Kemudian dihubungkanlah urusan akhirat dan neraka Saqar beserta penjaga-penjaganya dengan pemandangan-pemandangan alam yang ada di depan mata, untuk menimbulkan kesadaran dan kehati-hatian di dalam hati manusia terhadap semua ini:
“Sekali-kali tidak, demi bulan, dan malam ketika telah berlalu, dan shubuḥ apabila mulai terang. Sesungguhnya, Saqar itu adalah salah satu bencana yang amat besar. Sebagai ancaman bagi manusia. (Yaitu) bagi siapa di antaramu yang berkehendak akan maju atau mundur” (al-Muddatstsir: 32-37).
Sebagaimana dibeberkan pula posisi orang-orang yang berdosa dan posisi golongan kanan, ketika orang-orang yang mendustakan itu mengakui dengan panjang lebar sebab-sebab kelayakannya untuk memikul tanggungjawab atas perbuatannya dan dibelenggu pada hari pembalasan dan hari perhitungan, maka diakhirilah pembicaraan tentang hal itu dengan kata pemutus tentang urusan mereka yang pada waktu itu syafā‘at orang yang memberi syafā‘at tidak bermafaat baginya:
“Tiap-tiap diri bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnya, kecuali golongan kanan, berada di dalam surga, mereka tanya-menanya, tentang (keadaan) orang-orang yang berdosa: “Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?” Mereka menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, dan adalah kami membicarakan yang bāthil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya, dan adalah kami mendustakan hari pembalasan, hingga datang kepada kami kematian.” Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafā‘at dari orang-orang yang memberikan syafā‘at.” (al-Muddatstsir: 38-48).
Di bawah bayang-bayang pemandangan dan pengakuan yang menghinakan ini, dipertanyakanlah dengan nada ingkar mengenai sikap orang-orang yang mendustakan itu terhadap dakwah dan seruan kepada kesadaran dan keselamatan di tempat kembali nanti, dan dilukiskanlah bagi mereka pemandangan yang menggelikan karena mereka lari bagaikan binatang yang binal:
“Maka mengapa mereka (orang-orang kafir) berpaling dari peringatan (Allah)?” Seakan-akan mereka itu keledai liar yang lari terkejut, lari dari singa.” (al-Muddatstsir: 49-51).
Kemudian diungkaplah hakikat keterpedayaan mereka yang menghalangi mereka untuk menerima suara pemberi peringatan dan pemberi nasihat:
“Bahkan tiap-tiap orang dari mereka berkehendak supaya diberikan kepadanya lembaran-lembaran yang terbuka.” (al-Muddatstsir: 52).
Yaitu kedengkiannya terhadap Nabi s.a.w. dan keinginannya agar masing-masing mereka diberi risālah. Dan, sebagai sebab terpendam yang paling akhir adalah ketidaktaqwāan mereka:
“Sekali-kali tidak. Sebenarnya mereka tidak takut kepada negeri akhirat.” (al-Muddatstsir: 53).
Pada bagian terakhir surah ini datanglah ketetapan yang pasti tanpa ada basa-basi di dalamnya:
“Sekali-kali tidak demikian halnya. Sesungguhnya al-Qur’ān itu adalah peringatan. Maka barang siapa menghendaki, niscaya dia mengambil pelajaran daripadanya (al-Qur’ān).” (al-Muddatstsir: 54-55).
Dikembalikanlah semua urusan kepada kehendak dan qadar Allah:
“Dan mereka tidak akan mengambil pelajaran darinya kecuali (jika) Allah menghendakinya. Dia (Allah) adalah Tuhan Yang patut (kita) bertaqwā kepada-Nya dan berhak memberi ampun. (al-Muddatstsir [74]: 56).
Demikianlah surah ini menggambarkan satu putaran perjuangan jiwa atas bimbingan al-Qur’ān dalam menghadapi kejahiliahan dan pandangan-pandangannya di dalam hati kaum Quraisy, sebagaimana ia berjuang menghadapi tantangan, tipu-daya, dan pelecehan yang dilakukan dengan sengaja dan dengan cara yang bermacam-macam…..
Banyak sekali kesamaan antara pengarahan-pengarahan yang terdapat dalam surah ini dengan surah al-Muzzammil serta surah al-Qalam, yang menunjukkan bahwa semuanya turun dalam waktu yang berdekatan, untuk menghadapi kondisi yang sama….. Hal itu dengan mengecualikan segmen kedua surah al-Muzzammil, yang turun mengenai urusan khusus tentang latihan kejiwaan bagi Rasūlullāh s.a.w. dan golongan orang-orang yang beriman bersama beliau sebagaimana sudah dijelaskan di muka.
Surah ini pendek ayat-ayatnya, cepat dilalui, bermacam-macam sajak dan iramanya. Kadang-kadang temponya lambat dan kadang-kadang temponya cepat, khususnya ketika menggambarkan pemandangan orang yang mendustakan ini, ketika dia memikirkan dan menetapkan rencananya, bermasam muka dan merengut. Dan di dalam menggambarkan pemandangan neraka Saqar, yang tidak meninggalkan dan tidak membiarkan, yang membakar kulit manusia….. Dan ketika melukiskan pemandangan ketika mereka lari seperti keledai liar yang lari terkejut, lari dari singa.
Keanekaragaman tempo dan irama dengan aneka macam pemandangan dan bayang-bayangnya menjadikan surah ini memiliki nilai rasa tertentu. Lebih-lebih pada saat diulangnya sebagian rimanya pada ujung baris (kalimat), seperti rima (pesamaan bunyi) rā’ yang bersukun pada kata-kata: al-muddatstsir, andzir, fakabbir…..dan perulangan bunyi yang sama selang beberapa lama pada kata-kata: qadar, basar, istakbar, saqar…. Demikian pula dengan perpindahan dari satu bunyi ke bunyi lain dalam satu alinea sacara tiba-tiba tetapi dengan tujuan tertentu, seperti yang terdapat pada firman Allah:
“Maka mengapa mereka (orang-orang kafir) berpaling dari peringatan (Allah)?” Seakan-akan mereka itu keledai liar yang lari terkejut, lari dari singa.” (al-Muddatstsir: 49-51).
Pada ayat pertama dikemukakan pertanyaan dengan nada mengingkari (mencemooh). Pada ayat kedua dan ketiga dikemukakan pelukisan dan ejekan terhadap mereka. Begitu seterusnya….
Sekarang marilah kita bahas surah ini secara rinci….
يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ. قُمْ فَأَنْذِرْ. وَ رَبَّكَ فَكَبِّرْ. وَ ثِيَابَكَ فَطَهِّرْ. وَ الرُّجْزَ فَاهْجُرْ. وَ لَا تَمْنُنْ تَسْتَكْثِرُ. وَ لِرَبِّكَ فَاصْبِرْ.
“Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan! dan Tuhanmu agungkanlah! dan pakaianmu bersihkanlah! dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah!” (al-Muddatstsir: 1-7).
Ini adalah seruan yang sangat tinggi dan luhur, untuk urusan yang besar dan berat……memberi peringatan kepada manusia dan membangkitkan kesadarannya, melepaskannya dari keburukan di dunia, dan dari siksa neraka di akhirat , serta mengarahkannya ke jalan keselematan sebelum habis waktunya…. Ini adalah kewajiban yang berat dan sulit, ketika dinisbatkan kepada seorang manusia – meskipun dia seorang rasūl sekalipun – …. manusia dengan kesesatannya, kedurhakaannya, kedurjanaannya, kesombongannya, kekeraskepalaannya, kebandelannya, kesenangannya berbuat kekacauan, dan keengganannya meninggalkan perkara-perkara ini, semua itu menjadikan dakwah lebih sulit dan lebih berat dibandingkan tugas-tugas manusia lainnya di alam wujūd ini.
“Hai orang yang berselimut! Bangunlah, lalu berilah peringatan!” (al-Muddatstsir: 1-2).
Memberi peringatan adalah aktivitas paling menonjol di dalam risālah…. yaitu memperingatkan terhadap bahaya yang dekat yang senantiasa mengintai orang-orang yang lalai dan kebingungan dalam kesesatan namun mereka tidak menyadari. Di sini tampaklah rahmat dan kasih-sayang Allah kepada hamba-hambaNya, padahal mereka tidak akan dapat menambah kekuasaan-Nya sedikit pun ketika mereka semua berada dalam kesesatan, dan tidak menambah kekuasaan sedikit pun ketika mereka mendapat petunjuk. Akan tetapi, rahmat dan kasih-sayangNya menghendaki untuk memberi mereka pertolongan ini supaya mereka lepas dari ‘adzāb yang pedih di akhirat nanti, dan dari keburukan yang membinasakan di dunia ini. Diserunya mereka oleh rasūl-rasūlNya untuk mendapatkan ampunan-Nya dan supaya dimasukkan-Nya ke dalam surga-Nya dengan karunia-Nya.
Kemudian Allah memberikan pengarahan khusus kepada Rasūl-Nya ketika Dia menugasinya untuk memberi peringatan kepada orang lain itu.
Diarahkannya untuk mengagungkan Tuhannya: “Dan Tuhanmu agaunkanlah!” (al-Muddatstsir: 3)…Ya, hanya Tuhanmu saja…. karena hanya Dia Sendiri Yang Maha Agung, yang berhak untuk diagungkan.
Ini adalah pengarahan yang menetapkan satu segi dari tashawwur imani terhadap ma‘na Ulūhiyyah dan ma‘na tauḥīd.
Sesungguhnya setiap orang, setiap sesuatu, setiap nilai, dan setiap hakikat adalah kecil, dan hanya Allah Sendiri Yang Maha Agung….. Dan bersembunyilah segenap benda-benda, segenap kekuatan dan nilai, segenap peristiwa dan keadaan, segenap ma‘na dan bentuk, semuanya hilang di bawah bayang keagungan dan kesempurnaan, milik Allah Yang Maha Agung dan Maha Tinggi.
Ini adalah pengarahan kepada Rasūlullāh s.a.w. yang akan menghadapi tugas memberi peringatan kepada manusia, sebuah tugas yang sangat besar dan amat berat, dengan tashawwur yang seperti ini, dan dengan perasaan yang begini, sehingga terasa kecil segala tipu-daya, segala kekuatan, dan segala hambatan. Dia merasakan bahwa hanya Tuhannya yang memanggilnya untuk menunaikan tugas memberi peringatan ini sajalah Yang Maha Besar…..
Dakwah yang sulit dan berat ini selalu memerlukan kehadiran tashawwur (pandangan, pola pikir) dan perasaan seperti ini.
Diarahkannya Rasūl kepada kesucian: “Dan pakaianmu bersihkanlah!” (al-Muddatstsir: 4) Kebersihan pakaian ini merupakan kata kiasan yang biasa dipakai orang ‘Arab dengan maksud kebersihan dan kesucian diri termasuk pakaian dan segala sesuatu yang bersentuhan dengannya…. Kebersihan atau kesucian adalah keadaan yang sangat cocok untuk menerima kehadiran makhlūq tertinggi, sebagaimana kesucian ini merupakan sesuatu yang paling lekat dengan karakter risālah ini. Sesudah itu, kesucian merupakan sesuatu yang sangat vital di dalam melakukan indzār “memberi peringatan” dan tablīgh “meyampaikan risālah” serta melaksanakan dakwah di tengah-tengah berbagai macam lingkungan, hawa-nafsu, jalan-jalan masuk, dan lorong-lorong, dengan segala kotoran, pencampuradukan, dan ‘aib-‘aib, yang menjadikan juru dakwah sangat memerlukan kesucian yang sempurna supaya dapat menyelamatkan orang-orang yang berlumuran dengan kotoran-kotoran itu sedangkan dia sendiri tidak menjadi kotor dan bernoda…..
Ini merupakan suatu perhatian yang halus dan mendalam untuk memberlakukan risālah dan dakwah serta menerapkannya di antara berbagai kalangan, lingkungan, kondisi, dan hati.
Diarahkannya beliau supaya meninggalkan kemusyrikan dan segala sesuatu yang dapat mendatangkan ‘adzāb: “Dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah!” (al-Muddatstsir: 5)….Rasūlullāh s.a.w. sendiri sudah menjauhi kemusyrikan dan segala sesuatu yang mendatangkan ‘adzāb semenjak sebelum beliau diangkat menjadi rasūl. Fitrahnya yang suci dan sehat menjauhi penyelewengan dan penyimpangan itu, menjauhi kepercayaan-kepercayaan yang hina-dina itu, dan menjauhi moralitas dan tradisi yang buruk itu. Karena itu, tidak pernah dikenal bahwa beliau pernah turut serta bergelimang dalam kejahiliahan itu.
Meskipun begitu, pengarahan ini dimaksudkan untuk memberikan garis pemisah dan menyatakan keberbedaan yang tak kenal damai dan kompromi. Karena keduanya (Islam dan jahiliah) merupakan dau jalan hidup yang bersimpangan dan tak mungkin bertemu, sebagaimana dimaksudkan untuk berlindung dari kotoran dosa (rujz) – kata rujz itu pada asalnya berarti ‘adzāb, kemudian dipergunakan untuk segala sesuatu yang mendatangkan ‘adzāb – ya‘ni menjaga kesucian dari sentuhan kotoran ini!
Diarahkannya Rasūlullāh untuk melupakan dirinya dan tidak mengungkit-ungkit usaha dan perjuangan yang telah dilakukan, atau menganggapnya banyak dan besar: “Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.” (al-Muddatstsir: 6).
Memang beliau akan memberikan tenaga, mencurahkan pengorbanan, dan menjumpai penderitaan yang banyak. Tuhannya menghendaki agar beliau tidak menganggap besar apa yang dicurahkannya dan tidak menganggap banyak pengorbanannya, dan tidak merasa telah berjasa besar dengan perjuangannya…. Dakwah ini tidak akan bisa berjalan lurus di dalam jiwa yang selalu merasakan dan memikirkan apa yang telah dicurahkan dan dikorbankannya. Karena pengorbanan dan perjuangan yang besar itu tidak akan dilakukan dan dapat dipikul oleh jiwa kecuali ketika ia melupakannya, bahkan ketika ia tidak merasakannya sama sekali karena ia tenggelam dalam perasaannya bersama Allah, merasakan bahwa segala sesuatu yang dilakukan dan diberikannya itu tidak lain hanyalah karena karunia Allah dan pemberian-Nya. Maka apa yang dilakukannya itu adalah karunia yang diberikan Allah kepadanya, pemberian yang dipilihkan untuknya, dan diberinya ia taufīq untuk mendapatkannya. Itu adalah pilihan dan penghormatan yang diberikan Allah yang sudah sepatutnya ia bersyukur kepada Allah, bukan malah mengungkit-ungkitnya dan merasa telah banyak berbuat.
Akhirnya, diarahkanlah beliau kepada kesabaran: “Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah!” (al-Muddatstsir: 7).
Ini adalah pesan yang disebutkan berulang-ulang setiap kali memberikan tugas dakwah atau memantapkannya. Dan kesabaran merupakan bekal pokok di dalam perjuangan yang berat ini. Perjuangan dakwah ke jalan Allah. Perjuangan dan peperangan yang bercampur-campur untuk melawan syahwat dan nafsu, kemauan jiwa dan keinginan hati, juga menghadapi musuh-musuh dakwah yang dipandu oleh syaithān-syaithān syahwat dan dimotivasi oleh syaithān-syaithān hawa-nafsu! Ini adalah peperangan yang panjang dan sengit, yang tidak ada bekal yang cocok baginya kecuali kesabaran yang karenanya ia berjuang hanya untuk mencari keridhāan Allah dan mengharapkan pahala di sisi-Nya.
Setelah selesai pengarahan Ilahi kepada Nabi yang mulia ini maka paragraf berikutnya menjelaskan materi peringatan yang harus disampaikan kepada orang lain itu, yang dikemukakan dengan sentuhan yang membangkitkan kesadaran terhadap hari yang sulit, yang diingatkan dengan pendahuluan yang menakutkan:
فَإِذَا نُقِرَ فِي النَّاقُوْرِ. فَذلِكَ يَوْمَئِذٍ يَوْمٌ عَسِيْرٌ. عَلَى الْكَافِرِيْنَ غَيْرُ يَسِيْرٍ.
“Apabila ditiup sangkakala, maka waktu itu adalah waktu (datangnya) hari yang sulit, bagi orang-orang kafir lagi tidak mudah.” (al-Muddatstsir: 8-10).
“An-naqru fin-nāqūr” (tiupan sangkakala)…..Hal ini diungkapkan dalam beberapa tempat di dalam al-Qur’ān dengan ungkapan lain yang berbunyi “An-nafkhu fish-shūr” (nufikha fish-shūr). Akan tetapi, ungkapan dengan “naqr” ini lebih mengesankan karena kerasnya suaranya dan gemanya, seakan-akan pengukiran yang bersuara dan berbunyi, dan suara yang mengukir di telinga itu lebih mengena daripada suara yang cuma didengar oleh telinga…..Oleh karena itu, disifatilah hari itu sebagai hari yang sulit bagi orang-orang kafir, dan kesulitan itu dipertegas lagi dengan tidak adanya bayang-bayang kemudahan di sana: “Bagi orang-orang kafir lagi tidak mudah”.
Maka kesulitan itu bersifat total, menyeluruh. Kesulitan yang tidak ada celah-celah kemudahannya, kesulitan yang tidak dipisahkan oleh sesuatu pun. Bahkan perkataan ini dibiarkan bersifat global dan misterius, yang memberi kesan kesedihan, kesusahan, dan kesempitan….. Karena itu, alangkah tepatnya kalau orang-orang kafir itu mau mendengarkan peringatan, sebelum ditiupnya sangkakala yang menakutkan, lalu mereka hadapi hari yang penuh kesulitan dan penderitaan!