Orang-Orang yang Durhaka.
Pada segmen pertama, mereka disebut muthaffifīn “orang-orang yang curang”, sedang pada segmen kedua disebut fujjār “orang-orang yang durhaka.” Karena, orang yang curang itu termasuk dalam kelompok orang yang durhaka. Mereka ini sedang dibicarakan tentang kedudukan mereka dalam pandangan Allah, dan keadaan mereka di dalam kehidupan. Juga tentang apa yang mereka nantikan pada hari ketika mereka dibangkitkan untuk menghadapi hari yang besar.
كَلَّا إِنَّ كِتَابَ الفُجَّارِ لَفِيْ سِجِّيْنٍ. وَ مَا أَدْرَاكَ مَا سِجِّيْنٌ. كِتَابٌ مَّرْقُوْمٌ. وَيْلٌ يَوْمَئِذٍ لِّلْمُكَذِّبِيْنَ. الَّذِيْنَ يُكَذِّبُوْنَ بِيَوْمِ الدِّيْنِ. وَ مَا يُكَذِّبُ بِهِ إِلَّا كُلُّ مُعْتَدٍ أَثِيْمٍ. إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِ آيَاتُنَا قَالَ أَسَاطِيْرُ الْأَوَّلِيْنَ. كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوْبِهِمْ مَّا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ. كَلَّا إِنَّهُمْ عَنْ رَّبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَّمَحْجُوْبُوْنَ. ثُمَّ إِنَّهُمْ لَصَالُوا الْجَحِيْمِ. ثُمَّ يُقَالُ هذَا الَّذِيْ كُنْتُمْ بِهِ تُكَذِّبُوْنَ.
“Sekali-kali jangan curang, karena sesungguhnya kitab orang yang durhaka tersimpan dalam sijjīn. Tahukah, kamu apakah sijjīn itu? Ialah kitab yang bertulis. Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan, (yaitu) orang-orang yang mendustakan hari pembalasan. Dan tidak ada yang mendustakan hari pembalasan itu melainkan setiap orang yang melampaui batas lagi berdosa, yang apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, ia berkata: “Itu adalah dongengan orang-orang yang dahulu”. Sekali-kali tidak (demikian). Sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka. Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhan mereka. Kemudian sesungguhnya mereka benar-benar masuk neraka. Lalu dikatakan (kepada mereka): “Inilah ‘adzāb yang dahulu selalu kamu dustakan”. (al-Muthaffifīn: 7-17).
Mereka tidak menyangka bahwa mereka akan dibangkitkan untuk menghadapi hari yang besar. Al-Qur’ān menakut-nakuti dan mengancam mereka dengan peristiwa ini. Ditegaskan juga bahwa mereka mempunyai kitab yang selalu mencatat dan menghitung ‘amal perbuatan mereka. Kemudian dibatasi tempatnya untuk menambah penegasan itu. Akhirnya, al-Qur’ān mengancam mereka dengan kecelakaan yang besar pada hari ketika dibeberkan kitab mereka yang bertulisan itu:
“Sekali-kali jangan curang, karena sesungguhnya kitab orang yang durhaka tersimpan dalam sijjīn. Tahukah, kamu apakah sijjīn itu? Ialah kitab yang bertulis. Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan.” (al-Muthaffifīn: 7-10).
Al-fujjār “orang-orang yang durhaka” ialah orang-orang yang melewati batas dalam maksiat dan dosa. Lafal ini sendiri sudah mengesankan ma‘na itu. Sedangkan, kitab mereka adalah catatan ‘amal mereka. Hanya saja kita tidak mengetahui bagaimana eksistensinya, dan kita pun tidak dibebani tugas untuk mengetahuinya. Kitab itu adalah urusan ghaib yang kita tidak mengetahuinya melainkan sekadar yang diinformasikan oleh Allah, tidak lebih. Karena itu, di sana terdapat catatan ‘amal orang-orang yang durhaka yang oleh al-Qur’ān dikatakan di dalam sijjīn.
Kemudian dikemukakanlah kalimat tanya untuk menunjukkan besarnya urusan yang sedang dihadapi, sebagaimana diungkapkan oleh al-Qur’ān: “Tahukah kamu apakah sijjīn itu?” (al-Muthaffifīn: 8).
Kalimat ini memberikan bayang-bayang besarnya urusan itu. Juga memberikan kesan kepada lawan bicara bahwa urusan ini terlalu besar untuk diketahui dan diliput oleh pengetahuan manusia. Akan tetapi, dengan firman-Nya: “Sesungguhnya kitab orang yang durhaka tersimpan dalam sijjīn”, berarti Allah telah membatasi tempat tertentu untuknya, meskipun tidak dikenal oleh manusia. Pembatasan atau penentuan ini menambah keyakinan lawan bicara karena adanya isyarat yang menunjukkan adanya kitab (catatan ‘amal) tersebut. Itulah isyarat yang dimaksudkan di balik penyebutan hakikat ini dengan kadar tersebut, tidak lebih.
Kemudian dibicarakan kembali sifat kitab orang-orang yang durhaka itu. Hal ini tercantum dalam firman-Nya yang mengatakan bahwa sesungguhnya kitab itu adala “kitab yang bertulis” dan berisi catatan lengkap, tanpa ditambah dan dikurangi, hingga dibeberkan pada hari yang besar itu.
Kalau demikian, maka:
“Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan.” (al-Muthaffifīn: 10).
Dibatasi pula tema persoalan yang didustakan mereka, dan ditentukan pula hakikat orang-orang yang mendustakan itu:
“(Yaitu) orang-orang yang mendustakan hari pembalasan. Dan tidak ada yang mendustakan hari pembalasan itu melainkan setiap orang yang melampaui batas lagi berdosa, yang apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, ia berkata: “Itu adalah dongengan orang-orang yang dahulu” (al-Muthaffifīn: 11-13).
Sikap melampaui batas dan dosa itulah yang menuntun pelakunya mendustakan hari pembalasan dan bersikap jelek terhadap al-Qur’ān. Sehingga, ia mengatakan bahwa ayat-ayat al-Qur’ān yang dibacakan kepadanya: “itu adalah dongengan orang-orang yang dahulu.”. Pasalnya, al-Qur’ān memuat kisah-kisah orang dahulu yang dipaparkan untuk menjadi pelajaran dan nasihat. Juga untuk menjelaskan sunnah Allah yang tidak pernah berubah dan juga berlaku atas manusia sesuai dengan undang-undang yang ada dan tidak akan pernah menyimpang.
Kesombongan dan pendustaan mereka ini diikuti dengan bentakan dan hardikan: “sekali-kali tidak (demikian)!” Tidak seperti yang mereka katakan.
Kemudian disingkapkan sebab kesombongan dan pendustaan serta keberpalingan dari kebenaran yang jelas dan keterhapusan kebenaran itu dalam hati orang-orang yang mendustakan ini.
“Sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” (al-Muthaffifīn: 14).
Artinya, hati mereka tertutup oleh dosa-dosa dan kemaksiatan yang biasa mereka kerjakan. Hati yang selalu melakukan kemaksiatan itu akan menjadi redup cahayanya dan menjadi gelap. Ia dikotori oleh tutup tebal yang menghalangi cahaya masuk kepadanya dan menghalanginya dari cahaya. Juga menghilangkan sensitivitasnya sedikit demi sedikit sehingga akhirnya menjadi bebal dan mati.
Ibnu Jarīr, Tirmidzī, Nasā’ī, dan Ibnu Mājah meriwayatkan dari beberapa jalan, dari Muḥammad bin ‘Ajlān, dari al-Qa‘qa‘ bin Ḥākim, dari Abū Shāliḥ, dari Abū Hurairah bahwa Nabi s.a.w. bersabda:
إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَذْنَبَ ذَنْبًا كَانَتْ نُكْتَةٌ سَوْدَاءٌ فِيْ قَلْبِهِ، فَإِنْ تَابَ صَقَلَ قَلْبُهُ، وَ إِنْ زَادَ زَادَتْ.
“Sesungguhnya seorang hamba apabila melakukan suatu dosa, maka terdapat suatu titik hitam di dalam hatinya. Jika ia bertobat, hatinya menjadi cemerlang kembali; dan jika bertambah dosanya, titik hitam itu pun makin bertambah banyak.”
Tirmidzī berkata: “Hadits ini ḥasan shaḥīḥ.”
Dan, lafal Nasā’ī berbunyi:
إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيْئَةٌ نَكَتَ فِيْ قَلْبِهِ سَوْدَاءَ، فَإِنْ هُوَ نَزَعَ وَ اسْتَغْفَرَ وَ تَابَ صَقَلَ قَلْبُهُ، فَإِنْ عَادَ زِيْدَ فِيْهَا حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ، فَهُوَ الرَّانُ الَّذِيْ قَالَ اللهُ تَعَالَى: كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوْبِهِمْ مَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ…..
“Sesungguhnya seorang hamba apabila melakukan suatu dosa, maka ia tehlah membuat suatu titik hitam di dalam hatinya. Jika ia jauhi dosa itu, beristighfar, dan bertobat, maka hatinya menjadi cemerlang kembali. Tetapi jika ia kembali berbuat dosa, maka bertambahlah titik-titik hitam itu sehingga menutupi hatinya. Maka itulah kotoran yang dimaksudkan dalam firman Allah: “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itulah yang menutup hati mereka……”
Al-Ḥasan al-Bashrī berkata: “Yaitu dosa di atas dosa (bertumpuk-tumpuk), sehingga hati itu menjadi buta, kemudian mati.”
Betitulah keadaan orang-orang yang durhaka dan mendustakan hari pembalasan. Itulah sebab mereka durhaka dan mendustakan.
Setelah itu, disebutkan sedikit tentang tempat kembali mereka pada hari yang besar itu, sesuai dengan sebab kedurhakaan dan pendustaannya:
“Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhan mereka. Kemudian, sesungguhnya mereka benar-benar masuk neraka. Lalu dikatakan (kepada mereka): “Inilah ‘adzāb yang dahulu selalu kamu dustakan”. (al-Muthaffifīn: 15-17).
Hati mereka telah dihalangi oleh kemaksiatan-kemaksiatan dan dosa-dosa serta dihalangi dari merasakan keberadaan Tuhan di dunia. Juga telah dipadamkan cahayanya sehingga kegelapan dan menjadi buta dalam kehidupan ini. Karena itu, akibat yang pantas dan balasan yang setimpal baginya di akhirat nanti ialah dihalanginya mereka dari memandang wajah Allah Yang Maha Mulia. Juga dihalanginya mereka untuk mendapatkan kebahagiaan terbessar yang tidak diberikan kecuali kepada orang-orang yang sehat, tinggi, dan jernih ruhnya, serta berhak disingkapkan hijab-hijab antara dia dan Tuhannya. Mereka termasuk golongan orang-orang yang disinyalir oleh Allah dalam surah al-Qiyāmah:
“Wajah-wajah (orang-orang mu’min) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.” (al-Qiyāmah: 22-23).
Keterhalangan dari melihat wajah Tuhan ini merupakan ‘adzāb di atas ‘adzāb, keterhalangan di atas keterhalangan, dan merupakan puncak kesedihan bagi manusia yang kemanusiaan bersumber dari satu sumber, yaitu berhubungannya dengan ruh Tuhannya Yang Maha Mulia. Apabila ia terhalang dari sumber ini, hilang keistimewaan-keistimewaannya sebagai manusia yang terhormat, sehingga merosotlah derajatnya ke tingkatan yang menjadikannya layak masuk neraka:
“Kemudian, sesungguhnya mereka benar-benar masuk neraka.” (al-Muthaffifīn: 16).
Di neraka itu, mereka dicela dengan celaan yang lebih pahit daripada neraka itu sendiri:
“Lalu dikatakan (kepada mereka): “Inilah ‘adzāb yang dahulu selalu kamu dustakan”. (al-Muthaffifīn: 17).
Keadaan Orang-Orang yang Berbakti.
Kemudian dibentangkanlah lembaran lain, lembaran orang-orang yang berbakti. Lembaran ini dipaparkan menurut metode al-Qur’an di dalam membeberkan dua lembaran yang bertolak belakang, sebagaimana biasanya, untuk menyempurnakan keterbalikan antara dua hakikat, dua keadaan, dan dua kesudahan yang bertolak-belakang.
كَلَّا إِنَّ كِتَابَ الْأَبْرَارِ لَفِيْ عِلِّيِّيْنَ. وَ مَا أَدْرَاكَ مَا عِلِّيُّوْنَ. كِتَابٌ مَّرْقُوْمٌ. يَشْهَدُهُ الْمُقَرَّبُوْنَ. إِنَّ الْأَبْرَارَ لَفِيْ نَعِيْمٍ. عَلَى الْأَرَائِكِ يَنْظُرُوْنَ. تَعْرِفُ فِيْ وُجُوْهِهِمْ نَضْرَةَ النَّعِيْمِ. يُسْقَوْنَ مِنْ رَّحِيْقٍ مَّخْتُوْمٍ. خِتَامُهُ مِسْكٌ وَ فِيْ ذلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُوْنَ. وَ مِزَاجُهُ مِنْ تَسْنِيْمٍ. عَيْنًا يَشْرَبُ بِهَا الْمُقَرَّبُوْنَ.
“Sekali-kali tidak, sesungguhnya kitab orang-orang berbakti itu (tersimpan) dalam ‘Illiyyīn. Tahukah kamu apakah ‘Illiyyīn itu? Yaitu, kitab yang bertulis, yang disaksikan oleh malaikat-malaikat yang didekatkan (kepada Allah). Sesungguhnya, orang-orang yang berbakti itu benar-benar berada dalam keni‘matan yang besar (surga). Mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang. Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan hidup mereka yang penuh keni‘matan. Mereka diberi minum dari khamar murni yang dilak (tempatnya). Laknya adalah kesturi. Untuk yang demikian itu, hendaknya orang berlomba-lomba. Campuran khamar murni itu adalah dari tasnīm, yaitu mata air yang minum darinya orang-orang yang didekatkan kepada Allah.” (al-Muthaffifīn: 18-28).
Lafal “kallā” yang disebutkan pada awal segmen ini adalah untuk mencegah dari perbuatan sebelumnya. Yaitu, mendustakan hari pembalasan sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah ayat 17: “Kemudian dikatakan (kepada mereka): “Inilah ‘adzāb yang dahulu selalu kamu dustakan” Kemudian disudahi dengan perkataan kallā “sekali-kali tidak.” Sesudah itu, dimulailah pembicaraan tentang orang-orang yang berbakti dengan menggunakan kalimat yang pasti dan mantap.
Apabila kitab orang-orang yang durhaka tersimpan dalam “sijjīn”, maka kitab orang-orang yang berbakti tersimpan dalam “‘illiyyīn”. Dan yang dimaksud dengan al-abrār “orang-orang yang berbakti” itu ialah orang-orang yang patuh kepada Allah dan melaksanakan semua kebaikan. Mereka merupakan kebalikan dari orang-orang durhaka yang suka melanggar dan melampaui batas.
Lafal “‘illiyyīn” mengisyaratkan dan mengesankan ketinggian, yang berkebalikan dengan “sijjīn” yang memberi kesan dan mengisyaratkan kerendahan. Sesudah itu, dikemukakan pertanyaan yang menunjukkan ketidaktahuan yang ditanya dan kehebatan sesuatu yang ditanyakan itu: “Tahukah kamu apakah ‘Illiyyīn itu?” Nah, ini adalah urusan yang berada di luar jangkauan ‘ilmu dan pengatahuan manusia!
Dari membicarakan bayang-bayang yang mengesankan ini, pembicaraan kembali lagi kepada hakikat kitab orang-orang yang berbakti. Dikatakan bahwa ia adalah: “Kitab yang bertulis, yang disaksikan oleh malaikat-malaikat yang didekatkan (kepada Allah).”
Perkataan marqūm “bertulis” ini sudah disebutkan di muka. Di sini ditambahkan bahwa malaikat-malaikat yang didekatkan kepada Allah itu menyaksikan dan melihat kitab ini. Ditetapkannya hakikat ini di sini memberikan bayang-bayang kemuliaan, kesucian, dan ketinggian bagi kitab orang-orang yang berbakti. Karena, ia berada di tempat yang disaksikan oleh malaikat-malaikat yang didekatkan kepada Allah, malaikat-malaikat yang mulia pekerjaan dan sifat-sifatnya. Inilah bayangan kemuliaan dan keutamaan, yang disebutkan dengan maksud memberikan penghormatan.
Setelah itu, disebutkan keadaan orang-orang yang berbakti itu sendiri, sebagai pemilik kitab yang mulia tersebut. Diterangkan pula sifat-sifat keni‘matan yang mereka peroleh pada hari yang besar itu:
“Sesungguhnya, orang-orang yang berbakti itu benar-benar berada dalam keni‘matan yang besar (surga)” (al-Muthaffifīn: 22).
Ayat itu sebagai kebalikan dari neraka yang menjadi tempat kembali orang-orang yang durhaka.
“….Mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang…..”
Ya‘ni, mereka berada di tempat yang terhormat, sehingga dapat memandang ke mana saja yang mereka sukai, tanpa menundukkan pandangan karena hina dan tanpa sibuk memandang sesuatu yang menyengsarakan. Mereka duduk di atas dipan-dipan, di pelaminan keluarga, dengan kelambunya yang indah.
Gambaran yang dekat ini lebih halus dan merupakan lambang keni‘matan yang lebih halus bagi bangsa ‘Arab (waktu itu) yang kehidupannya serba kasar. Adapun bentuk ukhrawinya nanti bagaimana, maka hanya Allah yang mengetahuinya. Karena bagaimanapun keadaannya, ia juah lebih tinggi dari apa dikenal oleh manusia berdasarkan pengalaman dan gambaran-gambarannya.
Dalam keni‘matan ini, mereka merasakan keni‘matan jiwa dan fisik, sehingga memancar keceriaan dan tanda-tanda kegembiraan di wajah mereka, yang dapat dilihat oleh siapa pun yang melihatnya:
“Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan hidup mereka yang penuh keni‘matan.” (al-Muthaffifīn: 24).
“Mereka diberi minum dari khamar murni yang dilak (tempatnya). Laknya adalah kesturi.” (al-Muthaffifīn: 25-26).
“Ar-raḥīq” adalah minuman yang murni dan jernih, tidak mengandung kekeruan dan kotoran. Disifatinya minuman itu bahwa ia disegel tempatnya, yang segelnya berupa kesturi. Hal itu menunjukkan bahwa minuman tersebut sudah disediakan di dalam bejana. Sedangkan, bejana-bejana ini disegel dan ditutup, yang dibuka segelnya ketika diminum. Ini menunjukkan bayang-bayang penjagaan dan pemeliharaan minuman tersebut, sebagaimana dijadikannya segel atau laknya dari kesturi menunjukkan bahwa barang itu barang bagus dan mewah.
Semua itu hanya bisa dimengerti manusia menurut batas-batas kebiasaan mereka di bumi saja. Ketika mereka sudah berada di sana, di taman surga, sudah tentu perasaan dan pengertian mereka akan sesuai dengan gambaran mereka yang bebas dari suasana bumi yang terbatas.
Kemudian disebutkan sifat-sifat minuman itu dalam dua ayat beriktu:
“Campuran khamar murni itu adalah dari tasnīm, (yaitu) mata air yang minum darinya orang-orang yang didekatkan kepada Allah.” (al-Muthaffifīn: 27-28).
Maksudnya, minuman khamar murni yang masih disegel itu dibukalah tempatnya (يفض ختامه). Kemudian dicampur dengan sesuatu yang bernama “tasnīm”, yang diminum oleh orang-orang yang didekatkan kepada Allah. Sebelum selesai menyebutkan sifat-sifat minuman ini, disampaikan dan diberikanlah pengarahan berikut:
“Untuk yang demikian itu, hendaknya orang berlomba-lomba” (al-Muthaffifīn: 26).
Suatu kesan mendalam yang menunjukkan banyak.