Al-Muthaffifīn, ayat 7-17.
كَلَّا إِنَّ كِتَابَ الفُجَّارِ لَفِيْ سِجِّيْنٍ. وَ مَا أَدْرَاكَ مَا سِجِّيْنٌ. كِتَابٌ مَّرْقُوْمٌ. وَيْلٌ يَوْمَئِذٍ لِّلْمُكَذِّبِيْنَ. الَّذِيْنَ يُكَذِّبُوْنَ بِيَوْمِ الدِّيْنِ. وَ مَا يُكَذِّبُ بِهِ إِلَّا كُلُّ مُعْتَدٍ أَثِيْمٍ. إِذَا تُتْلى عَلَيْهِ آيَاتُنَا قَالَ أَسَاطِيْرُ الْأَوَّلِيْنَ. كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوْبِهِمْ مَّا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ. كَلَّا إِنَّهُمْ عَنْ رَّبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَّمَحْجُوْبُوْنَ. ثُمَّ إِنَّهُمْ لَصَالُوا الْجَحِيْمِ. ثُمَّ يُقَالُ هذَا الَّذِيْ كُنْتُمْ بِهِ تُكَذِّبُوْنَ
083: 7. Sekali-kali jangan curang, karena sesungguhnya kitab orang yang durhaka tersimpan dalam Sijjīn.
083: 8. Tahukah kamu apakah Sijjīn itu?
083: 9. (Ialah) kitab yang bertulis.
083: 10. Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan,
083: 11. (yaitu) orang-orang yang mendustakan hari pembalasan.
083: 12. Dan tidak ada yang mendustakan hari pembalasan itu melainkan setiap orang yang melampaui batas lagi berdosa,
083: 13. yang apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, ia berkata: “Itu adalah dongengan orang-orang yang dahulu.”
083: 14. Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.
083: 15. Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhan mereka.
083: 16. Kemudian, sesungguhnya mereka benar-benar masuk neraka.
083: 17. Kemudian, dikatakan (kepada mereka): “Inilah adzab yang dahulu selalu kalian dustakan.”
Firman Allah s.w.t.:
إِنَّ كِتَابَ الفُجَّارِ لَفِيْ سِجِّيْنٍ
“Sesungguhnya kitab orang yang durhaka tersimpan dalam Sijjīn.” (al-Muthaffifīn: 7).
Yaitu tempat kembali dan tempat mereka berpulang adalah ke Sijjīn. Lafaz Sijjīn memakai wazan fa‘īl berasal dari as-sijn yang artinya kesempitan, sebagaimana dikatakan fasīq, syarīb, khamīr, dan sakīr serta lafaz-lafaz lainnya yang se-wazan. Lalu digambarkan oleh Allah dengan gambaran yang menakutkan lagi mengerikan:
وَ مَا أَدْرَاكَ مَا سِجِّيْنٌ
“Tahukah kamu apakah Sijjīn itu?” (al-Muthaffifīn: 8).
Yaitu sesuatu yang sangat menakutkan, penjara yang abadi, dan adzab yang menyakitkan. Kemudian di antara ulama ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Sijjīn ini adalah tempat yang terletak di bawah perut bumi lapis yang ketujuh. Dalam penjelasan terdahulu telah disebutkan hadis al-Barrā’ ibnu ‘Āzib dalam hadis yang cukup panjang, bahwa Allah berfirman berkenan dengan roh orang kafir (kepada malaikat-malaikat pencatat amal perbuatan). “Simpanlah kitab catatan amal perbuatannya di dalam Sijjīn,” Sijjīn adalah sebuah tempat yang berada di bawah bumi lapis ketujuh. Menurut pendapat yang lain, Sijjīn adalah sebuah batu besar terletak di bumi lapis ketujuh berwarna hijau. Menurut pendapat yang lainnya adalah nama sebuah sumur di dalam neraka Jahannam.
Sehubungan dengan hal ini Ibnu Jarīr telah meriwayatkan sebuah hadis yang gharīb lagi munkar dan tidak shaḥīḥ predikatnya. Untuk itu ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Isḥāq ibnu Wahb al-Wāsithī, telah menceritakan kepada kami Mas‘ūd ibnu Mūsā ibnu Misykān al-Wāsithī, telah menceritakan kepada kami Nashr ibnu Khuzaimah al-Wāsithī, dari Syu‘aib ibnu Shafwān, dari Muḥammad ibnu Ka‘b al-Qurazhī, dari Abū Hurairah, dari Nabi s.a.w. yang telah bersabda:
الْفَلَقُ حُبٌّ فِيْ جَهَنَّمَ مُغَطًّى وَ أَمَّا سِجِّيْنُ فَمَفْتُوْحُ.
“Al-Falaq adalah sebuah sumur tertutup di dalam neraka Jahannam, sedangkan Sijjīn adalah sebuah sumur yang terbuka.”
Tetapi pendapat yang shaḥīḥ menyebutkan bahwa Sijjīn diambil dari kata as-sijn yang artinya sempit. Karena sesungguhnya semua makhluk itu manakala rendah, menyempit, dan manakala meinggi, bertambah luas. Dengan kata lain, setiap makhluk yang rendah, bentuknya sempit dan kecil; dan setiap makhluk yang tinggi, maka bentuknya meluas. Dan sesungguhnya ketujuh falak yang ada di atas masing-masing darinya lebih luas dan lebih tinggi daripada falak yang berada di bawahnya. Demikian pula bumi lapis tujuh, masing-masing lapis lebih luas daripada lapisan yang ada di bawahnya, hingga sampai pada lapis yang paling bawah yang makin menyempit hingga sampai pada pusat pertengahan bumi yang ada di lapis ketujuh. Mengingat tempat kembali orang-orang durhaka (kafir) adalah neraka Jahannam yang merupakan lapisan neraka yang paling besar, sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya:
ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِيْنَ، إِلَّا الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَ عَمِلُوا الصَّالِحَاتِ.
“Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh.” (at-Tīn: 5-6).
Maka disebutkan dalam surat ini oleh firman-Nya:
كَلَّا إِنَّ كِتَابَ الفُجَّارِ لَفِيْ سِجِّيْنٍ. وَ مَا أَدْرَاكَ مَا سِجِّيْنٌ
“Sekali-kali jangan curang, karena sesungguhnya kitab orang yang durhaka tersimpan dalam Sijjīn. Tahukah kamu apakah Sijjīn itu?” (al-Muthaffifīn: 7-8)
Yang menghimpunkan antara kesempitan dan kerendahan, seperti yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
وَ إِذَا أُلْقُوْا مِنْهَا مَكَانًا ضَيِّقًا مُقَرَّنِيْنَ دَعَوْا هُنَالِكَ ثُبُوْرًا
“Dan apabila mereka dilemparkan ke tempat yang sempit di neraka itu dengan dibelenggu, mereka di sana mengharapkan kebinasaan.” (al-Furqān: 13).
Adapun firman Allah s.w.t.:
كِتَابٌ مَّرْقُوْمٌ
“(Ialah) kitab yang bertulis.” (al-Muthaffifīn: 9).
Ayat ini bukanlah tafsir atau penjelasan dari firman-Nya:
وَ مَا أَدْرَاكَ مَا سِجِّيْنٌ
Tahukah kamu apakah Sijjīn itu?” (al-Muthaffifīn: 8)
Tetapi sesungguhnya ayat ini merupakan penjelasan bagi apa yang dicatatkan bagi mereka menyangkut tempat kembali mereka di Sijjīn. Yakni hal itu telah ditulis dan dicatat di dalam sebuah kitab yang telah rampung pencatatannya, tiada seorang pun yang ditambahkan di dalamnya dan tiada pula seorang pun yang dikurangi darinya. Demikianlah menurut pendapat Muḥammad ibnu Ka‘b al-Qurazhī.
Kemudian Allah s.w.t. berfirman:
وَيْلٌ يَوْمَئِذٍ لِّلْمُكَذِّبِيْنَ
“Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan,” (al-Muthaffifīn: 10).
Yakni apabila mereka di hari Kiamat telah berada di Sijjīn dan azab yang menghinakan seperti apa yang telah diancamkan oleh Allah s.w.t. terhadap mereka. Dalam pembahasan terdahulu telah disebutkan makna wail dengan keterangan yang tidak perlu diulangi lagi di sini, yang kesimpulannya menyatakan bahwa makna yang dimaksud adalah kebinasaan dan kehancuran, sebagaimana dikatakan: “Kecelakaan bagi si Fulan.” Dan sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab Musnad dan Sunan melalui riwayat Bahz ibnu Ḥakīm ibnu Mu‘āwiyyah ibnu Ḥaidah, dari ayahnya, dari kakeknya yang mengatakan bahwa Rasūlullāh s.a.w. pernah bersabda:
وَيْلٌ لِلَّذِيْ يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْحِكَ النَّاسُ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ.
“Kecelakaan besarlah bagi orang yang dusta dalam bicaranya untuk membuat orang lain tertawa, kecelakaan yang besarlah baginya, kecelakaan yang besarlah baginya.”
Kemudian Allah s.w.t. berfirman, menjelaskan siapa orang-orang yang berdusta, pendurhaka, lagi kafir itu:
الَّذِيْنَ يُكَذِّبُوْنَ بِيَوْمِ الدِّيْنِ
“(yaitu) orang-orang yang mendustakan hari pembalasan” (al-Muthaffifīn: 11)
Mereka tidak percaya akan kejadiannya, tidak meyakini keberadaannya, dan menganggap mustahil perkata itu terjadi. Kemudian dalam ayat berikutnya disebutkan:
وَ مَا يُكَذِّبُ بِهِ إِلَّا كُلُّ مُعْتَدٍ أَثِيْمٍ
“Dan tidak ada yang mendustakan hari pembalasan itu melainkan setiap orang yang melampaui batas lagi berdosa,” (al-Muthaffifīn: 12)
Yaitu melampaui batas dalam amal perbuatannya, misalnya gemar mengerjakan hal-hal yang diharamkan dan melampaui batas dalam menggunakan hal-hal yang diperbolehkan, lagi berdosa dalam semua ucapannya; jika berbicara, dusta; jika berjanji, menyalahinya; dan jika bertengkar, curang (melampaui batas).
Firman Allah s.w.t.:
إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِ آيَاتُنَا قَالَ أَسَاطِيْرُ الْأَوَّلِيْنَ
“yang apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, ia berkata: “Itu adalah dongengan orang-orang yang dahulu.”” (al-Muthaffifīn: 13).
Yakni apabila dia mendengar Kalāmullāh dari Rasul s.a.w., maka dia mendustakannya dan menuduhnya dengan prasangka yang buruk, maka dia meyakininya sebagai buat-buatan yang dihimpun dari kitab-kitab orang-orang yang terdahulu. Seperti yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
وَ إِذَا قِيْلَ لَهُمْ مَّاذَا أَنْزَلَ رَبُّكُمْ قَالُوْا أَسَاطِيْرُ الْأَوَّلِيْنَ
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Apakah yang telah diturunkan Tuhan kalian?” Mereka menjawab: “Dongengan-dongengan orang-orang dahulu.” (an-Nahl: 24).
Dan firman-Nya:
وَ قَالُوْا أَسَاطِيْرُ الْأَوَّلِيْنَ اكْتَتَبَهَا فَهِيَ تُمْلَى عَلَيْهِ بُكْرَةً وَ أَصِيْلًا
“Dan mereka berkata: “Dongengan-dongengan orang-orang dahulu, dimintanya supaya dituliskan, maka dibacakanlah dogengan itu kepadanya setiap pagi dan petang.” (al-Furqān: 5).
Maka disanggah oleh Allah s.w.t. melalui firman-Nya dalam surat ini:
كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوْبِهِمْ مَّا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ
“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” (al-Muthaffifīn: 14).
Yakni keadaannya tidaklah seperti apa yang mereka dugakan, dan tidak pula seperti apa yang dikatakan oleh mereka bahwa al-Qur’ān ini adalah dongengan orang-orang dahulu, bahkan al-Qur’ān itu adalah Kalāmullāh, dan wahyu-Nya yang diturunkan kepada Rasul-Nya. Dan sesungguhnya hati mereka terhalang dari beriman kepada al-Qur’ān, tiada lain karena hati mereka telah dipenuhi dan tertutup oleh noda-noda dosa yang banyak mereka kerjakan. Karena itulah maka disebutkan oleh firman-Nya:
كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوْبِهِمْ مَّا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ
“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” (al-Muthaffifīn: 14).
Ar-Rain menutupi hati orang-orang kafir, dan al-ghaim menyelimuti hati orang-orang yang berbakti, sedangkan al-ghain meliputi hati orang-orang yang terdekat (dengan Allah).
Ibnu Jarīr, Imām Tirmidzī, Imām Nasā’ī, dan Ibnu Mājah telah meriwayatkan melalui berbagai jalur dari Muḥammad ibnu ‘Ajlān, dari al-Qa‘qā‘ ibnu Ḥakīm, dari Abū Shāliḥ, dari Abū Hurairah, dari Nabi s.a.w. yang telah bersabda:
إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَذْنَبَ ذَنْبًا كَانَتْ نُكْتَةٌ سَوْدَاءً فِيْ قَلْبِهِ، فَإِنْ تَابَ مِنْهَا صُقِلَ قَلْبُهُ وَ إِنْ زَادَ زَادَتْ، فَذلِكَ قَوْلُ اللهِ تَعَالَى: كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوْبِهِمْ مَّا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ
“Sesungguhnya seorang hamba itu apabila melakukan suatu dosa, maka terjadilah noktah hitam di hatinya; dan apabila ia bertobat darinya, maka noktah itu lenyap dari hatinya dan menjadi cemerlang; dan apabila ia menambah dosanya lagi, maka bertambah pulalah noktahnya. Yang demikian itu disebutkan oleh firman-Nya: “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” (al-Muthaffifīn: 14).
Imām Tirmidzī mengatakan bahwa hadis ini kalau tidak ḥasan, shaḥīḥ. Menurut lafaz yang ada pada Imām Nasā’ī disebutkan seperti berikut:
إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيْئَةً نُكِّتَ فِيْ قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ، فَإِنْ هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ وَ تَابَ صُقِلَ قَلْبُهُ، فَإِنْ عَادَ زَيْدَ فِيْهَا حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ فَهُوَ الرَّانُ الَّذِيْ قَالَ اللهُ تَعَالَى: كَلاَّ بَلْ رَانَ عَلى قُلُوْبِهِمْ مَّا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ
“Sesungguhnya seorang hamba itu apabila berbuat suatu dosa, maka terjadilah suatu noktah hitam pada hatinya. Dan apabila dia menghentikan perbuatan dosanya, lalu memohon ampun kepada Allah dan bertobat, maka hatinya menjadi mengkilap lagi (bersih). Dan jika dia mengulangi perbuatan dosanya, noktah itu kembali lagi menutupi hatinya, hingga noktah itu menutupi seluruh hatinya (jika ia terus-menerus melakukannya). Itulah yang dimaksud dengan ar-rain yang terdapat di dalam firman-Nya: “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” (al-Muthaffifīn: 14).
Imām Aḥmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Shafwān ibnu ‘Īsā, telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Ajlān, dari al-Qa‘qā‘ ibnu Ḥakīm, dari Abū Shāliḥ, dari Abū Hurairah yang mengatakan bahwa Rasūlullāh s.a.w. pernah bersabda:
إِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا أَذْنَبَ كَانَتْ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ فِيْ قَلْبِهِ، فَإِنْ تَابَ وَ نَزَعَ وَ اسْتَغْفَرَ صُقِلَ قَلْبُهُ فَإِنْ زَادَ زَادَتْ حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبُهُ، وَ ذَاكَ الرَّانُ الَّذِيْ ذَكَرَ اللهُ فِي الْقُرْآنِ: كَلاَّ بَلْ رَانَ عَلى قُلُوْبِهِمْ مَّا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ
“Sesungguhnya seorang mukmin itu apabila melakukan perbuatan dosa, terjadilah noktah hitam pada hatinya; dan jika ia bertobat dan kapok serta memohon ampun kepada Allah, maka hatinya kembali bersih mengkilap. Dan apabila dia menambah dosanya, maka bertambah pula noktah hitam itu hingga menutupi seluruh hatinya. Itulah yang dimaksud dengan ar-rain (kotoran) yang disebutkan di dalam firman-Nya: “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” (al-Muthaffifīn: 14).
Al-Ḥasan al-Bashrī mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ar-rain ialah dosa di atas dosa sehingga membutakan hatinya dan hatinya mati. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujāhid, Ibnu Jubair, Qatādah, dan Ibnu Zaid serta lain-lainnya.
Firman Allah s.w.t.:
كَلاَّ إِنَّهُمْ عَنْ رَّبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَّمَحْجُوْبُوْنَ
“Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhan mereka.” (al-Muthaffifīn: 15).
Yakni bagi mereka kelak di hari Kiamat Sijjīn adalah tempat tinggal mereka, kemudian selain dari itu mereka terhalang dari melihat Tuhan Yang menciptakan mereka. Imām Abū ‘Abdillāh asy-Syāfi‘ī mengatakan sehubungan dengan hal ini, bahwa ayat ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa orang-orang mu’min dapat melihat Tuhannya di hari itu. Apa yang dikatakan oleh Imām Syāfi‘ī ini sangatlah baik dan merupakan penyimpulan dalil dari pemahaman yang terkandung dalam ayat, sebagaimana ditunjukkan pula oleh dalil yang tersurat melalui firman-Nya:
وُجُوْهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ، إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannya mereka melihat.” (al-Qiyāmah: 22-23).
Sebagaimana pula yang ditunjukkan oleh banyak hadis yang shaḥīḥ lagi mutawātir yang menyatakan bahwa orang-orang mu’min dapat melihat Tuhan mereka di negeri akhirat dengan penglihatan mata, yaitu di tempat pemberhentian hari Kiamat dan juga di dalam surga-surga yang mewah. Ibnu Jarīr mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mu‘ammar al-Muqrī, telah menceritakan kepada kami ‘Abd-ul-Wārits ibnu Sa‘īd, dari ‘Amr ibnu ‘Ubaid, dari al-Ḥasan sehubungan dengan makna firman-Nya:
كَلَّا إِنَّهُمْ عَنْ رَّبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَّمَحْجُوْبُوْنَ
“Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhan mereka.” (al-Muthaffifīn: 15).
Bahwa Allah menyingkapkan ḥijāb (tirai)-Nya, maka dapat melihatlah kepada-Nya semua orang, baik yang mu’min maupun yang kafir. Kemudian Allah menghijabi diri-Nya dari pandangan orang-orang kafir, dan orang-orang mu’min dapat melihat-Nya di setiap hari di waktu pagi dan petang. Atau dengan ungkapan yang semakna.
Firman Allah s.w.t.:
ثُمَّ إِنَّهُمْ لَصَالُوا الْجَحِيْمِ.
“Kemudian, sesungguhnya mereka benar-benar masuk neraka.” (al-Muthaffifīn: 16).
Kemudian mereka (orang-orang kafir itu) selain dihalangi dari melihat Tuhan mereka Yang Maha Pemurah, juga mereka dimasukkan ke dalam neraka dan menjadi penghuni tetapnya.
ثُمَّ يُقَالُ هذَا الَّذِيْ كُنْتُمْ بِهِ تُكَذِّبُوْنَ
“Kemudian, dikatakan (kepada mereka): “Inilah adzab yang dahulu selalu kalian dustakan.”” (al-Muthaffifīn: 17).
Dikatakan hal tersebut kepada mereka dengan nada mengecam, mencemoohkan, menghina dan merendahkan mereka.