Fenomena Alam Semesta dan Pembalasan di Akhirat
Selanjutnya, dihubungkanlah hakikat ini dengan alam seluruhnya dalam lapangan yang lebih besar dan lebih tinggi, sebagaimana pada sisi lain dihubungkan dengan hakikat pembalasan di akhirat sesudah diuji dengan kematian dan kehidupan.
الَّذِيْ خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ طِبَاقًا مَّا تَرَى فِيْ خَلْقِ الرَّحْمنِ مِنْ تَفَاوُتٍ فَارْجِعِ الْبَصَرَ هَلْ تَرَى مِنْ فُطُوْرٍ. ثُمَّ ارْجِعِ الْبَصَرَ كَرَّتَيْنِ يَنْقَلِبْ إِلَيْكَ الْبَصَرُ خَاسِأً وَ هُوَ حَسِيْرٌ. وَ لَقَدْ زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيْحَ وَ جَعَلْنَاهَا رُجُوْمًا لِّلشَّيَاطِيْنِ وَ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابَ السَّعِيْرِ. وَ لِلَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِرَبِّهِمْ عَذَابُ جَهَنَّمَ وَ بِئْسَ الْمَصِيْرُ. إِذَا أُلْقُوْا فِيْهَا سَمِعُوْا لَهَا شَهِيْقًا وَ هِيَ تَفُوْرُ. تَكَادُ تَمَيَّزُ مِنَ الْغَيْظِ كُلَّمَا أُلْقِيَ فِيْهَا فَوْجٌ سَأَلَهُمْ خَزَنَتُهَا أَلَمْ يَأْتِكُمْ نَذِيْرٌ. قَالُوْا بَلَى قَدْ جَاءَنَا نَذِيْرٌ فَكَذَّبْنَا وَ قُلْنَا مَا نَزَّلَ اللهُ مِنْ شَيْءٍ إِنْ أَنْتُمْ إِلَّا فِيْ ضَلَالٍ كَبِيْرٍ. وَ قَالُوْا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِيْ أَصْحَابِ السَّعِيْرِ.
“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka, lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan suatu cacat dan penglihatanmu itu pun dalam keadaan payah. Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang. Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar setan, dan Kami sediakan bagi mereka siksa neraka yang menyala-nyala. Orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, memperoleh azab Jahannam. Dan, itulah seburuk-buruk tempat kembali. Apabila mereka dilemparkan ke dalamnya, mereka mendengar suara neraka yang mengerikan, sedang neraka itu menggelegak, hampir-hampir (neraka) itu terpecah-pecah lantaran marah. Setiap kali dilemparkan ke dalamnya sekumpulan (orang-orang kafir), Penjaga-penjaga (neraka itu) bertanya kepada mereka, “Apakah belum pernah datang kepada kamu (di dunia) seorang pemberi peringatan?” Mereka menjawab, “Benar ada. Sesungguhnya telah datang kepada kami seorang pemberi peringatan, maka kami mendustakan (nya) dan kami katakan, “Allah tidak menurunkan sesuatu pun. Kamu tidak lain hanyalah di dalam kesesatan yang besar.”” Dan mereka berkata, “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu), niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.” Mereka mengakui dosa mereka. Maka, kebinasaanlah bagi penghuni-penghuni meraka yang menyala-nyala.” (al-Mulk: 3-11)
Segala sesuatu yang ada di dalam ayat-ayat ini merupakan bekas-bekas dari apa yang ditunjuki ayat pertama tadi dan lambang-lambang pemeliharaan yang dilakukan di dalam kerajaan tersebut. Juga sebagai lambang kekuasaan yang tidak terikat oleh suatu ikatan. Kemudian sebagai pembuktian bagi ayat kedua yang menyatakan bahwa diciptakannya kematian dan kehidupan adalah sebagai ujian. Sesudah itu mereka akan mendapatkan balasan.
Tujuh langit yang berlapis-lapis yang diisyaratkan oleh ayat ini tidak mungkin dapat ditetapkan materinya oleh manusia, dengan mengambil keputusan induktif dengan teori-teori ilmu falak, karena teori-teori ini masih senantiasa dapat dibenahi dan direvisi. Cukuplah bagi kita untuk mengerti bahwa di sana terdapat tujuh langit yang berlapis-lapis, dalam arti bertingkat-tingkat dengan jarak yang amat jauh antara yang satu dengan yang lain.
Al-Qur’ān mengarahkan pandangan untuk memperhatikan makhluk Allah, kepada langit dengan sifat khususnya dan kepada semua makhluk dengan sifat umumnya. Dia mengarahkan pandangan untuk memperhatikan makhluk Allah. Karena kesempurnaannya, dia menantang manusia untuk mencari ketidakseimbangan pada ciptaan Allah di langit ini. Tetapi, kemudian pandangan itu kembali dengan tidak menemukan suatu cacat dan ia kembali dalam keadaan payah, lemah, dan loyo.
“Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang….”
Maka, di sana tidak ada cacat, tidak ada kekurangan, dan tidak ada kelabilan.
“…Maka, lihatlah berulang-ulang!….”
Lihatlah sekali lagi, untuk menegaskan dan memantapkan.
“…Adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?” (al-Mulk: 3)
Apakah pandanganmu melihat sesuatu yang berantakan, retak, atau rusak?
“Kemudian pandanglah sekali lagi….”
Barangkali pandangan pertamamu kurang jeli sehingga masih ada yang terluput. Siapkanlah penglihatanmu, kemudian ulangi pandanganmu,
“…Niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan suatu cacat dan penglihatanmu itu pun dalam keadaan payah.” (al-Mulk: 4)
Metode tantangan ini akan menimbulkan perhatian dan keseriusan di dalam memperhatikan langit dan semua makhluk ciptaan Allah. Pandangan yang tajam dan penuh perhatian inilah yang dikehendaki al-Qur’ān untuk dikembangkan dan dilestarikan. Karena kebebalan dan kebodohan dapat menyebabkan orang tidak mau memperhatikan dengan serius terhadap alam semesta yang indah menakjubkan, bagus dan lembut ini. Alam yang tidak ada mata yang merasa kekenyangan karena memandang keindahan dan kebagusannya, hati tidak pernah merasa kenyang menerima arahan dan isyarat-isyaratnya, dan akal tidak pernah merasa puas dan kenyang memikirkan keteraturan dan kecermatannya. Juga yang menjadikan hidup jiwa orang yang mau merenungkannya dengan pandangannya ini kepada pameran Ilahi yang bagus dan indah, yang tak pernah lapuk inovasi-inovasinya, karena ia senantiasa baru bagi mata, hati, dan pikiran.
Orang yang mengerti sedikit tentang tabiat alam ini dan keteraturannya sebagaimana yang diungkapkan oleh ilmu pengetahuan modern tentang beberapa seginya, maka ia akan semakin kagum dan tercengang. Akan tetapi, keindahan alam ini tidak memerlukan ilmu pengetahuan. Pasalnya, sudah termasuk kenikmatan dari Allah kepada manusia di mana Dia telah memberikan kepada mereka kemampuan untuk bertanya-jawab dengan alam ini dengan semata-mata memperhatikan dan merenungkan. Maka, hati itu akan dapat menerima pengarahan-pengarahan alam yang besar dan indah ini secara langsung manakala hati itu terbuka dan siap siaga. Kemudian terjadilah tanya jawab dengan arahan-arahan dan kesan-kesan alami ini seperti tanya jawab antara makhluk hidup dengan sesama makhluk hidup lainnya, sebelum dia mengetahui dengan pikirannya dan perangkat deteksinya tentang sesuatu dari makhluk yang agung dan mengagumkan ini.
Karena itulah, al-Qur’ān menugasi manusia untuk memandang alam semesta ini dan memperhatikan pemandangan-pemandangan dan keajaiban-keajaibannya. Hal itu disebabkan al-Qur’ān senantiasa berbicara kepada seluruh manusia, dan pada semua masa. Ia berbicara kepada penghuni hutan dan penghuni padang pasir, sebagaimana ia berbicara kepada penghuni kota dan penjelajah samudera. Ia berbicara kepada orang ummi (buta huruf) yang tidak tahu tulis baca, sebagaimana ia berbicara kepada astronom, fisikawan, dan ilmuwan-ilmuwan lainnya. Masing-masing bisa mendapatkan sesuatu dalam al-Qur’ān yang berhubungan dengan alam ini, dan sesuatu yang dapat menimbulkan renungan dalam hati, respons, dan kesenangan.
Keindahan dalam susunan alam yang rapi ini juga dimaksudkan seperti penampilan kesempurnaannya. Bahkan, keduanya (keindahan dan kesempurnaan) diperuntukkan buat sebuah hakikat, karena kesempurnaan itu untuk mencapai tingkat keindahan. Oleh karena itu, al-Qur’ān mengarahkan pandangan kepada keindahan langit setelah mengarahkan untuk melihat kesempurnaannya.
“Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang. …”
Apakah langit dunia, langit yang dekat itu? Barangkali ja adalah langit yang paling dekat dengan bumi dan penghuninya yang dibicarakan oleh al-Qur’ān ini. Mungkin bintang-bintang yang diisyarat-kannya di sini adalah bintang-bintang dan planet-planet yang tampak oleh mata, yang dapat kita lihat ketika kita memandang ke langit. Karena yang demikian ini sesuai dengan arahan kepada yang diajak bicara supaya memandang ke langit. Mereka tidak dapat melihat kecuali dengan mata mereka, dan mata mereka pun melihat benda-benda (bintang-bintang) yang bersinar yang menghiasi langit.
Bintang-bintang di langit adalah suatu pemandangan yang indah, tanpa diragukan lagi. Keindahan yang menarik hati. Keindahan yang senantiasa terasa baru dan beraneka warnanya sesuai dengan Saat-saat memandangnya, yang berbeda antara pagi dan sore, ketika terbit dan ketika tenggelam, ketika malam berbulan dan ketika gelap gulita, ketika jernih dan ketika berkabut…. Bahkan, ia terasa berbeda dari waktu ke waktu, dari satu tempat ke tempat lain, dan dari satu sudut dan sudut lain… Akan tetapi, semuanya indah dan mengesankan.
Nun di sana sebuah bintang yang berkelap-kelip, seakan sebuah mata yang indah, yang memancarkan sinar kecintaan dan memanggil-manggil. Dua buah bintang yang menyendiri di sana, yang menyisih dari kerumunan bintang yang berdesak- desakan, seakan mereka berdua sedang berbisik-bisik (sambil berkedip-kedip).
Ini, gugusan-gugusan bintang yang berserakan di sana-sini, seakan-akan rombongan-rombongan yang berparade dalam festival langit, yang berkumpul dan berpisah seakan-akan klub malam dalam festival. Dan, ini bulan yang santun dan tenang pada suatu malam, yang bersinar cemerlang pada suatu malam, yang kemudian redup cahayanya dan menurun letaknya pada suatu malam. Ia seperti yang baru lahir dan membuka kehidupan pada suatu malam, dan yang seolah berjalan tertatih-tatih menuju kelenyapan pada suatu malam. Juga angkasa yang luas membentang ini, yang tak bosan-bosannya mata memandang, dan pandangan tak dapat mencapai jangkauannya ….
Semuanya sungguh indah. Keindahan yang manusia hidup dan bersenang-senang dengannya, tetapi tak dapat menyifatinya dengan kata-kata dan kalimat-kalimat!
al-Qur’ān mengarahkan jiwa manusia kepada keindahan langit dan keindahan seluruh alam semesta. Karena, memahami keindahan alam merupakan jalan terdekat dan terbaik untuk memahami kebagusan Pencipta alam ini. Pemahaman seperti inilah yang dapat mengangkat derajat manusia ke ufuk yang sangat tinggi yang dapat mereka capai. Karena, pada saat itu ia sampai ke suatu titik yang disiapkan untuk kehidupan yang abadi, di dunia yang bebas dan indah, yang bersih dari kotoran-kotoran bumi dan kehidupan dunia. Dan, saat-saat yang paling berbahagia bagi manusia adalah saat-saat yang pada waktu itu ia menerima keindahan ciptaan Ilahi di alam ini, karena saat-saat itu merupakan saat yang disediakan baginya untuk berhubungan dengan keindahan Ilahi dan bersenang-senang dengannya.
Di sini, nash al-Qur’ān menyebutkan bahwa bintang-bintang yang dijadikan Allah sebagai hiasan bagi langit juga memiliki fungsi lain.
“…Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar setan…”
Dalam tafsir azh-Zhilāl ini, kami memberlakukan kaidah dengan tidak menambah sesuatu pun atas perkara-perkara gaib yang diinformasikan Allah kepada kita. Kami berhenti pada batas-batas nash al-Qur’ān tanpa melampauinya, karena al-Qur’ān itu sendiri sudah cukup untuk menetapkan urusan apa saja yang ditampilkannya.
Maka, kita percaya bahwa di sana ada sejenis makhluk yang bernama setan, yang sebagian sifat-sifatnya disebutkan di dalam al-Qur’ān, dan sudah diisyaratkan di muka di dalam tafsir azh-Zhilāl ini. Kami tidak menambah-nambahinya sedikit pun, dan kami percaya bahwa Allah telah menjadikan sebagian dari bintang-bintang yang menghiasi langit dunia ini sebagai alat-alat pelempar setan, dalam bentuk nyala api sebagaimana disebutkan dalam surah lain.
“Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang terdekat dengan hiasan, yaitu bintang-bintang, dan telah memeliharamnya (sebenar-benarnya) dari setiap setan yang sangat durhaka.” (ash-Shāffāt: 6-7)
“Akan tetapi, barangsiapa (di antara mereka) yang mencuri-curi (pembicaraan), maka dikejar oleh suluh api yang cemerlang.” (ash-Shāffāt: 10)
Bagaimana caranya? Dari unsur apa bodinya? Dalam bentuk apa? Semua itu tidak diinformasikan oleh Allah kepada kita, dan kita tidak mendapatkan sumber lain yang dapat digunakan menjawab pertanyaan dalam masalah ini. Maka, demikian sajalah yang kita ketahui dan harus kita percayai terjadinya. Dan, inilah yang dimaksud. Sebab, kalau Allah mengetahui bahwa di dalam memberikan tambahan, penjelasan, dan perincian tentang masalah ini terdapat kebaikan, sudah tentu Dia menjelaskannya kepada kita. Maka, untuk apa kita mencoba mengetahui sesuatu yang Allah tidak melihat ada kebaikan di dalamnya? Yakni dalam urusan ini, urusan melempari setan?
Kemudian ayat berikutnya membeberkan apa yang disediakan Allah kepada setan, selain mereka dilempari itu.
“Kami sediakan bagi mereka siksa neraka yang menyala-nyala.” (al-Mulk: 5)
Maka, lemparan di dunia dan siksa neraka yang menyala-nyala di akhirat disediakan bagi setan-setan itu. Barangkali relevansi penyebutan apa yang disediakan Allah bagi setan di dunia dan akhirat ialah disebutkannya langit pertama kali, kemudian disebutkanlah orang-orang yang kafir. Hubungan antara setan dan orang-orang kafir adalah hubungan implisit. Maka, setelah disebutkan bintang-bintang di langit, disebutkanlah bahwa ia juga dijadikan alat pelempar setan. Dan, ketika disebutkan apa yang disediakan bagi setan yang berupa azab neraka yang menyala-nyala, disebutkanlah sesudah itu apa yang disediakan bagi orang-orang kafir pengikut setan tersebut.
“Dan orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, memperoleh azab Jahannam. Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.” (al-Mulk: 6)
Kemudian dilukiskanlah pemandangan tentang neraka Jahannam ini, ketika ia menyambut orang-orang kafir dengan marah dan geram.
“Apabila mereka dilemparkan ke dalamnya, mereka mendengar suara neraka yang mengerikan, sedang neraka itu menggelegak, hampir-hampir (neraka) itu terpecah- pecah lantaran marah….” (al-Mulk: 7-8)
Jahannam di sini digambarkan sebagai makhluk hidup. Ia menahan marah, hingga napasnya turun naik ngos-ngosan, bergejolak dan menggelegak, dan seluruh sisinya dipenuhi dengan kemarahan. Sehingga, hampir-hampir ia terpecah-pecah berantakan karena menahan marah. Ia menyimpan kemarahan dan kebencian hingga merasa sangat geram terhadap orang-orang kafir.
Pernyataan ini secara lahiriah tampak sebagai kiasan dan lukisan terhadap neraka Jahannam. Akan tetapi, kami rasa dia menetapkan suatu hakikat yang sesungguhnya. Karena, setiap ciptaan Allah memiliki ruh yang sesuai dengan jenis fisiknya, setiap makhluk mengenal Tuhannya dan bertasbih dengan memuji-Nya, dan dia jengkel ketika melihat manusia kufur kepada Penciptanya, serta marah terhadap keingkaran yang mungkar dan bertentangan dengan fitrah dan ruhnya ini. Hakikat ini disebutkan di dalam al-Qur’ān pada beberapa tempat yang berbeda-beda yang memberikan kesan bahwa ayat-ayat itu menetapkan suatu hakikat yang tersimpan pada setiap sesuatu di alam ini.
Terdapat pernyataan yang transparan di dalam al-Qur’ān yang berbunyi,
“Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan, tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka.” (al-Isrā’: 44)
“Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama Dawud!” (Saba’: 10)
Ayat-ayat ini merupakan pernyataan yang transparan dan langsung, yang tidak perlu ditakwilkan lagi.