Surah al-Muddatstsir 74 ~ Tafsir Nur-ul-Qur’an

TAFSIR NUR-UL-QUR’AN
(Diterjemahkan dari: Nur-ul-Qur’an: An Enlightening Commentary into the Light of the Holy Qur’an).
Oleh: Allamah Kamal Faqih Imani
Penerjemah Inggris: Sayyid Abbas Shadr Amili
Penerjemah Indonesia: Rahadian M.S.
Penerbit: Penerbit al-Huda

Rangkaian Pos: Surah al-Muddatstsir 74 ~ Tafsir Nur-ul-Qur'an

SURAH AL-MUDDATSTSIR

(ORANG YANG BERBARING DI TEMPAT TIDUR)

(SURAH NO. 74; MAKKIYYAH; 56 AYAT)

 

Tinjauan Umum

Surah ini turun di Makkah, memiliki 56 ayat, dan masih termasuk juz ke-29. Tidak diragukan lagi bahwa surah ini turun di Makkah, tetapi tidak ada kesepakatan tentang surah-surah paling awal yang diwahyukan kepada Nabi s.a.w., atau surah yang turun setelah surah ke-96 (sūrat-ul-‘Alaq) dalam urut-urutan (turunnya) wahyu. Namun, jika kita perhatikan kandungan dari dua surah ini (74, 96) terlihat bahwa surah ke-96 turun pada permulaan seruan kenabian, sedangkan surah ke-74 berkenaan dengan waktu ketika Nabi s.a.w. ditunjuk oleh Allah untuk berdakwah ke masyarakat umum, ketika masa dakwah secara rahasia telah berakhir.

Karenanya, sebagian mufassir berpendapat bahwa surah ke-96 adalah surah yang paling awal dan turun pada permulaan turunnya wahyu kepada Nabi s.a.w., tapi surah ke-74 adalah surah paling awal yang turun setelah seruan dakwah Nabi kepada masyarakat umum. Namun, sifat dari surah-surah Makkiyyah, terutama yang menyeru manusia untuk memerhatikan asal dan kembalinya, melawan kemusyrikan dan memperingatkan para pendusta terhadap siksaan-siksaan Allah, dijelaskan secara lugas dalam surah ini.

Keutamaan Membaca

Diriwayatkan dari Imām Bāqir a.s. bahwa barang siapa yang membaca sūrat-ul-Muddatstsir dalam shalat-shalat wajibnya, niscaya Allah s.w.t. menjadikan mereka menemani Nabi s.a.w. (di surga) dan akan menganugerahi mereka derajat yang tinggi, dan mereka tidak akan mengalami kemalangan dan kepedihan dalam kehidupan di dunia ini. Hadits-hadits lebih lanjut diriwayatkan dari Nabi s.a.w. dan para Imām a.s., tetapi untuk menyingkat pembahasan, hadits-hadits itu tidak disebutkan di sini. Sudah jelas bahwa sekadar membaca kalimat-kalimat dari surah ini tidak dapat menghasilkan akibat yang besar. Seseorang seharusnya memberikan perhatian kepada kandungan-kandungan surah ini dan mengamalkannya secara benar.

 

SURAH AL-MUDDATSTSIR

AYAT 1-2.

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

 

يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ. قُمْ فَأَنْذِرْ.

74: 1. Wahai orang yang berbaring di tempat tidur!

74: 2. Bangkitlah dan berilah peringatan [kepada dunia].

 

TAFSIR

Berbagai sebab turunnya surah ini telah diberitakan dalam sumber-sumber tafsir al-Qur’ān, tetapi untuk menyingkat pembahasan, berbagai sebab itu tidak disebutkan di sini. Namun, jelas bahwa ayat-ayat dari surah ini dialamatkan kepada Nabi s.a.w., walaupun tidak ada referensi eksplisit menyebutkan beliau di dalamnya, hanya tercermin dari kandungan ayat-ayatNya.

Dua ayat pembuka menyatakan: Wahai orang yang berbaring di tempat tidur! Bangkitlah dan berilah peringatan kepada dunia [tentang siksaan Allah, karena waktu istirahat dan tidur telah berlalu sedangkan waktu berbangkit dan penyebaran Islam telah tiba]! Penekanan khusus diberikan kepada Nabi s.a.w. sebagai pembawa berita gembira (basyīr) dan pemberi peringatan (nadzīr), karena sesungguhnya memberikan peringatan kepada manusia, terutama di awal seruan kenabian, memberikan pengaruh yang nyata untuk membangunkan jiwa-jiwa yang lalai. Mengenai alasan yang berada di balik perintah kepada beliau untuk memulai seruan kenabiannya sementara beliau berbaring di tempat tidur, sebagian mufassir berpendapat bahwa kaum musyrik ‘Arab berkumpul di awal musim haji di Makkah. Sebagian dari mereka, seperti Abū Jahal, Abū Sufyān, Walīd bin Mughīrah dan Nadhr bin Ḥārits, berunding tentang cara memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh jemaah haji non-Makkah yang mendengar fakta yang tersebar mengenai seruan kenabian dari Nabi s.a.w. Setelah mengadakan sejumlah perundingan, mereka sampai pada kesimpulan bahwa lebih baik mereka menyebut beliau sebagai seorang penyihir, karena akibat dari sihir termasuk menjadi penyebab perpisahan suami-istri, ayah dan anak-anak mereka, dan bahwa Nabi s.a.w. telah melakukan sihir melalui seruan kenabiannya.

Setelah mendengar perkataan seperti itu, Nabi s.a.w. sangat sedih dan kembali pulang dalam keadaan tidak sehat dan berbaring di tempat tidurnya. Maka, ayat-ayat ini diwahyukan, menyeru beliau untuk bangkit dan berjuang melawan mereka. Sebagian mufassir lain mengemukakan bahwa tafsiran ayat itu adalah seuran yang sama untuk bangkit dan menuntun masyarakat. Penting untuk diketahui bahwa kalimat perintah bahasa ‘Arab fa andzir (“berilah peringatan!”) tidak menjelaskan objek dari peringatan, karena kalimat tersebut menjelaskan perbuatan yang umum. Dengan kata lain, beliau didesak untuk memperingatkan manusia tentang penyembahan berhala, kemusyrikan, kekufuran, kezaliman, kerusakan, siksaan Allah, hisab pada Hari Kiamat dan sebagainya.

Dalam hal ini, diriwayatkan dari Imām Shādiq a.s. bahwa ayat tersebut bermakna “pendekkanlah pakaianmu!” (wa tsiyābaka faqshir). (2581) Sebagian mufassir berpendapat bahwa ayat ini berkenaan dengan para istiri, karena di tempat lain dalam al-Qur’ān (2: 187) disebutkan, Mereka [para istri] adalah pakaian bagi kamu dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Dengan kata lain, kalian saling memelihara martabat satu sama lain dan kalian adalah perhiasan satu sama lain. Semua penafsiran ini mungkin bisa diterapkan pada ayat mulia, yang sesungguhnya menjelaskan bahwa para pemimpin yang ditunjuk oleh Allah itu berwibawa ketika mereka tidak tercemari (polusi dosa dan maksiat); dan manusia yakin tentang ketaqwaan mereka kepada Allah s.w.t. Dalam hal yang sama, perintah tentang kesucian ini menyusul perintah tentang bangkit dan memberikan peringatan.

Dalam perintah ketiga, ayat ke-5 menyatakan: Jauhkanlah dirimu dari ketidaksucian dan apa yang mengakibatkan siksaan Allah. Makna umum dari kata frase ‘Arab rujz (“ketidaksucian”) telah menimbulkan berbagai penafsiran: berhala-berhala, dosa jenis apa pun, kejahatan, pemujaan kekayaan sebagai sumber-sumber dari kejahatan dan dosa, siksaan Allah sebagai akibat dari kemusyrikan dan melakukan dosa-dosa, serta bermakna kecemasan dan ketakutan. (2592) Istilah tersebut juga berlaku bagi jenis dosa apa pun dan kemusyrikan, penyembahan berhala, godaan setan, kejahatan dan siksaan Allah yang mengakibatkan ketakutan dan penyimpangan dari jalan yang lurus. Makna luas dari ayat tersebut termasuk penyimpangan dan kejahatan apa pun yang mengakibatkan kemurkaan Allah di dunia ini dan akhirat. Nabi s.a.w., sebagaimana tercermin dalam kisah-kisah biografinya yang diakui oleh kawan dan lawan, mengisyaratkan jauhnya beliau dari kejahatan-kejahatan, tetapi hal tersebut tetap ditegaskan di sini.

Perintah keempat yang dimaksud oleh ayat ke-6 menyatakan: Janganlah memberi sesuatu demi memperoleh lebih dan janganlah menganggap ketaatanmu kepada Allah sebagai anugerah baginya. Makna kontekstual dari ayat ini termasuk semacam mengharapkan balasan dari Allah s.w.t. dan manusia setelah melakukan perbuatan-perbuatan baik. Seseorang tidak seharusnya mengharapkan imbalan dari Allah s.w.t. untuk perjuangannya di jalan-Nya, karena Allah telah berbuat baik kepada manusia dengan memberi mereka derajat yang mulia.

Demikian pula, para hamba Allah tidak seharusnya membesar-besarkan perbuatan-perbuatan baik mereka. Mereka seharusnya mengingat-ingat kelalaian mereka di sepanjang waktu dan sesungguhnya beribadah kepada Allah s.w.t. merupakan kenikmatan Allah yang besar. Dengan kata lain, kebangkitanmu, pemberian peringatan, penyebaran tauhid, bertasbih kepada Allah, kesucian pakaian dan pantang berbuat dosa-dosa bukan merupakan sumber untuk menganggap bahwa Allah s.w.t. telah berutang kepadamu dan kamu seharusnya tidak membesar-besarkannya. Sebaliknya, kamu seharusnya mencamkan bahwa itu semua adalah nikmat-nikmat Allah dan kamu harus bersyukur karenanya. Seharusnya kamu semakin tenggelam dalam mencintai-Nya sedemikian rupa hingga kamu tidak lagi meremehkan perbuatan mulia seperti itu. Secara teknis, hilangnya sesuatu dari kaidah umum dalam hal ini mencakup mengisyaratkan siksaan di dunia ini dan di akhirat dan akibat-akibat buruk dari kejahatan.

Catatan:


  1. 258). Tafsīru Majma‘-il-Bayān, tentang ayat ini. 
  2. 259). Rāghib Isfahānī, al-Mufradāt

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *