Surah al-Muthaffifīn (Orang-Orang Yang Curang)
Surah ke-83. 36 ayat. Makkiyyah
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ.
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Ayat 1-6: Ancaman terhadap orang-orang yang curang dalam menakar dan menimbang.
وَيْلٌ لِّلْمُطَفِّفِيْنَ. الَّذِيْنَ إِذَا اكْتَالُوْا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُوْنَ. وَ إِذَا كَالُوْهُمْ أَوْ وَّزَنُوْهُمْ يُخْسِرُوْنَ. أَلَا يَظُنُّ أُولئِكَ أَنَّهُم مَّبْعُوْثُوْنَ. لِيَوْمٍ عَظِيْمٍ. يَوْمَ يَقُوْمُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
- (2954[efn_note]2954) Ibnu Mājah berkata: Telah menceritakan kepada kami ‘Abd-ur-Raḥmān bin Bisyr bin al-Ḥakam dan Muḥammad bin ‘Uqail bin Khuwailid, keduanya berkata: Telah menceritakan kepada kami ‘Alī bin al-Ḥusain bin Waqid, (ia berkata): telah menceritakan kepadaku bapakku Yazīd an-Naḥwī, bahwa ‘Ikrimah menceritakan kepadanya dari Ibnu ‘Abbās ia berkata: Ketika Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam tiba di Madīnah, mereka (penduduk Madīnah) adalah manusia yang paling buruk dalam menakar, maka Allah subḥānahu wa ta‘ālā menurunkan firman-Nya: “Celakalah bagi orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang).” Maka setelah itu, mereka memperbaiki takarannya. (Hadits ini diriwayatkan pula oleh Nasā’ī sebagaimana dikatakan al-Ḥāfizh Ibnu Katsīr juz 4 hal. 483 dari jalan Muḥammad bin ‘Uqail. Para perawinya adalah tsiqah kecuali ‘Alī bin al-Ḥusain bin Waqid, maka padanya terdapat pembicaraan. Ibnu Ḥibbān juga meriwayatkan di halaman 438 di Mawārid-uzh-Zham’ān, demikian pula Ibnu Jarīr di juz 29 hal. 91, di sana terdapat mutāba‘ah (penguat dari jalan yang sama) bagi ‘Alī bin al-Ḥusain bin Waqid, ia telah di- mutāba‘ah -kan oleh Yaḥyā bin Wadhīḥ, di mana ia adalah seorang ḥāfizh dan termasuk para perawi jamā‘ah, akan tetapi Syaikhnya Ibnu Jarīr yaitu Muḥammad bin Ḥumaid ar-Rāzī terdapat pembicaraan. Ḥākim di juz 2 hal. 23 juga meriwayatkan dan ia berkata: “Shaḥīḥ isnādnya.” Dan didiamkanoleh adz-Dzahabī. Dalam Mustadrak Ḥākim disebutkan mutāba‘ah ‘Alī bin al-Ḥusain bin Syaqīq yang termasuk perawi jamā‘ah sebagaimana dalam Tahdzīb-ut-Tahdzīb, akan tetapi pada jalan kepadanya terdapat Muḥammad bin Mūsā bin Ḥātim al-Qāsyānī, yang muridnya berkata: “Ia di sini adalah al-Qāsim bin al-Qāsim as-Sayyārī yang aku lepas tangan darinya.” Ibnu Abī Sa‘dān berkata: “Muḥammad bin ‘Alī al-Ḥāfizh berpandangan buruk terhadapnya.” Demikian yang disebutkan dalam Lisān-ul-Mīzān. Syaikh Muqbil berkata: “Tetapi keseluruhan mutabaah ini menunjukkan bahwa hadits tersebut tsābit (sah), wallāhu a‘lam.” (lihat ash-Shaḥīḥ-ul-Musnad hal. 266), Syaikh al-Albānī dalam Shaḥīḥ Ibnu Mājah (2223) meng-ḥasan-kan hadits tersebut.)[/efn_note]) Celakalah (2955[efn_note]2955). Kata “Wail” artinya ucapan ‘adzab dan ancaman atau sebuah lembah di neraka Jahannam, seperti yang diterangkan oleh penyusun tafsir al-Jalālain. Ada pula yang menafsirkan, bahwa kata “wail” artinya kebinasaan dan kehancuran.[/efn_note]) bagi orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang), (2956[efn_note]2956). Apabila ancaman keras ini ditujukan kepada orang-orang yang mengurangi harta orang lain dalam hal takaran dan timbangan, di mana di dalamnya terdapat pengambilan harta orang lain secara tersembunyi, maka orang yang mengambil harta orang lain secara terang-terangan atau secara paksa dan atau mencuri harta mereka, tentu lebih berhak mendapatkan ancaman yang keras ini.[/efn_note])
- (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, (2957[efn_note]2957). Tanpa dikurangi sedikit pun.[/efn_note])
- dan apabila mereka menakar atau menimbang (untuk orang lain), mereka mengurangi. (2958[efn_note]2958). Termasuk pula ke dalam hal ini orang-orang yang ingin dipenuhi hak mereka secara sempurna, tetapi mereka tidak mau memenuhi hak orang lain yang menjadi tanggung jawabnya (tidak seimbang antara hak dan kewajiban) atau selalu menuntut hak, namun kewajiban tidak dilakukan.[/efn_note])
- (2959[efn_note]2959). Selanjutnya Allah subḥānahu wa ta‘ālā mengancam kembali orang-orang yang berlaku curang itu, dan mengapa mereka masih saja melakukan kecurangan.[/efn_note]) Tidakkah orang-orang itu mengira, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan,
- pada suatu hari yang besar, (2960[efn_note]2960). Yaitu hari Kiamat. Dengan demikian, yang membuat mereka berani melakukan kecurangan tersebut adalah karena tidak beriman kepada hari Akhir. Kalau sekiranya mereka beriman kepada hari Akhir dan mengetahui bahwa mereka akan berdiri di hadapan Allah untuk dihisab-Nya ‘amal mereka besar atau kecil, tentu mereka tidak akan melakukannya dan akan bertobat darinya. Inilah di antara hikmah, mengapa Allah subḥānahu wa ta‘ālā sering menyebutkan hari Akhir dalam al-Qur’ān, yaitu karena beriman kepada hari akhir memiliki pengaruh yang kuat dalam memperbaiki keadaan seseorang sehingga ia akan mengisi hari-harinya dengan ‘amal shāliḥ, ia pun akan lebih semangat untuk mengerjakan ketaatan itu sambil berharap akan diberikan pahala di hari itu, demikian juga akan membuatnya semakin takut ketika mengisi hidupnya dengan kemaksiatan apalagi sampai merasa tenteram dengannya. Beriman kepada hari akhir juga membantu seseorang untuk tidak berlebihan terhadap dunia dan tidak menjadikannya sebagai tujuan hidupnya. Di antara hikmahnya juga adalah menghibur seorang mu’min yang kurang mendapatkan kesenangan dunia, karena di hadapannya ada kesenangan yang lebih baik dan lebih kekal.[/efn_note])
- (yaitu) pada hari (ketika) semua orang bangkit (2961[efn_note]2961). Dari kubur mereka.[/efn_note]) menghadap Tuhan seluruh alam. (2962[efn_note]2962). Untuk dihisab dan diberikan pembalasan.[/efn_note])
Ayat 7-17: Keadaan orang-orang yang celaka dan balasan untuk mereka pada hari Kiamat.
كَلَّا إِنَّ كِتَابَ الفُجَّارِ لَفِيْ سِجِّيْنٍ. وَ مَا أَدْرَاكَ مَا سِجِّيْنٌ. كِتَابٌ مَّرْقُوْمٌ. وَيْلٌ يَوْمَئِذٍ لِّلْمُكَذِّبِيْنَ. الَّذِيْنَ يُكَذِّبُوْنَ بِيَوْمِ الدِّيْنِ. وَ مَا يُكَذِّبُ بِهِ إِلَّا كُلُّ مُعْتَدٍ أَثِيْمٍ. إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِ آيَاتُنَا قَالَ أَسَاطِيْرُ الْأَوَّلِيْنَ. كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوْبِهِمْ مَّا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ. كَلَّا إِنَّهُمْ عَنْ رَّبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَّمَحْجُوْبُوْنَ. ثُمَّ إِنَّهُمْ لَصَالُوا الْجَحِيْمِ. ثُمَّ يُقَالُ هذَا الَّذِيْ كُنْتُمْ بِهِ تُكَذِّبُوْنَ.
- Sekali-kali jangan begitu! (2963[efn_note]2963). Kata “Kallā” di ayat ini bisa diartikan “Tentu atau pasti”.[/efn_note]) Sesungguhnya catatan orang yang durhaka (2964[efn_note]2964). Seperti orang-orang kafir, orang-orang munāfiq dan orang-orang fāsiq.[/efn_note]) benar-benar tersimpan dalam Sijjīn. (2965[efn_note]2965) Kitab yang mencatat perbuatan orang-orang yang durhaka seperti para syaithan, orang-orang kafir dan orang-orang munāfiq tersimpan di Sijjīn. Ada yang berpendapat, bahwa Sijjīn adalah sumur di neraka Jahannam, dan ada pula yang berpendapat bahwa Sijjīn adalah tempat paling bawah di bumi ketujuh yang merupakan tempat kembali orang-orang yang durhaka. Menurut Ibnu Katsīr, yang benar bahwa Sijjīn diambil dari kata sajn yang artinya sempit. Karena semua makhlūq setiap kali ke bawah, maka tempatnya semakin sempit, sedangkan jika semakin ke atas, maka (tempatnya) semakin luas, demikian juga karena tempat kembali orang-orang durhaka adalah ke neraka Jahannam yang tempatnya berada di paling bawah atau rendah. Ayat ini menunjukkan bahwa neraka berada di bawah, sedangkan surga berada di atas.[/efn_note])
- Dan tahukah engkau apakah Sijjīn itu?
- (Yaitu) kitab yang berisi catatan (‘amal). (2966[efn_note]2966). Ya‘ni kitab yang disebutkan di sana ‘amal mereka yang buruk.[/efn_note])
- Celakalah pada hari itu, bagi orang-orang yang mendustakan!
- (yaitu) orang-orang yang mendustakan hari pembalasan. (2967[efn_note]2967). Ya‘ni hari yang di sana Allah membalas ‘amal mereka.[/efn_note])
- Dan tidak ada yang mendustakannya (hari pembalasan) kecuali setiap orang yang melampaui batas (2968[efn_note]2968). Dari yang halal kepada yang haram.[/efn_note]) dan berdosa, (2969[efn_note]2969). Ya‘ni yang banyak berdosa. Inilah yang membuatnya mendustakan hari pembalasan.[/efn_note])
- yang apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami (2970[efn_note]2970). Yang menunjukkan kepada kebenaran dan menunjukkan benarnya apa yang dibawa para rasūl.[/efn_note]), dia berkata (2971[efn_note]2971). Dengan sombong sambil mendustakan dan menentangnya.[/efn_note]): “Itu adalah dongeng orang-orang dahulu. (2972[efn_note]2972). Ya‘ni cerita-cerita bohong orang-orang terdahulu. Berbeda dengan orang-orang yang adil dan sadar, yang maksudnya adalah mencari kebenaran, maka dia tidak akan mendustakan hari pembalasan, karena Allah subḥānahu wa ta‘ālā telah menegakkan dalil-dalilnya yang qath‘ī (pasti) dan bukti-buktinya yang menjadikan hal itu sebagai ḥaqq-ul-yaqīn (kebenaran yang pasti) yang saking jelasnya seperti matahari di siang hari. Adapun orang yang ditutup hatinya oleh keburukan dan kemaksiatan yang dilakukannya, maka ia terhalangi dari melihat yang ḥaqq (benar). Oleh karena itu, ia dibalas dengannya, yakni ditutupi dari melihat Allah sebagaimana hatinya dihalangi dari ayat-ayatNya di dunia.[/efn_note])”
- Sekali-kali tidak! (2973[efn_note]2973). Ibnu Katsīr berkata: “Yakni perkaranya tidaklah seperti yang mereka sangka, dan tidak seperti yang mereka katakan, yaitu bahwa al-Qur’ān adalah dongengan-dongengan orang-orang terdahulu, bahkan ia adalah firman Allah, wahyu-Nya, dan kitab yang diturunkan-Nya kepada Rasūl-Nya shallallāhu ‘alaihi wa sallam. Dan sesungguhnya yang menghalangi hati mereka dari beriman kepadanya adalah karena ar-Rān yang menutupi hati mereka karena banyaknya dosa dan kesalahan. Oleh karena itu, Allah berfirman: “apa yang mereka kerjakan.” Rain menimpa hati orang-orang kafir, ghaim menimpa hati orang-orang baik, sedangkan ghain menimpa hati orang-orang yang dekat (dengan Allah)”[/efn_note]) Bahkan apa yang mereka kerjakan (2974[efn_note]2974). Berupa kemaksiatan.[/efn_note]) itu telah menutupi hati mereka. (2975[efn_note]2975). Sehingga hati mereka seperti berkarat. Syaikh as-Sa‘dī berkata: “Dalam beberapa ayat ini terdapat peringatan terhadap dosa, karena ia akan menutupi hati sedikit demi sedikit sampai hilang cahayanya dan mati ketajaman pandangannya sehingga hakikat menjadi terbalik atasnya, ia akan melihat kebatilan sebagai kebenaran dan kebenaran sebagai kebatilan, dan ini di antara hukuman terhadap dosa.” Tirmidzī meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Abū Hurairah dari Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam, bahwa Beliau bersabda:
إِنَّ الْعبد إِذَا أَخطَأَ خطيئَةً نكتت في قَلْبِه نكْتة سوداءُ فَإِذَا هو نزع و استغفَر و تاب سقلَ قَلْبه و إِنْ عاد زِيد فيها حتى تعلو قَلْبه و هو الران الَّذي ذَكَر اللَّه (كَلَّا بلْ رانَ علَى قُلوبِهِم ما كَانوا يكْسِبونَ)
“Sesungguhnya seorang hamba apabila melakukan suatu kesalahan, maka akan digoreskan satu titik hitam di hatinya. Apabila dia berhenti, beristighfār dan bertobat, maka akan mengkilap lagi hatinya, dan jika ia mengulangi lagi, maka akan ditambah lagi (titik itu) sampai menutupi hatinya. Itulah ar-Rān yang disebutkan Allah (dalam al-Qur’ān),” yaitu firman-Nya: “Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.”
(Tirmidzī berkata: “Hadits ini ḥasan shaḥīḥ.” Syaikh al-Albānī meng-ḥasan-kan hadits ini dalam Shaḥīḥ at-Tirmidzī (3334). Hadits ini menurut penyusun Tuḥfat-ul-Aḥwadzī diriwayatkan pula oleh Aḥmad, Nasā’ī, Ibnu Mājah, Ibnu Ḥibbān dan Ḥākim, ia berkata: “Shaḥīḥ sesuai syarat Muslim.”)
Penyusun Tuḥfat-ul-Aḥwadzī berkata: “Asal kata “Rān” dan “Rain” adalah tutupan, ia seperti karat yang menimpa sesuatu yang mengkilap.” Ath-Thībī berkata: “Ar Rān dan ar-Rain adalah sama seperti kata ‘Āb dan ‘Aib. Ayat tersebut adalah berkenaan dengan orang-orang kafir, akan tetapi orang-orang mukmin
ketika melakukan dosa, maka seperti mereka dalam hal hitamnya hati dan bertambahnya hal itu dengan bertambahnya dosa.” Ibn-ul-Malak berkata: “Ayat ini disebutkan berkenaan dengan orang-orang kafir, akan tetapi Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam menyebutkannya untuk menakut-nakuti orang-orang mu’min agar mereka berhati-hati dari terjatuh ke dalam banyak dosa agar hati mereka tidak menghitam sebagaimana menghitamnya hati orang-orang kafir. Oleh karena itu, dikatakan bahwa kemaksiatan-kemaksiatan adalah pengantar kekafiran.”[/efn_note])
- Sekali-kali tidak! (2976[efn_note]2976). Kata “Kallā” di ayat ini bisa diartikan “Tentu atau pasti”.[/efn_note]) Sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhannya.
- Kemudian (2977[efn_note]2977). Di samping hukuman yang disebutkan sebelumnya (dihalangi dari melihat Allah).[/efn_note]), sesungguhnya mereka benar-benar masuk neraka.
- Kemudian, dikatakan (kepada mereka): “Inilah (‘adzab) yang dahulu kamu dustakan. (2978[efn_note]2978). Dengan demikian, mereka ditimpa tiga macam ‘adzab; ‘adzab neraka, ‘adzab celaan, dan ‘adzab dihalangi dari melihat Rabb-ul-‘ālamīn yang di dalamnya mengandung marah dan murka Allah kepada mereka, dan yang demikian lebih besar dari ‘adzab neraka. Kebalikan dari itu adalah, bahwa kaum mu’min dapat melihat Tuhan mereka pada hari Kiamat dan ketika mereka di surga, dan mereka juga merasa nikmat karena melihat kepada-Nya bahkan hal itu melebihi semua kenikmatan. Mereka juga merasa senang dengan pembicaraan Allah subḥānahu wa ta‘ālā dan merasa gembira dengan dekatnya mereka dengan-Nya.[/efn_note])”