SURAH AL-MUDDATSTSIR
(ORANG YANG BERBARING DI TEMPAT TIDUR)
(SURAH NO. 74; MAKKIYYAH; 56 AYAT)
(Bagian 3)
AYAT 11-15.
ذَرْنِيْ وَ مَنْ خَلَقْتُ وَحِيْدًا. وَ جَعَلْتُ لَهُ مَالًا مَّمْدُوْدًا. وَ بَنِيْنَ شُهُوْدًا. وَ مَهَّدْتُّ لَهُ تَمْهِيْدًا. ثُمَّ يَطْمَعُ أَنْ أَزِيْدَ.
74: 11. Biarkanlah Aku Sendiri bertindak terhadap orang yang Aku Sendiri telah menciptakannya.
74: 12. Aku telah memberinya harta benda yang banyak.
74: 13. Dan anak-anak yang selalu mendampinginya [berbakti kepadanya]
74: 14. Dan menyiapkan segala sarana kehidupan baginya.
74: 15. Kemudian dia tetap ingin agar Aku memberi tambahan (karunia) kepadanya.
TAFSIR
Sebagaimana dijelaskan di atas, orang-orang yang kafir secara bersama-sama diberikan peringatan, tetapi ayat-ayat ini dengan sangat jelas dan tegas memperingatkan mereka, bunyinya, Biarkanlah Aku Sendiri bertindak terhadap orang yang Aku Sendiri telah menciptakannya. Ayat-ayat ini menyinggung Walīd bin Mughīrah Makhzūmī, salah seorang pemimpin Quraisy yang paling terkenal kejahatannya. Sebab turunnya ayat tersebut disebutkan dalam sejumlah sumber tafsir, seperti Majma‘-ul-Bayān, Fī Zhilāl-il-Qur’ān, al-Mīzān dan sumber-sumber tafsir oleh Qurthubī dan Marāghī.
Juga disebutkan bahwa kebaikan apa pun yang diberikan kepada manusia, termasuk pengabdian yang bersifat spiritual, seperti dakwah Islam dan menuntun umat manusia untuk membelanjakan harta di jalan Allah, tidak seharusnya berpamrih, misalnya dengan terus mengingatkan orang-orang tentang kebaikannya, atau dengan menginginkan orang-orang tentang kebaikannya, atau dengan menginginkan tambahan harta benda yang diberikan oleh Allah s.w.t. Perbuatan semacam itu membuat semua perbuatan baik menjadi tidak berguna. Tentang hal ini disebutkan di tempat lain dalam al-Qur’ān: Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan sia-sia sedekah yang kamu belanjakan di jalan Allah dengan menyebut-nyebut kedermawananmu atau dengan menyakiti perasaan (orang yang telah kamu beri). (al-Baqarah [2]: 264).
Bentuk kata perintah negatif ‘Arab: lā tamnun yang berasal dari manana di sini mencerminkan makna pentingnya sesuatu yang diberikan kepada orang lain. Dengan demikian, hubungannya dengan permasalahan “lebih menginginkan tambahan” (istiktsār) menjadi jelas. Manusia seharusnya melakukan pengabdian-pengabdiannya terasa kecil tanpa mengharapkan imbalan apa pun, dan bukan menginginkan tambahan yang akan menjadikan perbuatan-perbuatan baik dan saleh mereka sia-sia. Berkaitan dengan hal ini, tema dari ayat tersebut tercerminkan dalam beberapa hadits bahwa seseorang tidak seharusnya memberikan sesuatu kepada siapa pun jika dia menginginkan tambahan sebagai balasannya. (2631) Mengenai penafsiran ayat ini, diriwayatkan dari Imām Shādiq a.s. yang berkata: “Janganlah terlalu tinggi menilai perbuatan baik yang dilakukan di jalan Allah.” Hadits tersebut menjelaskan salah satu makna universal dari ayat tersebut.” (2642).
Kata keterangan waḥīdan mungkin menerangkan Pencipta atau yang diciptakan. Kemungkinan pertama mengemukakan dua pengertitan: “Biarkanlah Aku Sendiri yang bertindak terhadapnya hingga Aku menghukumnya dengan keras,” atau: “Aku Sendiri yang telah menciptakannya dan memberinya segala nikmat ini, tapi dia menunjukkan sikap tidak bersyukur.” Kemunkinan kedua juga dapat membawa dua penafsiran apakah menyangkut penjelasan bahwa dalam rahim ibunya dan ketika kelahirannya, dia adalah sendirian, tanpa harta apa pun atau tanpa anak-anak, tapi limpahan nikmat diberikan kepadanya di kemudian hari; ataukah itu menunjukkan penjelasan bahwa dia menganggap dirinya dan ayahnya istimewa dan tidak tersaingi di kalangan bangsa ‘Arab. (2653) Namun demikian, pendapat pertama dari empat penafsiran ini terdengar lebih tepat.
Ayat ke-12 menyatakan: Aku telah memberinya harta benda yang banyak. Bentuk frase ‘Arab mamdūd aslinya bermakna “terbentang, terkembang”, tetapi kata tersebut di sini menyiratkan harta benda yang banyak atau memiliki banyak kebun dan ladang serta banyak sekali uang dan emas. Kata tersebut menyiratkan semua penjelasan ini, tapi semua itu tidak berguna baginya karena dia menunjukkan sikap tidak bersyukur, serta menentang Allah dan Rasūl-Nya s.a.w.
Ayat ke-13 menyinggung sejumlah besar manusia itu sendiri, bunyinya: Dan anak-anak yang mendampinginya [berbakti kepadanya]. Mereka tinggal bersama ayah mereka sepanjang waktu, karena mereka tidak merasa perlu bekerja, dan mereka tidak meninggalkan ayah mereka untuk pergi di tempat yang jauh. Diriwayatkan dalam sejumlah hadits bahwa dia memiliki sepuluh anak. Ayat ke-14 menjelaskan nikmat-nikmat lain yang diberikan kepadanya, bunyinya: Dan menyiapkan segala sarana kehidupan baginya. Nikmat-nikmat yang diberikan kepadanya meliputi tubuh yang sehat, harta benda, anak-anak yang sehat dan kedudukan sosial yang terkemuka. Frase ‘Arab tamhīd, berasal dari mahada, aslinya bermakna menyiapkan sebuah tempat, seperti ayunan bagi bayi, tetapi kata tersebut bermakna segala sarana dan peluang yang berkenaan dengan kesenangan, kenaikan kedudukan, jabatan bergengsi dan umumnya segala kenikmatan hidup serta sarana prestasi dan keberhasilan.
Ayat ke-15 menyatakan bahwa alih-alih bersujud kepada Allah s.w.t. untuk segala kenikmatan ini, dia menunjukkan sikap tidak bersyukur dan menginginkan nikmat-nikmat tambahan: Dia tetap menginginkan tambahan nikmat. Ayat ini tidak hanya ditujukan kepada Walīd bin Mughīrah, karena semua orang yang memuja harta kekayaan bersikap seperti itu. Dahaga mereka yang tidak pernah terpuaskan dan meskipun seluruh dunia menjadi milik mereka, mereka berharap untuk memiliki tambahan lagi dan lagi. Intinya adalah bahwa harta kekayaan dunia semuanya menjadi milik umat manusia dan penyebarannya bergantung pada kehendak Allah, dan bukan karena pengetahuan dan keterampilan manusia semata.
Catatan: