Sesungguhnya, orang-orang curang yang memakan atau mengambil harta orang lain dengan cara bathil, tidak mengira akan dihisab pada hari akhir. Mereka mendustakan hari perhitungan dan pembalasan. Hati mereka ditutupi oleh dosa dan kemaksiatan. Sesungguhnya, mereka itu hanya berlomba-lomba untuk mendapatkan kekayaan dan kesenangan duniawi yang tak berharga. Mereka berlomba untuk mendapatkan bagian yang lebih besar dan lebih besar lagi. Karena itu, mereka berbuat zhalim, durhaka, dosa, dan melakukan tindakan apa saja untuk mendapatkan kekayaan dan kesenangan duniawi yang segera sirna itu.
Tidak sepantasnya manusia berlomba-lomba untuk mendapatkan kekayaan yang tentang waktunya terbatas dan tak berharga ini. Sebenarnya, yang patut diperlombatkan dan segera didapatkan ialah keni‘matan besar yang penuh kemuliaan dan kehormatan:
“Untuk yang demikian itu, hendaknya orang berlomba-lomba” (al-Muthaffifīn: 26).
Ini adalah pencarian yang pantas orang berlomba mendapatkannya. Ini adalah ufuk yang layak manusia bersegera datang ke sana. Ini adalah tujuan akhir yang layak diperebutkan.
Orang-orang yang berlomba-lomba untuk mendapatkan sesuatu dari kekayaan duniawi – betapapun besar, banyak, bernilai, dan agungnya – , maka sebenarnya remeh, sedikit, mudah lenyap, dan hanya sementara waktu. Pasalnya, dunia di sisi Allah tidaklah seimbang dengan sayap seekor nyamuk. Sedangkan, akhirat itu berat sekali dalam tambangan-Nya. Kalau begitu, maka akhirat adalah suatu hakikat yang pantas diperebutkan dan diperlombakan.
Menariknya, berlomba dalam urusan akhirat akan mengangkat ruh semua orang yang berlomba itu. Sedangkan, berlomba dalam urusan dunia akan menyebabkan ruh mereka merosot. Berusaha mendapatkan keni‘matan akhirat akan menjadikan bumi baik, makmur, dan suci bagi semua orang. Sedangkan, berusaha mendapatkan kekayaan duniawi akan menjadikan bumi sebagai rawa dan lingkungan yang menjadi tempat makannya cacing. Atau, tempat binatang dan serangga yang memakan kulit orang-orang yang baik dan berbakti.
Berlomba untuk mendapatkan keni‘matan akhirat tidak akan membiarkan bumi gersang dan tidak produktif, sebagaimana bayangan sebagian orang yang menyeleweng. Karena, Islam menjadikan bumi sebagai ladang akhirat. Menjadikan pengurusan kekhalifahan di bumi dengan mengelola dan memakmurkannya dibarengi dengan perbaikan dan ketakwaan, adalah tugas setiap mu’min yang sebenarnya. Namun, mereka menghadapkan tugas kekhalifahan ini untuk mencari ridhā Allah. Juga menjadikannya sebagai ‘ibādah kepadanya untuk merealisasikan tujuan keberadaannya, sebagaimana ditetapkan Allah dalam firman-Nya:
“Tidaklah Aku menjadikan jinn dan manusia melainkan supaya mereka ber‘ibādah kepada-Ku.” (adz-Dzāriyāt: 51). (61).
Firman Allah: ““Untuk yang demikian itu, hendaknya orang berlomba-lomba”, sungguh merupakan pengarahan agar manusia menilikkan pandangan dan hatinya ke belakang planet bumi yang kecil dan tak berharga ini. Ya‘ni, ketika mereka sedang memakmurkan dan mengelola serta mengangkat bumi ke ufuk yang lebih tinggi dan lebih suci daripada kubangan-kubangan air yang berubah bau, warna, dan rasanya. Sedangkan, mereka sendiri bertugas membersihkan dan menyucikan rawa-rawa itu.
Umur manusia di dunia ini terbatas, sedang umurnya di akhirat tidak ada yang mengetahui ujungnya kecuali Allah. Kekayaan dan kesenangan dunia ini juga terbatas, sedang kesenangan-kesenangan di surga tak dapat dibatasi oleh pandangan dan bayangan-bayangan manusia. Tingkat keni‘matan di dunia ini sudah dikenal, sedang tingkat keni‘matan di surga sana layak mendapatkan keabadian. Kalau begitu, bagaimana mungkin kita akan membandingkan medan dan tujuan masing-masing, hingga akan memperhitungkan untung-ruginya menurut perhitungan yang biasa dilakukan manusia?
Ingatlah, perlombaan yang sebenarnya adalah untuk menggapai kebahagiaan dan keuntungan akhirat.
“….Untuk yang demikian itu, hendaknya orang berlomba-lomba” (al-Muthaffifīn: 26).
Seakan-akan pemaparan perlombaan terhadap aneka bentuk keni‘matan yang dinantikan orang-orang berbakti itu, merupakan pendahuluan bagi pembicaraan tentang apa yang mereka peroleh di dunia dari orang-orang yang durhaka. Ya‘ni, yang berupa gangguan, penghinaan, kesombongan, dan tuduhan yang bukan-bukan. Hal ini juga dipaparkan dengan panjang lebar di sini. Maksudnya, untuk mengakhiri penghinaan yang dilontarkan orang-orang kafir, ketika mereka menyaksikan keni‘matan orang-orang yang berbakti itu.
إِنَّ الَّذِيْنَ أَجْرَمُوْا كَانُوْا مِنَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا يَضْحَكُوْنَ. وَ إِذَا مَرُّوْا بِهِمْ يَتَغَامَزُوْنَ. وَ إِذَا انْقَلَبُوْا إِلَى أَهْلِهِمُ انْقَلَبُوْا فَكِهِيْنَ. وَ إِذَا رَأَوْهُمْ قَالُوْا إِنَّ هؤُلآءِ لَضَالُّوْنَ. وَ مَا أُرْسِلُوْا عَلَيْهِمْ حَافِظِيْنَ. فَالْيَوْمَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا مِنَ الْكُفَّارِ يَضْحَكُوْنَ. عَلَى الْأَرَائِكِ يَنْظُرُوْنَ. هَلْ ثُوِّبَ الْكُفَّارُ مَا كَانُوْا يَفْعَلُوْنَ
“Sesungguhnya, orang-orang yang berdosa, adalah mereka yang dahulunya (di dunia) menertawakan orang-orang yang beriman. Apabila orang-orang yang beriman berlalu di hadapan mereka, maka mereka saling mengedipkan matanya. Apabila orang-orang berdosa itu kembali kepada kaumnya, mereka kembali dengan gembira. Apabila mereka melihat orang-orang mu’min, mereka mengatakan: “Sesungguhnya, mereka itu benar-benar orang-orang yang sesat”. Padahal, orang-orang yang berdosa itu tidak dikirim untuk menjadi penjaga bagi orang-orang mu’min. Maka, pada hari ini, orang-orang yang beriman menertawakan orang-orang kafir. Mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang. Sesungguhnya, orang-orang kafir telah diberi ganjaran terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. (al-Muthaffifīn: 29-36).
Pemandangan yang dilukiskan oleh al-Qur’ann mengenai penghinaan orang-orang berdosa terhadap orang-orang yang berbakti, keburukan sikap mereka, kesombongan mereka, dan identifikasi mereka sebagai orang-orang yang sesat, merupakan pemandangan yang kontroversial dalam realitas lingkungan masyarakat Makkah. Akan tetapi, peristiwa ini selalu terjadi berulang-ulang dalam bebagai generasi dan tempat.
Masyarakat sekarang pun banyak yang menyaksikan pemandangan seperti ini. Sehingga, ayat-ayat ini seakan-akan turun untuk mengidentifikasi (menyifati) dan melukiskan potret mereka. Juga menunjukkan bahwa tabiat orang-orang durhaka yang suka berbuat dosa itu adalah sama di dalam menghadapi orang-orang yang baik-baik dalam semua lingkungan dan masa.
“Sesungguhnya, orang-orang yang berdosa, adalah mereka yang dahulunya (di dunia) menertawakan orang-orang yang beriman” (al-Muthaffifīn: 29).
Begitulah kebiasaan mereka. Paparan tentang dunia yang sementara dan segera lenyap itu dilipat pemaparannya, tiba-tiba mereka diajak bicara tentang akhirat. Mereka melihat keni‘matan orang-orang yang berbakti dan beriman. Kemudian diingatkan kepada mereka tentang urusan dunia.
Sewaktu di dunia, mereka biasa menertawakan, menghina, dan meremehkan orang-orang yang beriman. Mungkin karena kemiskinan dan penampilannya yang lusuh, kelemahan dan ketidakberdayaannya menolak gangguan mereka, dan kelihatannya seperti orang-orang yang bodoh. Semua ini bisa menyebabkan orang-orang yang suka berbuat dosa itu tertawa.
Mereka memang suka menjadikan orang-orang mu’min sasaran penghinaan dan tertawaan. Mereka mengganggu dan menyakiti orang-orang yang beriman. Akan tetapi, orang-orang mu’min itu menerimanya dengan sabar, tegar, dan beradab sebagai orang beriman.
“Apabila orang-orang yang beriman berlalu di hadapan mereka, maka mereka saling mengedipkan matanya” (al-Muthaffifīn: 30).
Sebagian mereka mengedipkan matanya, mengisyaratkan tangannya, atau melakukan gerakan-gerakan yang sudah dikenal di kalangan mereka untuk menghina kaum mu’minin, yaitu gerakan dan lagak yang rendah dan hina yang menunjukkan keburukan moral dan ketidakbersihan hati mereka. Maksud mereka adalah untuk menimbulkan rasa keterhinaan di dalam hati orang-orang yang beriman dan untuk mempermalukannya. Sedangkan, mereka saling mengedipkan mata untuk menghinanya.
“Apabila orang-orang berdosaa itu kembali kepada kaumnya”, setelah mereka kenyangkan jiwa mereka yang kerdil dan hina dengan menghina dan mengganggu orang-orang yang beriman: “mereka kembali dengan gembira”, perasaan puas, bangga terhadap perbuatannya, dan merasa senang dengan keburukannya yang hina dan rendah itu. Maka, mereka tidak merasa menyesal sama sekali dan tidak merasakan kehinaan dan kotornya perbuatan dan tindakan mereka. Inilah puncak kerendahan jiwa mereka dan kematian nuraninya.
“Apabila mereka melihat orang-orang mu’min, mereka mengatakan: “Sesungguhnya, mereka itu benar-benar orang-orang yang sesat”.” (al-Muthaffifīn: 32).
Ini lebih mengherankan lagi! Kiranya tidak ada yang lebih mengherankan daripada tindakan orang-orang yang durhaka dan suka berbuat dosa yang berbicara tentang petunjuk dan kesesatan. Sehingga, ketika melihat orang-orang mu’min, mereka mengganggap orang-orang mu’min itu sebagai orang-orang yang sesat. Mereka juga mengisyaratkan kepada orang-orang mu’min untuk menegaskan penyifatan ini dengan maksud mempopulerkan dan meremehkan: “Sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang sesat.”
Kedurhakaan itu tidak terbatas, tidak malu berkata, dan tidak merasa hina dalam berbuat. Menuduh orang-orang mu’min sebagai orang-orang sesat manakala bertemu orang-orang durhaka dan suka berbuat dosa, itu menggambarkan bahwa karakteristik kedurhakaan adalah melampaui semua batas.
Al-Qur’ān tidak hanya membela orang-orang yang beriman dan membantah kebohongan orang-orang durhaka itu. Karena, perkataan fājirah “durhaka” itu sendiri merupakan perkataan yang tidak dapat dibantah. Akan tetapi, al-Qur’ān menyampaikan penghinaan yang berat terhadap orang-orang yang menyelinapkan hidung mereka mengenai sesuatu yang bukan urusan mereka, dan suka campur tangan tanpa undangan seorang pun dalam persoalan ini:
“Padahal, orang-orang yang berdosa itu tidak dikirim untuk menjadi penjaga bagi orang-orang mu’min” (al-Muthaffifīn: 33).
Mereka tidak diserahi untuk mengurus urusan orang-orang mu’min. Mereka tidak ditugaskan untuk menjadi pengawas. Mereka tidak ditugasi untuk menimbang dan mengukur keadaan orang-orang mu’min. Nah, untuk apakah mereka bersikap begitu, setelah dijelaskan dan ditetapkan seperti itu?
Dengan penghinaan yang tinggi ini, diakhirilah cerita tentang kelakukan orang-orang yang berdosa itu di dunia. Yah, kelakuan dan sikap mereka. Dilipatlah pemandangan ini dengan kesudahan tersebut, untuk menampilkan pemandangan akhirat dan orang-orang beriman yang berada dalam keni‘matan itu: “Maka, pada hari ini, orang-orang yang beriman menertawakan orang-orang kafir. Mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang.” (al-Muthaffifīn: 34-35).
Pada hari ini, orang-orang kafir terhalang dari melihat Tuhannya. Derita keterhalangan ini serasi dengan terabaikannya kemanusiaan mereka selama ini. Lalu mereka masuk ke neraka diiringi dengan kehinaan dan penghinaan seraya dikatakan kepada mereka seperti tercantum dalam ayat 17: “Inilah ‘adzāb yang dahulu selalu kamu dustakan.”
Pada hari ini, orang-orang yang beriman menertawakan orang-orang kafir. Mereka duduk-duduk di atas dipan dan sofa-sofa. Mereka memandang ke mana saja yang disukai. Mereka berada dalam keni‘matan yang abadi. Juga mendapatkan minuman khamar murni yang bersegel kesturi dan bercampur dengan tasnīm.
Al-Qur’ān mengarahkan penghinaan yang tinggi pada kali lain dengan mengemukakan pernyataan: “Sesungguhnya, orang-orang kafir telah diberi ganjaran terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.” (al-Muthaffifīn: 36).
Benar! Apakah mereka diberi ganjaran? Apakah mereka mendapatkan ganjaran dari apa yang mereka kerjakan? Pertanyaan ini dikemukakan, padahal mereka tidak mendapatkan “ganjaran” sebagaimana yang sudah populer. Maka, kita saksikan mereka sebentar di dalam neraka. Akan tetapi, tak diragukan lagi bahwa mereka mendapatkan balasan dari apa yang mereka kerjakan! Itulah ganjaran mereka kalau begitu, ditambah dengan penghinaan yang terkandung dalam penggunaan gaya bahasa ironi dengan disebutkannya kata tsawāb “ganjaran/pahala” untuk siksa!
Kita berhenti sebentar di depan pemandangan yang dilukiskan oleh al-Qur’ān dengan segala keadaan dan gerakannya secara panjang lebar ini, ya‘ni pemandangan berupa penghinaan yang dilakukan orang-orang kafir terhadap orang-orang mu’min sewaktu di dunia. Hal ini sebagaimana sebelumnya telah dipaparkan dengan panjang lebar mengenai pemandangan tentang keni‘matan orang-orang yang berbakti dengan segenap pemandangan dan kesenangannya.
Kita dapati bahwa uraian panjang yang mengesankan ini mengandung pengetahuan yang tinggi di dalam menyampaikan ungkapan, sebagaimana ia juga merupakan pengetahuan yang tinggi di dalam mengobati perasaan. Karena golongan minoritas Muslim di Makkah menghadapi kekejaman dan gangguan dari orang-orang musyrik, yang menimbulkan kepedihan mendalam di dalam jiwa manusia. Namun, Allah s.w.t. tidak membiarkan mereka tanpa pertolongan. Dia justru memantapkan, menghibur, dan menenangkan hati mereka.
Gambaran yang terperinci tentang penderitaan mereka karena gangguan kaum musyrikīn ini, merupakan balsem pengobat hati mereka. Karena, Allahlah yang menerangkan derita mereka ini. Dia melihat-lihat dan tidak mengabaikan mereka, walaupun pada suatu waktu orang-orang kafir mengabaikannya. Ini saja sudah cukup bagi orang mu’min untuk menghapuskan penderitaan dan luka-luka mereka.
Allah melihat bagaimana mereka dihina oleh orang-orang yang menghina dan disakiti oleh orang-orang yang berdosa, serta ditertawakan dan dijadikan bahan ejekan dengan penderitaan dan gangguan-gangguan itu oleh orang-orang yang menertawakan dan mengejeknya. Dia melihat pula bagaimana orang-orang tolol itu tidak mencela dan menyesali perbuatan mereka sedikit pun.
Sesungguhnya, Allah melihat semua itu dan menerangkannya di dalam wahyu-Nya. Karena itu, hal ini mempunyai nilai tersendiri di dalam timbangan-Nya. Ini saja sudah cukup! Ini saja sudah cukup ketika hati orang-orang yang beriman merasakannya, meski bagaimanapun luka dan deritanya.
Kemudian Tuhan mengejek orang-orang yang berdosa itu dengan ejekan yang tinggi dan menyakitkan. Namun, kadang-kadang ejekan itu tidak dirasakan oleh hati orang-orang berdosa, yang telah tertutup oleh kotoran dosa-dosa. Akan tetapi, hati orang-orang beriman yang sensitif dan cerdas, merasakan dan memperhitungkannya. Kemudian ia merasa senang dan gembira.
Setelah itu, hati yang beriman ini menyaksikan keadaannya di sisi Tuhannya nanti, keni‘matan-keni‘matannya di dalam surga-Nya, dan kemuliaan-kemuliaannya di alam tertinggi. Ya‘ni, ketika ia menyaksikan keadaan musuh-musuhnya terhina oleh makhlūq yang tinggi (malaikat) dan disiksa di dalam neraka, dengan penuh penghinaan dan pelecehan, Ia menyaksikan ini dan itu dengan rinci dan dalam penuturan yang panjang. Ia merasakan keadaannya dengan realistis dan meyakinkan.
Sehingga, sudah tidak diragukan lagi bahwa perasaan semacam ini dapat menghapuskan kepahitan yang dialaminya yang berupa gangguan, penghinaan, minoritas, dan kelemahan. Bahkan, sebagian hati ada yang merasakan kepahitan dan kegetiran yang dialaminya sebagai sesuatu yang manis, ketika ia menyaksikan pemandangan-pemandangan ini di dalam firman yang mulia:
Suatu hal yang perlu diperhatikan bahwa adanya firman Allah yang demikian ini saja sudah cukup sebagai hiburan Ilahiah terhadap orang-orang mu’min yang disiksa dan disakiti oleh orang-orang berdosa yang hina-dina itu dengan berbagai sarananya, gangguannya yang berat, dan penghinaannya yang tajam. Surga bagi orang-orang mu’min dan neraka bagi orang-orang kafir. Kedua keadaan ini, antara dunia dan akhirat, akan dipertukarkan secara total. Nah, hanya ini saja yang dijanjikan Rasūlullāh s.a.w. kepada orang-orang yang berbaiat kepada beliau. Namun demikian, mereka sudah rela mengorbankan harta dan jiwanya.
Pertolongan di dunia dan kemenangan di bumi tidak pernah disinggung oleh al-Qur’ān periode Makkah, ketika memberikan hiburan dan pemantapan. Al-Qur’ān hanya menciptakan sesudahnya hati-hati yang siap mengemban amanat. Hati yang seperti itu haruslah tabah, kuat, dan tidak tertarik kepada kekayaan dan kesenangan duniawi. Bahkan, ia justru rela mengorbankan segala sesuatu dan siap memikul segala beban.
Tidak ada yang mereka tunggu-tunggu kecuali akhirat. Tidak ada yang mereka harapkan kecuali keridhāan Allah. Sehingga, terciptalah hati yang siap mengarungi dunia dengan keletihan, kemelaratan, keterhalangan, siksaan, pengorbanan, dan ketabahan, tanpa mengharapkan imbalan yang cuma sementara waktu di dunia ini. Bahkan, meskipun balasan di dunia ini berupa kemenangan dakwah, kemenangan Islam, dan kemenangan kaum Muslimīn!
Hati yang mengerti ini mengetahui bahwa dalam perjalanannya di bumi ini tidak ada sesuatu pun melainkan harus ia berikan tanpa imbalan. Ia hanya menantikan akhirat saja sebagai waktu pembalasan dan waktu untuk memisahkan antara yang hak dan yang bāthil. Sehingga, apabila hati ini mendapati – Allah mengetahui niatnya ketika berbaiat dan berjanji – bahwa kemenangan datang kepadanya di bumi secara realistis, maka kemanangan itu bukan untuk dirinya. Tetapi, untuk menegakkan amanat manhaj Ilahi, yaitu kelayakan menunaikan amanat, sejak ia tidak diberi janji untuk mendapatkan harta rampasan di dunia, dan tidak tertarik untuk diberi bagian dari harta rampasan. Hati ini tulus murni hanya karena Allah, untuk mendapatkan hak pada hari yang ia ketahui tidak ada balasan kecuali ridhā-Nya.
Semua ayat yang menyebutkan kemenangan di dunia, turun di Madīnah sesudah itu. Atau, sesudah urusan ini berada di luar program orang mu’min, di luar penantian dan ambisinya. Kemenangan itu sendiri datang karena Allah menghendaki manhaj ini menjadi kenyataan di dalam kehidupan manusia. Ya‘ni, dengan ditetapkan dalam bentuk amaliah terbatas yang dilihat oleh berbagai generasi. Maka, realitas ini bukanlah balasan atas keletihan, kepayahan, pengorbanan, dan penderitaan mereka. Akan tetapi, hal itu sudah menjadi taqdīr Allah yang mengandung hikmah yang dapat kita coba melihatnya sekarang!