SURAH AL-MUTHAFFIFĪN
Diturunkan di Makkah
Jumlah Ayat: 36.
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”
وَيْلٌ لِّلْمُطَفِّفِيْنَ. الَّذِيْنَ إِذَا اكْتَالُوْا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُوْنَ. وَ إِذَا كَالُوْهُمْ أَوْ وَّزَنُوْهُمْ يُخْسِرُوْنَ. أَلَا يَظُنُّ أُولئِكَ أَنَّهُم مَّبْعُوْثُوْنَ. لِيَوْمٍ عَظِيْمٍ. يَوْمَ يَقُوْمُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِيْنَ. كَلَّا إِنَّ كِتَابَ الفُجَّارِ لَفِيْ سِجِّيْنٍ. وَ مَا أَدْرَاكَ مَا سِجِّيْنٌ. كِتَابٌ مَّرْقُوْمٌ. وَيْلٌ يَوْمَئِذٍ لِّلْمُكَذِّبِيْنَ. الَّذِيْنَ يُكَذِّبُوْنَ بِيَوْمِ الدِّيْنِ. وَ مَا يُكَذِّبُ بِهِ إِلَّا كُلُّ مُعْتَدٍ أَثِيْمٍ. إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِ آيَاتُنَا قَالَ أَسَاطِيْرُ الْأَوَّلِيْنَ. كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوْبِهِمْ مَّا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ. كَلَّا إِنَّهُمْ عَنْ رَّبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَّمَحْجُوْبُوْنَ. ثُمَّ إِنَّهُمْ لَصَالُوا الْجَحِيْمِ. ثُمَّ يُقَالُ هذَا الَّذِيْ كُنْتُمْ بِهِ تُكَذِّبُوْنَ. كَلَّا إِنَّ كِتَابَ الْأَبْرَارِ لَفِيْ عِلِّيِّيْنَ. وَ مَا أَدْرَاكَ مَا عِلِّيُّوْنَ. كِتَابٌ مَّرْقُوْمٌ. يَشْهَدُهُ الْمُقَرَّبُوْنَ. إِنَّ الْأَبْرَارَ لَفِيْ نَعِيْمٍ. عَلَى الْأَرَائِكِ يَنْظُرُوْنَ. تَعْرِفُ فِيْ وُجُوْهِهِمْ نَضْرَةَ النَّعِيْمِ. يُسْقَوْنَ مِنْ رَّحِيْقٍ مَّخْتُوْمٍ. خِتَامُهُ مِسْكٌ وَ فِيْ ذلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُوْنَ. وَ مِزَاجُهُ مِنْ تَسْنِيْمٍ. عَيْنًا يَشْرَبُ بِهَا الْمُقَرَّبُوْنَ. إِنَّ الَّذِيْنَ أَجْرَمُوْا كَانُوْا مِنَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا يَضْحَكُوْنَ. وَ إِذَا مَرُّوْا بِهِمْ يَتَغَامَزُوْنَ. وَ إِذَا انْقَلَبُوْا إِلَى أَهْلِهِمُ انْقَلَبُوْا فَكِهِيْنَ. وَ إِذَا رَأَوْهُمْ قَالُوْا إِنَّ هؤُلآءِ لَضَالُّوْنَ. وَ مَا أُرْسِلُوْا عَلَيْهِمْ حَافِظِيْنَ. فَالْيَوْمَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا مِنَ الْكُفَّارِ يَضْحَكُوْنَ. عَلَى الْأَرَائِكِ يَنْظُرُوْنَ. هَلْ ثُوِّبَ الْكُفَّارُ مَا كَانُوْا يَفْعَلُوْنَ
83: 1. Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang.
83: 2. Yaitu, orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi.
83: 3. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.
83: 4. Tidakkah orang-orang itu menyangka bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan,
83: 5. pada suatu hari yang besar,
83: 6. yaitu hari ketika manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?
83: 7. Sekali-kali jangan curang, karena sesungguhnya kitab orang yang durhaka tersimpan dalam sijjīn.
83: 8. Tahukah, kamu apakah sijjīn itu?
83: 9. Ialah kitab yang bertulis.
83: 10. Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan,
83: 11. yaitu orang-orang yang mendustakan hari pembalasan.
83: 12. Dan tidak ada yang mendustakan hari pembalasan itu melainkan setiap orang yang melampaui batas lagi berdosa,
83: 13. yang apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, ia berkata: “Itu adalah dongengan orang-orang yang dahulu”.
83: 14. Sekali-kali tidak (demikian). Sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.
83: 15. Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhan mereka.
83: 16. Kemudian sesungguhnya mereka benar-benar masuk neraka.
83: 17. Lalu dikatakan (kepada mereka): “Inilah ‘adzāb yang dahulu selalu kamu dustakan”.
83: 18. Sekali-kali tidak, sesungguhnya kitab orang-orang berbakti itu (tersimpan) dalam ‘Illiyyīn.
83: 19. Tahukah kamu apakah ‘Illiyyīn itu?
83: 20. Yaitu, kitab yang bertulis,
83: 21. yang disaksikan oleh malaikat-malaikat yang didekatkan (kepada Allah).
83: 22. Sesungguhnya, orang-orang yang berbakti itu benar-benar berada dalam keni‘matan yang besar (surga).
83: 23. Mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang.
83: 24. Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan hidup mereka yang penuh keni‘matan.
83: 25. Mereka diberi minum dari khamar murni yang dilak (tempatnya).
83: 26. Laknya adalah kesturi. Untuk yang demikian itu, hendaknya orang berlomba-lomba.
83: 27. Campuran khamar murni itu adalah dari tasnīm,
83: 28. yaitu mata air yang minum darinya orang-orang yang didekatkan kepada Allah.
83: 29. Sesungguhnya, orang-orang yang berdosa, adalah mereka yang dahulunya (di dunia) menertawakan orang-orang yang beriman.
83: 30. Apabila orang-orang yang beriman berlalu di hadapan mereka, maka mereka saling mengedipkan matanya.
83: 31. Apabila orang-orang berdosa itu kembali kepada kaumnya, mereka kembali dengan gembira.
83: 32. Apabila mereka melihat orang-orang mu’min, mereka mengatakan: “Sesungguhnya, mereka itu benar-benar orang-orang yang sesat”.
83: 33. Padahal, orang-orang yang berdosa itu tidak dikirim untuk menjadi penjaga bagi orang-orang mu’min.
83: 34. Maka, pada hari ini, orang-orang yang beriman menertawakan orang-orang kafir.
83: 35. Mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang.
83: 36. Sesungguhnya, orang-orang kafir telah diberi ganjaran terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.
Pengantar.
Surah ini menggambarkan beberapa potong kenyataan praktis yang dihadapi dakwah Islamiyyah di Makkah, selain untuk membangkitkan hati, menggugah perasaan, dan mengarahkannya kepada peristiwa baru di dalam kehidupan bangsa ‘Arab dan kehidupan manusia. Yaitu, adanya risalah langit untuk bumi dengan segenap kandungannya yang berupa pandangan baru yang lengkap dan meliputi segalanya.
Potongan realita yang digambarkan surah ini pada permulaannya ialah diancamnya orang-orang yang curang dengan kecelakaan besar yang bakal diterimanya pada hari yang besar (kiamat).
Surah ini terdiri atas empat segmen. Segmen pertama dimulai dengan menyatakan perang terhadap orang-orang yang curang, sebagaimana terdapat pada ayat 1-6.
Segmen kedua, yang tercantum pada ayat 7-17 membicarakan orang-orang yang durhaka dengan kecaman yang amat keras dan ancaman kecelakaan yang besar. Juga mencap (mengidentifikasi) mereka sebagai orang yang suka berbuat dosa dan pelanggaran. Kemudian segmen ini menjelaskan sebab kebutaan dan keterpadaman cahayanya, dan melukiskan balasan bagi mereka pada hari kiamat, serta di‘adzābnya mereka sehingga terhalang untuk melihat Tuhannya, sebagaimana dosa-dosa sewaktu di dunia menghalangi dan menutup hari mereka. Kemudian mereka dimasukkan ke dalam neraka dengan dihina dan direndahkan.
Segmen ketiga yang terdapat pada ayat 18-28, membentangkan lembaran baiknya. Yaitu, lembaran orang-orang yang berbakti dengan kedudukannya yang tinggi segala keni‘matan yang telah ditetapkan untuk mereka, serta khamar murni yang mereka minum sambil duduk di atas sofa dengan memandang ke sana ke mari. Nah, ini adalah lembaran keni‘matan yang terang cemerlang.
Segmen terakhir (keempat) menjelaskan apa yang dihadapi orang-orang yang berbakti di dunia yang penuh tipu-daya dan kebāthilan ini, dari orang-orang yang durhaka. Penjelasan mengenai gangguan, hinaan, dan kebiadaban orang-orang yang durhaka itu, merupakan kecenderungan yang berlawanan antara orang-orang yang berbakti dan orang-orang yang durhaka, di dunia hakikat yang abadi dan panjang. Keterangan mengenai segmen ini ada pada ayat 29-36.
Surah ini secara umum pada satu sisi mencerminkan lingkungan dakwah. Pada sisi lain melukiskan uslub dakwah dalam menghadapi realitas lingkungan itu beserta realitas kejiwaan manusia. Inilah yang hendak kami coba ungkapkan dalam paparan kami terhadap surah ini secara rinci.
Orang-orang yang Curang.
وَيْلٌ لِّلْمُطَفِّفِيْنَ. الَّذِيْنَ إِذَا اكْتَالُوْا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُوْنَ. وَ إِذَا كَالُوْهُمْ أَوْ وَّزَنُوْهُمْ يُخْسِرُوْنَ. أَلَا يَظُنُّ أُولئِكَ أَنَّهُم مَّبْعُوْثُوْنَ. لِيَوْمٍ عَظِيْمٍ. يَوْمَ يَقُوْمُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang. Yaitu, orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang itu menyangka bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, yaitu hari ketika manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam? (al-Muthaffifīn: 1-6).
Surah ini dimulai dengan perang yang dimaklumatkan Allah terhadap orang-orang yang curang: “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang”
“Al-Wail” berarti kebinasaan, kecelakaan yang besar. Terlepas apakah yang dimaksud ayat itu sebagai penetapan bahwa ini merupakan keputusan ataukah doa, maka dalam kedua keadaannya ini substansinya adalah satu, karena doa dari Allah juga berarti ketetapan.
Kemudian dua ayat berikutnya menjelaskan ma‘na “muthaffifīn” itu. Maka, mereka adalah: “Orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi. Dan, apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi”.
Mereka menuntut dipenuhinya takaran dan timbangan barang-barang yang diperjualbelikan itu bila mereka membeli. Namun, mereka menguranginya bila menjual untuk orang lain.
Kemudian tiga ayat berikutnya menunjukkan keheranan terhadap sikap orang-orang curang itu. Mereka berbuat semaunya saja seakan-akan di sana nanti tidak ada perhitungan dan pertanggungjawaban terhadap apa saja yang mereka kerjakan selama hidup di dunia. Juga seakan-akan di sana tidak ada peradilan di hadapan Tuhan, pada hari yang besar, untuk mendapatkan perhitungan dan balasan di depan Tuhan semesta alam:
“Tidakkah orang-orang itu menyangka bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, yaitu hari ketika manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam? (al-Muthaffifīn: 4-6).
Memaparkan keadaan orang-orang yang curang dengan metode seperti ini adalah surah Makkiyyah perlu mendapatkan perhatian, karena surah Makkiyyah pada umumnya mengarahkan perhatiannya kepada pokok-pokok ‘aqīdah secara total seperti penetapan tentang keesaan Allah, kehendak-Nya yang mutlak, dan pemeliharaan-Nya terhadap manusia dan alam semesta. Juga seperti hakikat wahyu dan nubuwwah, hakikat akhirat, hisab, dan pembalasan, serta perhatian terhadap pembinaan akhlāq dan mental secara umum, dengan mengaitkannya kepada ‘aqīdah.
Sedangkan, membicarakan masalah ini secara spesifik dari masalah-masalah akhlāq – seperti masalah kecurangan dalam menakar dan menimbang dan mu‘āmalah secara umum, biasanya dibicarakan belakangan dalam surah Madaniyyah, ya‘ni ketika membicarakan tatanan kehidupan masyarakat di bawah Daulah Islamiyyah, sesuai dengan manhaj Islami yang meliputi seluruh aspek kehidupan.
Karena itu, pembicaraan masalah ini secara spesifik dalam surah Makkiyyah layak mendapat perhatian, karena ia mengandung beberapa petunjuk yang bermacam-macam, yang tersembunyi di balik ayat-ayat yang pendek ini.
Ia pertama-tama menunjukkan bahwa Islam pada masa periode Makkah biasa menghadapi keadaan riskan yang berupa kecurangan yang dilakukan oleh para pembesar yang pada waktu yang sama sebagai para pedagang besar, dan suka melakukan penimbunan. Di sana terdapat harta kekayaan yang banyak sekali di tangan para pembesar itu yang mereka perdagangkan melalui kafilah-kafilah yang biasa bepergian pada musim dingin dan musim panas ke Yaman dan ke Syām. Mereka juga membuka pasar-pasar musiman seperti Pasar ‘Ukkāzh pada musim haji. Di sana mereka melakukan perniagaan dan mengadakan lomba baca puisi.
Nash-nash al-Qur’ān ini menunjukkan bahwa orang-orang curang yang diancam oleh Allah dengan kecelakaan besar, dan dinyatakan perang terhadapnya itu adalah kelas elite yang memiliki kekuasaan, yang dapat saja memaksa manusia untuk menuruti kehendak mereka. Maka, merekalah yang menakar untuk orang lain, bukan menerima takaran dari orang lain. Seakan-akan mereka mempunyai kekuasaan terhadap manusia dengan suatu sebab yang menjadikan mereka dapat meminta orang lain memenuhi takaran dan timbangan dengan sepenuhnya. Jadi, maksudnya bukan mereka meminta dipenuhi haknya. Sebab, kalau meminta dipenuhi haknya, maka hal ini tidak perlu diinyatakan perang terhadapnya.
Pengertian yang dapat ditangkap adalah bahwa dengan cara kekerasan, mereka dapat memperoleh sesuatu melebihi haknya. Mereka juga dapat menuntut dipenuhinya takaran dan timbangan secara paksa menurut kehendak mereka. Kalau mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mempunya kekuasaan untuk mengurangi hak-hak orang lain itu. Sedangkan, orang lain itu tidak berkuasa menuntut mereka untuk memenuhi dan menyempurnakannya.
Hal ini berlaku bagi orang yang mempunyai kedudukan sosial seperti jabatan dan kedudukan yang tinggi dalam kabilah ataupun orang yang memiliki status ekonomi yang tinggi karena kebutuhan masyarakat berada di tangannya. Mereka biasa menimbun barang-barang dagangan. Sehingga, apabila masyarakat sudah terdesak, maka mereka terpaksa akan menerima kezhālimannya itu, sebagaimana yang terjadi hingga sekarang di pasar-pasar. Maka, di sana terdapat kondisi kecurangan yang memprihatinkan, yang patut mendapatkan perhatian sejak dini.
Perhatian dini terhadap lingkungan Makkah ini pun menunjukkan karakter agama Islam, dan kelengkapan manhaj-nya terhadap kehidupan nyata dan persoalan-persoalan praktisnya. Juga menunjukkan ditegakkannya agama ini di atas prinsip akhlāq yang dalam dan mendasar, di dalam karakter manhaj Ilahi yang lurus. Maka, Islam tidak menyukai keadaan memperihatinkan yang berupa kezhāliman dan penyimpangan moral dalam pergaulan.
Sesudah dikendalikannya kehidupan masyarakat, ia tidak lepas untuk mengatur sesuai dengan syarī‘atnya, dengan kekuatan undang-undang dan kekuasaan negara. Karena itu, dikumandangkanlah seruan perang dan doa kebinasaan terhadap orang-orang yang curang, padahal mereka pada waktu itu adalah pemuka-pemuka kota Makkah. Mereka adalah pemegang dan pengendali kekuasaan, yang bukan cuma berkuasa terhadap spiritualitas dan perasaan masyarakat lewat jalur akidah keberhalaan saja, tetapi juga menguasai perekonomian dan urusan kehidupan mereka.
Islam bersuara lantang menghadapi manipulasi dan kecurangan yang terjadi terhadap golongan mayoritas yang diperas oleh para pembesar yang memutar roda perekonomian mereka, ya‘ni para pembesar yang suka melakukan riba dan penimbunan, sekaligus sebagai penguasa terhadap rakyat dengan agama khyalannya. Maka, Islam dengan teriakannya yang lantang dan dengan manhaj samawinya, membangkitkan kesadaran masyarakat yang tertindas. Islam tidak pernah berdiam diri, meski ia terkepung di Makkah sekalipun oleh kekuasaan para diktator yang menguasai masyarakat dengan harta, kedudukan, dan agama berhala mereka!
Dengan demikian, kita mengetahui salah satu sebab sebenarnya yang menjadikan para pembesar Quraisy bersikap demikian keras terhadap dakwah Islam. Karena mereka mengetahui, tanpa disangsikan lagi, bahwa ajaran baru yang dibawa Nabi Muḥammad s.a.w. kepada mereka bukan semata-mata ‘aqīdah yang tersimpan di dalam hati, atau ‘aqīdah yang hanya menuntut mereka mengucapkan kalimah syahadat bahwa “tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah”, serta menegakkan shalat dan melakukan peribadatan kepada Allah saja, bukan kepada berhala-berhala dan patung-patung. Tidak, tidak demikian.
Sesungguhnya, mereka mengerti bahwa ‘aqīdah ini merupakan manhaj yang akan menghancurkan dan membongkar semua fondasi jahiliah yang menjadi tempat bertumpunya segenap peraturan, kemaslahatan, dan kepentingannya. Mereka juga mengetahui bahwa tabiat manhaj ini tidak menerima pendobelan dan tidak dilumuri dengan unsur bumi yang tidak bersumber dari unsur langit. Ia justru menghancurkan seluruh unsur bumi yang rendah, yang menjadi landasan jahiliah.
Oleh karena itu, mereka mengarahkan serangan terhadap dakwah Islam ini dari segenap penjuru tanpa pernah meletakkan senjatanya sama sekali, baik sebelum hijrah maupun sesudahnya. Peperangan mereka mencerminkan pembelaan terhadap seluruh aturan dan sistem mereka untuk menghadapi peraturan-peraturan Islam, yang bukan cuma sekadar urusan ‘aqīdah dan pola pikir.
Orang-orang yang memerangi kekuasaan manhaj Islam terhadap kehidupan manusia dalam setiap generasi dan pada setiap lokasi, pasti mengetahui hakikat ini. Mereka mengerti dengan sebaik-baiknya. Mereka mengetahui bahwa peraturan dan undang-undang mereka yang bāthil, kepentingan-kepentingan mereka yang diperoleh dengan cara merampas, dan keberadaan mereka yang palsu, serta tata kehidupan mereka yang menyimpang, itu dikecam oleh manhaj Islami yang lurus dan mulia.
Para penguasa tiran yang zhālim dan curang – apapun bentuk kecurangannya, baik curang dalam masalah harta-benda, hak, maupun kewajiban – lebih banyak menentang keberlakuan manhaj yang adil dan bersih itu, ya‘ni manhaj yang tidak menerima tawaran, kepura-puraan, dan kompromi.
Hal itu sudah dimengerti oleh orang-orang yang melakukan baiat kepada Rasūlullāh s.a.w., yaitu para wakil suku Aus dan Khazraj dalam Bai‘ah ‘Aqabah kedua sebelum hijrah. Ibnu Isḥāq berkata: “Telah diceritakan kepadaku oleh ‘Āshim bin ‘Umar bin Qatādah bahwa ketika kaum itu sudah berkumpul untuk berbaiat dengan Rasūlullāh s.a.w., ‘Abbās bin ‘Ubādah bin Nadhlah al-Anshārī, saudara Bani Salīm bin ‘Auf, berkata: “Wahai segenap kaum Khazraj, apakah kalian mengetahui untuk apa kalian berbaiat dengan lelaki itu?” Mereka menjawab: “Tahu.”
Dia berkata: “Sesungguhnya, kalian berbaiat untuk memerangi orang-orang berkulit merah and berkulit hitam. Jika kalian mengetahui bahwa apabila harta-benda kalian habis karena musibah dan pemimpin-pemimpin kalian binasa terbunuh, lantas kalian menyerahkan dia sejak sekarang, maka demi Allah, sesungguhnya kalian telah melakukan kehinaan dunia dan akhirat. Dan jika kalian memandang bahwa kalian sanggup menunaikannya sesuai dengan yang kalian dakwakan, meski harta kekayaan habis dan para pemuka terbunuh, maka laksanakanlah. Karena yang demikian itu, demi Allah, adalah kebaikan dunia dan akhirat.
Mereka berkata: “Kami akan menunaikannya meskipun harta kami habis dan pemuka-pemuka kami terbunuh. Apakah yang akan kami peroleh wahai Rasūlullāh, jika kami memenuhinya?” Beliau menjawab: “Surga.” Mereka berkata: “Hamparkanlah tanganmu.” Rasūlullāh s.a.w. menghamparkan tangan beliau, lalu mereka membaiat beliau.”
Mereka telah mengetahui – sebagaimana pembesar-pembesar Quraisy sebelumnya telah mengetahui – karakter agama Islam bahwa ia bagaikan mata pedang keadilan yang menegakkan kehidupan manusia di atas yang demikian itu. Ia tidak dapat menerima kediktatoran sang diktator, kezhaliman orang yang zhalim, dan kesombongan orang yang sombong. Ia tidak bisa menerima kecurangan, kehinaan, dan pemerasan. Karena itu, Islam memerangi setiap diktator yang zhalim, aniaya, sombong, dan suka memeras orang lain, serta menghalang-halangi dakwah, para juru dakwah, dan mengintai-intainya.
“Tidakkah orang-orang itu menyangka bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, yaitu hari ketika manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam? (al-Muthaffifīn: 4-6).
Sungguh mengherankan urusan mereka, hanya karena persangkaan terhadap hari yang besar itu, ya‘ni hari ketika manusia berdiri sendiri menghadap Tuhan semesta alam, tanpa pelindung lagi selain-Nya. Juga tanpa alternatif lain bagi mereka kecuali harus menghadapi keputusan terhadap apa yang telah mereka lakukan, sedangkan mereka tidak lagi mempunyai pelindung dan penolong.
Semata-mata persangkaan bahwa mereka akan dibangkitkan untuk menghadapi hari yang besar itu, sudah cukup untuk menahan mereka dari melakukan kecurangan dan memakan (mengambil) harta orang lain dengan cara yang bathil. Juga untuk menghalangi mereka dari melayani sang penguasa untuk menganiaya orang lain dan mengurangi haknya dalam bermu‘amalah. Akan tetapi, mereka tetap saja melakukan kecurangan, seakan-akan mereka tidak menyangka bahwa mereka akan dibangkitkan. Ini adalah suatu hal yang mengherankan, persoalan yang aneh!