Surah al-Muddatstsir 74 ~ Tafsir al-Munir – Marah Labid (Bagian 3)

TAFSĪR AL-MUNĪR
(MARĀḤ LABĪD)
(Judul Asli: At-Tafsīr-ul-Munīru Lima‘ālim-it-Tanzīl)
Penyusun: Al-‘Allamah asy-Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi (Banten).

(Jilid ke 6 dari Surah al-Aḥqāf s.d. an-Nās)

Penerjemah: Bahrun Abu Bakar, L.C.
Dibantu oleh: H. Anwar Abu Baka, L.C.

Penerbit: Penerbit Sinar Baru Algensindo Bandung

Rangkaian Pos: Surah al-Muddatstsir 74 ~ Tafsir al-Munir - Marah Labid

Diriwayatkan bahwa al-Walīd bersua dengan Rasūlullāh s.a.w. yang sedang membaca surah Ḥā Mīm atau surah Fushshilat, ketika bacaan beliau sampai pada firman-Nya:

فَإِنْ أَعْرَضُوْا فَقُلْ أَنْذَرْتُكُمْ صَاعِقَةً مِثْلَ صَاعِقَةِ عَادٍ وَ ثَمُوْدَ.

Jika mereka berpaling, maka katakanlah: “Aku telah memperingatkanmu akan (bencana) petir seperti petir yang menimpa kaum ‘Ād dan kaum Tsamūd.” (Fushshilat: 13).

Maka al-Walīd memohon dengan menyebut nama Allah dan hubungan rahim yang ada, agar Nabi s.a.w. diam. Lalu, al-Walīd pergi dan mendatangi majlis kaumnya, Bani Makhzūm lalu ia berkata kepada mereka:

وَ اللهِ لَقَدْ سَمِعْتُ مِنْ مُحَمَّدٍ آنِفًا كَلَامًا مَا هُوَ مِنْ كَلَامِ الْإِنْسِ وَ لَا مِنْ كَلَامِ الْجِنِّ إِنَّ لَهُ لَحَلَاوَةً وَ إِنَّ عَلَيْهِ لَطَلَاوَةً وَ إِنَّ أَعْلَاهُ لَمُسْمَرَّ وَ إِنَّ أَسْفَلَهُ لَمُغْدَقَ وَ إِنَّهُ يَعْلُوْ وَ لَا يُعْلَى عَلَيْهِ.

Demi Allah, sesungguhnya aku baru saja mendengar dari Muḥammad suatu kalam yang sama sekali bukan kalam manusia dan bukan pula kalam jin. Sesungguhnya kalam itu benar-benar manis dan indah, dan sesungguhnya puncaknya berbuah dan bagian bawahnya benar-benar berlimpah, sesungguhnya kalam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya.

Setelah itu, al-Walīd pulang ke rumahnya, maka orang-orang Quraisy mengatakan: “Al-Walīd telah memeluk agama baru, seandainya dia memeluk agama baru itu niscaya seluruh Quraisy akan mengikuti jejaknya memeluk agama baru.”

Lalu, anak saudaranya yaitu Abū Jahal berkata: “Akulah yang akan menjamin kalian terhadapnya”, kemudian ia masuk ke dalam rumah al-Walīd dengan penampilan yang sedih, maka al-Walīd bertanya: “Ada apa, hai anak saudaraku?” Abū Jahal menjawab: “Sesungguhnya engkau telah memeluk agama baru agar kamu dapat bagian dari makanan Muḥammad dan sahabat-sahabatnya. Ini, orang-orang Quraisy telah mengumpulkan harta yang dapat kamu jadikan sebagai pengganti dari sesuatu yang engkau perkirakan akan engkau dapatkan dari sahabat-sahabat Muḥammad.”

Al-Walīd berkata: “Demi Allah, mereka dalam keadaan kelaparan, lalu bagaimana aku dapat mengambil sejumlah materi dari mereka, tetapi aku telah banyak memikirkan urusan dia, dan ternyata aku tidak menemukan suatu penilaian yang layak, kecuali mengatakan bahwa al-Qur’ān itu adalah sihir.”

Kemudian al-Walīd bangkit bersama dengan Abū Jahal dan sampai di majlis kaumnya, lalu al-Walīd berkata kepada mereka: “Kamu mengira Muḥammad gila, namun apakah kamu pernah melihatnya mencekik dirinya?” Mereka menjawab: “Ya Allah, tidak pernah.”

Al-Walīd bertanya: “Kamu mengira dia penenung, namun apakah kamu pernah melihat dia meramal?” Mereka menjawab: “Ya Allah, tidak pernah.”

Al-Walīd bertanya: “Kamu mengira Muḥammad sebagai penyair, namun pernahkah kamu melihat dia membuat syair?” Mereka menjawab: “Ya Allah, tidak pernah.”

Al-Walīd bertanya: “Kamu mengira Muḥammad pendusta, namun pernahkah kamu melihatnya melakukan suatu kedustaan?” Mereka menjawab: “Ya Allah, tidak pernah.”

Selanjutnya mereka balik bertanya: “Kalau demikian, siapakah dia?” al-Walīd berpikir lalu berkata: “Dia tidak lain hanyalah seorang penyihir, bukankah kamu melihat dia memisahkan seorang lelaki dari keluarga, anak dan mawalinya? Tidak lain apa yang dikatankannya itu kecuali sihir yang dipelajarinya dari penduduk Babilonia.”

Maka aula tempat pertemuan mereka bergetar karena suara kegirangan para penghuninya, dan mereka bubar dengan penuh rasa kagum terhadap hal yang dikatakan oleh al-Walīd dan kagum terhadap sikapnya.

Setelah al-Walīd mengakui hal tersebut pertama kalinya, kita dapat menyimpulkan bahwa apa yang dikatakan oleh al-Walīd pada saat berikutnya yang menyatakan bahwa al-Qur’ān adalah sihir dan perkataan manusia, tidak lain dia mengemukakannya dengan nada ingkar bukan atas dasar keyakinan, karena sesungguhnya sihir itu berkaitan dengan jin.

سَأُصْلِيْهِ سَقَرَ.

26. Kelak, Aku akan memasukkannya ke dalam (neraka) Saqar. (al-Muddatstsir: 26).

(سَأُصْلِيْهِ سَقَرَ.) “Kelak, Aku akan memasukkannya ke dalam (neraka) Saqar” yakni Aku akan memasukkannya ke dalam lapisan keenam dari neraka Jahannam yang disebut neraka Saqar.

وَ مَا أَدْرَاكَ مَا سَقَرُ.

27. Tahukah kamu apa (neraka) Saqar itu? (al-Muddatstsir: 27).

(وَ مَا أَدْرَاكَ مَا سَقَرُ.) “Tahukah kamu apa (neraka) Saqar itu?” yakni tidakkah kamu tahu gambaran tentang neraka Saqar itu?

لَا تُبْقِيْ وَ لَا تَذَرُ.

28. Ia (Saqar itu) tidak meninggalkan dan tidak membiarkan. (al-Muddatstsir: 28).

(لَا تُبْقِيْ وَ لَا تَذَرُ.) “Ia (Saqar itu) tidak meninggalkan dan tidak membiarkan” yakni neraka Saqar itu tidak meninggalkan darah, daging, dan tulang-tulang sedikit pun selain dimakannya sampai hangus menjadi debu, kemudian dikembalikan lagi seperti semula, dan tidak membiarkan selain membakarnya lagi dengan pembakaran yang lebih keras dari semula, demikianlah untuk selama-lamanya. Ta’wil ini berdasarkan riwayat ‘Athā’ dari Ibnu ‘Abbās.

لَوَّاحَةٌ لِّلْبَشَرِ.

29. yang menghanguskan kulit manusia. (al-Muddatstsir: 29).

(لَوَّاحَةٌ لِّلْبَشَرِ.) “yang menghanguskan kulit manusia” yakni membakar kulit manusia dari jarak perjalanan lima ratus tahun.

Al-Ḥasan, Ibnu Abī ‘Ablah, Zaid ibnu ‘Alī dan ‘Athiyyah membacanya dengan bacaan nashab menjadi lawwāḥatan karena menjadi ikhtishāsh, atau sebagai ḥāl yang mengukuhkan, yakni menghanguskan kulit.

عَلَيْهَا تِسْعَةَ عَشَرَ.

30. Di atasnya ada sembilan belas (malaikat penjaga). (al-Muddatstsir: 30).

(عَلَيْهَا) “Di atasnya” yakni di atas neraka – (تِسْعَةَ عَشَرَ) “ada sembilan belas (malaikat penjaga)” malaikat yang menjaganya.

Al-Wāḥidī telah meriwayatkan dari ulama tafsir, bahwa para penjaga neraka terdiri atas sembilan belas malaikat, delapan belas malaikat di antara mereka matanya seperti kilat, taringnya seperti tombak yang tajam dan rambutnya mencapai telapak kaki mereka, dari mulut mereka menyembar api.

Jarak di antara kedua pundak mereka sama dengan perjalanan satu tahun, telapak tangan mereka dapat menggenggam kabilah Rabī‘ah dan kabilah Mudhār, rasa belas kasihan telah dicabut dari mereka. Sekali ambil telapak tangannya dapat meraup tujuh puluh ribu ahli neraka, lalu dia melemparkan mereka ke bagian yang dikehendaki dari neraka Jahannam.

Hikmah bilangan ini adalah karena pintu neraka Jahannam berjumlah tujuh, enam di antaranya untuk orang-orang kafir, sedangkan satu pintu untuk orang-orang yang fasiq. Orang-orang kafir masuk ke dalam neraka karena tiga faktor, yaitu: meninggalkan keyakinan, meninggalkan pengakuan dan meninggalkan ‘amal.

Setiap pintu dari keenam buah pintu itu masing-masing memiliki tiga bagian, dan jumlah keseluruhannya menjadi delapan belas buah pintu. Adapun pintu neraka bagi orang-orang fasik, maka tidak ada malaikat zabāniyah yang diserahi tugas menyiksa karena meninggalkan keyakinan dan tidak pula karena meninggalkan pengakuan, namun yang ada adalah karena meninggalkan pengamakan saja, dan tidak ada malaikat zabāniyah kecuali malaikat yang menjaga pintu mereka, sehingga seluruh malaikat berjumlah sembilan belas.

Menurut pendapat lain disebutkan bahwa sesungguhnya jumlah jam itu adalah dua puluh empat jam, lima jam di antaranya digunakan untuk menunaikan shalat lima waktu, sedangkan sembilan belas jam digunakan untuk selain ibadah, maka benarlah bila jumlah malaikat zabāniyah atau juru siksa itu sembilan belas.

Unduh Rujukan:

  • [download id="18120"]

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *