Surat ke-77, 50 Ayat
Diturunkan di Makkah
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
PENDAHULUAN
Nama surat ialah “al-Mursalāt”, yang berarti Yang Diutus; Diambil daripada kalimat pertama dari ayat yang pertama. Tentang siapakah atau apakah yang diutus itu, timbullah dua macam penafsiran, yang keduanya sama-sama mempunyai sumber. Yang dimaskud dengan “al-Mursalāt”, yang berarti Yang Diutus adalah kata-kata untuk jama‘, bilangan yang lebih dari dua.
Satu tafsiran mengatakan bahwa yang diutus banyak itu ialah malaikat. Dan malaikatpun kata jama‘ (untuk banyak), sedang untuk satu malaikat disebut malak. Kalau dua dikatakan malakaini, dan kalau banyak malā’ikat.
Tafsir yang satu lagi mengatakan bahwa banyak yang diutus itu adalah angin. Ada berbagai macam angin yang diutus, atau yang dikirim Tuhan dengan serba kekuasaannya dalam dunia ini. Ada angin sepoi, ada angin topan, ada angin halimbubu, ada angin punting beliung (puting-beliung), dan angin sekukut bulu dan sebagainya.
Menurut riwayat yang dibawakan Ibnu Abī Ḥātim dengan sanadnya dari Abū Hurairah yang dimaksud ialah Malaikat.
Menurut riwayat yang disampaikan oleh Sufyān ats-Tsaurī dengan sanadnya dari ‘Abdullāh bin Mas‘ūd yang dimaksud ialah angin.
Menurut Abū Shāliḥ yang dimaksud ialah rasūl-rasūl utusan Tuhan.
Al-Imām al-Fakhr-ur-Rāzī dalam tafsirnya telah menerima ketiga kemungkinan itu, yaitu malaikat, atau angin atau rasūl-rasūl, untuk jadi tafsiran daripada ayat 1 sampai ayat 6.
Adapun isi seluruhnya dari Surat al-Mursalāt dalam garis besarnya samalah dengan surat-surat lain yang diturunkan di Makkah, terutama berisi wa‘ad (janji gembira) dan wa‘īd (janji ancaman); peringatakan kepada manusia agar memilih jalan yang benar dalam hidup dan ingat daripada apa dia dijadikan, dan sepuluh kali ditekankan betapa bala bencana yang akan menimpa diri orang yang mendustakan seruan-seruan yang dibawa oleh Rasūl.
Sepuluh kali peringatan; dan tiap-tiap akhir dari peringatan itu ditekankan bahwa di hari Kiamat kelak celaka besarlah yang akan diderita oleh orang yang mendustakan.
Peringatan pertama ialah tentang perobahan besar yang akan terjadi di dunia ini bila Kiamat itu telah ditentukan.
Peringatan kedua ialah akibat yang diderita oleh orang dulu-dulu karena tidak mau mengacuhkan peringatan yang disampaikan Tuhan dengan perantaraan nabi-nabinya.
Peringatan ketiga ialah tentang asal usul kejadian manusia, sejak dari segumpul air, sampai dikandung dalam rahim menurut qadar yang telah ditentukan.
Peringatan keempat ialah tentang keadaan bumi dengan gunung-gunung dan sungai-sungainya yang mengalir untuk kesuburan hidup manusia.
Peringatan kelima ialah tentang ‘adzab siksaan dan ancaman yang akan diterima oleh barang siapa yang mendustakan.
Peringatan keenam dan ketujuh adalah membayangkan betapa kebingungan yang akan menimpa diri orang-orang yang tidak mau menurut jalan yang benar itu kelak.
Peringatan kedelapan adalah bahagia yang akan dirasakan dan nikmat yang akan diterima oleh orang-orang yang bertaqwā.
Peringatan kesembilan adalah peringatan singkat tetapi penuh ancaman kepada orang yang mendustakan itu, bahwa kalau mereka berbangga dengan kedurhakaan itu hanya akan mereka rasakan sebentar.
Peringatan kesepuluh sekali lagi catatan tentang orang yang mendustakan; jika disuruh rukū‘ atau tunduk kepada Tuhan, mereka masih saja mengangkat muka lantaran sombong.
Penutup adalah pertanyaan yang penuh ancaman juga: “Kata-kata macam apa lagi yang akan dikatakan supaya mereka mau berīmān….?”
Satu surat dengan 50 ayat pendek tetapi jitu, sebagai kebiasaan ayat-ayat pada surat-surat yang turun di Makkah. Beberapa kesaksian dinampakkan pokoknya percaya atau tidak. Bunyinya keras, ancamannya seram dan jalan yang lain yang akan dipilih tidak ada, kecuali hanya dua; Pertama Berīmān, atau (kedua) mendustakan.
Berīmān selamat, mendustakan celaka!
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang
I
وَ الْمُرْسَلَاتِ عُرْفًا. فَالْعَاصِفَاتِ عَصْفًا. وَ النَّاشِرَاتِ نَشْرًا. فَالْفَارِقَاتِ فَرْقًا. فَالْمُلْقِيَاتِ ذِكْرًا. عُذْرًا أَوْ نُذْرًا. إِنَّمَا تُوْعَدُوْنَ لَوَاقِعٌ.
77:1. Demi yang diutus untuk membawa kebajikan.
77:2. Yang terbang dengan sekencang-kencangnya.
77:3. Dan yang menyebarkan seluas-luasnya.
77:4. Lalu yang membedakan sejelas-jelas perbedaan.
77:5. Maka yang diutus itu menyampaikan peringatan.
77:6. Yang memberi ampunan dan ancaman.
77:7. Sesungguhnya apa yang dijanjikan kepadamu itu pasti terjadi.
Sebagaimana telah kita jelaskan pada Pendahuluan, tafsiran dari al-Mursalāt ini pada umumnya terdapat dua macam. Pertama, golongan yang mengatakan bahwa yang dimaksud ialah malaikat. Kedua, golongan yang mengatakan bahwa yang dimaksud ialah angin berembus. Keduanya ada riwayatnya yang sah dari sahabat-sahabat yang terkemuka dalam ‘ilmu tafsir.
Al-Imām al-Fakhr-ur-Rāzī dalam tafsir beliau menguraikan kedua tafsiran itu. Menurut beliau: “Demi yang diutus untuk membawa kebajikan”. (Ayat 1). Ialah bahwa malaikat itu diutus Tuhan membaca Rahmat Ilahi: “Yang terbang dengan sekencang-kencangnya” (Ayat 2). Karena malaikat itu terjadi daripada nūr (cahaya), niscaya kencanglah terbangnya, sekencang cahaya pula. Dalam Surat ke-70, al-Ma‘ārij ayat 4 telah diterangkan bahwa malaikat itu terbang (mi‘rāj) di ruang angkasa melalui dalam satu hari bilangan kita 50.000 tahun. Dalam Surat ke-35, Fāthir, ayat 1 (Juzu’ ke-22) dikatakan bahwa malaikat itu bersayap ada yang dua-dua, dan yang tiga-tiga dan ada yang empat-empat. Itupun menunjukkan betapa kencang bila dia terbang: “Dan yang menyebarkan seluas-luasnya” (Ayat 3). Tersebutlah dalam riwayat bahwa ada malaikat itu yang khas menyebarkan rahmat Tuhan seluas-luasnya yaitu malaikat Mikā’īl. “Lalu yang membedakan sejelas-jelas perbedaan”. (Ayat 4). Yaitu membedakan di antara yang hak dengan yang bathil. “Maka yang diutus itu menyampaikan peringatan” (Ayat 5). Itulah dia wahyu Ilahi yang berisi pembedaan yang hak dengan yang bāthil, yang benar dengan yang salah, yang diperintahkan Allah dan yang dilarang, agar manusia selamat. Wahyu itu disebut juga peringatan. Al-Qur’ān itupun disebut jika peringatan. “Yang memberi ampunan dan/atau ancaman” (Ayat 6). Yaitu barang siapa yang tersalah tetapi segera dia memohon ampun kepada Allah, niscaya dia akan diberi ampun. Tetapi barang siapa yang salah tetapi tidak mau memperbaiki diri, diancamlah dia dengan siksaan neraka. Itu semuanya termaktub dalam wahyu, yang dibawa oleh malaikat-malaikat yang diutus itu. – Inilah tafsiran ar-Rāzī dengan sedikit penjelasan dari kita.
Kemudian beliau tafsirkan pula menurut aliran yang kedua, yaitu bahwa yang diutus atau yang dikirim itu ialah angin.
“Demi yang diutus untuk membawa kebajikan”. (Ayat 1). Ialah angin sepoi yang datang membawa udara baru untuk menyuburkan bumi. Biasanya sesudah selesai musim dingin berganti dengan musim kembang. Angin seperti itupun kadang-kadang mengawinkan di antara kembang di hutan, yang jantan dengan yang betina, yang menyuburkan buah. “Dan yang terbang dengan sekencang-kencangnya” (Ayat 2). Itulah angin ribut besar yang membawa taufan baik di laut atau di darat, yang bisa saja membongkar pohon kayu betapa pun besar dan kokohnya. Angin seperti inilah yang telah menghancurkan negeri kaum ‘Ād yang mendustaan Nabi Shāliḥ, tujuh malam delapan hari lamanya, (Surat ke-69, al-Ḥāqqah ayat 6 dan 7. Juzu’ ini juga). “Dan yang menyebarkan seluas-luasnya” (Ayat: 3). Ada juga angin itu yang menyebarkan seluas-luasnya, baik menyebarkan rahmat ataupun menyebarkan ‘adzab. Banyak penyakit menular karena dibawa oleh angin. “Maka yang membedakan dengan sejelas-jelas perbedaan” (Ayat: 4). Maka adalah di antara angin itu, baik angin sepoi biasa, ataupun punting beliung sekukut bulu, atau angin membawa penyakit ataupun angin membawa rahmat, semuanya itu dapat memperbedakan di antara manusia yang teguh īmānnya dengan yang lemah. Laksana landasan angin itu jualah jiwa manusia. Mana yang tidak kuat segeralah dia tumbang. Tetapi mana yang kuat uratnya terhunjam ke bumi, tidak ada angin yang dapat merobohkannya kalau tidak idzin Tuhannya. “Maka yang diutus itu menyampaikan peringatan” (Ayat: 5). Segala angin yang berembus itu pada hakikatnya adalah berisi peringatan bagi manusia, bahwa mereka tidak akan dapat bernafas di atas bumi ini kalau angin tidak ada, atau udara tidak masuk. Maka hendaklah dia ingat bahwa Tuhan Maha Kuasa berbuat sekehendaknya atas diri manusia; “Yang memberi ampunan dan ancaman” (Ayat: 6). Ampunan akan diberikan Tuhan kepada barang siapa yang mengakui kesalahan dirinya lalu memohon ampun dan taubat kepada Allah. Ancamanpun diberikan pula kepada orang yang tidak mau ingat akan kurnia Tuhan, yang menyangka bahwa dia dapat berbuat sesuka hatinya dalam hidup ini, sehingga celaka jualah yang akan diterimanya. – Itulah tafsir dari ar-Rāzī kalau yang dimaksudkan dengan “sesuatu yang diutus itu” ialah angin.
Kemudian beliaupun menambah pula dengan buah renungan dan pendapatnya sendiri.
Ar-Rāzī menguraikan bahwa dari ayat yang pertama sampai keenam sesuai benar kalau ditafsirkan bahwa yang dimaksud dengan yang diutus atau yang dikirim itu ialah al-Qur’ān. Yang dimaksud dengan yang diutus, atau lebih tepat yang dikirim ialah ayat-ayat dan surat-surat dari al-Qur’ān, yang dihantarkan oleh malaikat Jibrīl ‘alaih-is-salām. Di ayat yang pertama disebutkan: “Demi yang diutus untuk membawa kebajikan”. (Ayat 1), ialah ayat-ayat itu sendiri. Teranglah bahwa ayat-ayat al-Qur’ān membawa kebajikan bagi manusia, karena dia telah mengeluarkan manusia daripada gelap-gulita kejahilan kepada terang-benderang ‘ilmu pengetahuan. Pada ayat kedua disebut: “Dan yang terbang dengan sekencang-kencangnya” (Ayat 2), ialah keadaan dari pengaruh ayat-ayat al-Qur’ān itu ke dalam hati manusia. Mula-mula angin itu berhembus dengan teduh dan sepoi-sepoi membawa kesejukan. Tetapi lama-lama dia bertambah kuat, bertambah kencang dan kencang lagi, sehingga pohon-pohon yang besarpun bisa ditumbangkannya. Angin sepoi yang mula berhembus ialah membawa petunjuk dan jalan selamat bagi hati manusia. Namun kemudian setelah dia bertambah besar, tumbanglah kemusyrikan dan runtuhlah daulat pertahanan kekufuran. Seluruh agama dan seluruh kedaulatan yang mempertahankan penyebaran kepada yang selain Allah tidak bisa bangkit lagi buat mengatasi kebenaran Islam. “Dan yang menyebarkan seluas-luasnya” (Ayat: 3). Tafsirnya ialah bahwa isi ayat-ayat al-Qur’ān yang penuh hikmat dan ‘ilmu itu benar-benar telah menyebar seluas-luasnya pada seluruh Alam, masyriq dan maghrib. “Maka yang membedakan dengan sejelas-jelas perbedaan” (Ayat: 4). Benar-benar dengan kedatangan al-Qur’ān itu jelaslah perbedaan di antara yang hak dengan yang bāthil, yang tauhid dengan yang kufur, inti kebenaran dengan kepalsuan. Tidak dapat diragukan dan dikacaukan lagi. Bagaimanapun orang-orang yang mempersekutukan Allah dengan yang lain selalu mencoba hendak mengacaukannya. “Maka yang diutus itu menyampaikan peringatan” (Ayat: 5). Memanglah bahwa al-Qur’ān itu adalah peringatan, dzikr. Di dalam Surat ke-15, al-Ḥijr ayat 9:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَ إِنَّا لَهُ لَحَافِظُوْنَ.
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan adz-Dzikr, dan sesungguhnya Kami tetap memeliharanya.”
Pada Surat ke-38; Shād = (ص), ayat 1 lebih jelas lagi:
ص. وَ الْقُرْآنِ ذِي الذِّكْرِ.
“Shād; Demi al-Qur’ān yang empunya dzikr.”
Dan beberapa ayat lagi yang lain, menunjukkan bahwa al-Qur’ān itu sendiri adalah dzikr atau peringatan.
“Yang memberi ampunan dan ancaman” (Ayat: 6). Yang memberikan ampunan, atau memaafkan orang yang insaf akan kesalahannya lalu memohonkan ampun dan taubat. Dan memberikan langkahnya yang salah. Di dalam al-Qur’ān ampunan dan ancaman itu selalu didapat.
Sekianlah ar-Rāzī memberikan tafsir tentang keenam ayat di permulaan Surat al-Mursalāt ini. Namun beliau dengan segala hormatnya menyatakan bahwa penafsiran beliau ini adalah muḥtamil = (مُحْتَمِلٌ), artinya besar kemungkinan bahwa demikian boleh juga ditafsirkan. Karena beliau untuk tidak mendapati orang lain menafsirkan begitu. Malahan beliau tambah lagi dengan kemungkinan tafsir yang lain. Yaitu bahwa yang dimaksud dengan “Yang diutus” itu mungkin juga “Risālāt” yang dipikulkan Tuhan tugasnya ke atas pundak rasūl-rasūl. Yang diutus membawa kebajikan itu – kata beliau – ialah diri-diri dari rasūl-rasūl itu. Kedatangan mereka sebagai utusan Allah benar-benar membawa kebajikan, ibarat angin membawa kesuburan. Pokok dari kebajikan itu – kata Rāzī selanjutnya – ialah pokok ajaran yang satu dari seluruh nabi dan rasūl. Yaitu kalimat Lā ilāha illā Allāh = (لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ); Tidak ada Tuhan melainkan Allah. Itulah anak kunci dari segala kebajikan dan yang ma‘rūf. Di ayat dua yang mengatakan datang dengan kencangnya; karena memang mula-mula seruan sekalian rasūl itu adalah laksana angin yang berembus dengan lemah-lembut juga, namun akhirnya menjadi angin besar dan hebat dan ayat 3 yang mengatakan dia tersebar seluas-luasnya, ialah bahwa ajaran nabi-nabi itu akhirnya tersebar luas di seluruh dunia ini, sehingga apapun kemajuan yang dicapai oleh manusia, terutama dalam perkembangan budi pekerti, sopan dan santun, masih tetaplah sebahagian besar karena pengaruh ajaran nabi-nabi. Tentang isi ayat 4 tentang yang diutus itu membawa perbedaan, teranglah bahwa ajaran nabi-nabi dan rasūl itu membawa perbedaan di antara Tauḥīd dan Syirik, ḥaqq dan bāthil, benar dan salah. Tentang ayat kelima bahwa yang diutus menyampaikan peringatan, maksudnya ialah bahwa rasūl-rasūl itu selalu mengajak manusia supaya ingat selalu kepada Allah, Tuhan yang menciptakan mereka dan menganugerahi mereka rezeki.
Jika kita lihat pula kepada penafsiran di Indonesia, maka terdapatlah dalam Tafsīr al-Furqān yang disusun oleh al-Ustadz A. Ḥassan, bahwa beliau menguatkan tafsir yang menyebutkan bahwa yang diutus itu ialah angin. Tetapi Terjemahan al-Qur’ān yang disusun oleh Panitia yang dibentuk oleh Departement Agama Republik Indonesia, di sana ditafsirkan bahwa “Yang diutus” itu ialah malaikat. Adapun Tafsīr al-Qur’ān susunan al-Ustadz H.Zainuddin Hamidi dan al-Ustadz Fakhruddin Hs. Beliau keduanya membawakan keempat-empat tafsiran yang dikemukakan Fakhr-ud-Dīn ar-Rāzī itu, yaitu: 1. Angin, 2. Malaikat, 3. Ayat-ayat al-Qur’ān dan, 4. Rasūl-rasūl yang diutus Tuhan.
Adapun Tafsīr bahasa Melayu yang tertua, susunan Syaikh ‘Abd-ur-Ra’ūf bin ‘Alī al-Fanshurī, yang disusun dalam abad ketujuh belas yang bernama Tafsīr Turjumān al-Mustafid, nampaknya beliau lebih condong memakai tafsir yang diutus itu ialah angin. Beliau menulis: “Demi segala angin, yang berturut-turut pahalanya seperti galah-galah, yang mengiring setengahnya akan setengahnya, maka demi segala angin yang keras, padahalnya sangat keras, dan demi segala angin yang menurunkan hujan, dan demi segala ayat-ayat al-Qur’ān padahalnya menceraikan antara ḥaqq dan bāthil, maka demi segala malaikat yang menurunkan wahyu kepada segala pesuruh, disampaikan mereka itu wahyu itu segala ummat akan ‘udzur, ya‘ni akan melepaskan diri atau akan memberi ingat akan yang diketakuti”.
Dalam susun kata Syaikh ‘Abd-ur-Ra’ūf ini, nampaknya beliau menganut faham lain yang menyatakan bahwa dari ayat pertama sampai ayat keempat memanglah angin yang berembus. Tetapi ayat yang kelima yang menurunkan peringatan, ialah malaikat.
Demikianlah tafsir dari ayat-ayat itu dari ayat kesatu sampai keenam, diambil Tuhan menjadi sumpah untuk dijadikan peringatan bagi manusia tentang yang diutus Tuhan, baik malaikat ataupun angin, ataupun al-Qur’ān sendiri. Namun yang penting kita perhatikan ialah kata terakhir yang menjadi sebab “yang diutus” itu dijadikan oleh Tuhan menjadi sumpah. Yang jadi kata terakhir itu ialah: “Sesungguhnya apa yang dijanjikan kepadamu itu pasti terjadi” (Ayat: 7).
Bahwa pastilah terjadi hukum yang telah ditentukan oleh Tuhan. Yaitu bahwasanya seluruh ‘alam ini mulanya tidak ada, kemudian diciptakan oleh Tuhan sampai ada. Setelah itu kelak dia akan binasa, akan fanā’. Akan lenyap. Hanya Tuhan jua Yang Kekal. Maka yang dijanjikan Tuhan itu ialah akan datangnya Hari Kiamat.