IV
أَلَمْ نَخْلُقْكُّمْ مِّنْ مَّاءٍ مَّهِيْنٍ. فَجَعَلْنَاهُ فِي قَرَارٍ مَّكِيْنٍ. إِلَى قَدَرٍ مَّعْلُوْمٍ. فَقَدَرْنَا فَنِعْمَ الْقَادِرُوْنَ. وَيْلٌ يَوْمَئِذٍ لِّلْمُكَذِّبِيْنَ.
77:20. Bukankah telah Kami ciptakan kamu daripada air yang lemah.
77:21. Lalu Kami jadikan dia dalam penempatan yang kokoh.
77:22. Sampai waktu yang ditentukan?
77:23. Lalu Kami tentukan; maka Kamilah yang sebaik-baik yang menentukan.
77:24. Celaka besarlah pada hari itu, bagi orang-orang yang mendustakan.
“Bukankah telah Kami ciptakan kamu daripada air yang lemah” (Ayat: 20).
Dalam beberapa tafsir min mā’in mahīnin (مِّنْ مَّاءٍ مَّهِيْنٍ) diartikan daripada air yang hina. Mahīn diartikan hina. Bila direnungkan ma‘na sejati dari kalimat mahīn itu, maka tidaklah tepat rasanya jika diartikan ke dalam bahasa kita dengan hina. Karena arti hina bagi kita ialah sangat rendah. Kalau yang rendah akhlaqnya atau budi pekertinya disebut seorang yang hina. Rakyat yang tidak mempunyai kedudukan, tidak berdarah bangsawan disebut orang yang hina-dina. Sebab itu maka terjemah dari mahīn, tidaklah tepat kalau hina. Orang yang mulia menafsirkan al-Qur’ān ke dalam bahasa Melayu dalam Abad Ketujuh Belas (kira-kira sekitar tahun 1620), yaitu Syaikh ‘Abd-ur-Ra’ūf (bin ‘Alī al-Fanshurī) menafsirkan saja mahīn itu dengan bahasa ‘Arab juga, yaitu dha‘īf; Artinya lemah.
Penafsiran mahīn dengan lemah lebih dekat kepada maksud. Air mani jauh lebih lemah daripada air biasa! Air biasa bisa meruntuhkan gunung, menghantam lurah dan membuat sungai dan bisa menjadi lautan. Tetapi air mani adalah lemah. Kalau tidaklah mani itu dijadikan Tuhan masyājin = (مَشَاجٍ), ya‘ni bercampur di antara mani laki-laki dengan mani perempuan, teranglah mani jadi air yang lemah saja. Bahkan mani yang tertumpah misalnya di tempat tidur, teranglah mendatangkan jijik, dan kadang-kadang menimbulkan bau yang tidak enak.
Di dalam kalangan ‘Ulamā’ fiqh terjadi juga perselisihan pendapat apakah mani itu najis atau bersih. Hadits-hadits yang dirawikan dari ‘Ā’isyah, ada yang dirawikan Bukhārī dan ada yang dirawikan Muslim menerangkan bahwa pernah ada mani lekat di kain Rasūlullāh s.a.w. yang akan beliau pakai pergi sembahyang ke masjid. Lalu lekas-lekas dibersihkan oleh ‘A’isyah, dengan jalan mencuci tempat yang kena mani itu dengan air, sehingga seketika beliau pergi sembahyang masih kelihatan bekas yang dicuci itu.
‘Ulamā’-‘ulamā’ dalam madzhab Syāfi‘ī memandang bahwa mani bukanlah najis. Mereka beralasan kepada salah satu Hadits Nabi yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās oleh ad-Dāruquthnī dan al-Baihaqī. Yaitu ketika ditanya orang Rasūlullāh s.a.w. tentang mani yang lekat pada kain, maka Rasūlullāh s.a.w. telah menjawab:
إِنَّمَا هُوَ بِمُنْزِلَةِ الْمَخَاطِ وَ الْبَصَاقِ وَ الْبِزَاقِ. إِنَّمَا يَكْفِيْكَ أَنْ تَمْسَحَهُ بِخِرْقَةٍ أَوْ إِذْخِرَةٍ. (رواه البيهقي).
“Sesungguhnya kedudukan mani itu sama saja dengan ingus, dahak dan selesma. Cukup jika kamu bersihkan saja dia dengan potongan kain atau rumput bersih.”
Memang air mani jika belum berpadu adalah air yang masih lemah tidak berarti. Lekat di baju musti dibersihkan. Lekat di spray tempat tidur musti dicuci. Bukan karena najisnya, melainkan karena kotornya. Bukanlah tiap yang kotor dianggap najis. Kalau baju kita kena kuah gulai jadi kotor, namun kuah gulai bukanlah najis.
Dan air mani yang salah pakai, percampuran yang tidak teratur bisa pula membawa penyakit yang berbahaya. Dari mani bercampur aduk yang kotor itu bisa tumbuh bibit dari penyakit sipilis dan gonore (gonorrhea/gonorrhoea – kencing nanah) yang merusakkan hidup manusia, merusak alat kelamin dan merusak peranakan. Basil penyakit itu bisa tinggal dalam moncong faraj perempuan sedang hamil. Bila anaknya akan lahir, mata anak itu akan kena oleh air penyakit itu dan buta.
Tetapi apabila mani si laki-laki dengan mani si perempuan telah bercampur menurut kadarnya yang tertentu, itulah yang bergabung di dalam rahim; “Lalu Kami jadikan dia dalam penempatan yang kokoh” (Ayat: 21).
Di sini terdapat kalimat qarārin makīn = (قَرَارٍ مَّكِيْنٍ), kita artikan penempatan yang kokoh. Arti yang asli dari qarār ialah menetap dan arti makīn ialah kokoh. Atau mulai mengokoh.
Menurut keterangan daripada ahli-ahli penyelidikan tentang pembentukan tubuh manusia sejak semula jadi ialah bahwa pada mula pertemuan kedua belah pihak mani itu, dalam keadaan dia mulai bercampur, ada satu ketika “cacing” kecil dalam mani laki-laki mencari-cari sampai bertemu dengan telur halus dalam mani perempuan. Kalau dia telah bertemu, diapun melekat dan tidak berpisah lagi. Waktu itulah dia qarār; artinya menetap. Oleh karena tempatnya telah tersedia, yaitu apa yang dalam bahasa asli kita disebut peranakan dan dalam bahasa ‘Arab disebut raḥīm, kedua dzāt halus itu, cacing pihak laki-laki dan telor pihak perempuan telah bertemu dan qarār, sedang tempatnya berlindung, yaitu raḥīm sangat terpelihara untuk dia bersemai dengan baik, maka kokohlah dia di sana. Sudah sukar untuk memisahknnya lagi. Kecuali kalau ada satu gangguan dari luar diri perempuan itu yang akan menyebabkan gugurnya.
“Sampai waktu yang ditentukan” (Ayat: 22). Waktu-waktu yang ditentukan itu lebih dijelaskan pada ayat-ayat yang lain. Tentang pertumbuhan sejak dari Nuthfah, naik jadi ‘alaqah, kemudian jadi mudhghah, lalu jadi tulang dan diselimuti dengan daging, telah diterangkan pada awal Surat al-Mu’minūn (Surat ke-23 ayat 12 sampai 14. Juzu’ ke-18). Diterangkan juga pada akhir dari Surat ke-75 al-Qiyāmah dan pada pangkal dari Surat ke-76 (al-Insān). Alhasil pada ketiga surat berturut-turut, yaitu ke-75 al-Qiyāmah, ke-76 al-Insān dan Surat ke-77 ayat ke-20 sampai 23 ini dan beberapa keterangan di surat yang lain, dapatlah kita ketahui kejadian manusia dengan jelas sekali.
“Lalu Kami tentukan” (Pangkal ayat 23). – “Kami tentukan” yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan diri manusia yang tercipta dari air mani yang lemah itu. Ditentukan berapa umurnya, berapa tinggi badannya ditentukan keseimbangan panjang badan dengan ukuran kaki dan tangan dan kepala, sehingga misalnya apabila seseorang pencari jejak melihat jejak kaki seseorang, dia sudah dapat menentukan berapa tinggi orang itu dan bagaimana bentuk wajahnya. Ditentukan pula bunyi suaranya, sehingga tidak ada dua orang dalam dunia ini yang sama bunyi suaranya. Ditentukan pula garis-garis telapak tangannya, ujung jarinya, garis bibirnya. Ditentukan pula ukuran “kapasitas” atau kesanggupan. Maka si manusia tadi akan bertindak mengisi hidupnya menurut tenaga yang diberikan Allah kepadanya, tidak berlebih daripada ukuran yang telah ditentukan itu, sehingga si fulan yang telah di-taqdīr-kan, ditentukan jadi si fulan, tidaklah dia akan jadi si fulan: “maka Kamilah yang sebaik-baik yang menentukan” (Ujung ayat 23). Memang, siapa lagi selain Allah yang lebih baik dalam menentukan? Sampai ketentuan letak telinga sebelah kanan dan diri wajah, letak kedua belah mata yang dilindungi oleh kedua belah alis. Mana yang akan dicela dan dikritik pada kejadian manusia? Sampai kepada susunan jadi tangan yang lima; mengapa empu tangan terpisah sendiri daripada telunjuk, jari tengah, jari manis dan kelingking? Dan mengapa tidak sama rata? Heran kita tentang perasaan halus pada lidah, yang dapat membedakan pedas, manis, pahit, asam, asin, sangar (bau yang merangsang/menyengat, seperti bau bawang), segar dan basi. Heran kita tentang alat yang terletak dalam telinga, mengapa dia dapat mendengar, dan mata mengapa dia dapat melihat dan hidung dapat membedakan bau yang harum dengan yang busuk. Demikian juga tentang mā’idah, yaitu pencernaan dalam perut. Penyisihan di antara tempat makanan dengan tempat minuman. Tempat masuknya satu, yaitu mulut. Tempat keluarnya dua, yaitu dubur (lobang belakang) dan qubul (lobang di muka/depan).
Kemudian itu terdapat pula perbedaan pribadi; Sepuluh orang bersaudara, satu ayah dan satu ibu. Namun sepuluh pula rupanya, sepuluh pula suaranya, sepuluh pula sidik jarinya, sepuluh pula perangainya. Semuanya itu ditentukan dengan teratur, dengan bawaan sendiri-sendiri.
Pada masa tafsir ini disusun tidak kurang daripada 4 miliyar (miliar – baku di KBBI) penduduk dunia laki-laki dan perempuan. Berlain-lain warna kulitnya menurut iklim negerinya; Ada kulit putih, kulit kuning, kulit hitam, kulit langsat, kulit sawo matang. Separo, artinya sekitar kira-kira 2 milyar kaki-laki dan dua miliyar perempuan. Kepada masing-masing perempuan itu dianugerahkan kecantikan, yang satu tidak menyerupai yang lain. Kepada mereka dianugerahkan 2 miliyar pasang mata yang semuanya ada daya tarik sendiri. Fikirkanlah itu, semuanya tidak ada yang serupa, padahal semuanya sama jenisnya, yaitu anak manusia. Semuanya sama kejadiannya, yaitu pergabungan mani seorang laki-laki dengan mani seorang perempuan. Dan semuanya itu kecil halus asalnya, dengan mikroskop dipandang, yang kelihatan hanya bintik hitam kecil. Padahal dalam bintik kecil itu terdapat beratus ribu “cacing” laki-laki dan “telor” perempuan.
Sebab itu maka jika ingin hendak mengetahui kekayaan Allah pandanglah dengan penuh pemikiran dan perasaan keadaan manusia ataupun alam yang di keliling manusia. Tepatlah ujung ayat 23 itu; “maka Kamilah yang sebaik-baik yang menentukan” (Ujung ayat 23).
“Celaka besarlah pada hari itu, bagi orang-orang yang mendustakan” (Ayat: 24). Mereka akan mendapat celaka besar, masuk neraka wailun di hari kiamat itu karena mereka tidak mempergunakan fikiran dengan sebaik-baiknya. Nikmat Tuhan diterimanya, tetapi fikirannya tidak berjalan. Kalau fikiran berjalan, terutama memikirkan diri sendiri, atau memikirkan sesudah kawin dengan seorang perempuan, beberapa bulan kemudian diberi Tuhan putra. Terbentang di hadapan matanya i‘tibār, yaitu sesuatu yang patut jadi buah fikiran, namun kejadian itu lalu demikian saja. Alangkah hinanya!