Mereka senantiasa menunggu-nunggu kebinasaan Nabi s.a.w. dan golongan yang beriman bersama beliau, sehingga mereka dapat istirahat dan bebas berbuat segalanya. Mereka saling berpesan agar bersabar hingga beliau dijemput ajal. Sehingga, badai yang menimpa barisan mereka yang diakibatkan oleh dakwah itu segera berlalu, sebagaimana mereka juga sering membual dengan mengira bahwa Allah akan membinasakan Nabi Muhammad s.a.w. dan orang-orang yang bersama beliau karena mereka anggap sesat dan berbuat dusta atas nama Allah.
Maka di sini, di hadapan pemandangan yang berupa mahsyar dan pembalasan ini, diingatkanlah kepada mereka bahwa khayalan mereka itu tidak akan dapat melindungi mereka dari siksaan akibat kekafiran dan kesesatan mereka. Oleh karena itu, yang lebih utama bagi mereka adalah merenungkan urusan mereka sebelum datangnya ancaman yang ditujukan kepada mereka yang kini seakan-akan sudah datang menimpa mereka itu.
قُلْ أَرَأَيْتُمْ إِنْ أَهْلَكَنِيَ اللهُ وَ مَنْ مَّعِيَ أَوْ رَحِمَنَا فَمَنْ يُجِيْرُ الْكَافِرِيْنَ مِنْ عَذَابٍ أَلِيْمٍ.
“Katakanlah, “Terangkanlah kepadaku jika Allah mematikan aku dan orang-orang yang bersama dengan aku atau memberi rahmat kepada kami, (maka kami akan masuk surga), tetapi siapakah yang dapat melindungi orang-orang yang kafir dari siksa yang pedih?”” (al- Mulk: 28)
Ini adalah pertanyaan yang mendorong mereka untuk merenungkan keadaan mereka dan memikirkan urusan mereka sendiri. Inilah yang lebih utama mereka lakukan. Maka, tidak ada manfaatnya bagi mereka seandainya khayalan mereka terwujud di mana Allah mewafatkan Nabi s.a.w. dan para pengikutnya, sebagaimana halnya mereka tidak akan diselamatkan kalau Allah memberi rahmat kepada nabi-Nya dan para pengikutnya. Sedangkan, Allah itu Mahakekal, tidak akan meninggal. Dialah yang mengembangbiakkan mereka di muka bumi dan kepada-Nya mereka akan dikembalikan.
Akan tetapi, pada kalimat berikutnya al-Qur’ān tidak mengajukan pertanyaan kepada mereka dengan mengatakan, “Siapakah yang dapat melindungi kamu dari azab yang pedih?” Dan, tidak pula menetapkan dalam nash itu bahwa mereka adalah orang-orang yang kafir. Tetapi, diisyaratkanlah kepada mereka azab yang sedang menantikan orang-orang kafir. “Siapakah yang dapat melindungi orang-orang kafir dari siksa yang pedih?”
Ini adalah metode dakwah yang bijaksana. Pada satu sisi ditakut-takutinya mereka, dan pada sisi lain diberinya mereka kesempatan untuk memperbaiki pandangan dan sikap mereka. Seandainya dinyatakan secara langsung kepada mereka bahwa mereka kafir dan tidak ada tempat lari bagi mereka dari azab yang pedih, maka boleh jadi mereka bersikap masa bodoh dan bangkitlah kesombongan mereka untuk semakin nekat berbuat dosa di depan ancaman langsung ini.
Maka, pada kondisi tertentu metode talmīḥ (isyarat sepintas) itu lebih mengena pada jiwa daripada metode tashrīḥ (transparan).
Kemudian ditingkatkanlah persoalannya dari menyamakan antara kedua hal ini, dengan menetapkan bagaimana sikap kaum mukminin terhadap Tuhannya, kepercayaannya kepada-Nya, dan tawakalnya kepada-Nya, yang disertai dengan isyarat terhadap ketenangan hati mereka karena keiman- annya, dan kepercayaan mereka terhadap petunjuk Tuhannya, sementara orang-orang kafir berada di dalam kesesatan yang nyata.
قُلْ هُوَ الرَّحْمنُ آمَنَّا بِهِ وَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْنَا فَسَتَعْلَمُوْنَ مَنْ هُوَ فِيْ ضَلَالٍ مُّبِيْنٍ.
“Katakanlah, “Dialah Allah Yang Maha Penyayang, kami beriman kepada-Nya dan kepada-Nyalah kami bertawakal. Kelak kamu akan mengetahui siapakah dia yang berada dalam kesesatan yang nyata.”” (al-Mulk: 29)
Disebutkannya sifat “ar-Raḥmān” di sini mengisyaratkan kepada rahmat-Nya yang dalam dan besar kepada Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman kepada-Nya. Ini berarti bahwa Dia tidak akan membinasakan mereka sebagaimana khayalan dan anggapan orang-orang kafir itu.
Nabi s.a.w. diarahkan untuk menampakkan jalinan yang menghubungkan mereka dengan Tuhan mereka Yang Maha Pemurah, yaitu jalinan iman “Kami beriman kepada-Nya” dan jalinan tawakal “Dan kepada-Nyalah kami bertawakal”… Hanya kepada-Nya saja…. Kalimat ini juga menunjukkan betapa dekatnya hubungan mereka dengan Tuhan Yang Maha Pemurah.
Allahlah yang memberikan karunia kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang mukmin. Lalu, mengizinkan beliau untuk menyatakan kedekatan ini, dan mengarahkannya untuk menyampaikan pernyataan ini, seakan-akan Dia berfirman kepada beliau, “Jangan takut terhadap apa yang dikatakan orang-orang kafir itu, karena engkau dan orang-orang yang bersamamu itu berhubungan dengan-Ku dan bernisbat kepada-Ku. Engkau telah mendapat izin dari-Ku untuk menyatakan kehormatan dan kedudukan adalah kasih sayang dan penghormatan dari Allah…
Setelah itu dikemukakanlah ancaman yang berlipat-ipat. “Kelak kamu akan mengetahui siapa dia yang berada dalam kesesatan yang nyata.”
Ini adalah suatu metode untuk mengguncang orang yang bandel melakukan pengingkaran, dan menyeru mereka untuk menarik kembali sikap mereka itu agar tidak bersikap begitu lagi karena khawatir akan termasuk dalam kesesatan. Kesesatan yang akibatnya mereka akan menghadapi azab yang pedih sebagaimana disebutkan dalam ayat sebelumnya, “Siapakah yang dapat melindungi orang-orang kafir dari siksa yang pedih?”
Pada waktu yang sama mereka tidak langsung dituding sebagai orang-orang yang sesat, supaya tidak bangkit kesombongan mereka untuk berbuat dosa lagi.
Demikianlah metode dakwah yang sesuai dengan kondisi jiwa yang bersangkutan.
Akhirnya, datanglah kesan terakhir dalam surah ini yang mengisyaratkan azab dunia kepada mereka sebelum azab akhirat. Yaitu, dengan dihalangi mereka dari mendapatkan sebab utama kehidupan yang berupa air.
قُلْ أَرَأَيْتُمْ إِنْ أَصْبَحَ مَاؤُكُمْ غَوْرًا فَمَنْ يَأْتِيْكُمْ بِمَاءٍ مَّعِيْنٍ.
“Katakanlah, “Terangkanlah kepadaku jika sumber air kamu menjadi kering, maka siapakah yang akan mendatangkan air yang mengalir bagimu?” (al-Mulk: 30)
“Al-mā-ul–ghaur”, kata ghā‘ir artinya hilang lenyap di dalam bumi, dan mereka tidak mampu memperolehnya lagi. Dan, “ma’īn” artinya bersumber, melimpah, memancar. Ini adalah sentuhan yang dekat sekali dengan kehidupan mereka, jika mereka masih menganggap jauh kemungkinan terjadinya hari Kiamat itu dan meragukannya…
Segala kekuasaan itu ada di tangan Allah, sedang Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Maka, bagaimana jadinya kalau Dia menghendaki untuk menyetop mereka dari mendapatkan sumber kehidupan yang dekat (yang berupa air) ini? Kemudian mereka dibiarkan merenungkan apa yang bakal terjadi seandainya Allah mengizinkan terjadinya apa yang diancamkan ini!
Demikianlah surah ini berakhir. Selesailah pemaparan kesan-kesan dan sentuhan-sentuhan, perjalanan dan pengembaraan ini, dalam berbagai ufuk, lorong, dan wilayah-wilayah yang sangat jauh ujung-ujungnya. Setiap ayat dengan mendekatkan satu sama lain, memberikan nuansa khusus. Atau, ia membawa pembaca ke alam misteri yang gaib, atau sesuatu yang dinantikan kedatangannya yang tidak berpaling kepadanya pandangan dan hati.
Surah ini adalah surah yang besar, surah yang lebih besar daripada bodinya, bingkainya, dan jumlah ayatnya. Seakan-akan ia adalah anak-anak panah yang menuju ke sasaran yang jauh, yang masing-masing anak panahnya hampir-hampir berdiri sendiri di dalam menguak alam yang baru.
Dengan berpijak pada kaidah-kaidah tashawwur Islami, ia membangun sisi-sisi fundamental yang sangat penting. Ia menetapkan di dalam hati hakikat kekuasaan yang mutlak, hakikat pemeliharaan yang mutlak, dan hakikat ujian yang berupa kematian dan kehidupan sebagai pengantar untuk menghadapi hari berkumpulnya semua manusia di padang mahsyar dan untuk mendapatkan pembalasan. Juga hakikat kesempurnaan dan keindahan pada ciptaan Allah, hakikat pengetahuan yang mutlak terhadap semua rahasia dan bisikan-bisikan, hakikat sumber rezeki, hakikat pemeliharaan Allah terhadap semua makhluk, dan kehadiran-Nya menyertai semua makhluk…. Juga sejumlah hakikat yang menjadi dasar berpijaknya tashawwur seorang muslim terhadap Tuhannya, dan tashawwurnya terhadap alam semesta beserta hubungannya dengan Pencipta alam semesta ini.
Tashawwur inilah yang menjadi sumber manhaj kehidupan orang mukmin secara keseluruhan, dalam berhubungan dengan Tuhannya, dengan dirinya, dengan sesama manusia, dengan makhluk hidup lainnya, dan dengan semua makhluk baik makhluk hidup maupun benda-benda lain. Tashawwur ini pulalah yang membentuk perasaannya, nuraninya, kepribadiannya, tata nilainya, tata normanya, dan sikapnya dalam menghadapi kehidupan….