Al-Muddatstsir, ayat 38-56.
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِيْنَةٌ. إِلَّا أَصْحَابَ الْيَمِيْنِ. فِيْ جَنَّاتٍ يَتَسَاءَلُوْنَ. عَنِ الْمُجْرِمِيْنَ. مَا سَلَكَكُمْ فِيْ سَقَرَ. قَالُوْا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّيْنَ. وَ لَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِيْنَ. وَ كُنَّا نَخُوْضُ مَعَ الْخَائِضِيْنَ. وَ كُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوْمِ الدِّيْنِ. حَتَّى أَتَانَا الْيَقِيْنُ. فَمَا تَنفَعُهُمْ شَفَاعَةُ الشَّافِعِيْنَ. فَمَا لَهُمْ عَنِ التَّذْكِرَةِ مُعْرِضِيْنَ. كَأَنَّهُمْ حُمُرٌ مُّسْتَنْفِرَةٌ. فَرَّتْ مِنْ قَسْوَرَةٍ. بَلْ يُرِيْدُ كُلُّ امْرِئٍ مِّنْهُمْ أَنْ يُؤْتَى صُحُفًا مُّنَشَّرَةً. كَلَّا بَلْ لَا يَخَافُوْنَ الْآخِرَةَ. كَلَّا إِنَّهُ تَذْكِرَةٌ. فَمَنْ شَاءَ ذَكَرَهُ. وَ مَا يَذْكُرُوْنَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللهُ، هُوَ أَهْلُ التَّقْوى وَ أَهْلُ الْمَغْفِرَةِ
74: 38. Tiap-tiap diri bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnya,
74: 39. kecuali golongan kanan,
74: 40. berada di dalam surga, mereka menanyakan,
74: 41. tentang (keadaan) orang-orang yang berdosa,
74: 42. “Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?”
74: 43. Mereka menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat,
74: 44. dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin,
74: 45. bahkan kami biasa membicarakan yang batil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya,
74: 46. dan kami mendustakan hari pembalasan,
74: 47. sampai datang kepada kami kematian.”
74: 48. Maka syafaat dari orang-orang yang memberikan syafaat tidak berguna lagi bagi mereka.
74: 49. Maka mengapa mereka (orang-orang kafir) berpaling dari peringatan (Allah)?”
74: 50. Seakan-akan mereka itu keledai liar yang lari terkejut,
74: 51. lari dari singa.
74: 52. Bahkan tiap-tiap orang dari mereka berkehendak supaya diberikan kepadanya lembaran-lembaran yang terbuka.
74: 53. Sekali-kali tidak. Sebenarnya mereka tidak takut kepada negeri akhirat.
74: 54. Sekali-kali tidak demikian halnya. Sesungguhnya al-Qur’ān itu benar-benar peringatan.
74: 55. Maka barang siapa menghendaki, niscaya dia mengambil pelajaran darinya (al-Qur’ān).
74: 56. Dan mereka tidak akan mengambil pelajaran darinya kecuali (jika) Allah menghendakinya. Dia (Allah) adalah Tuhan Yang patut (kita) bertaqwa kepada-Nya dan yang berhak memberi ampun.
(al-Muddatstsir [74]: 38-56).
Allah s.w.t. memberitahukan bahwa:
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِيْنَةٌ.
Tiap-tiap diri bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnya. (al-Muddatstsir [74]: 38).
Yakni, bergantung kepada ‘amal perbuatannya sendiri kelak di hari kiamat. Demikianlah menurut apa yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbās dan yang lainnya.
إِلَّا أَصْحَابَ الْيَمِيْنِ.
kecuali golongan kanan. (al-Muddatstsir [74]: 39).
karena sesungguhnya mereka
فِيْ جَنَّاتٍ يَتَسَاءَلُوْنَ. عَنِ الْمُجْرِمِيْنَ.
berada di dalam surga, mereka menanyakan, tentang (keadaan) orang-orang yang berdosa. (al-Muddatstsir [74]: 40-41).
Yaitu, mereka bertanya kepada orang-orang yang berdosa, sedangkan mereka sendiri berada di gedung-gedung surga yang tinggi-tinggi, dan yang ditanyai oleh mereka yang berada di dasar neraka. Mereka bertanya:
مَا سَلَكَكُمْ فِيْ سَقَرَ. قَالُوْا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّيْنَ. وَ لَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِيْنَ.
“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?” Mereka menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin. (al-Muddatstsir [74]: 42-44).
Maksudnya, kami tidak pernah menyembah Tuhan kami dan tidak pernah pula berbuat baik kepada makhluk-Nya dari sejenis kami.
وَ كُنَّا نَخُوْضُ مَعَ الْخَائِضِيْنَ.
bahkan kami biasa membicarakan yang batil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya. (al-Muddatstsir [74]: 45).
Yakni, kami membicarakan hal-hal yang tidak kami ketahui. Qatādah mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa setiap ada orang yang sesat berbicara, maka kami ikut sesat bersamanya.
وَ كُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوْمِ الدِّيْنِ.
dan kami mendustakan hari pembalasan, sampai datang kepada kami kematian.” (al-Muddatstsir [74]: 46-47).
Yang dimaksud dengan perkara yang meyakinkan adalah kematian. Semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
وَ اعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِيْنُ.
Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal). (al-Ḥijr: 99).
Rasūlulllāh s.a.w. telah bersabda: “Adapun dia – yakni Utsmān ibnu Mazh‘ūn – ajal kematian dari Tuhannya telah datang kepadanya.”
Firman Allah s.w.t.:
فَمَا تَنفَعُهُمْ شَفَاعَةُ الشَّافِعِيْنَ.
Maka syafa‘at dari orang-orang yang memberikan syafa‘at tidak berguna lagi bagi mereka. (al-Muddatstsir [74]: 48).
Yaitu, orang yang mempunyai sifat demikian, tiada manfaat baginya syafa‘at dari orang-orang yang memberi syafa‘at di hari kiamat nanti. Karena sesungguhnya syafa‘at itu hanya berhasil dilakukan terhadap orang yang berhak menerimanya. Adapun jika orang yang mati dalam keadaan kafir, maka kelak di hari kiamat baginya hanyalah neraka, tiada jalan lain baginya dan ia kekal di dalamnya untuk selama-lamanya. Kemudian Allah s.w.t. berfirman:
فَمَا لَهُمْ عَنِ التَّذْكِرَةِ مُعْرِضِيْنَ.
Maka mengapa mereka (orang-orang kafir) berpaling dari peringatan (Allah)?”. (al-Muddatstsir [74]: 49).
Maksudnya, mengapa orang-orang kafir yang sebelum kamu itu berpaling dari seruan dan peringatan yang kamu tujukan kepada mereka.
كَأَنَّهُمْ حُمُرٌ مُّسْتَنْفِرَةٌ. فَرَّتْ مِنْ قَسْوَرَةٍ.
Seakan-akan mereka itu keledai liar yang lari terkejut, lari dari singa. (al-Muddatstsir [74]: 50-51).
Yakni, seakan-akan antipati mereka terhadap perkara yang hak dan berpalingnya mereka darinya adalah seperti keledai liar (zebra) yang lari dari hewan pemangsa yang mengintainya, siap untuk menerkamnya. Demikiannya menurut Abū Hurairah dan Ibnu ‘Abbās dalam suatu riwayat yang bersumber darinya, dan Zaid ibnu Aslam serta putranya (yaitu ‘Abd-ur-Raḥmān). Atau dari pemburu yang telah siap menembaknya, menurut riwayat lain dari Ibnu ‘Abbās, dan ini merupakan pendapat jumhur ulama.
Ḥammād ibnu Salamah telah meriwayatkan dari ‘Alī ibnu Zaid, dari Yūsuf ibnu Mālik, dari Ibnu ‘Abbās, bahwa asad atau singa memakai bahasa ‘Arab, kalau menurut bahasa Ḥabsyah disebut qaswarah, menurut bahasa Persia disebut syair (syīr), dan menurut bahasa Nabthiyyah disebut auba.
Firman Allah s.w.t.:
بَلْ يُرِيْدُ كُلُّ امْرِئٍ مِّنْهُمْ أَنْ يُؤْتَى صُحُفًا مُّنَشَّرَةً.
Bahkan tiap-tiap orang dari mereka berkehendak supaya diberikan kepadanya lembaran-lembaran yang terbuka. (al-Muddatstsir [74]: 52).
Artinya, bahkan setiap orang dari orang-orang musyrik itu menginginkan agar diturunkan kepadanya sebuah kitab sebagaimana kitab yang diturunkan kepada Nabi Muḥammad s.a.w. Ini menurut pendapat Mujāhid dan yang lainnya. Jadi, menurutnya semakna dengan firman-Nya:
وَ إِذَا جَاءَتْهُمْ آيَةٌ قَالُوْا لَنْ نُؤْمِنَ حَتَّى نُؤْتَى مِثْلَ مَا أُوْتِيَ رُسُلُ اللهِ. اللهُ أَعْلَمُ حَيْثُ يَجْعَلُ رِسَالَتَهُ.
Apabila datang sesuatu ayat kepada mereka, mereka berkata: “Kami tidak akan beriman sehingga diberikan kepada kami yang serupa dengan apa yang telah diberikan kepada utusan-utusan Allah. Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan-Nya. (al-An‘ām: 124).
Menurut riwayat lain yang juga dari Qatādah, mereka menginginkan agar diberi pembebasan tanpa ‘amal perbuatan. Firman Allah s.w.t. selanjutnya menyebutkan:
كَلَّا بَلْ لَا يَخَافُوْنَ الْآخِرَةَ.
Sekali-kali tidak. Sebenarnya mereka tidak takut kepada negeri akhirat. (al-Muddatstsir [74]: 53).
Yaitu, sesungguhnya yang merusak mereka tiada lain ketidakpercayaan mereka kepada hari akhirat, dan mereka mendustakan keberadaannya.
Selanjutnya disebutkan oleh firman-Nya:
كَلَّا إِنَّهُ تَذْكِرَةٌ.
Sekali-kali tidak demikian halnya. Sesungguhnya al-Qur’ān itu benar-benar peringatan. (al-Muddatstsir [74]: 54).
Yakni, benar, al-Qur’ān itu adalah peringatan.
فَمَنْ شَاءَ ذَكَرَهُ. وَ مَا يَذْكُرُوْنَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللهُ
Maka barang siapa menghendaki, niscaya dia mengambil pelajaran darinya (al-Qur’ān). Dan mereka tidak akan mengambil pelajaran darinya kecuali (jika) Allah menghendakinya. (al-Muddatstsir [74]: 55-56).
Semakna dengan firman-Nya:
وَ مَا تَشَاءُوْنَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللهُ.
Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu) kecuali bila dikehendaki Allah. (al-Insān: 30).
Adapun firman Allah s.w.t.:
هُوَ أَهْلُ التَّقْوى وَ أَهْلُ الْمَغْفِرَةِ
Dia (Allah) adalah Tuhan Yang patut (kita) bertaqwa kepada-Nya dan yang berhak memberi ampun. (al-Muddatstsir [74]: 56).
Artinya, Dia berhak untuk ditakuti dan berhak memberi ampun terhadap dosa orang yang bertobat kepada-Nya dan kembali ke jalan-Nya, menurut Qatādah.
Imām Aḥmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Zaid ibn-ul-Ḥabbāb, telah menceritakan kepadaku Suhail saudara Ḥazm, telah menceritakan kepada kami Tsābit al-Bannānī, dari Anas ibnu Mālik r.a. yang menceritakan bahwa Rasūlullāh s.a.w. membaca firman-Nya:
هُوَ أَهْلُ التَّقْوى وَ أَهْلُ الْمَغْفِرَةِ
Dia (Allah) adalah Tuhan Yang patut (kita) bertaqwa kepada-Nya dan yang berhak memberi ampun. (al-Muddatstsir [74]: 56).
Lalu beliau s.a.w. bersabda:
قَالَ رَبُّكُمْ: أَنَا أَهْلٌ أَنْ أَتَّقَى فَلَا يَجْعَلْ مَعِيْ إِلٰهًا، فَمَنِ اتَّقَى أَنْ يَجْعَلَ مَعِيْ إِلٰهًا كَانَ أَهْلًا أَنْ أَغْفِرْ لَهُ.
Tuhan kalian telah berfirman: “Aku adalah Tuhan Yang berhak (kamu) bertaqwa kepada-Nya, maka janganlah seseorang menjadikan tuhan lain bersama-Ku. Maka barang siapa yang bertaqwa kepada-Ku, hingga ia tidak menjadikan Tuhan lain bersama-Ku, maka dia adalah orang yang berhak mendapat ampunan (dari-Ku).
Imām Tirmidzī dan Imām Ibnu Mājah meriwayatkan hadits ini melalui Zaid ibn-ul-Ḥabbāb, sedangkan Imām Nasā’ī meriwayatkannya melalui hadits al-Mu‘āfā ibnu ‘Imrān, keduanya dari Suhail ibnu ‘Abdullāh al-Qath‘ī dengan sanad yang sama. Imām Tirmidzī mengatakan bahwa hadits ini ḥasan gharīb. Suhail orangnya kurang kuat.
Ibnu Abī Ḥātim meriwayatkannya dari ayahnya, dari Hudbah ibnu Khālid, dari Suhail dengan sanad yang sama. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Abū Ya‘lā, al-Bazzār, al-Baghawī, dan lain-lainnya melalui hadits Suhail al-Qath‘ī dengan sanad yang sama.