Surah al-Mursalat 77 ~ Tafsir al-Azhar (5/9)

Dari Buku:
Tafsir al-Azhar
Oleh: Prof. Dr. HAMKA

Penerbit: PT. Pustaka Islam Surabaya

Rangkaian Pos: Surah al-Mursalat 77 ~ Tafsir al-Azhar

V

أَلَمْ نَجْعَلِ الْأَرْضَ كِفَاتًا. أَحْيَاءً وَ أَمْوَاتًا. وَ جَعَلْنَا فِيْهَا رَوَاسِيَ شَامِخَاتٍ وَ أَسْقَيْنَاكُمْ مَّاءً فُرَاتًا. وَيْلٌ يوْمَئِذٍ لِّلْمُكَذِّبِيْنَ.

77:25. Bukankah Kami jadikan bumi sebagai penampung?
77:26. Orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati?
77:27. Dan Kami jadikan padanya pasak-pasak yang tinggi-tinggi, dan Kami beri minum kamu dengan air tawar?
77:28. Celaka besarlah pada hari itu, bagi orang-orang yang mendustakan.

 

Bukankah Kami jadikan bumi sebagai penampung?” (Ayat: 25).

Kalimat kifāta = (كِفَاتًا), kita artikan penampung. Terjemahan al-Qur’ān dari Departemen Agama memberi arti kifāta ialah tempat berkumpul. Tafsīr al-Qur’ān dari al-Ustadz H.Zainuddin Hamidi dan Fakhruddin Hs. memberi arti berkumpul juga. Tuan A.Hassan Bangil dengan Tafsīr al-Furqān memberinya arti pengandung.

Al-Qurthubī dalam tafsirnya memberi arti dhammatun = (ضَمَّةٌ), yang artinya dekat dengan pengertian A. Hassan Bandung, yaitu bahwa bumi adalah sebagai pengandung sekalian hidup dan sekalian yang mati dalam pertunya!

Al-Qurthubī pun menyalinkan tafsiran dari Abū ‘Ubaid. Menurut beliau ini arti kifāta ialah au‘iyatun = (أَوْعِيَةٌ), yang berarti wadah, atau tempat menyimpan, dan juga tempat mengandung, ataupun tempat menampung.

Asy-Sya‘bī pada suatu hari berjalan di jalan raya. Bertemu orang mengantar jenazah ke kubur. Setelah beliau sampai ke perkebunan, beliau berkata: “Ini adalah untuk menyimpan orang yang telah mati”. Setelah beliau menunjuk kepada rumah-rumah yang ada tidak berapa jauh dari kuburan itu, lalu beliau berkata pula: “Yang ini adalah tempat menyimpan orang yang hidup.”

Berdasar kepada itu maka penulis tafsir ini mencari arti yang lebih dekat pula dari kifāta, yaitu penampung. Bahwa muka bumi ini adalah tempat menampung; “Orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati” (Ayat: 26). Yaitu bahwa sejak nenek-moyang manusia yang pertama turun ke muka bumi ini, jadilah bumi tempat penampungan manusia, baik yang masih hidup ataupun yang sudah mati. Segala perlengkapan hidup manusia di muka bumi tersedia di dalam bumi sendiri. Manusia tidak akan mendatangkan keperluan hidupnya dari dunia lain atau bumi yang lain atau bintang yang lain. Segala keperluannya buat hidup tersedia di sini. Pada Surat ke-2, al-Baqarah ayat 29 dijelaskan:

هُوَ الَّذِيْ خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيْعًا.

Dialah yang Menciptakan untuk kami apa yang ada di muka bumi ini semuanya.”

Malahan pada Surat ke-67, al-Mulk ayat 15, surat yang pertama dari Juzu’ ke-29 ini dijelaskan bahwa muka bumi ini dimudahkan untuk manusia, lalu disuruhkan manusia menginjak pundak bumi itu, berjalan kemana-mana dan memakan rezeki yang tersedia untuknya. Banyak lagi ayat-ayat yang lain yang menunjukkan bahwa muka bumi adalah sebagai penampungan bagi manusia di kala hidupnya. Segala alat untuk mendirikan rumah tempat manusia berdiam, semuanya diambilkan dari bumi. Sejak dari besi-besi dan logamnya, sampai kepada batu dan batanya, semen dan pakunya, kayu dan kayan (berbagai macam kayu)nya. Tidak ada satu alat perkakaspun yang didatangkan dari luar bumi untuk menampung hidup manusia di muka bumi ini. Setelah itu manusiapun mati; sekali lagi bumi menampung manusia buat berkubur ke dalam bumi. Asal dari tanah pulang kembali ke dalam tanah. Walaupun orang mati hangus terbakar, namun abunya balik ke tanah jua.

Dan Kami jadikan padanya pasak-pasak yang tinggi-tinggi” (Pangkal ayat 27). Yang dimaksud dengan pasak-pasak yang tinggi-tinggi itu ialah gunung-gunung. Adalah satu hikmat tertinggi dari Allah membuat gunung-gunung jadi pasak pengokoh di muka bumi ini sehingga manusia dan segala yang bernyawa sanggup hidup di muka bumi, karena semua dilindungi oleh bukit-bukit dan gunung-gunung. Dapatlah dikira-kirakan bahwa manusia tidak akan sanggup hidup di muka bumi kalau kiranya bumi tidak mempunyai gunung-gunung yang tinggi menjulang langit itu. Sebab dengan adanya gunung-gunung pantulan angin tidak keras lagi. Ingat sajalah jika kita berlayar di lautan Samudera Luas! Betapa besar alun dan gelombang, sehingga alun itu kadang-kadang lebih besar dari kapal yang besar dan angin berembus dengan kerasnya. Ingatlah apa yang dinamai “pelabuhan ‘alam” sebagai pelabuhan Teluk Bayur di Padang atau Bitung di Manado. Oleh karena sebuah Teluk tertonjol ke dalam, maka simenanjung menjorok ke tengah dan menghambat ombak, sehingga laut di teluk itu tidak berombak. Di sana kapal dapat berlabuh dengan tenangnya. Sebab simenanjung itu menghambat angin dan menghalangi ombak.

Dan lagi, puncak gunung yang jadi pasak itu dapat pula menghambat awan yang tengah berarak agar berkumpul membentuk mega, yang kian lama kian tebal mengandung hujan. Akhirnya jatuhlah hujan dan mengalirkan hujan itu ke bawah. Air yang mengalir itu ditahan oleh kayu-kayuan yang lebat di hutan, lalu dia mencari jalan yang layak buat mengalir. Maka timbullah sungai-sungai. Sebahagian air mengalir terus membasahi kulit bumi dan sebahagian lagi menyelinap ke dalam bumi, yang kelak akan menjadi telaga; “dan Kami beri minum kamu dengan air tawar” (Ujung ayat 27).

Dalam susunan ayat ini terang sekali betapa erat pertalian gunung-gunung tinggi sebagai pasak bumi dengan hujan dan pengaliran air sungai dan timbulnya telaga-telaga. Dengan air itu, baik yang berupa sungai-sungai, atau berupa telaga-telaga atau air yang tergenang menjadi danau, manusiapun terjamin hidupnya, karena cukup air yang sejuk dan tawar.

Maka datanglah peringatan sekali lagi kepada manusia, peringatan keempat:

Celaka besarlah pada hari itu, bagi orang-orang yang mendustakan” (Ayat: 28). Karena telah mereka dustakan jaminan hidup yang diberikan Allah kepada mereka di muka bumi dan mereka dustai penampungan yang disediakan Tuhan, susunan alam, sejak dari gunung-gunung yang menjadi pasak bumi dan puncaknya yang menahan awan lalu mengumpulkan hujan, lalu mengalirkan sungai dan membenamkan air untuk jadi telaga, sehingga mereka mendapat air minum yang tawar. Padahal dengan air itulah mereka hidup.

Semua mereka dustakan. Sehingga kemurkaan Allah-lah menyebabkan mereka ditimpa celaka dan malapetaka besar masuk ke dalam neraka wailun.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *