Kemudian dikembalikanlah semua sebab lahiriah ini kepada sebab yang pertama, dan dikembalikan- lah urusan ini dengan segala persoalannya kepada Tuhan yang di tangan-Nyalah berada segala kekuasaan, sedang Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Tanah longsor, angin topan, gunung meletus, gempa bumi, badai, dan segala kekuatan dan fenomena-fenomena alam lainnya sama sekali di luar kekuasaan manusia. Tetapi, semua itu adalah urusan Allah.
Manusia dapat saja mencoba memprediksinya, tetapi mereka sama sekali tidak dapat mencampurinya. Bahkan, mereka sendiri tidak dapat melindungi dirinya darinya. Dan, apa yang mereka bangun di muka bumi dapat saja dimusnahkan oleh guncangan gempa dan longsoran tanahnya, atau angin badainya, seperti mempermainkan dedaunan.
Karena itu, yang lebih baik adalah menghadapkan seluruh urusan ini kepada Pencipta alam ini dan Pembuat undang-undangnya yang mengatur fenomena-fenomena ini, dan Yang Memberinya potensi-potensi untuk muncul di samping peristiwa-peristiwa ini. Hendaklah mereka memperhatikan langit sebagai simbol ketinggian, lantas mengingat Allah yang di tangan-Nyalah segala kekuasaan berada, sedang Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.
Manusia itu adalah makhluk yang kuat menurut kadar kekuatan yang diberikan Allah kepadanya; dan mereka adalah makhluk yang pandai sesuai dengan kadar pengetahuan yang diberikan Allah kepadanya. Akan tetapi, alam semesta yang besar ini kendalinya berada di tangan Penciptanya, hukum alam adalah buatan-Nya, dan potensi-potensinya adalah ciptaan-Nya. Potensi-potensi ini berjalan sesuai dengan hukum-hukumnya dalam batas takdir-Nya.
Apa yang diperoleh manusia darinya itu memang sudah ditakdirkan dan ditentukan. Pengetahuan yang diperolehnya pun sudah ditakdirkan dan dimengerti. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di hadapan manusia dari waktu ke waktu di depan kekuatan alam yang sangat besar ini tidak lain adalah agar manusia mengingat Pencipta dan Pengatur alam semesta ini. Juga agar mereka memohon pertolongan kepadanya di dalam menghadapinya, dan supaya Allah memudahkannya menghadapi segala sesuatu yang ditentukan untuknya.
Ketika manusia melupakan hakikat ini, tertipu dan teperdaya oleh ilmu pengetahuan dan kemampuan yang diberikan Allah kepadanya untuk menundukkan dan mempergunakan sebagian potensi alam, maka pada saat itu mereka menjadi makhluk yang terputus dan terjauhkan dari ilmu yang sebenarnya yang dapat mengangkat ruh kepada sumbernya yang tinggi, dan menukik ke bumi dengan tetap menjaga jarak dari ruh alam semesta. Sedangkan, orang berilmu yang beriman maka ia akan selalu merendahkan diri di dalam arak-arakan alam yang indah ini, dan akan selalu berhubungan dengan Pencipta wujud yang agung ini. Nah, ini adalah kesenangan yang tidak dimengerti kecuali oleh orang yang merasakan manisnya ketika menuliskannya untuknya.
Akan tetapi, kekuatan alam yang besar ini membawa manusia untuk bersikap pasrah dan menyerah, baik mereka yang merasakan manisnya maupun yang tidak. Manusia dapat saja menyingkapkan apa yang disingkapkan, menciptakan apa yang diciptakan, dan mencapai sesuatu dengan kekuatannya. Tetapi, kemudian mereka menghadapi kekuatan-kekuatan alam dengan penuh kelemahan, ketidak berdayaan, dan kekerdilan.
Kadang-kadang mereka bisa melindungi diri dari badai, tetapi badai itu berjalan pula di jalannya tanpa ada seorang pun yang mampu menghentikannya. Yah, mereka tidak bisa menghentikan embusan badai itu. Paling-paling yang dapat mereka capai dengan usaha dan ilmunya ialah berlindung dari terpaan badai itu. Akan tetapi, kadang-kadang… dan kadang-kadang… mereka mati tertimpa reruntuhan dinding dan bangunan-bangunannya.
Di laut, dapat saja mereka dipukul gelombang dan diterpa badai, sehingga kapal yang paling besar pun menjadi seperti mainan anak kecil yang ditiup angin.
Adapun gempa bumi dan gunung berapi, maka ia senantiasa ada sejak permulaan zaman hingga akhir zaman. Maka, tidak ada lain kecuali kebutaan hatilah yang menjadikan manusia diterpa peristiwa yang menyedihkan ini, karena mereka merasa “berdiri sendiri” di alam semesta ini, atau sebagai “tuan” bagi alam ini.
Sesungguhnya manusia menjadi khalifah di bumi ini dengan izin Allah. Ia diberi kekuatan, kemampuan, dan pengetahuan sesuai dengan yang dikehendaki Allah. Sedangkan, Allah yang menjaganya dan melindunginya, yang memberinya rezeki dan karunia. Kalau tangan Allah lepas darinya sedetik saja, maka akan menjauh darinya segala kekuatan yang ditundukkan untuknya, dan dia akan dimakan lalat dan binatang-binatang yang lebih kecil lagi. Akan tetapi, dengan izin Allah dan pemeliharaan-Nya, maka dia terjaga dan terpelihara serta dimuliakan. Oleh karena itu, hendaklah dia mengerti dari mana datangnya kemuliaan ini dan karunia yang agung.
Setelah itu mereka diajak berpindah dari sentuhan ancaman dan peringatan kepada sentuhan perenungan dan pemikiran, di arena pemandangan yang sering mereka saksikan, tetapi tidak mereka renungkan kecuali sedikit saja. Ini adalah salah satu lambang kekuasaan, salah satu bekas pengaturan Ilahi yang halus lembut.
أَوَ لَمْ يَرَوْا إِلَى الطَّيْرِ فَوْقَهُمْ صَافَّاتٍ وَ يَقْبِضْنَ مَا يُمْسِكُهُنَّ إِلَّا الرَّحْمنُ إِنَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ بَصِيْرٌ.
“Apakah mereka tidak memperhatikan burung-burung yang mengembangkan dan mengatupkan sayapnya di atas mereka? Tidak ada yang menahannya (di udara) selain Yang Maha Pemurah. Sesungguhnya Dia Maha Melihat segala sesuatu.” (al-Mulk: 19)
Ini adalah peristiwa luar biasa yang terjadi setiap saat, yang kita lalaikan karena terjadi berulang-ulang, padahal ia sebagai lambang kekuasaan dan keagungan. Maka, pikirkanlah burung-burung ini, yang mengangkat kedua sayapnya dan mengembangkannya, kemudian mengatupkannya kembali. Ia membuka dan mengatupkan kedua sayapnya di udara, terbang melayang-layang dengan mudah, dan melakukan gerakan-gerakan yang kadang-kadang tampak oleh orang yang memandang sebagai atraksi yang indah dengan berputar-putar dan turun naik.
Renungkanlah pemandangan ini dan ikutilah setiap jenis burung dengan gerakan-gerakannya yang khusus sesuai dengan jenisnya, yang tidak membosankan mata memandang dan tidak menjenuhkan hati merenung. Ini adalah suatu kesenangan yang menebar ketika memikirkan dan merenungkan ciptaan Allah Sang Maha Pencipta, yang di dalamnya terkumpul kesempurnaan dan keindahan.
Al-Qur’an mengisyaratkan agar memperhatikan pemandangan yang mengesankan ini.
“Apakah mereka tidak memperhatikan burung-burung yang mengembangkan dan mengatupkan sayapnya di atas mereka?….”
Kemudian ditunjukkannya kepada mereka penataan dan kekuasaan yang ada di baliknya.
“…Tidak ada yang menahannya (di udara) selain Yang Maha Pemurah….”
Yang Maha Pemurah menahannya dengan hukum alamnya yang rapi yang sesuai dengan keteraturan yang menakjubkan itu, yang meliputi segenap yang kecil dan yang besar, dengan perhitungan yang sangat jeli dan teliti. Peraturan yang mengandung beribu-ribu kesesuaian dan keserasian di bumi, udara, dan penciptaan burung-burung. Sehingga, peristiwa luar biasa ini menjadi sempurna dan terjadi berulang-ulang, yang ternyata memang terjadi berulang-ulang secara teratur.
Yang Maha Pemurah menahannya dengan kekuasaan-Nya yang tak kenal lelah, dan pemeliharaan-Nya yang selalu hadir dan tak pernah hilang. Kekuasaan dan pemeliharaan inilah yang senantiasa memelihara undang-undang dan peraturan ini di dalam aktivitasnya, kerapiannya, dan keteraturannya. Ia tak pernah penat, tak pernah rusak, dan tak pernah guncang sedetik pun mengikuti apa yang dikehendaki Allah. “Tidak ada yang menahannya (di udara) selain Yang Maha Pemurah.” …. Yah, dengan ungkapan langsung yang menunjukkan adanya tangan Yang Maha Pemurah, yang menahan setiap burung dan setiap sayap, ketika si burung mengembangkan sayapnya dan mengatupkannya, sambil menggantung di udara!
“…Sesungguhnya Dia Maha Melihat segala sesuatu.” (al-Mulk: 19)
Dia melihat dan memandangnya. Melihat urusan-Nya dan mengawasinya. Karena itu, Dia menyiapkannya dan mengaturnya, memberi kemampuan, dan memelihara segala sesuatu setiap saat dengan pemeliharan Zat Yang Mahawaspada lagi Mahamelihat.
Menahan burung di udara, seperti menahan binatang-binatang di atas bumi yang terbang di angkasa, seperti menahan segala sesuatu yang tidak ada yang dapat menahannya di tempatnya kecuali Allah. Akan tetapi, al-Qur’an membawa pandangan dan hati manusia untuk memperhatikan pemandangan yang dapat mereka lihat dan saksikan, dan disentuhnya hati mereka dengan pengarahan-pengarahan dan iramanya. Memang, ciptaan Allah semuanya mukjizat (luar biasa) dan indah, semuanya mengandung arahan dan harmonis. Setiap hati dan setiap generasi dapat memahaminya sesuai dengan kemampuannya, dan dapat memperhatikan apa yang dilihatnya sesuai dengan taufik Allah.
Selanjutnya disentuhlah hati mereka dengan sentuhan lain dengan membawa mereka kepada pemandangan yang menakutkan dan menyedihkan, seperti gempa bumi dan angin badai, setelah mereka dibawa berjalan-jalan bersama burung- burung yang terbang di udara dengan aman. Maka, digoyanglah hati mereka di antara berbagai macam sentuhan dengan dibawanya kembali ke permulaan, karena Allah tahu pengaruhnya di dalam hati hamba-hamba-Nya,
أَمَّنْ هذَا الَّذِيْ هُوَ جُنْدٌ لَّكُمْ يَنْصُرُكُمْ مِّنْ دُوْنِ الرَّحْمنِ إِنِ الْكَافِرُوْنَ إِلَّا فِيْ غُرُوْرٍ.
“Atau siapakah dia yang menjadi tentara bagimu yang akan menolongmu selain dari Allah Yang Maha Pemurah? Orang-orang kafir itu tidak lain hanyalah dalam (keadaan) tertipu.” (al-Mulk: 20)
Al-Qur’an telah menakut-nakuti mereka dengan gempa bumi, menakut-nakuti mereka dengan badai, dan mengingatkan mereka terhadap akibat yang diterima orang-orang terdahulu yang dimurkai Allah, lalu mereka dihancurkan. Maka, di sini Dia kembali bertanya kepada mereka, “Siapakah dia yang menjadi tentara bagimu yang akan menolongmu dan melindungimu dari siksaan Allah, selain Allah? Siapakah dia yang akan membela mereka dan melindungi mereka dari azab Yang Maha Pemurah selain Yang Maha Pemurah sendiri?”
“… Orang-orang kafir itu tidak lain hanyalah dalam (keadaan) tertipu.” Tipuan yang meninabobokan mereka bahwa mereka berada dalam keadaan aman, terlindungi, dan tenang, padahal sebenarnya mereka sangat rentan untuk mendapat kemurkaan dan siksaan Tuhan Yang Maha Pemurah. Tidak ada yang bisa menolong mereka kecuali keimanannya sendiri dan amal salehnya yang dapat mengundang datangnya rahmat Allah Yang Maha Pemurah.
Sentuhan lain adalah mengenai rezeki yang mereka nikmati selama ini, tetapi mereka lupakan sumbernya. Kemudian mereka tidak merasa khawatir akan lenyapnya rezeki itu, lantas mereka terus saja menyombongkan diri dan berpaling.
أَمَّنْ هذَا الَّذِيْ يَرْزُقُكُمْ إِنْ أَمْسَكَ رِزْقَهُ بَلْ لَّجُّوْا فِيْ عُتُوٍّ وَ نُفُوْرٍ.
“Atau, siapakah dia ini yang memberi kamu rezeki jika Allah menahan rezeki-Nya? Sebenarnya mereka terus-menerus dalam kesombongan dan menjauhkan diri.” (al-Mulk: 21)
Rezeki seluruh manusia terikat pada kehendak Allah sebagai sebab pertamanya, di dalam proyek alam semesta, dan pada unsur-unsur bumi dan udara. Yaitu, sebab-sebab yang manusia tidak memiliki kekuasaan atasnya secara mutlak, dan tidak bergantung pada ilmu pengetahuan mereka sama sekali. Pasalnya, ia lebih dahulu ada daripada keberadaan mereka di alam semesta ini, lebih besar kekuatannya daripada mereka, dan lebih mampu daripada mereka untuk menghapuskan segala sesuatu yang mempengaruhi kehidupan jika Allah menghendakinya.
Maka, siapakah gerangan yang dapat memberikan rezeki kepada manusia jika Allah menahan sumber air, atau menahan angin, atau menahan unsur-unsur utama yang darinyalah muncul wujud manusia?
Sesungguhnya ruang lingkup rezeki itu lebih luas jangkauannya, lebih dahulu masanya, dan lebih dalam akarnya daripada apa yang terpikirkan oleh manusia sewaktu mendengar kata “rezeki” itu sendiri. Tempat kembali segala sesuatu yang kecil dan yang besar dalam urusan rezeki ini adalah kepada kekuasaan dan ketentuan Allah, dan pengiriman-Nya dan penahanan-Nya terhadap sebab-sebabnya kalau Dia menghendaki.
Di dalam ruang lingkup yang besar, luas, dan dalam ini terlipatlah seluruh lingkup materi yang dekat bagi kata “rezeki” ini, yang dikira oleh manusia sebagai hasil usahanya dan dalam jangkauan kemampuannya, seperti bekerja, berkreasi, dan memproduksi… Semuanya berhubungan dengan adanya sebab-sebab dan unsur-unsur pertama dilihat dari satu segi, dan bergantung pada karunia Allah pada seseorang atau kepada umat atau bangsa dilihat dari segi lain.
Maka, manakah napas yang dihirup dan dikeluarkan oleh seorang pekerja, atau gerakan yang dilakukannya, kalau bukan dari rezeki Allah, yang telah menciptakannya, dan memberinya kemampuan dan potensi, menciptakan napas untuknya, dan memberinya materi yang melakukan pembakaran di dalam tubuhnya sehingga mampu bergerak? Manakah pemikiran yang dicurahkan seorang kreator selain dari rezeki Allah yang telah memberinya kemampuan untuk berpikir dan berkreasi? Dan, manakah hasil yang diproduksi oleh seorang karyawan atau pencipta sesuatu melainkan materinya itu pada mulanya adalah ciptaan Allah, dan pada dasarnya sebab-sebab alamiah dan sebab-sebab insaniahnya adalah rezeki dari Allah?
“…Sebenarnya mereka terus-menerus dalam kesombongan dan menjauhkan diri.” (al-Mulk: 21)
Ungkapan ini melukiskan pipi yang berpaling dan sikap yang penuh kesombongan, setelah dalam kalimat sebelumnya ditetapkan hakikat rezeki, dan bahwa mereka berada dalam tanggungan Allah mengenai rezeki ini. Ditunjukkannya keburukan sikap sombong, menjauhkan diri, dan berpaling yang mestinya tidak pantas dilakukan oleh orang-orang yang hidup di dalam tanggungan terhadap Zat Yang memberi makan, Yang memberi pakaian, Yang memberi rezeki, dan Yang menanggung kebutuhan hidup mereka. Namun, setelah itu mereka tetap sombong, berpaling, dan tak tahu malu!
Ini adalah lukisan terhadap hakikat jiwa manusia yang berpaling dan menjauh dari seruan ke jalan Allah. Mereka melampaui batas dan sombong, berpaling dan menjauhkan diri, dan lupa bahwa mereka ciptaan Allah, dapat hidup karena karunia-Nya. Juga lupa bahwa mereka tidak punya kekuasaan sedikit pun untuk mewujudkan dirinya, kehidupannya, dan rezekinya.