Di samping itu, mereka menuduh Nabi s.a.w. dan para pengikutnya sebagai orang yang sesat. Mereka menganggap diri mereka lebih mendapat petunjuk jalan hidupnya, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yang seperti mereka terhadap para penyeru ke jalan Allah di setiap zaman. Oleh karena itu, dilukiskanlah kepada mereka kenyataan kondisi mereka dan kondisi kaum mukminin dalam pemandangan yang hidup yang memproyeksikan keadaan yang sebenarnya.
أَفَمَنْ يَمْشِيْ مُكِبًّا عَلَى وَجْهِهِ أَهْدَى أَمَّنْ يَمْشِيْ سَوِيًّا عَلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ.
“Maka, apakah orang yang berjalan terjungkal di atas mukanya itu lebih banyak mendapat petunjuk ataukah orang yang berjalan tegap di atas jalan yang lurus?” (al-Mulk: 22)
“Orang yang berjalan terjungkal di atas mukanya” itu boleh jadi memang benar-benar berjalan terjungkal dengan muka di bawah, bukan dengan kakinya yang berdiri lurus sebagaimana wajarnya ciptaan Allah. Atau, mungkin ia tergelincir di jalan lalu terjungkal di atas mukanya, kemudian bangkit lalu tergelincir lagi. Baik yang ini maupun yang itu adalah kondisi yang menyakitkan, menyengsarakan, sulit, dan membahayakan, tidak menyampaikan kepada petunjuk, kebaikan, dan tujuan. Nah, apa artinya kondisi orang yang jalannya demikian dibandingkan dengan kondisi orang yang berjalan tegak lurus di jalan yang tidak bengkok dan tidak menggelincirkan, sedang sasarannya jelas terpampang di hadapannya?
Kondisi pertama adalah kondisi orang yang celaka, sengsara, dan tersesat dari jalan Allah, terjauh dari petunjuk-Nya, bertabrakan dengan undang-undang-Nya dan makhluk-makhluk-Nya. Karena, mereka berpaling dari jalan-Nya dan mengambil jalan lain yang bukan jalan-Nya. Karena itu, mereka selalu tergelincir, menderita, dan tersesat.
Kondisi kedua adalah jalan yang bahagia, beruntung, terbimbing kepada Allah, dan bersenang-senang menikmati petunjuk-Nya. Mereka berjalan sesuai dengan peraturan-Nya di jalan yang lapang dan makmur, yang dilalui oleh konvoi iman, pujian, dan kemuliaan. Dan, inilah sebenarnya jalan alam semesta dengan makhluk hidup dan benda-benda lain yang ada di dalamnya.
Sesungguhnya kehidupan iman itu mudah, lurus, dan sederhana. Sedangkan, kehidupan kafir itu sulit, melarat, dan sesat. Maka, manakah di antara keduanya itu yang lebih mendapat petunjuk? Apakah pertanyaan ini memerlukan jawaban? Ini adalah pertanyaan retoris (pertanyaan yang sudah mengandung ketetapan dan jawaban)!
Akan tetapi, pertanyaan dan jawaban ini tersembunyi, agar tampak oleh hati pemandangan yang hidup, berkepribadian, dan bergerak ini…. Pemandangan yang berupa rombongan manusia yang berjalan di atas wajahnya, terpeleset atau terjungkal, tanpa tujuan dan tidak ada jalan. Juga pemandangan yang berupa rombongan lain yang berjalan dengan cita-cita yang tinggi dan langkah yang lurus di jalan yang lempang, menuju tujuan yang pasti.
Inilah fisikalisasi hakikat dan penggambaran kehidupan dalam lukisan, yang diungkapkan oleh al-Qur’an dengan metode deskripsinya…. (21)
Setelah menyebutkan petunjuk dan kesesatan, Allah mengingatkan mereka terhadap perangkat-perangkat petunjuk yang telah diberikan-Nya kepada mereka dan perangkat-perangkat pemahaman, tetapi tidak mereka manfaatkan, dan tidak mereka syukuri.
قُلْ هُوَ الَّذِيْ أَنْشَأَكُمْ وَ جَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَ الْأَبْصَارَ وَ الْأَفْئِدَةَ قَلِيْلًا مَّا تَشْكُرُوْنَ.
“Katakanlah, “Dialah Yang menciptakan kamu dan menadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati.” (Tetapi) amat sedikit kamu bersyukur.” (al-Mulk: 23)
Hakikat bahwa Allah yang menciptakan manusia adalah hakikat yang menghentikan akal manusia (untuk membantahnya) dan sebagai penegasan yang sulit ditolak. Manusia terwujud sebagai makhluk yang paling tinggi, paling mengerti, dan paling mampu dibandingkan makhluk lainnya. Sedangkan, dia tidak dapat mewujudkan dirinya sendiri. Karena itu, pasti ada yang lebih tinggi, lebih mengerti, dan lebih berkuasa daripada dirinya, yang berkuasa untuk mewujudkannya… Tidak ada jalan untuk tidak mengakui adanya Yang Maha Pencipta. Keberadaan manusia itu sendiri menghadapi hakikat ini, dan membantahnya adalah suatu lelucon yang tidak layak dihormati.
Al-Qur’an mengingatkan hakikat ini di sini. Karena, untuk mengingatkan perangkat-perangkat pengetahuan yang telah diberikan Allah kepada manusia.
“…Dan, menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati….”
Akan tetapi, bagaimana sikap manusia terhadap kenikmatan ini. nikmat penciptaan, nikmat pendengaran, penglihatan, dan hati?
“... (Tetapi) amat sedikit kamu bersyukur.” (al-Mulk: 23)
Pendengaran dan penglihatan adalah dua mukjizat besar yang dapat dimengerti keajaiban-ajaibannya yang menakjubkan. Hati yang diungkapkan oleh al-Qur’ān sebagai kekuatan untuk memahami dan mengetahui, adalah suatu mukjizat (keluarbiasaan) yang lebih menakjubkan dan lebih aneh, yang tidak dimengerti kecuali oleh sedikit orang saja. Dan, ini merupakan rahasia Allah pada makhluk yang unik tersebut…
Ilmu pengetahuan modern mencoba menguak sedikit tentang keluarbiasaan pendengaran dan penglihatan ini secara sepintas.
“Indra pendengaran dimulai pada telinga luar, dan tidak ada yang mengetahui sampai di mana ia berkesudahan kecuali Allah. Ilmu pengetahuan mengatakan, “Sesungguhnya getaran yang ditimbulkan oleh suara di udara berpindah ke telinga, yang sudah diatur sedemikian rupa bagian-bagian dalamnya, supaya dapat sampai ke gendang telinga. Dan, getaran-getaran ini dipindahkan ke labirin di dalam telinga. Labirin ini mengandung semacam saluran antara spiral dan setengah lingkaran. Pada bagian Spiral ini terdapat empat ribu busur kecil yang bersambung dengan saraf pendengaran di kepala.”
Nah, berapakah panjang busur dan besarnya? Bagaimana cara menyusun busur-busur yang jumlahnya beribu-ribu pada masing-masing bagian dengan susunan yang khusus ini? Dan, alat apakah gerangan yang diletakkan padanya? Belum lagi jaringan tulang-tulang lain yang halus dan bergelombang. Semua ini berada pada labirin yang hampir tak terlihat. Di dalam telinga juga terdapat ratusan ribu sel-sel pendengaran, dan saraf-sarafnya berkesudahan pada bulu-bulu yang halus, lembut, dan kuat, yang membingungkan (mengagumkan) orang-orang yang berakal sehat.
Pusat indra penglihatan adalah mata, yang mengandung seratus tiga puluh juta saraf penerima cahaya. Dan, mata itu terdiri dari selaput mata keras, kornea, placenta, dan retina… yang semua itu berbeda dengan saraf-saraf lain yang banyak jumlahnya.” (Allah wa–l-‘Ilmu Hadits: 57-58)
“Retina atau selaput jala itu terdiri dari sembilan tingkat yang terpisah-pisah. Tingkatan pertama yang terdapat di bagian dalam paling ujung terdiri dari batang-batang dan kerucut-kerucut. Ada yang mengatakan bahwa yang pertama itu berjumlah tiga puluh juta batang, dan yang kedua berjumlah tiga juta kerucut. Semuanya tersusun dengan rapi dan sangat teratur dalam hubungannya antara sebagian terhadap sebagian yang lain dan dalam hubungannya dengan lensa…. Itulah lensa mata Anda yang berbeda-beda ketebalannya. Karena itu, berkum pullah semua cahaya di titik api, dan manusia tidak akan dapat melakukan yang demikian itu dalam benda apa pun dari satu jenis, seperti kaca misalnya.” (al-‘Ilmu Yad’ū lil-‘Īmān: 113)
Adapun hati, maka dia adalah unsur khusus yang dengannyalah manusia menjadi manusia. Ia adalah kekuatan untuk memahami, membedakan, dan mengerti sesuatu, yang karenanyalah manusia menjadi khalifah di dalam kerajaan yang luas ini. Karenanya pula mereka dibebani memikul amanat yang langit, bumi, dan gunung-gunung enggan memikulnya, yaitu amanat iman ikhtiyārī “yang berdasarkan kesadaran”, petunjuk diri, dan istiqāmah berdasarkan kemauan terhadap manhaj Allah (32) Tidak ada seorang pun yang mengetahui materi kekuatan ini, pusatnya di mana, di dalam tubuh atau di luarnya! Karena ia adalah rahasia Allah pada manusia yang tidak ada seorang pun yang mengetahuinya.
Selanjutnya, diingatkanlah mereka bahwa Allah tidak menciptakan manusia dan diberinya keistimewaan-keistimewaan ini secara sia-sia dan kebetulan belaka, tanpa maksud dan tujuan apa-apa. Sesungguhnya masa hidup ini hanyalah untuk menerima ujian, kemudian akan diberi balasan pada hari pembalasan.
قُلْ هُوَ الَّذِيْ ذَرَأَكُمْ فِي الْأَرْضِ وَ إِلَيْهِ تُحْشَرُوْنَ.
“Katakanlah, “Dialah Yang menjadikan kamu berkembang biak di muka bumi, dan hanya kepada-Nyalah kamu kelak dikumpulkan.”” (al-Mulk: 24)
“Adz-dzara’” berarti memperbanyak, juga mengandung arti mengembangbiakkan. Dan, “al-ḥasyr” adalah mengumpulkan sesudah bertebaran ke berbagai penjuru. Keduanya merupakan gerakan yang berlawanan dilihat dari sudut pelukisan dan maknanya. Yang satu merupakan pemandangan yang melukiskan perkembangbiakan dan penyebaran manusia ini di muka bumi, dan yang satu adalah pemandangan yang melukiskan pengumpulan kembali mereka setelah dikembangbiakkan dan disebarkan.
Keduanya disebut dalam satu ayat untuk menghadapkan kedua pemandangan ini pada perasaan dan bayangan, menurut metode al-Qur’ān, dan untuk mengingatkan manusia yang bertebaran di muka bumi ini bahwa di sana ada kesudahan yang mereka pasti sampai di sana. Yaitu, berkumpul dan berhimpun menjadi satu. Di sana terdapat urusan di balik urusan kehidupan ini, di balik ujian dengan kematian dan kehidupan ini. Kemudian diceritakanlah keraguan mereka terhadap pengumpulan ini dan kebimbangan mereka terhadap ancaman ini.
وَ يَقُوْلُوْنَ مَتَى هذَا الْوَعْدُ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِيْنَ.
“Dan, mereka berkata, “Kapankah datangnya ancaman itu jika kamu adalah orang-orang yang benar?”” (al- Mulk: 25)
Ini adalah pertanyaan orang yang ragu-ragu dan bimbang, dan dapat juga sebagai pertanyaan orang yang mempermainkan dan melecehkan. Karena pengetahuan terhadap waktunya dan kapan terjadinya apa yang diancamkan ini tidak akan dapat mengajukan atau menunda kejadiannya, dan tidak ada hubungannya dengan hakikatnya. Hari itu adalah hari pembalasan sesudah diuji. Sama saja bagi mereka, apakah hari berkumpul (kiamat) itu akan datang besok pagi atau jutaan tahun lagi…, yang penting dia pasti datang, mereka akan dikumpulkan pada hari itu, dan akan diberi pembalasan terhadap apa yang mereka lakukan dalam kehidupannya dulu.
Oleh karena itu, Allah tidak menunjukkan kepada seorang pun dari makhluk-Nya kapan waktu terjadinya. Karena, tidak ada kemaslahatannya bagi mereka kalau mengetahui, tidak ada hubungannya dengan sifat hari itu dan hakikatnya, dan tidak ada pengaruhnya bagi tugas-tugas yang manusia dituntut melakukannya sebagai persiapan untuk menghadapinya. Bahkan, yang mashlaḥah (memelihara tujuan syara’ dan meraih manfaat/menghindarkan kemudharatan. -ed.) dan yang bijaksana ialah menyembunyikan waktunya kepada semua makhluk, dan hanya Allah saja yang mengetahuinya, tanpa satu pun makhluk yang mengetahuinya.
قُلْ إِنَّمَا الْعِلْمُ عِنْدَ اللهِ وَ إِنَّمَا أَنَا نَذِيْرٌ مُّبِيْنٌ.
“Katakanlah, Sesungguhnya ilmu (tentang hari Kiamat itu) hanya pada sisi Allah. Sesungguhnya aku hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan.” (al- Mulk: 26)
Di sini, tampaklah dengan jelas perbedaan antara Khāliq dengan makhlūq, dan murnilah zat Allah dan keesaan-Nya dengan tanpa ada yang menyerupainya dan bersekutu dengan-Nya. Juga murnilah pengetahuan tentang hari Kiamat itu hanya kepunyaan Allah. Berhentilah makhluk di tempat mereka dengan sikap sopan di hadapan posisi ketuhanan yang agung.
“Katakanlah, “Sesungguhnnya ilmu (tentang hari Kiamat itu) hanya pada sisi Allah. Dan sesungguhnya aku hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan.”” …. Tugasku hanya memberi peringatan, kepentinganku hanyalah memberi penjelasan. Ada pun pengetahuan tentang waktu terjadi hari Kiamat itu hanya ada pada Pemilik pengetahuan itu saja, tanpa ada yang bersekutu dengan-Nya.
Ketika mereka bertanya dengan penuh keraguan dan mendapat jawaban yang pasti, maka al-Qur’ān menimbulkan bayangan dalam hati mereka seakan-akan hari Kiamat yang merekatanyakan itu sudah datang, dan ancaman yang mereka ragukan sudah tiba waktunya. Juga seakan-akan mereka sedang menghadapinya sekarang, dan terjadilah apa yang terjadi.
فَلَمَّا رَأَوْهُ زُلْفَةً سِيْئَتْ وُجُوْهُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا وَ قِيْلَ هذَا الَّذِيْ كُنْتُمْ بِهِ تَدَّعُوْنَ.
“Ketika mereka melihat azab (pada hari Kiamat) sudah dekat, muka orang-orang kafir itu menjadi muram. Dan, dikatakan (kepada mereka), Inilah (azab) yang dahulunya kamu selalu meminta-mintanya.” (al-Mulk: 27)
Mereka melihatnya dari dekat, di hadapan mereka, bukan angan-angan lagi dan bukan pendahuluan. Maka, muramlah wajah mereka, tampaklah keputusasaan mereka, dan dihadapkanlah kepada mereka celaan ini, “Inilah (azab) yang dahulunya kamu selalu meminta-mintanya.”
Inilah dia, sudah datang, ada di dekatmu. Dan, inilah yang kamu anggap tidak akan terjadi itu!
Demikian metode di dalam memaparkan apa yang akan terjadi secara berulang-ulang di dalam al-Qur’ān, untuk menghadapi pendustaan atau keraguan dengan secara spontan membangkitkan perasaan dengan memberikan suatu gambaran ketika menghadapi orang yang mendustakan atau meragukan azab. Caranya dengan membentangkan pemandangan mengenai azab yang mereka dustakan atau mereka ragukan itu.
Kemudian, pada waktu yang sama digambarkanlah sebuah hakikat bahwa hari Kiamat ini (seluk-beluknya) ada dalam pengetahuan Allah. Adapun soal waktu yang dihitung manusia, maka itu hanya perhitungan manusia saja. Perhitungan manusia tentang masih lama atau tidaknya datangnya hari Kiamat itu adalah relatif, tidak mencerminkan hakikat yang sebenarnya sebagaimana hitungan Allah. Kalau Allah menghendaki, maka mereka akan memandang jangka waktunya itu cuma sekejap saja sebagaimana dalam pengetahuan Allah.
Maka, perpindahan lukisan dari dunia ke akhirat dan dari keragu-raguan dan kebimbangan kepada realitas yang di hadapan mata dan sangat tiba-tiba, hal itu mengisyaratkan kepada suatu hakikat yang ada. Seandainya Allah mengizinkan, niscaya tersingkaplah hal itu bagi mereka, pada saat Dia melukiskan hakikat ini kepada mereka dengan lukisan yang mengguncangkan perasaan mereka.