Surah al-Mursalat 77 ~ Tafsir al-Azhar (7/9)

Dari Buku:
Tafsir al-Azhar
Oleh: Prof. Dr. HAMKA

Penerbit: PT. Pustaka Islam Surabaya

Rangkaian Pos: Surah al-Mursalat 77 ~ Tafsir al-Azhar

VII

هذَا يَوْمُ لَا يَنْطِقُوْنَ. وَ لَا يُؤْذَنُ لَهُمْ فَيَعْتَذِرُوْنَ. وَيْلٌ يَوْمَئِذٍ لِّلْمُكَذِّبِيْنَ. هذَا يَوْمُ الْفَصْلِ جَمَعْنَاكُمْ وَ الْأَوَّلِيْنَ. فَإِنْ كَانَ لَكُمْ كَيْدٌ فَكِيْدُوْنِ. وَيْلٌ يَوْمَئِذٍ لِّلْمُكَذِّبِيْنَ.

77:35. Ini adalah hari, yang mereka tidak bercakap.
77:36. Dan tidak pula mereka diberi idzin untuk minta ‘udzur.
77:37. Celaka besarlah pada hari itu, bagi orang-orang yang mendustakan.
77:38. Ini adalah hari keputusan; Kami kumpulkan kamu dan orang yang dulu-dulu.
77:39. Maka jika ada pada kamu tipu-daya, maka cobalah tipu-daya akan Daku.
77:40. Celaka besarlah pada hari itu, bagi orang-orang yang mendustakan.

 

Ini adalah hari, yang mereka tidak bercakap” (Ayat: 35). Karena lidah sudah kelu, mulut sudah terkunci, sehingga tidak ada lagi ucapan atau percakapan yang akan dikeluarkan. Bagaimana akan bercakap lagi untuk membela diri, padahal segala kesalahan sudah terang dan nyata. Ke mana lagi akan bersembunyi, padahal keadaan yang ada berkeliling telah bercakap dengan sendirinya seakan-akan menunjuk menyatakan awak (diri kita sendiri) bersalah.

Di dalam Surat ke-36, Yāsīn ayat 65 tersebut firman Tuhan:

الْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلَى أَفْوَاهِهِمْ وَ تُكَلِّمُنَا أَيْدِيْهِمْ وَ تَشْهَدُ أَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ

Pada hari ini Kami tutup atas mulut-mulut mereka; dan bercakap terhadap Kami tangan-tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki-kaki mereka tentang apa yang mereka usahakan.

Ayat ini tidaklah berlawan dengan ayat yang sedang kita tafsirkan. Mulut sudah terkunci tidak dapat bercakap lagi. Apatah lagi tangan telah bercakap memberikan keterangan yang mulut tidak dapat lagi membantahnya. Misalnya seorang yang tangannya berlumur tinta, meskipun mulutnya tidak memberikan keterangan, namun tinta yang melumuri tangan itu telah memberi keterangan bahwa tadinya dia bermain tinta. Seorang yang tidak perlu memberi keterangan dengan mulut bahwa tadinya dia berjalan di atas lecah dan lumpur, karena kakinya telah memberikan kesaksian dengan lecah dan lumpur yang melumuri kaki itu. Demikian pula misalnya seseorang yang matanya liar jika melihat kalung emas yang melingkari leher seorang perempuan di stasiun kereta api. Meskipun mulutnya jika ditanyai tidak akan mengaku bahwa dia seorang pencuri, namun matanya telah “mengatakan” perangainya itu lebih dahulu.

Demikian perumpamaan bahwa orang yang bersalah tidaklah akan bercakap sepatah juapun lagi di hadapan Mahkamah Tuhan di akhirat esok. “Dan tidak pula mereka diberi idzin untuk minta ‘udzur” (Ayat 36).

Mengapa tidak diberi idzin lagi mereka memohon membela diri? Kalau mempunyai alasan yang kuat, lalu tidak diberi idzin, tidaklah layak bagi Tuhan Yang Maha Bijaksana dan Maha ‘Adil. Mereka tidak diberi idzin mengemukakan alasan atau membela diri ialah jika alasan yang dikemukakan itu tidak sesuai dengan Kebenaran. Misalnya kalau si berdosa mengemukakan alasan bahwa dia berbuat kesalahan itu tidak lain ialah karena menjalani taqdir Allah berlaka. Saya terlanjur berbuat ini adalah di bawah naungan Engkau jua, dalam lingkungan Pengetahuan Engkau juga. Saya tidak akan dapat berbuat apa yang tidak Engkau tentukan dalam qadar-Mu. Sebab itu tidaklah selayaknya aku disiksa atau dimasukkan ke dalam neraka! Mengemukakan alasan demikian adalah alasan yang timbul dari fikiran yang kacau-balau! Kalau memang demikian halnya tidaklah perlu Tuhan mengirimkan rasūl-rasūl, menurunkan wahyu dan memberikan petunjuk kepada manusia agar menempuh jalan yang ditunjukkan oleh Tuhan. Apalah gunanya ada suruhan dan larangan, ada ancaman akan siksaan dan bujukan akan diberi kurnia di akhirat, kalau Tuhan sendiri telah menentukan si anu sudah ditaqdīrkan buat jahat selama-lamanya, di luar kemampuan orang itu sendiri?

Celaka besarlah pada hari itu, bagi orang-orang yang mendustakan” (Ayat: 37).

Pada pangkal surat, (ayat 5 dan 6) telah dinyatakan bahwa malaikat atau wahyu atau rasūl-rasūl telah datang membawa peringatan penuh berisi ampunan atau peringatan, sedang peringatan itu tidak diperlukan, ayat-ayat Allah tidak diterima baik, bahkan didustakan, maka apa lagi yang harus menimpa diri orang yang semacam itu, kalau bukan kecelakaan besar? Bertambah besarlah kecelakaan itu kalau mereka berani pula mengemukakan ‘udzur bahwa nasib yang menimpa dirinya itu adalah karena taqdīr semata-mata dari Allah. Dia yang menimpa dirinya itu adalah karena taqdīr semata-mata dari Allah. Dia yang berbuat salah, lalu dia mengelakkan tanggungjawab, bahkan ditimpakan tanggungjawab kepada Tuhan yang sepatutnya disembahnya, bukan disesalinya.

Ini adalah hari keputusan” (Pangkal ayat 38). Hari Keputusan datang sesudah hari-hari perhitungan (yaum-ul-ḥisāb), dan sesudah hari perhitungan itu datanglah hari pertimbangan. Ya‘ni bahwa Tuhan akan menimbang dengan seadil-adilnya. Pada Hari Pertimbangan itu akan ditimbang ‘amal usaha seseorang; Kalau berat kebajikannya, mendapatlah dia hidup akhirat yang berbahagia dalam surga yang luasnya seluas langit dan bumi. Tetapi kalau timbangan itu ringan saja, tak ada kebajikan yang akan dihitung, bahkan yang buruklah yang banyak, maka pastilah Keputusan Tuhan Yang Maha ‘Adil akan keluar memberikan anugerah kepada yang baik dan memberikan ‘adzab siksaan kepada yang jahat.

Ada orang yang mencoba-coba ingin menimbulkan keraguan orang beragama, mengungkit-ungkit soal keadilan Tuhan. Dia berkata, mengapa orang yang durhaka itu musti dihukum, padahal mustinya Tuhan kita bersifat Raḥmān dan Raḥīm? Mereka timbulkan pertanyaan demikian, lalu mereka lupakan memandang dan segi yang lain. Yaitu apa lagi artinya keadilan Tuhan itu kalau orang yang berbuat jahat dikasihani juga, disamakan saja dengan orang yang berbuat baik? Apakah lagi penghargaan peri kemanusiaan kepada kebajikan, budi luhur, kesopanan tinggi, kasih-sayang sesama manusia, kalau kiranya orang yang bersalah disamakan kedudukannya dengan mereka? Apakah lagi yang mendorong manusia berlomba berbuat kebajikan kalau sekiranya orang jahatpun akan mendapat sebagaimana yang mereka dapat?

Ketika Raja Faishal Saudi Arabi mati dibunuh oleh Amir Faishal kemenakannya sendiri yang jiwanya telah diracun oleh peradaban Barat Modern, beberapa waktu demikian Hakim Pengadilan Syara‘ Kerajaan Saudi Arabia menjatuhkan hukuman kepada si pembunuh itu, yaitu hukuman mati. Surat-surat khabar dunia menyiarkan berita tentang bagaimana si pembunuh menjalani hukumannya. Dia hanya mengenakan gamis putih, tangannya diikatkan ke belakang. Dia dibawa ke satu tanah lapang di muka orang ramai. Di sana dia disuruh menekur, lalu disinggung pinggangnya dengan ujung pedang sehingga dia tergelinjang dan diangkatnya kepalanya. Di waktu dia mengangkat kepala itulah algojo menyembut lehernya dengan pedang dengan cepat sekali, sehingga di saat itu juga kepala bercerai dengan badan dan terlompat ke muka.

Lalu berkirim suratlah kepada pengarang tafsir ini seorang pemuda di Jakarta, bertanya, apakah hukuman seperti itu tidak kejam? Karena fikiran pemuda ini telah dikacaukan oleh ajaran yang bukan dari inti sari Islām, dia tidak bertanya: “Apakah hukuman itu adil?”. Apakah maunya supaya pemuda itu dimaafkan saja, sebab awak kasihan memikirkan kepala bercerai badan.

Kita kembali kepada ayat tadi; Ini adalah Hari Keputusan; “Kami kumpulkan kamu dan orang yang dulu-dulu” (Ujung ayat 38). Artinya bahwasanya Mahkamah Allah itu, Maḥkamah Qādhī (Hakim) Rabbun (Tuhan) Jalīl (Yang Maha Mulia) itu adalah Mahkamah Besar yang di sana berlaku keadilan Tuhan. Tidak ada orang yang dihukum padahal mereka tidak hadir. Sejak dari manusia pertama mula menerima syarī‘at, atau sejak mula manusia insaf menilai buruk dan baik, menurut faham kaum Mu‘tazilah, hadir belaka dalam Hari Keputusan itu. Supaya sama-sama merasakan dan menyaksikan Ke‘adilan Ilahi.

Maka jika ada pada kamu tipu-daya” (Pangkal ayat 39). Inilah satu tantangan dari Tuhan sendiri; Adalah di antara kamu, hai manusia, yang di masa hidup di dunia ini merasa dirinya cukup pintar, cukup cerdik, mempunyai politik, taktik dan teknik, kecerdikan dan tipu daya hendak berpolitik dengan Tuhan? “maka cobalah tipu-daya akan Daku” (Ujung ayat 39). Kalau kamu merasa pintar cobakanlah kepintaranmu itu kepada-Ku, kata Tuhan! Sehingga mana kepandaian kamu itu? Adakah kecerdikan kamu akan melebihi kecerdikan Tuhan? Tipu-dayamu dapat mengalahkan tipu-daya Tuhan? Adakah padamu kepandaian yang dapat melepaskan diri dari cengkeraman siksaan Tuhan, sebagaimana larinya seorang penjahat dari dalam penjara seketika sapir penjaga penjara itu terlengah atau tertidur?

Susunan ayat ini adalah ancaman keras kepada orang-orang yang mencoba hendak menunjukkan kepintaran melepaskan diri dari lingkungan kehendak Ilahi, padahal kesudahannya dia tidak juga dapat melewati lingkaran “Sunnatullāh” yang telah ditentukan Tuhan. Sebab itu sekali lagi diingatkan Tuhan: “Celaka besarlah pada hari itu, bagi orang-orang yang mendustakan” (Ayat: 40).

Ujung kata yang ditutup dengan ancaman celaka besar bagi orang-orang yang mendustakan ini adalah tepat sebagai ancaman kepada orang yang mencoba hendak mencobakan cerdik buruknya dengan Allah.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *