Pada waktu itu, turunlah ayat-ayat berikut yang mengungkapkan hikmah Allah mengungkapkan sisi keghaiban ini, disebutkannya bilangan ini, dikembalikannya ‘ilmu tentang perkara ghaib ini kepada Allah, dan ditetapkannya apa yang ada di balik itu dengan menyebut neraka Saqar dan penjaga-penjaganya di ujung penampilan itu:
وَ مَا جَعَلْنَا أَصْحَابَ النَّارِ إِلَّا مَلآئِكَةً وَ مَا جَعَلْنَا عِدَّتَهُمْ إِلَّا فِتْنَةً لِّلَّذِيْنَ كَفَرُوْا لِيَسْتَيْقِنَ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتَابَ وَ يَزْدَادَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِيْمَانًا وَ لَا يَرْتَابَ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتَابَ وَ الْمُؤْمِنُوْنَ وَ لِيَقُوْلَ الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ مَّرَضٌ وَ الْكَافِرُوْنَ مَاذَا أَرَادَ اللهُ بِهذَا مَثَلًا، كَذلِكَ يُضِلُّ اللهُ مَنْ يَشَاءُ وَ يَهْدِيْ مَنْ يَشَاءُ، وَ مَا يَعْلَمُ جُنُوْدَ رَبِّكَ إِلَّا هُوَ، وَ مَا هِيَ إِلَّا ذِكْرَى لِلْبَشَرِ.
“Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat; dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi al-Kitāb menjadi yakin dan supaya orang yang beriman bertambah imannya dan supaya orang-orang yang diberi Kitāb dan orang-orang mu’min itu tidak ragu-ragu dan supaya orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir (mengatakan): “Apakah yang dikehendaki Allah dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan?” Demikianlah Allah menyesatkan orang-orang yang dikehendaki-Nya, dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri. Dan Saqar itu tiada lain hanyalah peringatan bagi manusia.” (al-Muddatstsir: 31).
Ayat ini dimulai dengan menetapkan hakikat bilangan sembilan belas yang dibantah oleh orang-orang musyrik itu:
“Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat….”
Jadi, mereka adalah dari makhlūq ghaib yang tidak ada yang mengetahui tabiatnya dan kekuatannya selain Allah, sedang Dia telah berfirman kepada kita tentang mereka, bahwa mereka itu “tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka, dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (at-Taḥrim: 6).
Allah menetapkan bahwa para malaikat itu selalu mematuhi apa yang diperintahan Allah kepada mereka, dan mereka memiliki kemampuan untuk melakukan apa yang diperintahkan itu. Kalau begitu, maka mereka sudah dibekali dengan kekuatan yang dapat dipergunakan untuk melaksanakan segala sesuatu yang ditugaskan Allah untuk mereka kerjakan. Apabila mereka ditugaskan menjaga neraka Saqar, berarti mereka telah dibekali oleh Allah dengan kekuatan yang diperlukan untuk tugas itu, sebagaimana yang diketahui Allah. Karena itu, mereka tidak dapat ditekan atau dikalahkan oleh manusia yang lemah itu. Dan tidak ada perkataan yang berlagak menyombongkan diri hendak mengalahkan malaikat itu kecuali keluar dari kebodohan yang berat terhadap hakikat penciptaan dan pengaturan Allah terhadap segala urusan.
“Dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi cobaan bagi orang-orang kafir”.
Nah, mereka inilah yang sangat terkesan hatinya (dengan kesan buruk – penj.) terhadap sebutan jumlah bilangan itu karena mereka ingin membantahnya, dan mereka tidak mengerti di tempat mana seharusnya mereka menerima dan di tempat mana pula mereka boleh membantah. Maka semua urusan ghaib ini termasuk urusan Allah, dan manusia tidak memiliki pengetahuan terhadapnya, banyak atau sedikit. Apabila Allah telah menginformasikan tentang perkara ghaib itu, maka Dialah satu-satunya sumber tentang hakikat masalah ini, dan urusan manusia hanya menerima informasi ini dengan penuh kepasrahan dan kemantapan hati bahwa yang terbaik ialah apa yang disebutkan pada persoalan ini saja, dengan ketentuan yang telah disebutkannya, dan tidak ada jalan bagi manusia untuk membantahnya. Maka manusia hanya boleh membantah sesuatu yang dia telah memiliki pengetahuan sebelumnya, yang bertentangan dengan informasi yang baru itu. Adapun mengenai persoalan mengapa malaikat penjaga itu berjumlah sembilan belas (entah apa maksud jumlah segitu itu), maka ini adalah urusan yang hanya Allah yang mengetahuinya, sedang Dia yang mengatur semua yang wujud, dan menciptakan segala sesuatu dengan ukuran dan ketentuannya. Jumlah ini adalah seperti halnya dengan jumlah-jumlah lainnya.
Orang yang ingin membantah atau menyangkal, bisa saja membantah atau menyanggah setiap jumlah atau bilangan lain dan urusan lain dengan bantahan serupa, misalnya, mengapa langit itu tujuh? (Kok tidak delapan, sembilan, sepuluh dan seterusnya? – penj.) Mengapa manusia diciptakan dari tanah-tanah kering seperti tembikar, sedang jinn diciptakan dari nyala api? Jawabannya sudah tentu karena Yang Maha Pencipta berkehendak dan berbuat sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya! Demikianlah kata putus di dalam menghadapi persoalan-persoalan seperti ini….
“supaya orang-orang yang diberi al-Kitāb menjadi yakin dan supaya orang yang beriman bertambah imannya dan supaya orang-orang yang diberi Kitāb dan orang-orang mu’min itu tidak ragu-ragu….”
Maka mereka ini akan mendapatkan di dalam jumlah penjaga neraka Saqar itu sesuatu yang dapat membawa sebagian mereka kepada keyakinan dan menjadikan yang sebagian lagi semakin bertambah imannya. Adapun orang-orang yang diberi al-Kitāb, maka mereka pasti memperoleh sesuatu dari hakikat ini. Apabila mereka mendengarnya dari al-Qur’ān, maka mereka yakin bahwa al-Qur’ān itu membenarkan apa yang tersebut dalam kitab sebelumnya mengenai masalah ini. Sedangkan orang-orang yang beriman, maka setiap perkataan dari Tuhan mereka menambah keimanan mereka, karena hati mereka senantiasa terbuka dan berhubungan dengan Tuhannya, sehingga dapat menerima berbagai macam hakikat secara langsung; dan setiap hakikat dari Allah yang datang ke dalam hatinya akan menambah ketenangan dan kepercayaannya kepada Allah. Dan, hatinya akan merasakan hikmah Allah di balik bilangan ini beserta ketentuannya yang lembut terhadap ciptaannya, sehingga menambah keimanan dalam hatinya. Hakikat ini sudah mantap di dalam hati mereka itu, sehingga mereka tidak ragu-ragu lagi terhadap apa saja yang datang dari sisi Allah sesudah itu.
“Dan supaya orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir (mengatakan): “Apakah yang dikehendaki Allah dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan?””
Demikianlah, sebuah hakikat (urusan) meninggalkan dua kesan (tanggapan) yang berbeda di dalam hati yang berbeda…. Sementara orang-orang yang diberi kitab merasa yakin dan orang-orang yang beriman bertambah imannya, maka orang-orang kafir dan orang-orang munāfiq yang hatinya lemah itu berada dalam kebingungan bertanya-tanya: “Apakah yang dikehendaki Allah dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan?….” Mereka tidak mengetahui hikmah urusan yang dirasa asing ini, tetapi mereka tidak mau tunduk kepada kebijaksanaan Allah yang mutlak di dalam menentukan segala ciptaan-Nya. Mereka juga tidak mempercayai adanya kebaikan tersembunyi yang dikeluarkan dari dunia ghaib ke dunia nyata….
“Demikianlah Allah menyesatkan orang-orang yang dikehendaki-Nya, dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya.”
Demikianlah disebutkan beberapa hakikat dan ditampilkan beberapa ayat, kemudian diterima oleh hati yang berbeda dengan sikap penerimaan yang berbeda pula. Segolongan manusia mendapat petunjuk darinya sesuai dengan kehendak Allah, dan segolongan lagi tersesat karenanya sesuai dengan kehendak Allah pula. Maka segala urusan pada ujungnya kembali kepada kehendak mutlak Allah, yang menjadi muara segala sesuatu. Dan, orang-orang itu keluar dari tangan kekuasaan dengan potensi ganda untuk memilih petunjuk atau memilih kesesatan. Maka barang siapa yang mendapat petunjuk dan yang tersesat, masing-masing bertindak di dalam batas-batas kehendak yang telah menciptakan mereka dengan potensi-potensi campuran ini, dan kehendak yang memudahkannya bertindak begini atau begitu, dalam batas-batas kehendak yang mutlak, sesuai dengan hikmah Allah yang tersembunyi.
Digambarkanlah kemutlakan kehendak dan muara segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini kepadanya dengan gambaran yang sempurna dan dengan kandungan petunjuk yang luas yang membebaskan akal dari melakukan bantahan yang sempit sekitar persoalan yang mereka sebut dengan jabr dan irādah, suatu perdebatan yang tidak menghasilkan pandangan yang benar, disebabkan ia memandang persoalannya dari sudut yang sempit, dan meletakkannya dalam bingkai yang terbatas sesuai dengan logika, pengalaman, dan pandangan manusia yang terbatas. Sedangkan, persoalannya adalah persoalan ulūhiyyah yang tidak terbatas.
Allah telah menyingkapkan kepada kita melalui jalan petunjuk dan jalan kesesatan, dan membatasi bagi kita jalan untuk kita tempuh sehingga kita mendapatkan petunjuk, berbahagia, dan beruntung, dan telah menjelaskan kepada kita beberapa jalan yang dapat saja kita menyimpang ke sana dengan risiko kita akan tersesat, sengsara, dan merugi. Dia tidak menugasi kita untuk mengetahui sesuatu yang ada di balik itu, serta tidak memberi kemampuan kepada kita untuk mengetahui sesuatu yang di balik semua itu. Bahkan Dia berkata kepada kita: “Kehendak-Ku mutlak, dan kemauan-Ku berlaku….” Maka tugas kita adalah meluruskan – sebatas kemampuan kita – pandangan tentang hakikat irādah yang mutlak dan masyiah yang berlaku itu, dan kita ikuti jalan petunjuk dan kita jauhi jalan yang menyesatkan; dan kita tidak perlu sibuk melakukan perdebatan yang mendalam seputar masalah yang kita tidak diberi kemampuan untuk memahami esensinya tentang urusan ghaib yang tersembunyi. Oleh karena itu, kita lihat bagaimana para ahli ‘ilmu kalam mencurahkan tenaga dan pikiran yang tak berujung pangkal tentang masalah qadar (taqdīr), karena memang ini bukan lapangannya….
Kita tidak mengetahui kehendak Allah yang ghaib terhadap kita, akan tetapi kita mengetahui apa yang dituntut Allah kepada kita agar kita layak mendapatkan karunia-Nya yang telah diwajibkan-Nya atas Diri-Nya. Dengan demikian, menjadi kewajiban kita pula untuk mencurahkan segenap kemampuan kita di dalam menunaikan tugas-tugas kita, dan kita serahkan kepada-Nya keghaiban kehendak-Nya terhadap diri kita. Dan apa yang akan terjadi, maka itu adalah realisasi kehendak-Nya; dan ketika sesuatu itu terjadi maka kita mengetahui bahwa itu adalah realisasi kehendak-Nya, sedang kita tidak mengetahuinya sebelum terjadi atau terealisasi. Dan apa yang bakal terjadi itu di belakangnya terdapat hikmah yang hanya diketahui oleh Yang Maha Mengetahui secara total dan mutlak…..Yaitu Allah Sendiri…..
Inilah jalan dan manhaj orang yang beriman di dalam memandang dan memikirkan suatu persoalan….
“Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri.”
Karena mereka ghaib hakikatnya, fungsinya, dan kemampuannya…. Sedang Dia dapat saja mengungkap apa saja yang hendak diungkapkan-Nya dari urusannya, dan firman-Nya merupakan kata pasti mengenai persoalan tersebut. Dan sesudah itu, tidak ada kompetensi bagi seseorang untuk menyanggah, membantah, atau mencoba mengetahui apa yang tidak disingkapkan oleh Allah, karena tidak ada jalan untuk mengetahui urusan ini….
“Dan dia itu tiada lain hanyalah peringatan bagi manusia.” (al-Muddatstsir: 31).
Kata ganti “dia” dalam ayat ini boleh jadi menunjuk kepada tentara Tuhanmu, dan boleh jadi menunjuk kepada Saqar beserta penjaganya. Penyebutannya di sini adalah untuk menjadi peringatan, bukan untuk menjadi topik perdebatan dan perbantahan! Hati yang berimanlah yang akan mendapatkan pelajaran dari peringatan ini, sedangkan hati yang sesat maka ia akan menjadikannya bahan perdebatan dan berbantah-batahan!
Penetapan terhadap salah satu dari hakikat-hakikat perkara ghaib dan jalan-jalan pikiran yang membawa kepada petunjuk dan yang menyesatkan ini disusuli dengan menghubungkan hakikat akhirat, hakikat neraka Saqar, dan hakikat tentara Tuhanmu dengan fenomena-fenomena wujūd yang tersaksikan di alam semesta ini, yang dilewatkan (tanpa perhatian) dengan begitu saja oleh orang-orang yang lalai, padahal mengisyāratkan adanya penentuan dan pengaturan dari kehendak Sang Pencipta, dan menunjukkan bahwa di balik penentuan dan pengaturan ini terdapat maksud dan tujuan tertentu, terdapat perhitungan dan pembalasan:
كَلَّا وَ الْقَمَرِ. وَ اللَّيْلِ إِذْ أَدْبَرَ. وَ الصُّبْحِ إِذَا أَسْفَرَ. إِنَّهَا لَإِحْدَى الْكُبَرِ. نَذِيْرًا لِّلْبَشَرِ.
“Sekali-kali tidak, demi bulan, dan malam ketika telah berlalu, dan shubuḥ apabila mulai terang. Sesungguhnya, Saqar itu adalah salah satu bencana yang amat besar, sebagai ancaman bagi manusia.” (al-Muddatstsir: 32-36).
Pemandangan yang berupa bulan, malam ketika telah berlalu, dan shubuḥ ketika mulai terang…. semua itu merupakan pemandangan yang mengesankan, yang mengatakan banyak hal kepada hati manusia, membisikkan banyak rahasia di lubuknya, dan membangkitkan banyak perasaan dalam relungnya. Dengan isyārat yang cepat ini al-Qur’ān menyentuh tempat-tempat persembunyian perasaan dan rahasia yang terdapat di dalam hati yang dibicarakan ini, karena ia tahu jalan-jalan dan jalur-jalur masuknya!
Akan tetapi, sedikit sekali hati yang mau menyadari pemandangan yang berupa rembulan ketika ia terbit, berjalan, dan masuk ke peraduannya…. Kemudian ia tidak memikirkan sedikit pun tentang bulan yang membisikkan rahasia semesta ini kepadanya. Merenungkan cahaya bulan itu sendiri kadang-kadang bisa membersihkan hati sebagaimana kalau yang bersangkutan berjemur dengan cahaya.
Sedikit sekali hati yang mau sadar terhadap pemandangan malam ketika berlalu, dan suasana keheningan yang mendahului terbitnya fajar, dan pada saat dimulainya wujūd ini dengan membuka mata dan kesadaran….. Kemudian tidak tergores sedikit pun bekas dari pemandangan ini, dan tidak pula meresap ke dalamnya getaran-getaran yang lembut dan halus…..
Sedikit sekali hati yang sadar terhadap waktu shubuḥ ketika ia mulai terang dan jelas, kemudian tidak berkilau karena pancarannya, dan tidak berubah dan tidak berganti perasaannya dari satu keadaan kepada keadaan yang lain, yang menjadikannya lebih layak menerima cahaya yang memancar di dalam hati bersama cahaya yang bersinar pada pemandangan.
Allah yang menciptakan hati manusia mengetahui bahwa pemandangan-pemandangan itu sendiri pada waktu-waktu tertentu menciptakan keajaiban-keajaiban, seakan-akan menciptakan suasana yang baru.
Di balik pancaran-pancaran, sinar, dan cahaya yang terdapat pada bulan, pada malam, dan pada waktu shubuḥ (pagi) itu terdapat hakikat yang mengagumkan dan luar biasa yang akal pikiran manusia diarahkan dan diingatkan kepadanya oleh al-Qur’ān. Dan, terdapat petunjuk yang menunjukkan adanya kekuasaannya yang mencipta dan kebijaksanaan yang mengatur, serta tatanan Ilahi terhadap alam semesta ini, dengan kelembutan yang membingungkan pandangan akal itu.
Allah bersumpah dengan hakikat-hakikat alam yang besar ini untuk mengingatkan orang-orang yang lupa terhadap kekuasaan yang besar dan petunjuknya yang mengesankan. Allah bersumpah bahwa neraka Saqar, atau tentara yang menjaganya, atau akhirat dengan segala sesuatu yang ada di sana, adalah salah satu dari urusan-urusan besar yang menakjubkan dan menakutkan manusia, dengan adanya bencana besar yang ada di belakangnya:
“Sesungguhnya, Saqar itu adalah salah satu bencana yang amat besar, sebagai ancaman bagi manusia.” (al-Muddatstsir: 35-36).
Sumpah itu sendiri beserta kandungannya dan yang dijadikan sumpah dengan bentuk seperti ini…. semuanya merupakan alat pengetuk untuk mengetuk hati manusia dengan keras, dan mengebor dalam lubang, dengan segenap suara yang ditinggalkannya dalam perasaan. Dan bersama dengan permulaan surah yang diawali dengan seruan: “Hai orang yang berselimut” dan perintah untuk memberi peringatan: “Bangunlah, lalu berilah peringatan”…. maka seluruh suasananya adalah suasana pengeboran, pengetukan, dan getaran…..