Surah al-Mursalat 77 ~ Tafsir al-Azhar (2/9)

Dari Buku:
Tafsir al-Azhar
Oleh: Prof. Dr. HAMKA

Penerbit: PT. Pustaka Islam Surabaya

Rangkaian Pos: Surah al-Mursalat 77 ~ Tafsir al-Azhar

II

فَإِذَا النُّجُوْمُ طُمِسَتْ. وَ إِذَا السَّمَاءُ فُرِجَتْ. وَ إِذَا الْجِبَالُ نُسِفَتْ. وَ إِذَا الرُّسُلُ أُقِّتَتْ. لِأَيِّ يَوْمٍ أُجِّلَتْ. لِيَوْمِ الْفَصْلِ. وَ مَا أَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الْفَصْلِ. وَيْلٌ يَوْمَئِذٍ لِّلْمُكَذِّبِيْنَ.

77:8. Maka apabila bintang-bintang telah dihapuskan.
77:9. Dan apabila langit telah dibelah.
77:10. Dan apabila gunung-gunung telah dilumatkan.
77:11. Dan apabila rasūl-rasūl telah ditetapkan waktu.
77:12. Sampai hari yang manakah ditangguhkan?
77:13. Sampai hari keputusan.
77:14. Dan adakah engkau tahu, apakah hari keputusan itu?
77:15. Celaka besarlah pada hari itu, bagi orang-orang yang mendustakan.

 

BILA KIAMAT DATANG

 

Di dalam ayat-ayat selanjutnya ini mulailah dibayangkan apa yang akan terjadi jika Kiamat itu datang;

Maka apabila bintang-bintang telah dihapuskan” (Ayat: 8). Yang dihapuskan itu adalah salah satu dari dua; pertama cahaya bintang itu tidak kelihatan lagi, telah hapus sama sekali. Sehingga kalau hari malam, yang biasanya bintang-bintang itu kelihatan bercahaya berkelap-kelip, maka bila kiamat datang cahaya itu tidak ada lagi, sudah hapus. Tentu saja karena di muka bumi perjalanan cahaya tidak menentu lagi. Langit atau ruang angkasa telah gelap-gulita, sehingga tidak tembus lagi penglihatan ke langit. Kemungkinan yang kedua ialah karena bintang-bintang it sendiri telah terganjak dari tempat masing-masing. Kalau demikian halnya niscaya bumi kita ini demikian juga halnya. Dengan hilang hapusnya cahaya bintang jelas sekali bahwa dalam dunia telah terjadi perobahan besar yang mengerikan.

Dan apabila langit telah dibelah” (Ayat: 9). Inipun sesuatu yang amat dahsyat. Kita dapat menggambarkan setelah pengetahuan manusia dibukakan Tuhan setapak demi setapak tentang kejadian ‘alam ini. Ayat al-Qur’ān hanya menerangkan yang dapat lekas difahamkan. Adapun yang dapat lekas difahamkan ialah bahwa langit itu adalah laksana loteng yang meneduhi kita. Di dalam Surat ke-67, al-Mulk, surat pertama dari Juzu’ ini pada ayat ke-5 dikatakan bahwa langit dunia ini dihiasi oleh Allah dengan bintang-bintang yang dimisalkan sebagai pelita-pelita terpasang. Di mana batas langit it tidak ada kita yang tahu. Tidak ada seorang sarjana pun yang tahu, sehingga sampai sekarang inipun tentang batas-batas langit itu masih saja teori-teori yang diperbuat orang, kadang-kadang dongeng, kadang-kadang khayal, kadang-kadang hasil penyelidikan yang belum sempurna. Maka dalam ayat ini dikatakan bahwa langit akan dibelah, sehingga kita mengkhayalkan bahwa langit itu akan sama dengan khaimah (kemah) yang belah dua di tengah-tengah karena kerasnya angin yang berembus. Maka kalau langit belah, akan kelihatanlah oleh kita belahan itu dari bumi ini? Atau akan masih sempatkah isi bumi melihatnya pada waktu itu? Sedangkan bintang-bintang yang adakalanya dapat memberikan cahaya penyuluh atau bagai pelita, sudah padam lebih dahulu?

Dan apabila gunung-gunung telah dilumatkan” (Ayat: 10). Gunung-gunung tinggi membujur dari permukaan bumi. Bila kita naik kapal udara dan terbang tinggi-tinggi dapatlah kita melihat betapa besar kekuasaan Allah membuat gunung-gunung itu. Di seluruh dunia berderet-deret gunung-gunung. Ada yang sangat tinggi sebagai Himalaya di Hindustan, Kilinjaro (Kilimanjaro) di benua Afrika, gunung Fuji di Jepang dan beratus-ratus gunung lagi di permukaan bumi ini. Banyak di antara gunung-gunung itu mempunyai kepundan (kawah gunung berapi) dan menyemburkan api. Gunung Krakatau pernah meletus pada 26 sampai 28 Agustus 1883. Demikian hebat letusannya sehingga kedengaran ke seluruh dunia dan mengejutkan seluruh bangsa. Letusan Krakatau itu saja sudah amat menggoncangkan. Air laut bergolak, sehingga ada kapal di pelabuhan Teluk Betung di angkat oleh air laut ke darat dan masih didapati bekasnya sampai pertengahan abad kedua puluh, lebih 70 tahun sesudah kejadian itu.

Pada tiap-tiap gunung merapi meletus kita melihat lahar cair mengalir dari puncak gunung itu ke bawah, dan juga meletus membawa debu hitam pekat ke atas. Malam hari kelihatan debu itu berapi. Maka apabila kita lihat letusan gunung-gunung merapi dengan laharnya dan letusannya yang berdebu, dapatlah kita fikirkan apa arti firman Tuhan bahwa gunung-gunung akan dilumatkan. Yaitu dijadikan abu! Maka dapatlah dibayangkan oleh fikiran kita bila kiamat itu datang kelak letusan gunung-gunung merapi yang mengalir hitam sebagaimana kita saksikan di sungai-sungai yang mengalir dari Gunung Merapi di Jawa Tengah (Jokjakarta), yang betul-betul abu. Dan kitapun melihat kota-kota di Pulau Bali ditimbuni oleh lahar hitam pekat itu seketika Gunung Agung meletus. Dan kitapun membaca riwayat kota Pompey dan kota Herculaneum habits ditumbuni lahar ketika Gunung Vesuvius meletus pada tahun 79 Masehi. Lebih 1000 tahun kemudian dapat digali orang kembali timbunan kota itu. Kedapatan manusia yang tertimbun lahar dalam keadaan tubuh yang masih utuh.

Di dalam ayat ke-10 ini disebutkan:

وَ إِذَا الْجِبَالُ نُسِفَتْ.

Kita artikan: “Demi apabila gunung-gunung telah dilumatkan.”

Nusifat = (نُسِفَتْ) di sini kita artikan dilumatkan.

Kita ambil dasar ma‘nanya daripada ayat ke-97 dari Surat ke-20, Thāhā. Yaitu tentang berhala lembu dari emas yang bernama ‘ijl yang dibuat oleh Sāmirī untuk menyesatkan Bani Isrā’īl. Di situ tertulis:

لَنُخَرِّقَنَّهُ ثُمَّ لَنَنْسِفَنَّهُ فِي الْيَمِّ نَسْفًا.

Sesungguhnya akan kami bakar dianya, kemudian itu akan kami serakkan ke dalam laut sampai berserak-serak.”

Ahli tafsir mengatakan bahwa karena dia adalah mas. Tentu saja sesudah dia dibakar dia akan membeku jadi satu dan keras bagai batu. Sebab itu untuk dapat diserakkan ke laut lebih dahulu dikikir halus-halus sampai jadi serbuk.

Di dalam kitab-kitab Kamus dikatakan juga arti nusifat ialah dikiasi, digoncangkan sampai hancur jadi debu.

Maka melihatkan bekas-bekas yang ada, yang dapat disaksikan pada letusan gunung-gunung berapi di seluruh dunia itu, patutlah orang percaya bahwa satu waktu gunung-gunung itu akan dihancurkan jadi abu, jadi lahar,

Dan apabila rasūl-rasūl telah ditetapkan waktu” (Ayat: 11). Maksudnya ialah bila kiamat itu datang kelak maka akan ditentukan suatu waktu bahwa rasūl-rasūl itu akan dipanggil menjadi saksi-saksi daripada ummat mereka masing-masing.

Kemudian hal ini dijelaskan lagi di dalam Surat an-Nisā’ (Surat ke-4) ayat 41 yang diturunkan di Madīnah. Dijelaskan kepada Nabi s.a.w. bahwa beliaupun akan turut jadi saksi dari ummatnya sendiri:

فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أمَّةٍ بِشَهِيْدٍ وَ جِئْنَا بِكَ عَلَى هؤُلآءِ شَهِيْدًا. (النساء: 41)

Dan bagaimanakah kelak apabila Kami datangkan bagi tiap-tiap ummat itu akan saksinya dan Kami datangkan pula engkau akan jadi saksi bagi mereka itu?

Menurut satu riwayat, seketika ‘Abdullāh bin Mas‘ūd membaca ayat ini di dekat Rasūlullāh s.a.w. beliau telah menangis. Beliau terharu dan cemas kalau-kalau kaumnya orang Quraisy itu akan masih terus menantang juga akan kebenaran yang beliau sampaikan kepada mereka.

Di dalam Surat ke-5, al-Mā’idah ayat 117 dijelaskan juga bahwa Nabi kita ‘Īsā al-Masīḥ pun akan dihadapkan juga untuk diminta kesaksiannya, pernahkah dia mengajak manusia supaya mengambil dirinya dan diri ibunya menjadi Tuhan selain Allah. Nabi ‘Īsā menjawab bahwa beliau tidak pernah mengajarkan yang demikian itu. Kejadian itu adalah setelah beliau meninggal. Tuhanlah yang lebih tahu dan lebih menyaksikan.

Sampai hari yang manakah ditangguhkan?” (Ayat: 12). Pertanyaan terpisah dari yang di atasnya. Yaitu bilakah agaknya orang-orang yang kafir, yang tidak mau percaya akan seruan rasūl-rasūl itu akan menerima siksaannya?

Kadang-kadang timbul pertanyaan seperti demikian di hati orang-orang yang beriman tetapi belum matang dia berfikir. Selalu diberi ingat oleh Tuhan bahwa orang yang kafir akan menerima ‘adzabnya! Tetapi bila? Mengapa belum juga? Tuhan memberikan jawaban: “Sampai hari keputusan” (Ayat: 13). Artinya ialah bahwa Tuhan tidaklah langsung menjatuhkan suatu ‘adzab karena pengaruh kebencian belaka. Kalau Tuhan itu menjatuhkan hukuman, adalah semata-mata karena adil, bukan karena benci dan bukan karena dendam. Hukuman dijatuhkan ialah menurut suatu keputusan yang telah ditentukan, setelah selesai pemeriksaan atau yang disebut ḥisāb (perhitungan) dosa dan pahala, jasa dan keslahan. Di dalam Surat ke-99 “az-Zalzalah” (Gempa-bumi) bahwa seberat dzarrah (atom) kebajikanpun akan diperlihatkan dan seberat dzarrah (atom) kejahatanpun akan diperlihatkan juga. Sehingga kalau seseorang kena hukum adalah semata-mata karena kesalahannya sendiri. Di dalam Surat 101, al-Qāri‘ah dijelaskan lagi bahwa timbangan yang berat kepada kebajikan akan mendapat hidup yang diridhai dalam syurga dan hidup yang ringan, tidak membawa jasa yang patut diingat, nerakalah tempatnya.

Niscaya hal yang seperti itu menghendaki pemeriksaan yang seksama. Dan keseksamaan pemeriksaan dan penelitian Tuhan itu adalah hal yang mutlak kita percayai.

Kemudian datang lagi pertanyaan dari Tuhan: “Dan adakah engkau tahu, apakah hari keputusan itu?” (Ayat: 14).

Pertanyaan ini dijawab sendiri oleh Tuhan:

Celaka besarlah pada hari itu, bagi orang-orang yang mendustakan” (Ayat: 15).

Celaka besar! Karena dia akan menerima akibat dari sikapnya yang mendustakan itu. Dia tidak percaya bahwa kiamat akan terjadi. Dia tidak percaya kepada segala tanda-tanda yang telah diisyaratkan Tuhan di dalam wahyu-Nya. Celaka besarlah yang akan mereka hadapi di saat segala manusia akan dihadapkan ke hadapan Pengadilan Tuhan, ditanya satu demi satu dan rasūl-rasūl tegak jadi saksi bahwa mereka telah menyampaikan peringatan ini tiada yang kekurangan. Celakalah mereka di hari itu, tidak dapat melepaskan diri lagi. Terbenam ke dalam ‘adzab yang sangat ngeri.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *