Hati Senang

Surah al-Muddatstsir 74 ~ Tafsir Sayyid Quthb (5/5)

Tafsir Sayyid Quthb - Tafsir Fi Zhilalil Qur'an
Dari Buku:
Tafsīr fi Zhilāl-il-Qur’ān
Oleh: Sayyid Quthb   Penerbit: Gema Insani

Kebebasan Memilih Jalan Hidup Beserta Tanggung Jawabnya.

Di bawah bayang-bayang irama yang mengesankan sekaligus menakutkan ini diumumkanlah tanggung jawab masing-masing orang atas dirinya, dan dibiarkanlah mereka memilih jalan hidupnya dan tempat kembalinya di akhirat nanti, dan dinyatakan pula bahwa mereka akan mempertanggungjawabkan semua usaha yang telah dipilihnya, akan mempertanggungjawabkan ‘amal perbuatan dan dosa-dosanya:

لِمَنْ شَاءَ مِنْكُمْ أَنْ يَتَقَدَّمَ أَوْ يَتَأَخَّرَ. كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِيْنَةٌ.

(Yaitu) bagi siapa di antaramu yang berkehendak akan maju atau mundur. Tiap-tiap diri bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnya” (al-Muddatstsir: 37-38).

Setiap orang dapat membawa atau mengarahkan kemauan dirinya dengan segala tanggungjawabnya, dapat menempatkan dirinya di mana saja dia menghendaki, maju atau mundur, memuliakannya atau menghinakannya. Maka ia akan bertanggungjawab terhadap apa yang diusahakannya, terikat dengan apa yang dilakukannya. Allah telah menjelaskan kepada jiwa (manusia) ini jalan yang dapat ditempuhnya dengan penuh kesadaran, yang diumumkan-Nya di depan pemandangan-pemandangan alam yang mengesankan dan pemandangan neraka Saqar yang tidak meninggalkan dan tidak membiarkan….. pernyataan yang tepat dan berbobot.

Di atas pemandangan jiwa yang bertanggungjawab terhadap apa saja yang diusahakannya dan terikat dengan perbuatan-perbuatannya, diumumkanlah keterlepasan golongan kanan dari segala belenggu dan ikatan, dan dibebaskannya mereka dari tanggungjawab orang-orang yang berdosa, dari tempat kembali yang mereka dapatkan:

إِلَّا أَصْحَابَ الْيَمِيْنِ. فِيْ جَنَّاتٍ يَتَسَاءَلُوْنَ. عَنِ الْمُجْرِمِيْنَ. مَا سَلَكَكُمْ فِيْ سَقَرَ. قَالُوْا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّيْنَ. وَ لَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِيْنَ. وَ كُنَّا نَخُوْضُ مَعَ الْخَائِضِيْنَ. وَ كُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوْمِ الدِّيْنِ. حَتَّى أَتَانَا الْيَقِيْنُ.

Kecuali golongan kanan, berada di dalam surga, mereka tanya-menanya, tentang (keadaan) orang-orang yang berdosa: “Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?” Mereka menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, dan adalah kami membicarakan yang bāthil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya, dan adalah kami mendustakan hari pembalasan, hingga datang kepada kami kematian.”” (al-Muddatstsir: 39-47).

Lepas dan bebasnya golongan kanan dari tanggungjawab dan ikatan itu terserah kepada karunia Allah yang telah memberi berkah kebaikan mereka dan melipatgandakannya. Pengumuman serta penampilan hak itu di tempat ini dapat menyentuh hati dengan sentuhan yang mengesankan, menyentuh hati orang-orang yang berdosa yang mendustakan ayat-ayat Allah, ketika mereka melihat diri mereka di dalam posisi yang hina, yang di sana mereka mengakui segala dosanya dengan panjang lebar, sedangkan orang-orang mu’min yang sewaktu di dunia tidak mereka indahkan dan tidak mereka hiraukan, kini berada dalam posisi yang terhormat dan mulia, mereka tanya-menanya tentang orang yang suka berbuat dosa yang dibeberkan keadaannya di tempat itu: “Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?”….. dan menyentuh hati orang-orang mu’min yang sewaktu di dunia mendapatkan perlakukan buruk dari orang-orang yang suka berbuat dosa itu, sedangkan sekarang mereka dapati diri mereka dalam posisi yang terhormat, sementara musuh-musuh mereka yang sombong itu berada dalam keadaan yang hina-dina…..

Pemandangan ini memberikan kesan yang kuat di dalam jiwa kedua golongan tersebut bahwa peristiwa hari itu benar-benar akan terjadi dan mereka menjadi pelakunya di sana…. dan lembaran kehidupan dunia dengan segala sesuatunya sudah dilipat pada hari itu seakan-akan sudah berlalu dan berakhir serta sudah lenyap (dan tinggal mempertanggungjawabkannya hari ini).

Pengakuan panjang dan terperinci tentang dosa-dosa yang banyak yang menyeret mereka ke neraka itu juga mereka akui lagi dengan mulut mereka dalam keadaan hina-dina di hadapan orang-orang mu’min:

Mereka menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat…..” (al-Muddatstsir: 43).

Perkataan ini merupakan kiasan tentang iman secara keseluruhan, yang mengisyāratkan bahwa shalat itu merupakan implementasi anasir ‘aqīdah yang paling penting, dan dijadikannya sebagai simbol dan petunjuk iman, yang menunjukkan bahwa pengingkaran terhadap shalat adalah kufur dan pelakunya terlepas dari barisan kaum mu’minīn.

Dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin” (al-Muddatstsir: 44).

Ini merupakan tindak lanjut dari ketiadaan iman itu dengan identifikasinya sebagai ‘ibādah kepada Allah dalam berbuat baik kepada makhlūqnya, sesudah diidentifikasi dengan ber‘ibādah kepada Allah Sendiri. Hal ini disebutkan dengan tegas di dalam beberapa tempat mengenai kondisi sosial yang dihadapi oleh al-Qur’ān, dan terputusnya tindak kebaikan terhadap orang miskin dalam lingkungan yang keras ini, di samping mereka sombong dan membangga-banggakan kemuliaan sebagaimana disebutkan dalam beberapa tempat, dan tidak disebutkannya pada beberapa tempat ketika hal itu perlu disebutkan, hanya semata-mata dihubungkan dengan sifat atau identitas sebelumnya.

Dan adalah kami membicarakan yang bāthil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya” (al-Muddatstsir: 45).

Ayat ini menerangkan keadaan mereka yang meremehkan urusan ‘aqīdah dan hakikat iman, dan menjadikannya sebagai sasaran pelecehan dan permainan, dan menjadikan bahan ejekan dan gurauan, Padahal urusan ‘aqīdah ini merupakan urusan yang paling serius dan paling penting dalam kehidupan manusia. Ia adalah urusan yang seharusnya dimantapkan di dalam hati dan perasaannya sebelum melakukan yang lain dari urusan kehidupan ini, karena di atas landasan ‘aqīdah inilah ditegakkannya pandangannya, perasaannya, tata nilai, dan timbangan-timbangannya, dan di bawah pancaran cahayanya ia menelusuri jalan kehidupan. Maka bagaimana ia tidak memikirkannya dengan serius dan tidak berpegang padanya dengan sungguh-sungguh? Dan bagaimana ia membicarakannya dan mempermainkannya bersama orang-orang yang mempermainkannya?

Dan adalah kami mendustakan hari pembalasan.” (al-Muddatstsir: 46).

Inilah yang menjadi pangkal bencana tersebut. Karena orang yang mendustakan hari pembalasan niscaya akan rusaklah semua timbangan, akan goncanglah semua tata nilai menurut ukurannya, dan sempitlah, lapangan kehidupan dalam perasaannya, ketika ia membatasi persoalan hanya pada umurnya yang pendek dan terbatas di dunia ini, dan mengukur akibat semua urusan dengan apa yang terjadi di lapangan kehidupan yang sempit dan terbatas ini. Maka ia tidak percaya terhadap akibat-akibat ini dan tidak menghitungnya dengan perhitungan akhir yang sangat penting ini….Karena itu rusaklah semua ukurannya dan rusaklah di tangannya semua urusan dunia ini, sebelum rusak ukurannya di akhirat dan di tempat kembalinya nanti….. Akibatnya ia akan berujung pada tempat kembali yang amat buruk.

Orang-orang yang berdosa itu mengatakan: “Kami berada dalam kondisi seperti ini, tidak mau mengerjakan shalat, tidak mau memberi makan orang miskin, membicarakan yang bāthil bersama dengan orang-orang yang membicarakannya, dan mendustakan hari pembalasan…..”

Hingga datang kepada kami kematian.” (al-Muddatstsir: 47).

Kematian yang memutuskan segala keraguan dan mengakhiri segala kebimbangan, memutuskan urusan dengan tidak dapat ditolak lagi, dan tidak meninggalkan kesempatan untuk melakukan penyesalan, bertobat, dan melakukan ‘amal shāliḥ…. sesudah datangnya kematian…. sesuatu yang meyakinkan itu.

Alinea yang menggambarkan keadaan yang buruk dan menghinakan ini diakhiri dengan menolong semua harapan keberuntungan di tempat kembali itu nanti:

فَمَا تَنفَعُهُمْ شَفَاعَةُ الشَّافِعِيْنَ.

Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafā‘at dari orang-orang yang memberikan syafā‘at.” (al-Muddatstsir: 48).

Urusan telah ditetapkan, perkataan (keputusan) sudah dipastikan, dan sudah ditentukan pula tempat kembali yang pantas bagi orang-orang yang berdosa yang sudah mengakui dosa-dosanya itu! Dan di sana sama sekali tidak ada orang yang dapat memberikan syafā‘at (pertolongan, pembelaan) kepada orang-orang yang berdosa. Pertolongan dan pembelaan atau syafā‘at tidak ada artinya bagi mereka, tidak ada gunanya sama sekali.

Sikap Mereka Ketika di Dunia.

Di depan pemaparan pemandangan yang menghinakan dan menyedihkan di akhirat ini, dikembalikanlah mereka kepada sikap mereka sewaktu masih kesempatan di dunia dulu sebelum menghadapi keadaan yang demikian di akhirat, yaitu mereka selalu berpaling dari peringatan dan menghalangi orang lain darinya, bahkan mereka lari dari petunjuk dan kebaikan serta semua sarana keselamatan yang ditawarkan kepada mereka. Sikap mereka ini dilukiskan dengan gambaran yang menggelikan dan mengherankan karena sikap mereka yang aneh itu:

فَمَا لَهُمْ عَنِ التَّذْكِرَةِ مُعْرِضِيْنَ. كَأَنَّهُمْ حُمُرٌ مُّسْتَنْفِرَةٌ. فَرَّتْ مِنْ قَسْوَرَةٍ.

Maka mengapa mereka (orang-orang kafir) berpaling dari peringatan (Allah)?” Seakan-akan mereka itu keledai liar yang lari terkejut. Lari dari singa.” (al-Muddatstsir: 49-51).

Pemandangan keledai-keledai liar yang terkejut dan berlarian ke semua penjuru, ketika mendengar raung singa dan takut kepdanya….. Pemandangan ini adalah pemandangan yang sudah populer di kalangan bangsa ‘Arab. Pemandangan tentang gerakan yang keras, tetapi lucu dan sangat menggelikan ketika manusia disamakan dengannya….. ketika mereka ketakutan. Nah, bagaimana kalau mereka berlari seperti ini dalam arti berubah dari manusia menjadi keledai, yang bukannya karena takut ancaman melainkan ada seorang pemberi peringatan yang mengingatkan mereka terhadap Tuhan mereka dan tempat kembali mereka, dan memberi kesempatan kepada mereka untuk menjaga diri dari sikap yang tercela dan hina, dan dari mendapatkan tempat kembali yang amat sulit dan pedih?

Itulah kuas yang indah yang melukis pemandangan ini dan mencatatnya di dalam lembaran alam, yang dapat diamati oleh jiwa, lantas ia merasa malu untuk berada di sana, dan orang-orang yang memampangkan dirinya di sana berlari untuk menyembunyikan rasa malunya, dan mereka menenangkan diri dari berpaling dan lari itu karena takut terhadap lukisan yang hidup dan keras itu.

 

Begitulah kondisi luar mereka, seperti “Keledai-keledai liar yang lari terkejut, lari dari singa.” Kemudian mereka tidak dibiarkan begitu saja, sehingga diluliskan pula kondisi di dalam jiwa mereka dengan segala gejolak perasaannya:

بَلْ يُرِيْدُ كُلُّ امْرِئٍ مِّنْهُمْ أَنْ يُؤْتَى صُحُفًا مُّنَشَّرَةً.

Bahkan tiap-tiap orang dari mereka berkehendak supaya diberikan kepadanya lembaran-lembaran yang terbuka.” (al-Muddatstsir: 52).

Karena mereka dengki kepada Nabi s.a.w. disebabkan Allah telah memilih beliau dan memberi wahyu kepada beliau. Mereka sangat berkeinginan untuk mendapatkan kedudukan itu dan diberi kitab yang terbuka yang dapat dipublikasikan kepada masyarakat….

Sudah tentu isyārat di sini menunjuk kepada pembesar-pembesar musyrik yang merasa sangat keberatan bahwa wahyu diturunkan kepada Muḥammad bin ‘Abdillāh. Karena itu mereka berkata:

Mengapa al-Qur’ān ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dari dua negeri (Makkah dan Thā’if) ini?

Sedangkan, Allah mengetahui di mana yang tepat Dia menaruh risalah-Nya dan memilih manusia yang mulia, besar, dan agung untuk mengembannya. Maka kedengkian yang bergejolak di dalam hati yang diungkapkan oleh al-Qur’ān itulah yang menyebabkan mereka berlari bagaikan binatang liar yang binal.

Kemudian dilanjutkanlah pelukisan bagian dalam jiwa mereka, ditolaknya keinginan dan kedengkian mereka, lalu disebutkan sebab lain yang menjadikan mereka berpaling dan menentang dakwah. Ini juga menentang kerakusan yang ada di dalam jiwa mereka, yang tidak bersandar kepada alasan-alasan yang baik dan persiapan yang layak untuk menerima wahyu Allah dan karunia-Nya:

كَلَّا بَلْ لَا يَخَافُوْنَ الْآخِرَةَ.

Sekali-kali tidak. Sebenarnya mereka tidak takut kepada negeri akhirat.” (al-Muddatstsir: 53).

Ketidaktakutan mereka kepada negeri akhrat inilah yang menjauhkan mereka dari peringatan Allah, dan menjadikan mereka lari dari dakwah seperti itu. Seandainya hati mereka merasakan hakikat akhirat, niscaya akan lainlah keadaan dan sikap mereka!

Kemudian disangkal lagi keinginan dan sikap mereka itu, yang disampaikan kepada mereka dalam kalimat terakhir, dan dibiarkannya mereka mengikuti pilihan hatinya terhadap jalan hidup dengan segala akibatnya di akhirat nanti:

كَلَّا إِنَّهُ تَذْكِرَةٌ. فَمَنْ شَاءَ ذَكَرَهُ.

Sekali-kali tidak demikian halnya. Sesungguhnya al-Qur’ān itu adalah peringatan. Maka barang siapa menghendaki, niscaya dia mengambil pelajaran daripadanya (al-Qur’ān).” (al-Muddatstsir: 54-55).

Al-Qur’ān yang mereka berpaling darinya dan tidak mau mendengarkannya, serta berlari darinya bagaikan keledai-keledai liar, dengan menyimpan kedengkian di dalam hati terhadap Nabi Muḥammad s.a.w. dan meremehkan akhirat….., sesungguhnya al-Qur’ān ini adalah peringatan untuk mengingatkan dan menyadarkan mereka, kalau mereka mau. Oleh karena itu, barang siapa yang menghendaki, silakan dia mengambil pelajaran darinya; dan barang siapa yang tidak mau, maka itu adalah urusan mereka sendiri dengan segala akibatnya di akhirat nanti, sesuai dengan pilihannya, surga dan kemuliaan, ataukah neraka dan kehinaan…..

Kehendak Ilahi Yang Mutlak.

Sesudah menetapkan adanya kehendak mereka untuk memilih jalan hidup, maka diakhirilah paparan ini dengan menjelaskan adanya kehendak mutlak Ilahi dan kembalinya segala urusan kepadanya pada akhirnya. Ini merupakan hakikat yang ingin disampaikan oleh al-Qur’ān pada setiap kesempatan yang relevan untuk meluruskan tashawwur “pandangan” imani dari sudut kemutlakan kehendak Ilahi dan peliputannya yang menyeluruh dan sebagai muara, di balik semua peristiwa dan urusan:

وَ مَا يَذْكُرُوْنَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللهُ، هُوَ أَهْلُ التَّقْوَى وَ أَهْلُ الْمَغْفِرَةِ.

Dan mereka tidak akan mengambil pelajaran darinya kecuali (jika) Allah menghendakinya. Dia (Allah) adalah Tuhan Yang patut (kita) bertaqwā kepada-Nya dan berhak memberi ampun.” (al-Muddatstsir [74]: 56).

Maka segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini terikat dengan kehendak terbesar, ia berlangsung sesuai dengan arahnya dan berada di dalam wilayahnya. Karena itu, tidak ada seorang pun dari makhlūq-Nya yang dapat berkehendak terhadap sesuatu yang bertentangan dengan kehendak-Nya, dan kehendak-Nya mendominasi seluruh ketentuan alam semesta. Kehendak teragung dan mutlak inilah yang menciptakan alam ini dan menciptakan undang-undangnya. Dialah yang memberlakukan segala sesuatu yang ada di dalamnya dan semua orang yang ada padanya dalam bingkai kehendak mutlak itu, dalam kerangka kehendak mutlak, dalam batasnya, dan dalam ketentuannya.

Kesadaran adalah taufīq (pertolongan yang bersifat bāthiniyyah/kejiwaan) dari Allah, yang dimudahkan-Nya bagi orang yang diketahui-Nya dari hakikat jiwanya bahwa dia layak mendapatkan taufīq. Karena hati itu berada di antara dua jari dari jari-jemari Tuhan Yang Maha Pengasih, yang membolak-baliknya sesuai dengan kehendak-Nya. Apabila Dia mengetahui ketulusan niat si hamba, maka diarahkan-Nyalah dia kepada ketaatan-ketaatan.

Hamba (manusia) tidak mengetahui apa yang dikehendaki Allah terhadap dirinya, karena ini termasuk perkara ghaib yang tertutup baginya. Akan tetapi ia bisa mengerti tentang sesuatu yang dikehendaki Allah untuk ia lakukan, dan ini termasuk sesuatu yang telah dijelaskan-Nya. Oleh karena itu, apabila niat si hamba itu benar-benar tulus untuk melaksanakan apa yang ditugaskan Allah kepadanya untuk melaksanakannya, niscaya Allah akan menolongnya dan mengarahkannya sesuai dengan kehendak mutlak-Nya.

Yang hendak dicetak oleh al-Qur’ān di dalam perasaan orang Muslim ialah kemutlakan kehendak Allah ini dan peliputannya terhadap segala sesuatu, sehingga menghadapnya hamba kepadanya haruslah ikhlas, dan kepasrahannya kepadanya haruslah tulus. Inilah hakikat keislaman hati yang tak mungkin ada keislaman di dalamnya tanpa kepasrahan seperti ini. Apabila hal ini sudah mantap di dalam hati, maka akan dibentuklah hati itu dengan bentuk khusus dari dalam, dan akan diciptakan tashawwur khusus di dalamnya untuk memandang segala peristiwa kehidupan.

Inilah tujuan mendasar dijelaskannya kemutlakan kehendak Ilahi beserta cakupannya yang menyeluruh sesudah dibicarakannya janji dan ancaman dengan surga atau neraka, petunjuk atau kesesatan.

Adapun menggunakan kemutlakan ini, dan memalingkannya untuk menjadi bahan perdebatan tentang masalah jabar dan ikhtiyār (keterpaksaan dan kehendak/pilihan manusia), maka ini adalah pemotongan terhadap satu sisi dari tashawwur yang menyeluruh dan hakikat yang mutlak, dan menggiringnya ke jalan yang sempit dan tertutup, yang tidak akan berkesudahan pada perkataan (pendapat) yang memuaskan, karena tidak terdapat di dalam al-Qur’ān penggiringan dan pengarahan kepada jalan yang sempit dan tertutup itu.

Dan mereka tidak akan mengambil pelajaran darinya kecuali (jika) Allah menghendakinya…..

Maka mereka tidak dapat melawankan kehendak mereka dengan kehendak Allah, dan mereka tidak bergerak ke suatu arah kecuali dengan adanya kehendak dari Allah yang telah menguasakan mereka untuk bergerak dan memilih arah.

Dan, “Dia (Allah) adalah Tuhan Yang patut (kita) bertaqwā kepada-Nya….” yang merupakan hak-Nya terhadap hamba-hambaNya, yang oleh karenanya mereka dituntut untuk bertaqwā itu…..

Dan berhak memberi ampun”….kepada hamba-hambaNya sesuai dengan kehendak-Nya.

Dan taqwā itu menjadikan seseorang layak mendapatkan pengampunan-Nya, sedang Allah adalah yang berhak terhadap manusia agar bertaqwā kepada-Nya dan berhak memberi ampunan kepada manusia.

Dengan penyucian yang penuh kekhusyu‘an itu diakhirilah surah ini; dan dari sini jiwa manusia memandang kepada wajah Allah Yang Maha Mulia, bahwa Dia berkehendak memberi taufīq kepada manusia (yang mempunyai niat yang tulus untuk mengikuti petunjuk-Nya) untuk mengambil pelajaran dari al-Qur’ān, berkehendak mengarahkan mereka kepada ketaqwāan, dan memberikan karunia dengan memberikan pengampunan.

Dia (Allah) adalah Tuhan Yang patut (kita) bertaqwā kepada-Nya dan berhak memberi ampun.

Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.