“Tidak sekali-kali!” (pangkal ayat 14). Artinya tidaklah sekali-kali pendakwaan mereka bahwa Kebenaran yang dibawa oleh Rasul-rasul itu adalah dongeng belaka, bahwa itu timbul dari pengetahuan yang mengandung kebenaran: “Bahkan telah ditutup hati mereka oleh apa-apa yang telah mereka usahakan itu.” (ujung ayat 14).
Dalam ayat ini bertemu kalimat Raana! Yang kita beri arti penutup. Artinya ialah bahwa apabila seseorang berbuat suatu dosa, mulailah ada suatu bintil hitam mengenai hatinya, menurut Sabda daripada junjungan kita Rasulullah SAW:
“Dari Abu Hurairah r.a. berkata dia; berkata Rasulullah SAW: “Sesunggunya seseorang Mu’min bila berbuat dosa, terjadilah suatu titik hitam pada hatinya. Maka jika dia taubat, dan mencabut diri dari dosa itu dan segera memohon ampun kepada Allah, hapuslah titik hitam itu. Tetapi jika bertambah dosanya bertambah pulalah titik itu. Itulah dia Raana yang disebutkan Allah di dalam Al-Qur’an itu.”
Berkata pula Al-Hasan Al-Bishri: “Ar-Raana itu ialah dosa bertimpa dosa, hingga hati menjadi buta tidak menampak kebenaran lagi, karena telah ditutup oleh noktah-noktah hitam itu, sampai hati itu jadi mati.”
Oleh karena yang demikian dianjurkanlah kita selalu membersihkan hati kita, jangan sampai ditumbuh noktah hitam atau noktah raana. Baru akan tumbuh noktah itu satu, segera kita bersihkan dengan sembahyang, dengan taubat dan amal-amal kebaikan yang lain. Kalau tidak maka dosa yang telah bertumpuk-tumpuk, bertimpa-timpa niscaya akan membuat hati kita jadi kelam, tidak lulus lagi cahaya buat masuk ke dalamnya. Na’udzu billahi min dzalika.
“Tidak sekali-kali!” (pangkal ayat 15). Artinya sudah payahlah buat memasukkan kebenaran ke dalam hati orang yang demikian; sebabnya ialah: “Sesungguhnya mereka, dari Tuhan mereka, di hari itu telah tertutup.” (ujung ayat 15).
Tertutupnya pintu hati akan dimasuki kebenaran karena diseliputi oleh kumpulan bintik-bintik hitam yang telah memenuhi permukaan hati itu, menyebabkan selanjutnya tertutup pula wajah buat berhadapan dengan Allah. Laksana hidup di dunia jua, orang-orang yang telah bercacat karena suatu dosa tidaklah diberi izin menghadap Raja.
“Kemudian itu.” (pangkal ayat 16). Yaitu setelah jelas bahwa usaha-usaha kepada jalan yang melanggar batas-batas yang ditentukan Allah menyebabkan hati tertutup dan selanjutnya tertutup pula buat dapat wajah menghadap Allah, ditentukanlah tempat mereka berakhir: “Sesungguhnya mereka akan bergelimang di neraka.” (ujung ayat 16).
Dan neraka adalah ujung atau akibat saja daripada jalan yang telah mereka gariskan sendiri, laksana garis-garis perhitungan ilmu ukur jua adanya. Bahwa tidak mungkin dua garis paralel bertemu ujungnya, dan penyimpangan garis di permulaan titik, meskipun di pangkalnya dekat, namun sampai di ujung pastilah berjarak sangat jauh.
“Kemudian itu akan dikatakan: “Inilah tempat yang telah kamu dustakan itu.” (ayat 17).
Di kala hidup di dunia kamu menyatakan tidak percaya akan adanya syurga dan neraka. Sebab itu kamu berbuat sekehendak hati, sehingga hati jadi tertutup. Sekarang kesudahan dari akhir langkahmu sendiri. Yang kamu telah pilih sejak semula.
“Kalla!” (pangkal ayat 18). Yang di tempat lain dapat diartikan sebagai suatu pengingkaran: “Tidak begitu, bukan begitu, jangan sekali-kali, atau sekali-kali tidak.” Tetapi pada ayat ini dia dapat kita artikan: “Ingatlah!” Atau arahkanlah perhatian pada hal ini. “Sesungguhnya tulisan orang-orang yang baik-baik itu adalah di ‘illiyyin.” (ujung ayat 18). Kalimat ‘illiyyin artinya ialah yang amat tinggi dan mulia. “Sudahkah engkau tahu, apakah ‘Illiyin itu?” (ayat 19). “(Yaitu) kitab yang tertulis.” (ayat 20). “Yang disaksikan oleh mereka-mereka yang sangat dekat.” (ayat 21).
Di dalam empat ayat ini dijelaskanlah bahwasanya catatan amal dan usaha dari orang-orang yang berbuat baik pada masa hidupnya di dunia ini, dicatat pula amalannya, dipelihara baik-baik, diletakkan di tempat yang tertinggi dan termulia, dan yang menyaksikannya dan memperhatikannya dan menjaganya ialah mereka yang muqarrabun; yang sangat dekat kepada Allah; yaitu malaikat. Dan boleh juga dikatakan bahwasanya yang menyaksikan akan kebajikan amalan orang yang berbuat baik itu hanyalah orang-orang yang dekat kepada Allah jua. Dan yang dekat kepada Allah itu bukan saja malaikat-malaikat yang di langit, bahkan sesama manusia pun ada yang dipandang terdekat kepada Allah. Sebagaimana tersebut di dalam ayat 10 dan 11 dari Surat 56, Al-Waqi’ah bahwa orang-orang yang terdahulu, berlomba dahulu mendahului di dalam berbuat amal yang baik, orang-orang itulah yang akan dimasukkan Allah dalam golongan orang muqarrabun. Demikian juga di Surat 2, Al-Baqarah ayat 186 Allah menunjukkan jalan, bahwasanya orang-orang yang selalu menyediakan diri menyambut seruan Allah, maka dekatlah Allah dari dia.
Ayat ini memberi obat penawar bagi hati orang baik-baik, orang-orang jujur bahwa meskipun manusia kebanyakan tidak menghargai jasanya yang baik, namun malaikat dan manusia-manusia yang dekat kepada Tuhan teruslah menjunjung tinggi dan menghargai jasa-jasa itu.
“Sesungguhnya orang yang baik-baik itu adalah di dalam kenikmatan.” (ayat 22). “Dari atas pelaminan-pelaminan mereka memandang.” (ayat 23).
Araaik kita artikan dengan pelaminan-pelaminan, yaitu tempat duduk tertinggi yang diduduki oleh orang-orang yang amat dimuliakan, sebagaimana yang kita sediakan buat duduk bersanding di antara dua orang pengantin, atau sebagai mahligai, singgasana atau tahta tempat raja bersemayam. Dihiasi tempat duduk itu dengan berbagai ragam hiasan. Maka duduklah orang-orang yang telah beramal baik di kala hidupnya itu pada pelaminan-pelaminan atau mahligai, atau singgasana yang mulia itu, memandang alam dalam syurga yang ada di kelilingnya; “Engkau dapat mengenal wajah-wajah mereka itu sinar dari nikmat.” (ayat 24). Maka membayanglah kepada wajah mereka kebahagiaan dan kegembiraan yang mereka rasakan, tersebab bekas dan usaha mereka sendiri di kala hidup. Sedangkan dalam dunia ini saja pun dapat kita melihat wajah orang yang berseri-seri karena kegembiraan jiwa, karena tidak pernah merasa berbuat jahat kepada sesama manusia, apatah lagi di akhirat kelak.
“Mereka diberi minum dengan minuman terpilih, lagi termaterai.” (ayat 25). Minuman pilihan yang sumbat botolnya telah dimaterai lebih dahulu, sebagai alamat bahwa dia belum pernah disentuh oleh tangan yang lain sebelumnya. Materai ialah cap atau stempel. Dia adalah sebagai alamat daripada barang yang terjaga mutunya. Itulah minuman yang disediakan Tuhan buat mereka.
“Materainya itu ialah kasturi.” (pangkal ayat 26). Kasturi adalah lambang keharuman. Kasturi tergantung pada pinggang kijang atau rusa di hutan. Pada musang terdapat juga jebat yang baunya pun harum. Jebat dan kasturi dikenal harumnya dan sukar mendapatnya; inilah yang dilambangkan atas keharuman dan kewangian minuman syurga. Sedang sumbat dan materai penyumbat botolnya lagi harum terdiri dari kasturi, betapa lagi isinya; “Dan pada hal yang demikian itu biarlah berlomba orang-orang yang hendak berlomba.” (ujung ayat 26).
Artinya, bahwasanya Allah menganjurkan berlombalah mengejar kedudukan yang muliat tiada taranya ini di akhirat; mahligai yang tinggi, minuman tersendiri dengan materai kasturi, dan di hadapan mata terbentanglah alam Syurga yang penuh nikmat yang tiadakan putus. Janganlah berlomba berebut pangkat dengan tindak-menindak, tanduk-menanduk, tindih-menindih di dunia ini sehingga kadang-kadang untuk mencapai satu martabat, orang tidak keberatan mengurbankan saudaranya yang lain.
“Dan campurannya ialah air yang menurun.” (ayat 27). Disebut tasnim, yaitu air yang menurun dari tebing yang tinggi, laksana serasah atau air mancur yang amat indah, terjun ke bumi, dingin dan sejuk; “(Yaitu) mata-air yang minum daripadanya mereka yang dihampirkan.” (ayat 28).
Sebagai disebut pada ayat 21 tadi, orang yang dihampirkan di sini bukan saja lagi malaikat, melainkan makhluk-makhluk Allah yang memang sengaja sejak semula telah menghampirkan diri kepada Tuhan. Dan kedatangannya menghampirkan diri itu disambut oleh Tuhan; “Marilah ke mari! Inilah tempatmu, didekat-Ku.”
“Sesungguhnya orang-orang yang durhaka itu, adalah mereka menertawakan orang-orang yang beriman.” (ayat 29). Orang yang durhaka itu menertawakan orang-orang yang beriman, sebab si durhaka melihat orang yang beriman itu tidak lepas seleranya, terkungkung nafsunya, tidak mau berbuat sekehendak hati dalam hidupnya, terlalu banyak yang terlarang. “Dan apabila mereka lalu-lintas di hadapan mereka itu, mereka pun berkedip-kedipan mata.” (ayat 30). Artinya mencemuh dan memandang hina dan rendah, lalu diisyaratkannya kepada temannya, baik dengan kedipan mata atau dengan cibiran bibir, atau dengan cubit-cubitan tangan, yang maksudnya tidak lain daripada menghina.
“Dan apabila mereka kembali kepada ahli mereka.” (pangkal ayat 31). Yaitu apabila orang-orang yang durhaka itu kembali kepada ahli mereka, orang-orang yang sefaham dengan mereka atau keluarga-keluarga mereka sendiri yang telah terbiasa memandang rendah orang lain dan jauh dari agama: “Mereka pun kembali dalam keadaan berolok-olok.” (ujung ayat 31).
Dengan ketiga ayat ini jelas diterangkan bagaimana sikap orang-orang yang durhaka itu terhadap orang-orang yang beriman; sedang berhadapan muka, mereka tertawakan! Sebab mereka merasa bahwa diri mereka lebih kuat! Dan kalau berkumpul dengan sesama mereka, yang jadi buah cemuh ialah orang yang beriman jua. Dan kalau orang-orang yang durhaka itu telah berkumpul dengan ahlinya, atau kawan-kawan sefaham, isi pembicaraan tidak lain daripada olok-olok, menghina dan merendahkan orang-orang yang beriman.
“Dan apabila mereka lihat mereka itu, mereka berkata: “Sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang sesat.” (ayat 32).
Maka kalau kelihatan orang yang beriman, yang telah meleburkan diri ke dalam cita-cita yang besar, menegakkan “Sabilillah”, jalan Tuhan yang lurus, sehingga Mu’min itu mau mengurbankan segala-galanya untuk cita-cita yang mulia itu, mereka yang durhaka itu menuduh bahwa orang Mu’min itu telah memilih jalan yang sesat, membawa diri kepada kebinasaan. “Padahal tidaklah mereka itu diutus kepada mereka untuk menjadi pemelihara.” (ayat 33). Artinya, meskipun orang-orang yang durhaka itu menuduh bahwa kaum yang beriman telah tersesat jalannya karena tidak lagi mengikuti haluan menyembah berhala atau corak kehidupan lain yang tidak sesuai dengan hidup Mu’min, tidaklah mereka yang kafir itu diutus Tuhan buat menjaga hidup orang Mu’min atau memeliharanya. Baik orang Mu’min itu akan binasa, atau lumat karena didorong oleh keyakinan hidup, tidaklah ada sangkut-pautnya dengan orang-orang yang kafir durhaka itu; apa perduli mereka!
“Maka pada hari ini.” (pangkal ayat 34). Yaitu hari pembalasan di akhirat atau hari kemenangan cita-cita Muslim di dunia ini, terbaliklah di hari ini keadaan: “Mereka yang beriman itu pulalah yang menertawakan.” (ujung ayat 34).
Genaplah sebagai pepatah, bahwa orang yang durhaka itu tertawa lebih dahulu, menangis kemudian. Sedang orang yang beriman bersakit-sakit dahulu tertawa kemudian. Mereka pulalah di waktu itu yang akan mentertawakan orang yang kafir itu, atau tertawa gembira menerima nikmat yang telah dijanjikan Tuhan. Dan “Dari mahligai mereka memandang.” (ayat 35). Duduklah orang-orang yang beriman itu di atas mahligai ketinggian memandang nikmat sekeliling dan memandang pula akibat buruk untuk orang yang durhaka tadi: “Bukankah tidak dibalasi orang-orang yang kafir itu, kecuali menurut apa yang telah mereka kerjakan?” (ayat 36). Bukankah itu sudah adil? Bukankah akibat dari permulaan langkah yang buruk, tidak lain ialah buruk pula?
Dan itu adalah wajar.