ذَرْنِيْ وَ مَنْ خَلَقْتُ وَحِيْدًا.
11. Biarkanlah Aku bertindak terhadap orang yang Aku sendiri telah menciptakannya. (al-Muddatstsir: 11).
(ذَرْنِيْ وَ مَنْ خَلَقْتُ وَحِيْدًا.) “Biarkanlah Aku bertindak terhadap orang yang Aku sendiri telah menciptakannya” lafal waḥīdan di-nashab-kan dengan makna celaan, bentuk lengkapnya ialah: Aku bermaksud menciptakannya sendirian. Atau, menjadi ḥāl dari dhamīr yang dibuang, yakni biarkanlah Aku bertindak terhadap orang yang telah Aku ciptakan sendirian, tanpa ayah, dia adalah zanim atau orang yang menonjol kejahatannya, yang dimaksud adalah al-Walīd ibn-ul-Mughīrah al-Makhzūmī.
Dikatakan demikian karena dia mengira bahwa dirinya adalah satu-satunya orang di kalangan kaumnya yang menonjol karena kepemimpinannya, kekayaannya dan kemajuannya dalam bidang keduniawian. Dia pun adalah orang yang dijuluki dengan sebutan “menyendiri”. Disebutkan bahwa dia sering mengatakan: “Aku adalah orang yang sendirian, anak dari orang yang sendirian, tidak ada seorang pun di kalangan orang ‘Arab yang menyaingiku dan bapakku.”
وَ جَعَلْتُ لَهُ مَالًا مَّمْدُوْدًا.
12. Dan Aku berikan kekayaan yang melimpah kepadanya. (al-Muddatstsir: 12)
(وَ جَعَلْتُ لَهُ مَالًا مَّمْدُوْدًا.) “Dan Aku berikan kekayaan yang melimpah kepadanya” yakni diluaskan hartanya. Ibnu ‘Abbās mengatakan bahwa yang dimaksud adalah harta yang dimiliki oleh al-Walīd yang ada di Makkah dan Thā’if, berupa ternak unta, sapi, kambing, lahan-lahan pertanian, kebun-kebun, budak-budak lelaki dan budak-budak perempuan.
Muqātil mengatakan bahwa disebutkan al-Walīd mempunyai kebun di Thā’if yang buahnya tidak pernah terputus baik dalam musim panas maupun musim dining.
وَ بَنِيْنَ شُهُوْدًا.
13. dan anak-anak yang selalu bersamanya (al-Muddatstsir: 13)
(وَ بَنِيْنَ) “dan anak-anak” yang berjumlah tiga belas orang, sebagaimana yang dikatakan oleh Abū Mālik dan Sa‘īd ibnu Jubair; tiga orang di antara mereka masuk Islam yaitu Khālid ibn-ul-Walīd yang dijuluki sebagai Pedang Allah dan Pedang Rasūl, Hisyām, dan ‘Imārah.
(شُهُوْدًا) “yang selalu bersamanya” yakni yang selalu hidup bersamanya di Makkah dan sama sekali tidak pernah berpisah darinya karena mereka adalah orang-orang kaya.
وَ مَهَّدْتُّ لَهُ تَمْهِيْدًا.
14. dan Ku berikan baginya kelapangan (hidup) seluas-luasnya. (al-Muddatstsir: 14)
(وَ مَهَّدْتُّ لَهُ تَمْهِيْدًا.) “dan Ku berikan baginya kelapangan (hidup) seluas-luasnya” yakni Aku luaskan baginya kedudukan dan kepemimpinan di kalangan kaumnya sehingga dijuluki dengan sebutan Raiḥānah Quraisy dan Wahīd.
ثُمَّ يَطْمَعُ أَنْ أَزِيْدَ.
15. Namun dia menginginkan agar Aku menambahnya. (al-Muddatstsir: 15).
(ثُمَّ يَطْمَعُ أَنْ أَزِيْدَ.) “Namun dia menginginkan agar Aku menambahnya” atas apa yang telah Ku berikan kepadanya.
Menurut suatu pendapat disebutkan bahwa al-Walīd pernah mengatakan: “Jika Muḥammad benar, maka tidak sekali-kali surga diciptakan selain untukku.”
كَلَّا إِنَّهُ كَانَ لِآيَاتِنَا عَنِيْدًا.
16. Tidak bisa! Sesungguhnya dia telah menentang ayat-ayat Kami (al-Qur’ān). (al-Muddatstsir: 16).
(كَلَّا) “Tidak bisa!” yakni tidak ada tambahan baginya sama sekali atas hal itu, maka hendaklah dia menghentikan ketamakannya itu. Sesudah Allah menurunkan ayat ini harta al-Walīd terus-menerus berkurang hingga jatuh fakir dan mati dalam keadaan fakir.
(إِنَّهُ) “Sesungguhnya dia” yakni al-Walīd ibn-ul-Mughīrah – (كَانَ لِآيَاتِنَا) “terhadap ayat-ayat Kami (al-Qur’ān)” yang menunjukkan keesaan, kekuasaan dan keadilan Kami serta kebenaran kenabian dan kebenaran hari berbangkit – (عَنِيْدًا.) “menentang” yakni menolak, padahal hati kecilnya mengetahuinya tetapi lisannya mengingkarinya. Kekafiran orang yang menentang merupakan sikap kufur yang sangat buruk.
سَأُرْهِقُهُ صَعُوْدًا.
17. Aku akan membebaninya dengan pendakian yang memayahkan. (al-Muddatstsir: 17).
(سَأُرْهِقُهُ صَعُوْدًا.) “Aku akan membebaninya dengan pendakian yang memayahkan” yakni Aku akan membebaninya adzab yang sangat berat.
Diriwayatkan dari Nabi s.a.w.:
يُكْلِفُ أَنْ يَصْعُدَ عُقْبَةً فِي النَّارِ كُلَّمَا وَضَعَ يَدُهُ عَلَيْهَا ذَابَتْ فَإِذَا رَفَعَهَا عَادَتْ وَ إِذَا وَضَعَ رِجْلُهُ ذَابَتْ، فَإِذَا رَفَعَهَا عَادَتْ.
Dia dibebani untuk menaiki pendakian di dalam neraka, setiap meletakkan tangannya pada pendakian itu tangannya hancur, bila mengangkatnya, maka tangannya kembali seperti semula. Apabila meletakkan kakinya, maka kakinya hancur, apabila dia mengangkat kakinya, maka ia kembali seperti semula.
Selain itu, telah diriwayatkan pula dari Nabi s.a.w.:
الصَّعُوْدُ جَبَلٌ مِنْ نَارٍ يَصْعُدُ فِيْهِ سَبْعِيْنَ خَرِيْفًا ثُمَّ يَهْوِيْ فِيْهِ كَذلِكَ أَبَدًا.
Sha‘ūd adalah sebuah bukit di dalam neraka dari api, dia mendakinya selama tujuh puluh kharīf (tahun), kemudian jatuh ke dalamnya selama tujuh puluh tahun pula; demikianlah selama-lamanya.
إِنَّهُ فَكَّرَ وَ قَدَّرَ.
18. Sesungguhnya dia telah memikirkan dan menetapkan (apa yang ditetapkannya). (al-Muddatstsir: 18).
(إِنَّهُ فَكَّرَ وَ قَدَّرَ.) “Sesungguhnya dia telah memikirkan dan menetapkan (apa yang ditetapkannya)” yakni sesungguhnya pengingkar itu telah memikirkan apa yang dikatakannya berkenaan dengan al-Qur’ān dan telah menetapkan dirinya dengan apa yang dikatakannya itu, yakni telah mempertimbangkannya masak-masak.
فَقُتِلَ كَيْفَ قَدَّرَ.
19. maka celakalah dia! Bagimana dia menetapkan? (al-Muddatstsir: 19).
(فَقُتِلَ كَيْفَ قَدَّرَ.) “Maka celakalah dia! Bagimana dia menetapkan?” yakni terlaknatlah dia di dunia. Namun, mengapa dia menetapkan kekeliruan itu terhadap dirinya?
ثُمَّ قُتِلَ كَيْفَ قَدَّرَ.
20. sekali lagi celakalah dia! Bagaimana dia menetapkan? (al-Muddatstsir: 20).
(ثُمَّ قُتِلَ كَيْفَ قَدَّرَ.) “sekali lagi celakalah dia! Bagaimana dia menetapkan?” yakni dia terlaknat lagi sesudah mati di alam Barzakh dan hari Kiamat, bagaimana dia bisa menetapkan demikian? Ungkapan ini merupakan rasa ta‘jub terhadap kekuatan daya nalarnya.
ثُمَّ نَظَرَ.
21. Kemudian dia (merenung) memikirkan. (al-Muddatstsir: 21).
(ثُمَّ نَظَرَ.) “Kemudian dia (merenung) memikirkan” apa yang dinilainya itu dari waktu ke waktu yang lain, yakni menilai al-Qur’ān.
ثُمَّ عَبَسَ وَ بَسَرَ.
22. lalu berwajah masam dan cemberut. (al-Muddatstsir: 22).
(ثُمَّ عَبَسَ) “lalu berwajah masam” yakni berwajah muram mengingat dia tidak menemukan jalan untuk mendiskreditkan al-Qur’ān, dan tidak mengetahui apa yang harus dikatakannya terhadap al-Qur’ān – (وَ بَسَرَ.) “dan cemberut” yang mengerutkan dahinya.
ثُمَّ أَدْبَرَ وَ اسْتَكْبَرَ.
23. kemudian berpaling (dari kebenaran) dan menyombongkan diri. (al-Muddatstsir: 23).
(ثُمَّ أَدْبَرَ) “kemudian berpaling” dari kebenaran – (وَ اسْتَكْبَرَ.) “dan menyombongkan diri” yakni besar diri, tidak mau mengikuti al-Qur’ān.
فَقَالَ إِنْ هذَا إِلَّا سِحْرٌ يُؤْثَرُ.
24. lalu dia berkata: “(al-Qur’ān) ini hanyalah sihir yang dipelajari. (al-Muddatstsir: 24).
(فَقَالَ إِنْ هذَا إِلَّا سِحْرٌ يُؤْثَرُ.) “lalu dia berkata: “(al-Qur’ān) ini hanyalah sihir yang dipelajari” yakni apa yang dikatakan oleh Muḥammad ini tidak lain hanyalah sihir yang dinukil dari penduduk Babilonia.
إِنْ هذَا إِلَّا قَوْلُ الْبَشَرِ.
25. ini hanyalah perkataan manusia.” (al-Muddatstsir: 25).
(إِنْ هذَا إِلَّا قَوْلُ الْبَشَرِ.) “ini hanyalah perkataan manusia” yakni apa yang disampaikan oleh Muḥammad ini tidak lain perkataan manusia, yakni yang dipelajarinya dari Jabar dan Yasar dua orang budak Romawi yang beragama Nasrani, pent. –