti selain kebaikan? (Q.S. 55:60). Lantas bagaimana kita dapat menyembunyikan niat kita? Segala sesuatu dalam kehidupan adalah sempurna karena kesempurnaan ada pada diri kita.