Surah al-Muddatstsir 74 ~ Tafsir Nur-ul-Qur’an (Bagian 4)

TAFSIR NUR-UL-QUR’AN
(Diterjemahkan dari: Nur-ul-Qur’an: An Enlightening Commentary into the Light of the Holy Qur’an).
Oleh: Allamah Kamal Faqih Imani
Penerjemah Inggris: Sayyid Abbas Shadr Amili
Penerjemah Indonesia: Rahadian M.S.
Penerbit: Penerbit al-Huda

Rangkaian Pos: Surah al-Muddatstsir 74 ~ Tafsir Nur-ul-Qur'an

AYAT 16-17.

كَلَّا إِنَّهُ كَانَ لِآيَاتِنَا عَنِيْدًا. سَأُرْهِقُهُ صَعُوْدًا.

74: 16. Sekali-kali tidak! Karena dia menentang ayat-ayat Kami.

74: 17. Aku segera akan menjadikannya mendaki puncak kehidupan [kemudian, Aku akan menjungkirbalikkannya].

 

TAFSIR

Orang kafir itu ditolak secara keras pada ayat ke-16: Sekali-kali tidak! Karena dia menentang ayat-ayat Kami. Orang kafir tersebut benar-benar mengetahui bahwa al-Qur’ān bukanlah perkataan jin, bukan pula perkataan manusia. Dia tahu bahwa al-Qur’ān memiliki akar-akar yang kuat, cabang-cabang yang berbuah dan daya pikat yang tak tertandingi. Namun, dia menganggapnya sebagai sihir dan pembawanya adalah seorang tukang sihir. Kata keterangan ‘Arab ‘anīdan (“dengan keras kepala”) menyiratkan penentangan dan permusuhan yang disengaja, ketika seseorang memahami kebenaran dari sesuatu, tapi dia bangkit menentangnya. Walīd adalah perwujudan dari permusuhan dan pembangkangan yang dimaksud dalam ayat tersebut. Bentuk kata kerja ‘Arab kāna menyiratkan perbuatan yang terus-menerus, yaitu menunjukkan permusuhan terhadap kebenaran di seluruh waktu, bukan secara temporer.

Ayat ke-17 menjelaskan singkat tentang nasib buruknya: Aku segera akan menjadikannya mendaki puncak kehidupan [kemudian, Aku akan menjungkirbalikkannya]. Bentuk kata kerja ‘Arab saurhiquhū, berasal dari rahaqa (“menutup dengan ganas”) bermakna membebankan dan menimpakan seseorang dengan berbagai siksaan. Bentuk nomina sha‘ūd menyiratkan makna suatu tempat yang didaki oleh seseorang, sedangkan frase ‘Arab shu‘ūd digunakan dalam pengertian mendaki. Karena mendaki puncak itu sulit, maka kata tersebut menyiratkan semacam tugas yang sulit. Karenanya, sebagian mufassir berpendapat bahwa kata tersebut di sini bermakna siksaan Allah. Ayat tersebut mungkin menyinggung siksaan-siksaan yang ditimpakan atas Walīd di dunia ini. Diriwayatkan dalam sumber-sumber sejarah, setelah mencapai puncak prestasi dalam kehidupan pribadi dan sosialnya, Walīd jatuh sedemikian rupa hingga dia berulang-ulang kehilangan harta benda dan anak keturunannya. (2661).

 

AYAT 18-25

إِنَّهُ فَكَّرَ وَ قَدَّرَ. فَقُتِلَ كَيْفَ قَدَّرَ. ثُمَّ قُتِلَ كَيْفَ قَدَّرَ. ثُمَّ نَظَرَ. ثُمَّ عَبَسَ وَ بَسَرَ. ثُمَّ أَدْبَرَ وَ اسْتَكْبَرَ. فَقَالَ إِنْ هذَا إِلَّا سِحْرٌ يُؤْثَرُ. إِنْ هذَا إِلَّا قَوْلُ الْبَشَرِ.

74: 18. Sesungguhnya dia telah berpikir dan memikirkan persekongkolannya [menentang al-Qur’ān].

74: 19. Maka biarkanlah dia dikutuk; bagaimana dia berkomplot [menentang kebenaran].

74: 20. Dan sekali lagi biarkanlah dia dikutuk; bagaimana dia berkomplot [untuk menggunakan tipu daya setan].

74: 21. Kemudian dia melayangkan pandangan.

74: 22. Kemudian dia bermuka masam dan merengut.

74: 23. Kemudian dia berpaling (dari kebenaran) dan bersikap sombong.

74: 24. Lalu dia berkata: “Ini (al-Qur’ān) tidak lain hanyalah sihir seperti sihirnya orang-orang dahulu.”

74: 25. “Ini tidak lain hanyalah perkataan seorang manusia.”

 

TAFSIR

Ayat-ayat ini memberikan detail lebih jauh mengenai Walīd bin Mughīrah Makhzūmī yang telah diberi Allah s.w.t. harta kekayaan melimpah dan anak-anak, namun dia bangkit menentang Nabi s.a.w., berusaha keras untuk mendustakan Nabi s.a.w. dan al-Qur’ān dengan memilih berbagai siasat persekongkolan. Sudah jelas bahwa berpikir pada dasarnya adalah baik, asal sejalan dengan kebenaran. Satu jam yang dihabiskan untuk berpikir lebih baik daripada beribadah kepada Allah s.w.t. selama setahun, karena satu jam berpikir benar-benar dapat mengubah perjalanan nasib manusia. Meskipun demikian, jika digunakan di jalan kekufuran, kerusakan dan kejahatan, berpikir seperti itu pantas mendapat celaan. Pemikiran Walīd jatuh ke dalam kategori kedua.

Bentuk kata kerja ‘Arab qaddara di sini mengandung makna bahwa dia memikirkan berbagai persekongkolan jahatnya. Ayat ke-19 dan 20 menyatakan: Maka biarkanlah dia dikutuk; bagaimana dia berkomplot [menentang kebenaran]. Dan sekali lagi biarkanlah dia dikutuk; bagaimana dia berlomplot [untuk menggunakan tipu daya setan]. Mengenai sebab turunnya ayat ini, para mufassir berpendapat bahwa Walīd bermaksud menyatukan kaum musyrik dengan mendesak mereka untuk menyebarkan tuduhan palsu terhadap Nabi s.a.w. Ketika diusulkan untuk menamakan Nabi s.a.w. “penyair”, dia menolak. Dia selanjutnya menolak usulan agar Nabi disebut peramal atau orang gila. Akhirnya, kaum musyrik mengusulkan agar Nabi s.a.w. dinamakan tukang sihir dan dia sepakat dengan julukan itu. Dia mengira bahwa para tukang sihir itu punya kebiasaan memutuskan tali ikatan persahabatan dan membangun ikatan persahabatan dengan para penentang sebelumnya. Dia mengira kondisi itu telah berlaku pada kemunculan Islam dan al-Qur’ān.

Karenanya, dia mulai melakukan penyelidikan dan berpikir, sebagaimana dijelaskan melalui ungkapan singkat al-Qur’ān: Dia telah berpikir dan memikirkan persekongkolannya. Kaum musyrik lainnya membuat usulan-usulan, tapi Walīd-lah yang memikirkan idenya dan membuat pilihan. Ungkapan seperti itu, terutama pengulangannya, mencerminkan bahwa dia adalah seorang ahli memikirkan persekongkolan jahat, hingga ide-idenya menjadi sumber kekaguman.

Ayat 21-25 menyatakan: Kemudian dia melayangkan pandangan. Kemudian dia bermuka masam dan merengut. Kemudian dia berpaling (dari kebenaran) dan bersikap sombong. Lalu dia berkata: “Ini (al-Qur’ān) tidak lain hanyalah sihir seperti sihirnya orang-orang dahulu.” “Ini tidak lain hanyalah perkataan seorang manusia.” Karenanya, setelah terus-menerus melakukan penyelidikan dan memikirkan persekongkolan jahat menentang al-Qur’ān, dia mengucapkan perkataan terakhirnya. Dan meskipun seluruh siasat yang digunakan oleh dalang era Jahiliyyah dan kemusyrikan ini penuh rencana jahat, dia tanpa sengaja menyangjung al-Qur’ān. Dari ucapannya tersirat pengakuannya bahwa al-Qur’ān begitu menarik, belum pernah ada sebelumnya hingga semua hati bisa terkesan olehnya. Dia berpendapat bahwa al-Qur’ān menimbulkan kesan memesonakan yang menyihir hati-hati manusia. Al-Qur’ān tidak memiliki kemiripan dengan seni para tukang sihir, hanya kalimat yang logis, berirama dan tersusun apik lagi jelas, mengisyaratkan bahwa al-Qur’ān adalah wahyu Allah yang sumbernya adalah Allah Yang Maha Mengetahui, yang meliputi segala keindahan secara konsisten dan logis.

Bentuk kata kerja ‘Arab ‘abasa bermakna bahwa dia bermuka masam. Bentuk kata kerja basara bermakna mengerut dan bermuka masam atau menyeringai. Pengertian kedua dari basara senada dengan kata ‘abasa. Tetapi, makna pertama menyiratkan membuat keputusan-keputusan cepat untuk memilih “sebutan” palsu bagi al-Qur’ān. Bentuk kata kerja yu’tsaru digunakan dalam pengertian menceritakan kisah dari para leluhur mereka. Namun, sebagian berpendapat bahwa kata tersebut seakar dengan ītsār yang bermakna memilih dan menganggapnya sebagai penyebab. Menurut pengertian pertama, Walīd menyatakan bahwa sihir ini seperti yang telah diberitakan oleh para leluhur; tapi menurut pengertian kedua, dia menyatakan bahwa sihir adalah sesuatu yang mengesankan hati-hati manusia disebabkan keindahan dan daya pesonanya.

Patut diperhatikan bahwa ayat tersebut meliputi pengakuan tersirat bahwa al-Qur’ān tidak bisa ditiru. Kitab ini sama sekali tidak mirip dengan pekerjaan tukang sihir. Bahasa al-Qur’ān dipenuhi dengan martabat, spiritualitas dan daya pesona yang tak tertandingi. Jadi, jika Walīd benar dalam klaimnya bahwa al-Qur’ān adalah perkataan manusia, orang-orang lain pasti mampu membuat kitab seperti al-Qur’ān.

Kita semua tahu benar bahwa al-Qur’ān beberapa kali menantang manusia untuk mencoba membuat kitab seperti al-Qur’ān itu. Hasilnya, tidak seorang pun dari para musuh pembangkang yang benar-benar mengetahui bahasa ‘Arab itu berhasil membuat seperti al-Qur’ān, atau bahkan sesuatu yang lebih rendah darinya. Mu‘jizat al-Qur’ān pada kenyataan bahwa ia tidak bisa ditiru.

Catatan:


  1. 266). Tafsīru Marāghī jil. 29, hal. 131. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *